Retak Yang Tak Terlihat
Hari-hari setelah percakapan itu berlangsung, hening juga rumah mereka. Tak ada canda bahkan tawa dari Rika,sang istri. Lantaran dia belum mau dibujuk untuk pulang.
Dwi berusaha untuk tetap menjalani rutinitas sehari-hari, pikirannya tidak pernah benar-benar tenang. Setiap detik yang berlalu seakan menjadi pengingat atas kebohongan yang telah ia bangun, dan hati kecilnya selalu bertanya apakah ada kemungkinan baginya untuk memperbaiki semuanya.
Rika masih belum kembali ke rumah mereka. Ia terus tinggal di rumah ibunya, meskipun sesekali mengirimkan pesan singkat atau menelpon Dwi untuk urusan-urusan kecil, seperti soal tagihan atau hal-hal yang perlu diselesaikan. Namun, setiap kali mereka berbicara, percakapan itu terasa kaku. Tidak ada lagi kedekatan seperti dulu, tidak ada lagi kehangatan di antara mereka.
Dwi merindukan suara tawa Rika yang biasa memenuhi rumah mereka, merindukan cara istrinya selalu tahu apa yang ia butuhkan tanpa harus mengatakannya. Tapi kini, semuanya terasa jauh. Semua yang ia miliki, yang dulu ia anggap pasti, kini terasa begitu rapuh.
Pagi itu, Dwi duduk di meja makan, mengaduk kopinya tanpa minum. Ia melirik ponselnya, berpikir apakah ia harus mengirim pesan lagi ke Rika. Tetapi ia menahan diri. Rika butuh waktu, dan ia tahu itu. Waktu untuk meresapi segala yang telah terjadi dan memutuskan apakah mereka bisa melanjutkan hubungan ini atau tidak. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin sulit bagi Dwi untuk tetap berharap. Dia tahu ada bagian dari Rika yang mungkin sudah mulai menyusun kehidupan tanpa dirinya.
Di kantor, Dwi mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, meskipun itu tidak mudah. Setiap kali ia melihat layar komputer, pikirannya melayang ke Ika. Ia tidak bisa membohongi dirinya lagi, bahwa perasaan itu masih ada, meskipun ia berusaha untuk menahan diri. Namun, ia juga tahu bahwa masalah utama bukanlah Ika. Masalah sesungguhnya adalah dirinya sendiri. Ia telah mengkhianati orang yang paling ia cintai, dan kini, rasa bersalah itu terus menghantui setiap langkahnya.
Pekerjaan mulai terasa seperti rutinitas kosong. Dwi merasa terjebak dalam dunia yang semu, tempat di mana ia mencoba menebus kesalahannya tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Di tengah kegelisahannya, ia mendapat telepon dari Rika.
"Hallo," suara Rika terdengar di ujung telepon, lebih dingin dari yang Dwi ingat.
"Rika," suara Dwi serak. "Apakah kita bisa bicara?"
“Ada yang ingin aku bicarakan," jawab Rika dengan nada yang lebih datar. “Aku ingin bertemu. Bisa kita bertemu di luar nanti?”
Dwi merasa ada ketegangan dalam suara Rika. Sebuah perasaan cemas menggerogoti dada Dwi. Apakah ini artinya Rika sudah mengambil keputusan? Apakah ia akan benar-benar meninggalkannya? Sebuah pertanyaan besar bergelora dalam pikiran Dwi, tetapi ia tidak bisa menghindarinya.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang sering mereka kunjungi sebelum semuanya berubah. Dwi berusaha menenangkan diri, meskipun hatinya berdebar tidak karuan. Sesampainya di kafe, ia melihat Rika duduk di sudut dekat jendela, menatap keluar dengan tatapan kosong.
Rika tampak berbeda—lebih tenang, tetapi ada ketegangan di wajahnya yang tidak bisa Dwi abaikan. Ia melangkah mendekat dan duduk di hadapan Rika, merasakan jarak yang begitu terasa di antara mereka.
“Rika...” Dwi mulai, suaranya lembut. “Aku benar-benar menyesal atas semuanya. Aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu, dan aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan melakukan apa pun untuk memperbaikinya, jika kamu mau memberi kesempatan.”
Rika menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada cangkir kopi di depannya. Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya, dan menatap Dwi dengan pandangan yang tajam. “Dwi, aku tidak bisa memaafkanmu begitu saja. Aku tahu aku belum memberimu jawaban pasti, tapi aku merasa aku sudah cukup lama merenung tentang ini.”
Dwi merasakan dadanya bergetar. “Apa maksudmu? Apa kamu akan meninggalkanku, Rika?”
Rika terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan setiap kata yang akan keluar dari mulutnya. “Aku tidak tahu, Dwi. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa memaafkanmu. Aku merasa... terjebak. Setiap kali aku memikirkan kita, ada bagian dari diriku yang ingin melanjutkan, tapi ada juga bagian yang merasa terluka begitu dalam. Aku tidak ingin terus hidup dalam kebohongan.”
Dwi menunduk, merasa hancur. Ia tahu ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga. “Aku mengerti, Rika. Aku tidak bisa meminta lebih dari itu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal.”
Rika menatapnya, dan meskipun hatinya terasa terluka, ada rasa empati yang kembali muncul. “Aku ingin kita memberi diri kita waktu. Mungkin kita butuh jarak untuk melihat apakah ada kesempatan bagi kita untuk memperbaiki semuanya. Tapi, Dwi, aku tidak bisa berjanji apa-apa.”
Dwi mengangguk, merasa kelegaan dan kesedihan yang bercampur aduk. “Aku akan menunggu, Rika. Apapun yang kamu putuskan, aku akan menghormatinya. Aku akan menunggu.”
Mereka berdua terdiam beberapa saat, hanya ada suara gemericik air hujan yang mulai turun di luar. Keheningan itu begitu berat, namun di antara keduanya, ada rasa pengertian yang perlahan tumbuh kembali. Mungkin ini bukan akhir, tetapi sebuah awal dari perjalanan yang penuh ketidakpastian.
Rika akhirnya bangkit, membereskan tasnya. “Aku harus pergi sekarang. Aku ingin waktu yang lama lagi untuk berpikir lebih banyak.”
Dwi melihat Rika pergi, merasakan kesepian itu kembali menghampirinya. Namun, ada harapan kecil di dalam dirinya. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan bagi mereka untuk menemukan kebahagiaan lagi. Namun, untuk itu, ia harus membiarkan waktu berjalan dan berharap bahwa Rika akan menemukan cara untuk memaafkannya.
Malam itu, Dwi kembali ke rumah dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak tahu apakah pertemuan dengan Rika tadi merupakan tanda harapan atau justru penutupan babak dalam hidup mereka. Yang ia tahu, Rika telah memberinya waktu, dan itu adalah kesempatan yang langka. Meskipun ia belum mendapat kepastian, sedikitnya ada kemungkinan untuk memperbaiki semuanya. Namun, apakah itu cukup?
Di rumah, Dwi duduk di ruang tamu dalam keheningan, menatap foto-foto yang ada di dinding. Foto-foto masa lalu mereka, saat masih bahagia, saat tawa dan canda mengisi setiap sudut rumah. Ia merasa seperti orang asing dalam kehidupannya sendiri. Ia berbalik, melihat ruang yang kosong. Semua yang ada hanya sisa-sisa kenangan yang perlahan mulai pudar. Rika, yang dulu selalu berada di sampingnya, kini terasa jauh, seperti bayangan yang semakin menjauh.
Beberapa hari berlalu, dan Dwi mulai merasakan cemas yang semakin menggerogoti dirinya. Setiap pesan yang ia kirim, setiap panggilan telepon yang ia coba lakukan, semuanya tidak mendapat balasan. Rika lebih memilih untuk menjaga jarak, memberi dirinya ruang yang lebih besar untuk memikirkan semuanya. Dwi tahu ia harus menunggu, tapi menunggu dalam ketidakpastian ini semakin membuatnya gundah.
Suatu pagi, saat Dwi sedang duduk di meja makan, ia mendapat telepon dari seorang teman lama, Budi. Tanpa banyak pikir panjang, Dwi mengangkatnya.
“Halo, Dwi! Lama tak jumpa! Apa kabar?” suara Budi terdengar riang.
“Hai, Budi. Kabar baik, hanya saja... banyak hal yang sedang terjadi,” jawab Dwi, sedikit ragu.
“Ada apa, nih? Cerita dong. Aku merasa seperti kamu sedang terbebani,” Budi mendesak dengan nada peduli. Sebagai sahabat yang sudah dianggap sebagai saudara olehnya.Budi juga bisa merasakan ada yang berbeda dengan Dwi kali ini.
"Aku juga tak mengerti lagi dengan ku," ia berujar seraya menghela napas dan meletakkan cangkir kopi di meja. Kemudian mulai bercerita jujur juga, tentang keadaan yang sedang ia hadapi dengan Rika. Ia menceritakan tentang kebohongan yang telah ia lakukan, tentang Rika yang kini menjaga jarak, dan betapa sulitnya bagi Dwi untuk menebus semua kesalahan yang ia buat.
Budi mendengarkan dengan seksama, kemudian berkata, “Dwi, aku tahu ini berat. Tapi kamu harus ingat satu hal, sebuah kesalahan besar pun bukan berarti kamu tidak bisa memperbaikinya. Mungkin memang butuh waktu dan kerja keras. Tapi yang penting adalah kamu harus terus jujur dengan dirimu sendiri dan dengan Rika. Jangan hanya menunggu—tunjukkan bahwa kamu bisa berubah.”
Dwi terdiam sejenak, mencerna kata-kata Budi. “Aku tahu, Budi. Tapi aku merasa semua ini sudah terlambat. Rika sepertinya sudah mulai kehilangan harapan padaku.”
Budi terkekeh pelan, lalu berkata, “Tidak ada yang terlambat, Dwi. Kalau kamu memang mencintai dia, kamu harus buktikan dengan tindakan, bukan hanya kata-kata. Kadang-kadang, kita harus rela berjuang lebih keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan yang telah hilang.”
Dwi tersenyum, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. “Terima kasih, Budi. Aku akan berusaha.”
Setelah percakapan itu, Dwi merasa sedikit lega. Meskipun ia belum tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya, ia merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan dan berjuang. Namun, keputusan besar yang ia hadapi adalah apakah ia benar-benar bisa berubah dan menjadi sosok yang layak untuk Rika.
Keputusan itu datang lebih cepat dari yang ia duga.
Keesokan harinya, Rika mengirimkan pesan singkat padanya. Hanya satu kalimat yang membuat Dwi langsung merasakan detakan jantungnya semakin cepat.
“Dwi, bisa kita bicara lagi malam ini?”
Dwi tidak membuang waktu. Ia segera membalas dengan pesan singkat, “Tentu, Rika. Aku akan menunggu.”
Malam itu, mereka bertemu di tempat yang sama, kafe kecil di pinggir kota yang sudah banyak menyimpan kenangan indah mereka. Dwi datang lebih awal, menunggu dengan penuh harap. Ketika Rika akhirnya datang, wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun ada kesedihan yang masih tergurat di matanya.
Rika duduk di hadapan Dwi, dan mereka saling menatap dalam keheningan yang terasa berat. Dwi merasa ada sebuah jarak yang tidak bisa diukur, meskipun mereka berada di ruang yang sama.
“Ada yang ingin aku katakan, Dwi,” kata Rika akhirnya, dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Aku telah berpikir panjang, dan aku tahu aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan seperti ini. Aku merasa sangat terluka, dan aku merasa kehilangan diriku sendiri setelah semua yang terjadi. Tetapi, aku juga menyadari bahwa aku masih mencintaimu, meskipun rasanya sangat sulit untuk mempercayaimu lagi.”
Dwi menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Rika, aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku menyesal telah menyakiti kamu, dan aku bersedia berjuang untuk memperbaiki semuanya. Aku tidak tahu apakah itu cukup, tetapi aku ingin berusaha.”
Rika menunduk, menghela napas panjang. “Aku tahu kamu menyesal, Dwi. Tapi aku tidak bisa memberi kamu jaminan apapun. Kepercayaan itu bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam. Itu akan memerlukan waktu. Dan aku tidak tahu apakah aku akan mampu memaafkanmu sepenuhnya.”
Dwi merasakan berat di dadanya. “Aku mengerti, Rika. Aku akan menunggu. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku siap berubah untuk kita.”
Rika menatap Dwi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku akan memberikan kamu kesempatan lagi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi lagi kedepannya, tetapi aku ingin melihat apakah kamu benar-benar bisa berubah. Itu yang paling penting bagiku saat ini.”
Dengan kata-kata itu, mereka berdua terdiam, masing-masing mencerna apa yang baru saja diucapkan. Rika belum memutuskan apapun, tetapi ia memberinya kesempatan untuk menunjukkan perubahan. Dwi tahu bahwa ini bukan akhir, tetapi juga bukan awal yang mudah. Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan masih banyak hal yang harus diperbaiki.
Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Dwi merasa ada secercah harapan. Ia tahu jalan yang harus dilalui tidak akan mudah, tetapi ia siap untuk menghadapi tantangan itu, demi cinta yang masih ada di antara mereka.
**
