Sebuah Harapan
Rika berjalan keluar dari kamar tidur mereka dengan langkah yang mantap. Suara langkah kakinya yang terhenti di lorong rumah itu terasa lebih berat dari yang ia bayangkan.
"Hmmm," Wanitba sembari membuang nafas kasar.
Dwi masih tetap duduk di tempat tidur, merasa tubuhnya kaku, seolah seluruh energi hidupnya mengalir keluar bersamaan dengan perubahan sikap Rika.
"Sayang, a----" belum terselesaikan, sang istri hanya memberinya isyIarat untuk diam dulu.
Ingin menuntaskan keingintahuannya, Dwi berdiri sejajar dengan Rika dan berujar," Jika aku salah, aku ingin meminta maaf, menjelaskan bahwa ini semua adalah kesalahan besar,"
Rika takenjawab, ia langsung menuju ruang tamu, duduk di sofa, dan menatap ke luar jendela. Hujan yang tadi malam turun masih menyisakan rintik-rintik kecil yang terdengar lembut di kaca. Namun, suasana hatinya begitu kelam. Hatinya bagaikan terpecah antara kemarahan dan kesedihan yang mencekam.
Setelah beberapa menit, Dwi akhirnya keluar dari kamar tidur. Ia berjalan perlahan ke ruang tamu, berusaha mencari cara untuk berbicara. Namun, setiap kali ia membuka mulut, kata-kata itu terasa berat dan sia-sia.
“Rika…” suaranya hampir tidak terdengar.
Rika menoleh pelan, matanya sudah merah. Ia menatap Dwi dengan tatapan yang penuh luka. “Apa lagi, Dwi?” tanyanya dengan nada datar, meskipun dalam hatinya, ia ingin berteriak. “Apa yang masih bisa kamu katakan? Semuanya sudah jelas.”
Dwi menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang sudah tidak bisa ia bendung. “Aku minta maaf… aku benar-benar minta maaf,” katanya, suaranya serak.
Rika tersenyum pahit. "Minta maaf? Apa itu cukup, Dwi? Apakah minta maaf bisa mengembalikan semuanya? Apakah minta maaf bisa menghapuskan semua kebohongan yang telah kamu buat?"
Dwi merasakan hatinya semakin hancur mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa permintaan maaf saja tidak akan pernah cukup. Rika telah terluka jauh lebih dalam dari yang ia bisa bayangkan. Semua kata-kata manis dan janji yang pernah mereka ucapkan kini terasa seperti debu yang tertiup angin.
“Aku sudah sangat mencintaimu, Rika,” lanjut Dwi, suaranya hampir putus-putus. “Aku tidak tahu kenapa aku bisa terjebak seperti ini. Ika… Ika tidak lebih dari sekadar pelarian. Itu semua salahku. Aku… aku merasa cemas, tertekan, dan aku mencari cara untuk menghindar. Aku tahu itu tidak bisa diterima, aku tahu aku salah.”
Rika menatap Dwi lama, mengukur setiap kata yang keluar dari mulut suaminya. Ia tahu betul bahwa Dwi sedang berusaha untuk menjelaskan. Namun, semakin Dwi berbicara, semakin Rika merasa terasing. Tidak ada lagi rasa percaya di dalam dirinya. Suaminya, yang dulu selalu menjadi tempat ia bersandar, kini hanya menyisakan kekecewaan.
“Aku selalu ada untukmu, Dwi,” kata Rika dengan nada yang hampir tak terdengar. “Aku selalu mencoba yang terbaik untuk kita. Tapi kamu… kamu malah memilih jalan yang lain. Kamu memilih untuk menghancurkan semuanya, memilih untuk mengkhianatiku. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa melihatmu dengan cara yang sama lagi.”
Rika menghela napas panjang, mengusap air matanya yang jatuh. Ia tahu, meskipun hatinya begitu terluka, ia harus mengambil keputusan yang berat. Perasaan sakit ini sudah terlalu dalam, dan ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan.
“Dwi, aku perlu waktu. Waktu untuk berpikir… untuk menenangkan diriku,” ujar Rika dengan suara yang lebih tenang, meski ada gejolak di dalamnya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak. Aku perlu waktu untuk diriku sendiri.”
Dwi terdiam, merasa hancur. Ia ingin berlutut dan memohon, tetapi ia tahu bahwa Rika telah terlalu terluka untuk itu. Kebohongannya selama ini telah membuat jembatan yang menghubungkan mereka hancur.
“Apakah kamu akan pergi?” tanya Dwi, suara seraknya hampir hilang.
Rika tidak langsung menjawab. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu depan. Sebelum membuka pintu, ia menoleh ke belakang, menatap suaminya untuk terakhir kalinya.
“Tidak sekarang, Dwi. Aku akan tinggal di sini untuk sementara. Tapi aku tidak tahu sampai kapan. Aku butuh ruang untuk mengerti apa yang sebenarnya aku inginkan dan apa yang bisa aku lakukan dengan semua ini.”
Dengan itu, Rika membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Dwi di dalam rumah mereka yang kini terasa begitu sepi. Dwi hanya bisa berdiri, menatap pintu yang tertutup rapat, merasakan setiap detik perasaan bersalah yang semakin menyelimutinya. Tidak ada lagi senyuman, tidak ada lagi kehangatan. Yang ada hanya keheningan yang menggema di sekelilingnya.
Ia jatuh terdiam di ruang tamu, memikirkan pilihan yang telah ia buat, dan menyadari bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Hari-hari setelah percakapan itu terasa berat bagi Dwi. Rumah yang dulu penuh tawa dan kehangatan kini terasa seperti sebuah bangunan kosong. Keheningan yang selalu hadir di antara mereka, terasa lebih tajam dari sebelumnya. Setiap sudut rumah mengingatkan Dwi pada Rika, pada kebahagiaan yang dulu mereka miliki. Namun, semua itu kini hanya kenangan yang semakin memudar.
Rika tidak pulang malam itu. Ia memilih untuk tidur di rumah ibunya, yang hanya beberapa kilometer dari rumah mereka. Dwi tahu itu adalah keputusan yang bijak, meskipun hatinya terasa seakan terhimpit batu besar. Ia tahu ia harus memberi Rika ruang, namun ruang itu terasa semakin menjauhkan mereka.
Sejak malam itu, Dwi mencoba untuk menghubungi Rika, namun pesan dan telepon yang ia kirim tidak pernah dibalas. Hanya ada kesunyian yang menghantui setiap usaha yang ia lakukan. Dwi merasa tak berdaya. Ia merasa seperti seorang pria yang terjebak dalam penjara kesalahannya sendiri, tanpa bisa keluar.
Pagi-pagi, Dwi bangun dan duduk di meja makan, menatap secangkir kopi yang tak tersentuh. Ia teringat kembali pada Ika. Terkadang, Dwi merasa seolah-olah dirinya dibawa hanyut oleh dunia lain setiap kali bersama wanita itu. Ika selalu tahu cara membuatnya merasa dihargai, berbeda dengan Rika yang seolah tak lagi melihatnya. Namun, kini, setelah kebohongan yang telah terungkap, Dwi merasa semakin terperosok. Setiap kali teringat pada Ika, hatinya dipenuhi rasa bersalah yang semakin mencekam.
Namun, kebersamaan dengan Ika bukanlah solusi. Ia tahu itu, meskipun sulit untuk diakui. Rika, istrinya, adalah orang yang selama ini menemani setiap langkah hidupnya, yang selalu ada saat ia membutuhkan dukungan. Dan kini, ia telah menghancurkan segalanya.
Pada hari ketiga setelah pertemuan terakhir mereka, Dwi memutuskan untuk menemui Rika. Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia harus meminta maaf dengan sepenuh hati, harus menghadapi kenyataan, dan memberi Rika apa yang ia butuhkan—kejujuran.
Dengan hati yang penuh kecemasan, Dwi melangkah menuju rumah ibu Rika. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang berjalan menuju pengadilan hidupnya. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia berdiri sejenak, menata napas, dan mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Rika berdiri di sana, mengenakan pakaian rumah, dengan ekspresi wajah yang masih penuh ketegangan. Ada kesunyian sejenak sebelum Dwi membuka mulutnya.
“Aku datang untuk meminta maaf, Rika,” kata Dwi, suara yang penuh penyesalan. “Aku tahu kata-kata ini tidak akan mengubah apapun, tetapi aku harus mengatakannya. Aku sangat menyesal, sangat menyesal atas apa yang telah aku lakukan. Aku telah menghancurkan kepercayaanmu, dan aku tahu aku tidak pantas meminta apapun darimu sekarang. Tapi aku ingin kau tahu, aku sangat mencintaimu.”
Rika tidak langsung menjawab. Ia hanya memandangi Dwi dengan mata yang tidak bisa Dwi artikan. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Rika akhirnya membuka mulut.
“Aku ingin mendengarnya, Dwi,” jawabnya pelan, tetapi ada ketegasan dalam nada suaranya. “Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya kamu rasakan. Apa yang membuatmu melakukan semua ini? Apa yang membuatmu begitu mudah untuk mengkhianati aku?”
Dwi menunduk, mencoba merangkai kata-kata yang bisa menjelaskan kebingungannya. “Aku… aku merasa terjebak, Rika. Aku merasa aku kehilangan diriku sendiri. Aku takut, aku cemas. Aku mulai merasa tertekan dengan semua yang terjadi, dan aku mencari pelarian. Aku tahu itu salah, dan aku sangat menyesal. Aku telah menyakiti orang yang paling aku cintai. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku terjebak dalam hal ini, tapi yang aku tahu, aku tidak ingin kehilanganmu.”
Rika memandangi Dwi, lalu menghela napas. “Dwi, kamu tahu apa yang membuatku sangat terluka? Aku bukan hanya merasa dikhianati. Aku merasa bodoh. Selama ini, aku berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kamu memilih jalan yang lain. Apa kamu tahu betapa hancurnya aku setelah semua ini?”
Dwi tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa sangat kecil di hadapan Rika. Rika berhak merasa seperti itu. Ia telah melukai kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi hubungan mereka.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Dwi,” lanjut Rika. “Aku butuh waktu, waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak bisa memutuskan sekarang. Aku tidak bisa memberi jawaban yang jelas.”
Dwi mengangguk, menerima setiap kata Rika. Ia tahu bahwa ini adalah saat-saat kritis dalam hubungan mereka. Apapun yang terjadi setelah ini, ia harus menerima konsekuensi dari tindakannya.
“Apapun yang kamu putuskan, aku akan menghormatinya, Rika. Aku akan menunggu, meskipun aku tahu ini mungkin terlalu terlambat. Aku akan selalu ada untukmu, jika kamu ingin aku kembali,” kata Dwi dengan suara yang penuh harapan, meski ia tahu, harapan itu terasa sangat rapuh.
Rika menatapnya sekali lagi, lalu berkata dengan lembut, “Aku butuh waktu, Dwi. Jangan harap aku bisa langsung memaafkanmu. Tapi aku akan mencoba untuk mencerna semuanya. Tapi tentang sebuah hubungan yang lain, maaf..., aku butuh waktu, itu saja," Rika kemudian menutup pintu perlahan. Dwi berdiri di sana, terdiam, merasakan dunia seakan runtuh perlahan-lahan. Ia tahu bahwa kepercayaan adalah hal yang sangat rapuh, dan ia telah menghancurkannya.
**
