Bab 3 Bau Terasi
“Azka sudah dibawa mertuamu, Mbak Rahma.”
“Itu lebih baik, Bu Ida. Sekarang Rahma nggak tahu harus apa, biar Azka tenang dulu di sana.”
“Iya, pikiran logis begitu yang harus kamu pertahankan. Hadapi dulu urusan ini sampai selesai, kami sebagai warga yang sudah menganggapmu saudara tidak akan membiarkanmu sendiri.”
“Terima kasih banyak, Bu.” Mata redup itu memancarkan rasa haru.
Di saat orang tuanya juga menyalahkannya, masih ada tetangga baik yang tulus perhatikannya.
“Sama-sama, ayo dimakan dulu supnya. Itu ayam kampung, habiskan kuahnya mumpung masih hangat. Kita masih nunggu kabar kapan mereka siap bertemu. Ini harus bertemu semua. Kamu, Harlan sama … Safea.” Sedikit tercekat suaranya menyebut nama adik Rahma itu, mengingat buruk kejadian tadi siang.
Wanita berwajah pucat ini berusaha menarik lengkung senyum. Senyum pahit.
Tadi ia ditelepon, bukan dukungan atas keadaannya malah kalimat bernada sengit, dari bapak juga ibunya. Mengundang tetangga menangkap basah adik dengan suaminya dianggap sangat salah.
Kamu dengar jelas ini, Rahma! Kami sakit hati dengan perbuatanmu dibanding perbuatan Safea. Lebih sakit!!
Kalimat lelaki tua yang sangat ia hormati itu terasa begitu menusuk, mengiris luka yang sudah terbuka dalam lalu meyiramnya dengan segelas cuka. Sakit.
Dari yang ia dengar, cakaran kuku yang sebulan terlupa dipotong itu melukai kulit mulus sang adik. Tangan, wajah, leher, pun kepala remaja baru beranjak dewasa itu sakit hingga sekarang.
Kamu itu memalukan keluarga saja!
Agh! Andai bisa menahan diri kemarin … tapi hatinya kembali membantah tidak bisa terima perbuatan Safea pada suaminya.
Ini kelakuan gadis tidak punya otak, orang tidak sekolah saja pasti mikir jutaan kali melakukan. Ini? Sekolah pintar, kenapa sampai tidak ingat itu suami kakak sendiri?!
Geram lagi mendesak di dadanya.
Ini bukan sakit biasa. Rasanya lebih dari amarah untuk Rahma. Ia tak begitu cinta lagi pada suami yang banyak menanam benih beban di hati, tapi untuk Safea … ia merasakan penyesalan luar biasa.
Adik yang diharap bisa mengangkat nama keluarga, berakhir tragis.
Lelaki yang merusak adiknya bukanlah orang yang bisa diandalkan.
Putus kerja karena ketahuan menyelip uang dari tiap laporan, awalnya dibiarkan ternyata sebuah jebakan untuk bukti kuat mengeluarkannya tanpa pesangon. Masih beruntung pihak kantor tidak menyeretnya ke penjara.
Atas nama dukungan pada suami Rahma rela meninggalkan cicilan barang yang masih jauh dari kata lunas. Ia merugi, uang tagihan beralih untuk bayar kerugian perusahaan, pun gaji Harlan tak diberi sepeser jua.
Setelahnya lelaki yang diharap semangat mencari pekerjaan baru, malah ongkang-ongkang kaki sampai isi dompet kering. Warung yang dibuka Rahma lah untuk mengepulkan asap di dapur.
Mertua yang berkecukupan seperti sengaja lama tidak mengunjungi mereka. Hanya keluarganya sendiri yang perhatian sering mengirim makanan. Namun, malah ada kejadian begini menimpa.
Lelah hatinya sudah menumpuk pada lelaki itu. Motor dijual suami bulan lalu, ternyata untuk bantu biaya sekolah adiknya. Rahma masih bisa marah sekejap lalu hilang demi menjaga ketentraman Azka, tapi kejadian tadi berhasil meledakkan semuanya.
Malam ini masih di tempat Bu Ida, Rahma menenangkan diri. Ia berusaha tidur sambil berurai air mata.
Azka pasti nangis, biasa punggungnya dielus sampai lelap.
Rahma mencoba tegar meski merasa ada yang hilang dari hati.
*
“Biar mulut mereka menyalahkanmu, tapi yakin aja hati mereka sebenarnya tahu kamu benar, Rahma.”
Dukungan kalimat Bu Ida menambah optimisnya ia bisa melalui semua dengan tenang.
“Sudah siap?” Bu Ida bertanya sebelum mereka berangkat ke rumah Pak RT.
Pagi ini jam Sembilan pertemuan itu dilaksanakan.
“Lihat apa yang kamu lakukan?! Lihat, sedunia jadi tahu!!”
Terhuyung Rahma hampir jatuh mendapat serangan dari ibunya. Ia melihat kondisi Safea yang ditunjuk ibunya sangat miris.
Gadis di kursi itu tertunduk, tapi terlihat pipi kanannya bergaris panjang acak, luka cakaran kuku dalam. Di lengan, juga leher. Terlihat jelas karena rambut panjangnya dikuncir satu. Mungkin sebagai bukti kesalahannya. Rahma menghela napas, mengepal telapak keras.
Itu belum seberapa, Bu, dibanding sakit hati ini!
“Sabar Bu Tami, Rahma ini tidak sepenuhnya salah,” bela Bu Ida.”
Dengkus kasar terlepas dari wanita paruh baya berkulit putih, ia kembali duduk di dekat Safea yang tak berani mengangkat wajah.
Suasana makin tegang saat kehadiran keluarga Harlan. Gaya mentereng baju tabrakan warna merah kuning terang, juga suara gemerincing gelang khas Bu Mira saat masuk. Ia datang bersama satu anak perempuan dan putranya.
“Kurang aj*r kamu Harlan!” Bapak Rahma emosi melihat gaya menantu berkacamata hitam itu, sikapnya seolah tanpa rasa bersalah.
“Yang kurang aj*r itu anak-anakmu!” sengit Bu Mira tak mau kalah. Apalagi melihat ada Rahma di situ mulailah makian keluar tanpa peduli ada empat perwakilan warga yang siap melerai mereka.
“Ingat semua, kita sudah sepakat tidak membawa masalah ini ke jalur hukum. Saya menghargai keinginan keluarga. Tapi kalau tidak mau dingin ya terpaksa saya lepas tangan!” Penuh penekanan suara Pak RT membungkam mulut-mulut yang mulai memuntahkan kalimat sakti, nama hewan dan lainnya.
Rahma diam demi kondusif suasana, ia memfokuskan pikiran demi Azka semua harus selesai. Apa pun hasilnya.
Lelaki tinggi yang khas dengan bekas jerawat di wajah itu hanya diam di tempat. Nyeri punggungnya tak seberapa, andai semua tahu ia sangat terpaksa datang lagi ke sini. Teringat selimut yang melilit pinggangnya jatuh perlihatkan ‘senjata’ yang masih berdiri saat Rahma membabi buta menusuk punggungnya. Itu lebih memalukan dibanding ketahuan selingkuh, pikirnya.
Sakit luka bisa hilang, tapi ‘miliknya’ ditonton warga itu akan terasa memerahkan muka seumur hidup.
Setelah semua sudah lengkap dan bisa menahan diri untuk tidak menyela pembicaraan, Ketua RT mulai membuka suara.
Di awali dari duduk permasalahan, Harlan selingkuh dengan adik ipar.
“… dua bulan, Pak ...” Sambil menyugar rambut, lelaki yang tak mau melepas kacamata itu menjawab pertanyaan berapa lama berhubungan dengan Safea. “berhubungan sudah puluhan kali,” lanjutnya santai. Mendapat dukungan desis murahan keluar dari ibunya.
Orang tua Rahma menegang menahan beban malu luar biasa.
Sementara kepalan tangan Rahma makin mengeras. Ia mulai gelisah menahan diri. Harlan benar-benar lelaki sialan yang merendahkan dirinya dan adik. Andai tahu begini, harusnya kemarin dihabisi sekalian manusia tanpa guna itu.
“Fea mau Mas Harlan nikahin-“
“Safea?!” Rahma memekik, Bu Ida langsung menahan tangannya meminta kembali duduk.
Ibu bapaknya juga protes kemauan anaknya itu. Lebih baik rusak menahan malu daripada menikahi lelaki sudah jelas rusak adabnya.
“Lepasin diri kamu dari lelaki busuk ini! Kamu bisa nyesal!” berurai air mata Rahma mengingatkan adiknya.
Cukup aku saja yang merasakan, Fea … gimana pun kakak menyayangimu ….
“Nggak bisa, Mas Harlan janji nikahin Fea, ya ‘kan, Mas?” Semua mata memandang lelaki yang tertegun.
“Fea hamil, Mas!” isak gadis itu tiba-tiba. Mengguncang hati semua, terutama Rahma yang langsung merasa dipukul pentungan kepalanya.
Lelaki kurus di sebelah ujung kursi terkulai lemas, begitu pun Bu Mira sama kagetnya langsung sesak napas. Asma akutnya kumat seketika.
Panik, riuh tangis, dan pekik amarah bercampur. Seakan tak ada kesempatan lagi dua keluarga ini tertawa setelah ini. Cobaan begitu berat bertubi-tubi.
Rahma hampir tak bisa berdiri andai kekuatan tersembunyi dalam dirinya tak muncul.
Aku harus kuat demi keluarga demi anakku. Kejadian ini mungkin juga berawal dari kesalahanku.
Aku gak cinta lagi sama Rahma, badannya bau terasi, makanya cari yang segar. Sebagai lelaki itu wajar ‘kan, Pak?
Pernyataan gamblang Harlan tadi, alasannya menyelingkuhi sang adik begitu telak menghancurkan hatinya berkeping-keping.
Matanya nanar memandangi bapak yang tak sadar, di dalam mobil warga menuju rumah sakit terdekat.
Maafkan Rahma, Pak ….
