Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mulai Tergoda Lagi

" Hai Pak Dwi, mau makan bareng gak," sebuah ajakan yang terdengar sangat menggoda, dari seorang wanita berpostur padat." Tumben wajahnya lebih ceria, gak kayak kemaren?" tandasnya lagi.

"Eh Ika, biasalah aku lagi happy," balas Dwi, seraya menatap intens lekukan tubuh Ika.

" Menang arisan atau---"

" Gak usah dibahas, yuk ke kantin, kebetulan aku mau kesana," ajak Dwi. Entah lupa atau memang dia sudah tergoda kembali menggoda mantan kekasihnya itu. Walaupun Dwi berjanji ingin memperbaiki diri, tapi malah kumat kembali.

Berjalan berdampingan, ia dan Ika mulai membuat candaan, sampai ia tak sadar telah Budi.

"Ealah, gak takut kepergok lagi nie bocah," celetuk Budi, ia juga memilih menghindari keduanya.

**

Hari-hari berlalu. Setiap pagi dirumahnya, Dwi berusaha lebih keras untuk menjadi suami yang lebih baik. Ia juga memulai rutinitasnya dengan melakukan segala sesuatunya dengan lebih hati-hati, mencoba untuk tidak mengecewakan Rika lebih jauh lagi. Namun, meskipun ia berusaha dengan sungguh-sungguh, ia tahu bahwa waktu adalah lawan yang tak terhindarkan. Rika membutuhkan waktu, dan itu adalah hal yang tidak bisa dipaksakan.

"Lebih baik aku jemput Rika untuk pulang, jadi kangen juga," selorohnya.

Pada sore harinya, Dwi memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya Rika. Ia merasa bahwa mungkin ini adalah langkah yang tepat untuk menunjukkan niat baiknya. Ia tahu bahwa percakapan antara mereka berdua mungkin akan sulit, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan bahwa ia serius dalam memperbaiki kesalahannya.

Setelah beberapa menit menunggu di ruang tamu rumah ibu Rika, akhirnya Rika muncul. Ia mengenakan pakaian santai, namun ada kecemasan di wajahnya yang tidak bisa disembunyikan. Dwi berdiri, mencoba memberikan senyuman yang tulus, meskipun hatinya berdebar.

“Aku datang untuk berbicara, Rika,” kata Dwi, mencoba membuka percakapan.

Rika memandangnya sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Silakan, Dwi. Aku mendengarkan.”

Dwi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Aku tahu aku sudah banyak menyakitimu, dan aku ingin meminta maaf dengan sepenuh hati. Aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin berubah. Aku akan melakukan apa pun yang aku bisa untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi suami yang pantas untukmu.”

Rika tidak langsung menjawab. Ia menatap Dwi dengan mata yang dalam, seolah sedang mencari sesuatu di dalam dirinya. Dwi merasa seolah-olah ia sedang diuji, dan ia tidak bisa lari dari kenyataan itu.

“Apa yang kamu maksud dengan ‘berubah’?” akhirnya Rika bertanya, suaranya sedikit lebih rendah. “Kamu pikir, dengan meminta maaf dan mengatakan bahwa kamu ingin berubah, itu akan cukup untuk memperbaiki semuanya? Kamu tahu, Dwi, kepercayaan itu tidak datang begitu saja. Itu harus dibangun dari awal, dan aku tidak tahu apakah aku bisa percaya lagi padamu.”

Dwi terdiam. Kata-kata Rika terasa seperti tamparan yang menyakitkan, namun ia tahu itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Ia tidak bisa berharap bahwa semuanya akan kembali normal dalam semalam. Ia harus bekerja keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Rika, meskipun itu akan membutuhkan waktu yang sangat panjang.

“Aku mengerti, Rika,” kata Dwi dengan suara yang lebih rendah. “Aku tidak bisa meminta kamu untuk percaya padaku langsung. Itu harus dibangun pelan-pelan. Tapi aku akan berusaha keras untuk menunjukkan bahwa aku serius. Aku ingin menjadi orang yang pantas untukmu, dan aku tahu itu tidak akan mudah. Aku siap berjuang.”

Rika menatapnya, wajahnya tampak ragu, namun ada sedikit kelembutan di matanya. “Aku tidak tahu, Dwi. Aku butuh waktu. Aku juga butuh melihat perubahan nyata. Kata-kata saja tidak cukup. Tindakanmu yang akan menentukan segalanya.”

Dwi mengangguk, merasa sedikit lebih lega meskipun ada rasa cemas yang masih mengganggunya. “Aku akan membuktikan itu. Aku akan berusaha menjadi pria yang bisa kamu percayai lagi.”

Setelah percakapan itu, Rika kembali ke dalam rumah ibunya, meninggalkan Dwi dengan perasaan campur aduk. Meskipun ia merasa sedikit diberi harapan, Dwi tahu bahwa ia belum sepenuhnya diterima kembali. Namun, ia tidak boleh menyerah. Jika ia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka, ia harus melakukan lebih dari sekadar kata-kata. Ia harus menunjukkan melalui tindakan bahwa ia benar-benar menyesal.

Hari demi hari, Dwi berusaha untuk berubah. Ia mulai lebih peduli pada Rika, lebih terbuka, dan lebih perhatian. Ia berusaha untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini membuat Rika merasa terabaikan. Ia membantu pekerjaan rumah tanpa diminta, memberikan perhatian lebih pada hal-hal kecil yang selama ini ia anggap remeh. Ia bahkan mulai lebih sering mengajak Rika berbicara tentang masa depan mereka, mencoba untuk merencanakan hidup bersama dengan lebih baik.

Namun, meskipun Dwi berusaha dengan keras, ada kalanya ia merasa frustasi. Setiap kali ia mencoba membuka hati Rika, ada tembok tebal yang menghalangi. Rika masih terlalu terluka, masih terlalu ragu untuk sepenuhnya membuka diri. Dwi merasa seolah-olah ia sedang berjalan di atas tali yang rapuh, tak tahu kapan semuanya bisa runtuh lagi.

Pada suatu malam, saat mereka duduk berdua di ruang tamu, Rika akhirnya berbicara lagi.

“Dwi,” katanya, suaranya pelan, “aku melihat kamu sudah berusaha keras, dan aku tahu kamu merasa menyesal. Tapi aku harus jujur. Aku masih merasa ada yang hilang di antara kita. Aku ingin mempercayaimu, tetapi aku takut. Aku takut jika aku memberikan hatiku lagi, kamu akan mengkhianatiku sekali lagi.”

Dwi merasa hatinya seakan tercabik mendengar kata-kata itu. Ia tahu betapa sulitnya bagi Rika untuk mempercayainya lagi. Tetapi ia juga tahu bahwa hanya dengan waktu dan kesabaran, mereka bisa melewati ini bersama.

“Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi, Rika,” kata Dwi dengan penuh keyakinan. “Aku berjanji, aku tidak akan pernah membuatmu merasakan rasa sakit yang sama. Aku akan menunggu, apapun yang terjadi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu.”

Rika terdiam lama, menatap Dwi dengan tatapan yang sulit dimengerti. Akhirnya, ia menghela napas panjang. “Aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang, Dwi. Tapi aku akan coba memberikan kesempatan. Aku akan mencoba untuk percaya lagi.”

Dwi merasa hatinya sedikit lega. Meskipun masih ada banyak keraguan dan ketidakpastian, kata-kata Rika memberikan sedikit harapan. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun kali ini, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapinya.

Minggu-minggu berikutnya berlalu dengan penuh upaya dan ketegangan. Dwi terus berusaha keras untuk menunjukkan kepada Rika bahwa ia memang berubah. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, merapikan rumah, menyiapkan sarapan, dan mencoba berbicara lebih banyak tentang hal-hal yang penting bagi Rika. Ia mencoba untuk tidak hanya menjadi suami yang lebih baik, tetapi juga teman yang lebih baik, seseorang yang bisa dia ajak berbicara dan berbagi tanpa takut ada kebohongan.

Namun, meskipun Dwi memberikan segala yang dia bisa, ia merasakan jarak yang semakin besar. Rika menerima semua itu dengan tenang, tidak ada penolakan atau pertentangan, tapi juga tidak ada tanda-tanda bahwa ia merasa lebih dekat dengan Dwi. Rika mulai terbiasa dengan perubahan yang ada, tapi hatinya masih terlalu terluka untuk benar-benar membuka diri.

Pada suatu sore, setelah seminggu penuh dengan rutinitas yang sama, Dwi kembali berusaha untuk membuka percakapan. Mereka duduk di ruang tamu, masing-masing dengan segelas teh hangat di tangan. Suasana yang sebelumnya selalu diwarnai dengan canda tawa kini terasa sunyi dan berat.

“Rika, aku tahu ini tidak mudah untukmu,” Dwi memulai, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Aku tahu kamu masih merasa ragu, dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berjuang untuk kita.”

Rika menunduk sejenak, merenung, kemudian menatap Dwi dengan tatapan yang lebih lembut dari sebelumnya. “Dwi, aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan lagi. Kamu memang berusaha, dan aku melihat itu. Tapi kadang-kadang, meskipun kamu berubah, ada bagian dari diriku yang merasa seolah-olah kita sudah terlalu jauh. Aku merasa seolah-olah aku sudah kehilangan diriku sendiri dalam hubungan ini.”

Ia merasakan sakit di dadanya, mendengar kata-kata itu. Ia tahu betul bahwa Rika tidak berbicara tanpa alasan. Ia merasa bahwa Rika mulai merasa terputus dari dirinya, seperti ada dinding tak kasat mata yang semakin menghalangi mereka.

“Aku tidak ingin kamu merasa kehilangan dirimu sendiri, Rika. Aku ingin kita berjalan bersama. Aku ingin kita kembali menemukan kebahagiaan yang dulu ada. Jika aku harus mengubah diriku lebih banyak lagi, aku akan melakukannya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah berhenti berusaha,” ujar Dwi, matanya penuh harapan.

Rika terdiam sejenak, menghela napas berat. “Aku ingin percaya padamu, Dwi. Tapi aku merasa bingung. Rasanya seperti kita sedang berjalan di tempat yang sama, tanpa ada kemajuan. Aku butuh lebih dari sekadar kata-kata. Aku butuh bukti nyata.”

Dwi mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku tahu. Aku tahu, Rika. Itu sebabnya aku akan menunjukkan kepadamu bahwa aku tidak hanya bisa bicara. Aku akan mulai membuat langkah-langkah kecil yang lebih konkret. Aku akan mengubah cara kita menjalani hidup bersama, bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk kamu.”

Rika tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menundukkan kepalanya dan menatap cangkir tehnya yang hampir kosong. Dwi tahu ini bukan akhir dari perjalanan mereka, tetapi juga bukan titik terang yang ia harapkan. Rika belum bisa menerima sepenuhnya perubahan itu, dan ia masih terjebak dalam keraguannya sendiri. Mungkin, waktu adalah hal yang paling dibutuhkan—waktu untuk menyembuhkan luka, waktu untuk membangun kembali kepercayaan.

Beberapa hari kemudian, Dwi memutuskan untuk membawa Rika ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi: taman yang berada di tepi kota, tempat mereka biasa berjalan-jalan berdua, bercakap-cakap tentang impian dan harapan. Ia ingin mengembalikan kenangan indah mereka, berharap itu bisa memberi sedikit kehangatan pada hubungan mereka.

Ketika mereka tiba di taman, suasana terasa berbeda. Pohon-pohon yang dulu mereka lewati berdua kini tampak lebih tinggi, lebih lebat, dan jalur setapak yang dulu mereka lalui bersama kini terasa lebih panjang. Namun, Dwi tahu bahwa mereka harus memulai dari sini. Ia mengulurkan tangan kepada Rika, berharap Rika akan menggenggamnya, meskipun dengan ragu.

Rika menatap tangan Dwi, lalu memandang wajahnya dengan hati-hati. “Kenapa kamu begitu bersikeras untuk memperbaiki semuanya, Dwi? Kenapa kamu tidak menyerah saja? Kenapa kamu tidak pergi dan mencari kebahagiaanmu sendiri?”

Dwi menggenggam tangan Rika dengan lembut. “Karena kamu adalah kebahagiaanku, Rika. Dan aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan. Tapi aku percaya bahwa kita masih bisa kembali ke jalan yang benar. Aku tidak akan pernah menyerah, apapun yang terjadi.”

Rika terdiam, seolah berpikir keras. Lalu, akhirnya ia menggenggam tangan Dwi, meskipun masih ada keraguan di matanya. “Aku tidak tahu bagaimana semuanya akan berakhir, Dwi. Tapi aku akan memberikanmu satu kesempatan lagi, untuk membuktikan bahwa kamu bisa berubah, dan kita bisa bersama lagi.”

Dwi merasa beban yang berat di dadanya sedikit terangkat. Walaupun perjalanan mereka masih panjang dan penuh ketidakpastian, setidaknya Rika memberikan sedikit harapan, sedikit ruang bagi Dwi untuk memperbaiki semuanya.

“Terima kasih, Rika. Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi pria yang pantas untukmu. Aku akan melakukannya dengan seluruh hatiku.”

Mereka berjalan berdua di taman itu, meskipun langkah mereka masih terasa berat dan penuh keraguan. Namun, setiap langkah yang mereka ambil adalah langkah menuju pemulihan, menuju kesempatan kedua yang masih ada di depan mereka.

Dwi tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan mereka, tetapi sebuah awal baru yang penuh harapan, meskipun masa depan masih buram, lantaran ia masih bermain api dengan Ika secara diam-diam lagi.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel