Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kepercayaan yang terkikis

"Aku salah lagi," pria berusia hampir tiga puluh tahun itu tampak depresi dan khawatir. Bagaimana tidak? Sang istri memergoki nya tengah bermesraan dengan rekan kerja wanita di kantor tadi.

Namanya Dwi, dia duduk di ruang kerja seraya memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Pekerjaannya sebagai manajer di perusahaan besar itu sudah hampir selesai, namun pikirannya melayang jauh. Sesekali ia mencuri pandang ke jam tangan, memikirkan waktu yang semakin larut. Namun, bukan pekerjaan yang mengganggunya, melainkan perasaan yang mulai mengganjal di dalam hatinya. Perasaan yang datang begitu perlahan, seperti angin yang tak terdengar, tapi terasa berat.

"Semoga saja dia tak ingat lagi kejadian tadi," harapnya.

Di luar tampak hujan deras mengguyur kota, menciptakan suara rintik yang menenangkan. Dwi menghela napas panjang, mencoba mengusir kegelisahan yang tiba-tiba saja menyelimutinya. Ia mengingat istrinya, Rika. Wanita yang telah menemaninya lebih dari lima tahun, penuh kasih dan perhatian.

"Kenapa kamu bodoh Dwi?" Ia memarahi dirinya sendiri.

Dwi menutup mata sejenak, merasakan berat di dadanya. Ia berpikir tentang Ika, rekan kerjanya yang baru. Ika bukanlah wanita yang cantik secara fisik, namun ada sesuatu dalam dirinya yang menarik perhatian Dwi. Senyumannya yang cerah, caranya berbicara yang menenangkan, membuat Dwi merasa lebih hidup. Tak terasa, mereka mulai sering menghabiskan waktu bersama, saling berbicara lebih dalam tentang pekerjaan, kehidupan, bahkan mimpi-mimpi yang mereka miliki. Dwi merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Namun, ada perasaan bersalah yang mengikutinya setiap kali ia bertemu Ika. Ia mencintai Rika, istrinya yang selalu setia, tetapi perasaan itu seakan memudar. Seperti sebuah cahaya yang redup, tak mampu lagi menerangi hati Dwi yang gelap.

"Lebih baik aku segera pulang?" Dia berujar sembari menarik tas laptop dan tas besar yang biasa ia isi berkas-berkas penting.

Pikirannya sedang kacau balau, ia ketakutan juga jika Rika akan berhenti menyambutnya seperti biasa.

Dalam perjalanan pun ia nyaris menabrak tembok pembatas.

"Damn..," celetuknya, ketika mendengar dentuman besar." Ah, semua kacau."

Berusaha lebih tenang, ia kembali mengemudikan mobilnya.

**

Pulang ke rumah, ia menemukan Rika sedang menyiapkan makan malam. Wanita itu terlihat sibuk di dapur, memotong sayuran dengan cekatan. Wajahnya masih begitu cantik meski tanpa riasan, senyum manis yang selalu menghiasi setiap langkahnya. Dwi merasa cemas, tetapi ia mencoba menutupi kegelisahannya.

"Sudah lama di kantor?" tanya Rika, tanpa menoleh." Baguslah masih ingat pulang," entah ingin menyindir atau apa.

Dwi hanya mengangguk, meski sebenarnya ia merasa baru saja meninggalkan ruang kerja beberapa menit lalu. Ia kemudian mendekati meja makan, duduk tanpa banyak bicara. Rika meliriknya, dan Dwi bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Istrinya mulai menyadari perubahannya, meskipun ia tidak mengatakannya secara langsung.

Rika menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan, tapi Dwi mengalihkan pandangannya, merasa tidak sanggup menghadapi tatapan itu.

"Apa kamu capek?" Rika bertanya lagi, kali ini lebih lembut.

Dwi menatap wajah istrinya, merasa semakin tenggelam dalam perasaan bersalah. Rika tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Rika tidak tahu tentang Ika, tentang perasaan yang semakin tumbuh di dalam dirinya, tentang segala keraguan yang mulai mengisi setiap sudut hatinya.

"Capek sedikit," jawab Dwi dengan suara pelan, meski hatinya dipenuhi rasa cemas yang terus menggerogoti.

Namun, yang Dwi tak tahu adalah Rika mulai merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ada sesuatu yang hilang dari suaminya, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rika mulai curiga, meski ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Ia tahu Dwi mulai menjauh, tetapi ia memilih untuk diam, berharap perasaan itu hanya sementara.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Dwi merasa semakin terhimpit oleh perasaan bersalah yang semakin berat. Setiap kali ia pulang ke rumah dan melihat Rika, ia merasa semakin jauh dari wanita itu. Meski Rika selalu menyambutnya dengan hangat, hatinya terpecah, seperti dua dunia yang tak bisa bersatu. Di kantor, ia semakin sering berhubungan dengan Ika. Mereka mulai lebih sering makan siang bersama, saling berbagi cerita tentang hidup dan pekerjaan. Dwi tak bisa menyangkal, perasaan itu semakin mendalam. Ika memberinya perhatian yang selama ini hilang dari hubungan dengan Rika.

Tapi, di rumah, Rika selalu memperhatikan setiap perubahan kecil pada dirinya. Ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda, meskipun Dwi tidak pernah mengungkapkannya secara terang-terangan. Suatu malam, saat mereka duduk di ruang tamu sambil menonton televisi, Rika memandangi suaminya. Dwi tampak lebih diam dari biasanya, matanya kosong, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri.

"Kenapa kamu jadi pendiam, Dwi?" Rika bertanya, suaranya lembut namun ada sedikit kecemasan." Tenang saja, aku tak akan mempermasalahkan soal kejadian tadi," imbuhnya.

Dwi menoleh sebentar, mencoba tersenyum, namun senyumnya terasa dipaksakan. "Emmm, itu-u,"

Rika tahu itu bukan alasan yang cukup. Ia merasa seperti ada tembok yang terbentuk di antara mereka, dan Dwi semakin menjauh. Seringkali, saat mereka duduk bersama, Rika merasakan kesendirian yang tak bisa ia hindari. Ia tahu ada sesuatu yang hilang, meski Dwi tidak mengatakannya.

Beberapa malam kemudian, Rika memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia merasa bingung, tidak tahu harus berbicara dengan siapa, atau bagaimana mengungkapkan perasaannya. Malam itu, setelah Dwi tertidur, Rika mengambil ponsel suaminya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ia tahu ini mungkin salah, tetapi hatinya merasa tidak tenang.

Dengan tangan gemetar, Rika membuka ponsel Dwi. Pertama-tama, ia melihat pesan masuk dari Ika. Senyuman Ika yang selalu terngiang di kepala Dwi terlihat jelas dalam setiap kata yang mereka tukar. "Aku merindukanmu, Dwi," salah satu pesan yang tertulis. Rika menelan ludahnya, merasa sesak di dada. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan, tetapi jelas sekali bahwa Dwi tidak lagi setia.

Setelah beberapa pesan lagi, Rika akhirnya menutup ponsel itu dan meletakkannya kembali di meja. Ia merasa hatinya seperti terkoyak. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi pertanyaan. Semua itu sudah jelas. Dwi telah mengkhianatinya. Semua yang ia lakukan selama ini, semua pengorbanan yang ia berikan, ternyata tak cukup untuk mempertahankan cinta Dwi.

Rika duduk di tempat tidur, menatap kosong ke dinding. Air mata mulai mengalir perlahan di pipinya. Ia merasa hancur. Tidak hanya karena Dwi mengkhianatinya, tetapi juga karena ia merasa begitu bodoh, tidak menyadari bahwa selama ini ada sesuatu yang salah. Ia merasa seperti terperangkap dalam kebohongan yang dibangun oleh suaminya.

Keesokan harinya, Dwi datang dengan wajah lesu, seolah tidak ada yang terjadi. Ia mencoba berbicara dengan Rika seperti biasa, namun Rika tidak bisa lagi berpura-pura. Ia tahu sudah waktunya untuk berbicara.

"Kenapa, Dwi?" Rika bertanya, suaranya tertahan namun tegas. "Kenapa kamu melakukannya?"

Dwi terkejut, tetapi ia tidak bisa mengelak. Ia tahu bahwa waktu ini akan datang. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Ia menunduk, merasa malu. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," jawab Dwi, suaranya serak.

Rika menatapnya dengan mata yang penuh luka. "Kamu sudah berubah, Dwi. Aku tidak tahu siapa lagi yang duduk di hadapanku sekarang. Apa kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi? Apa kamu pikir aku bodoh?"

Dwi terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia ingin meminta maaf, ingin mengungkapkan betapa menyesalnya dia, namun kata-kata itu terasa sangat kosong. Ia tahu Rika sudah tidak bisa menerima penjelasan apapun.

"Aku tahu tentang Ika," lanjut Rika, suaranya rendah namun jelas. "Aku tahu semua tentang apa yang kamu lakukan di belakangku."

Dwi merasakan dunia seakan runtuh. Tidak ada yang bisa ia katakan lagi. Ia merasa tidak pantas berada di dekat Rika. Semua yang telah ia lakukan, semua kebohongan yang ia buat, kini telah terbongkar.

Rika berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu. "Aku butuh waktu, Dwi. Waktu untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku sudah cukup dengan semua ini."

Dwi hanya bisa menatap punggung istrinya yang semakin menjauh.

"Ada apa?" Ia membatin.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel