Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Disalahkan

Di halaman rumah, Rahma melihat suami dan adiknya digiring warga keluar untuk mendapat pertolongan pada Harlan yang terluka. Tanpa rasa kasihan melihat si lelaki berwajah bopeng itu meringis sakit, ia menyambar sepatu entah milik siapa di lantai, melemparkan tepat mengenai muka Harlan.

Bukk!!

Tak urung pria itu melonglong kesakitan.

Belum puas, Rahma melihat Safea yang menangis dalam kondisi awut-awutan kembali akan menarik adiknya itu. Namun, emosi brutal berpangkal dari sakit hatinya bisa dihalangi warga.

Untuk sementara Rahma ditenangkan di rumah salah seorang tetangga. Sementara Safea dan Harlan yang babak belur dibawa untuk ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan.

*

“Mana Rahma, mana?!”

Keesokan hari, ada suara melengking perempuan di depan rumah Bu Ida. Nama yang mereka serukan membuat pemilik rumah cukup terkejut.

“Dari mana mereka tahu Mbak Rahma di sini?”

"Mungkin ada yang kasih tau, Bu."

“Ya sudah, tunggu di sini aja, Mbak. Nanti ibu yang temui. Tenangkan diri kamu jangan dikuasai emosi lagi."

Tamu tak diundang itu sudah masuk sampai ruang tamu.

“Mana Rahma? Kenapa disembunyikan set*n itu!”

“Ada apa ribut-ribut? Kalian langsung masuk rumah orang begini?” tegur Bu Ida dengan wajah menampakkan tidak suka.

“Kami cari set*n yang nusuk anak laki-lakiku. Mana perempuan ibl-“

Plakk!!

Suara rotan pemukul Kasur, yang ujungnya menyerupai kipas, dipukulkan Bu Ida pada meja di dekatnya. Sejenak menghentikan suara tiga wanita yang dikenalnya. Ibu mertua dan dua adik ipar Rahma.

Selain membungkam mulut, pukulan rotan ini juga memerahkan muka mereka yang berdandan cantik. Tampilan ala kondangan.

“Jangan bikin ribut di rumah saya, kalau diteruskan saya akan laporkan, ada undang-undang yang kalian langgar. Mengganggu ketenangan orang lain.”

"Kami cari Rahma. Mana dia?!" Suara mama mertua Rahma, yang suka berpakaian tabrak warna terang--merah kuning hijau biru bercampur jadi satu--itu sedikit diperlemah.

"Tanya boleh, tapi silakan duduk dulu, Bu Mira."

Setelah menunjuk kursi di ruang tamu, Bu Ida memanggil seseorang di belakang. Tak lama, remaja perempuan berlari kecil menghampiri.

“Panggilkan Pak Eko ke sini, tolong cepat, gitu ya."

"Ya, Nek."

Melewati ruang tamu, gadis berambut kriwil itu menoleh pada tamu-tamu eyangnya. Tepat saat tiga orang di sana mengangkat dagu, menatapnya bengis, mulut merah basah mereka maju beberapa senti. Anak itu melongo sesaat.

"Pemeran antagonis di sinetron kapal terbang, ya?" desisnya hanya terdengar telinganya sendiri.

“Tunggu sebentar sampai Pak RT datang, kita bicarakan semua baik-baik.”

Kalimat itu dijawab gemerincing gelang milik Bu Mira, yang digerakkan dengan sengaja. Hening hanya selewat saja, karena kemudian wanita itu dan dua gadisnya mulai menggerutu lagi.

Melihat Bu Ida mendekati mereka, salah satu adik Harlan berucap, “Ibu tau Mas Harlan dijahit punggungnya? Kenapa warga sini kok kayak mau melindungi pembunuh?"

"Apa maksud Adek dengan pembunuh?"

"Lah, orang itu pasti mau bunuh Mas Harlan! Apa maksudnya coba nusuk orang kalau bukan mau bunuh?"

"Ya, bener tuh! Masa gitu aja nggak tau," timpal gadis yang lebih muda.

Bu Mira pun membenarkan kata-kata kedua putrinya.

Anak muda kok tidak punya sopan santun, benak Bu Ida, ia kemudian tak menanggapi racauan tiga orang itu.

Percuma ia bicara, satu kata miliknya akan dijawab ratusan kata mereka. Melawan orang yang pandai bersilat lidah, biar benarpun akan kalah.

Kasihan Mbak Rahma, bertahun-tahun bersinggungan dengan orang-orang ini, benaknya lagi.

Warga di sekitar sangat mengenal sifat Rahma. Pribadi ramah dan pekerja keras. Penampilan terkesan cuek apa adanya, tapi jiwa keibuannya tinggi. Ia mampu menggowes sepeda jarak jauh sambil gendong anak, demi mencari rupiah.

Bu Ida teringat dulu, awal kenal Rahma dan Harlan. Pasangan muda itu menempati rumah nomor 17, sekitar 100 meter dari sini. Mereka tampak sangat mandiri saat itu, selain Harlan bekerja di perusahaan, jualan pakaian yang dijalankan Rahma banyak peminatnya.

Namun, saat toko emas milik orang tua Harlan jatuh, bersamaan itu bapaknya meninggal, ekonomi Harlan mulai dikuasai ibu dan adiknya. Itu Bu Ida dengar dari berita angin, tapi diam-diam percaya setelah melihat beban Rahma kemudian.

Menantu makin kurus dan berpakaian seadanya, mertua dan dua iparnya kian bergaya mentereng.

Rahma tak pernah cerita, tapi wanita baik ini pernah melihatnya hanya makan pakai nasi dan garam, sebulan setelah Harlan diberhentikan bekerja, dan usaha kredit Rahma macet total. Alasannya makan tanpa lauk, karena harus irit. Yang penting susu Azka, dan modal belanja isi barang jualan.

Kasihan Rahma ... sekarang dia korban, tapi juga dipersalahkan.

“Ya ampuuun, sampai kapan kita dikacangin begini? Mana si Rahma itu, biar keluar sini!”

Suara itu mengembalikan Bu Ida dari lamunan. Bertepatan dengan sebuah motor masuk pekarangan. Wanita ini mengembuskan napas lega. Rahma memang ia sembunyikan biar tetap aman, urusan harus melalui perangkat warga. Menjaga tidak terjadi keributan lagi.

Suasana kemudian panas lagi. Tiga wanita bermulut bebek itu protes, merasa warga tidak memihak Harlan yang menjadi korban. Mereka menyela suara Pak Eko yang menjelaskan duduk masalah di awal.

“Yang salah perempuan jelek itu, Pak. Nggak becus jaga laki! Makanya Masku lirik yang lain!”

Gadis usianya kira-kira di bawah dua puluh itu tetap membela Harlan.

"Mbak Rahma lakukan itu spontan, karena ada sebabnya, Mbak-"

“Alahh, itu alasan aja, Pak! Pokoknya saya tidak terima anak saya luka!”

“Mana dia suruh keluar! Biar ditusuk juga tau rasa!” Adik Harlan lain menimpali ucapan ibunya.

“Cakar mukanya juga!”

Mulut mereka masih bersahutan sendiri, membuat geram para bapak yang hadir.

Pak Eko tiba-tiba berdiri, membuat mereka langsung terdiam.

“Kalau Ibu dan Mbak-mbak ini mau bawa ke ranah hukum silakan. Biar pihak berwajib bertindak. Nanti akan kelihatan siapa yang paling bersalah.”

Sekejap hening. Bu Mira dan dua putrinya saling pandang.

“Jangan sampai ke polisi, Pak.” Wanita bertubuh gempal itu melunak. “Maksud kami, harusnya ini jadi urusan keluarga saja. Warga tidak perlu ikut campur. Ini semua kan gara-gara--"

“Sudah kalau begitu! Jika memang ini mau diselesaikan secara kekeluargaan, makanya kami akan kawal sampai tuntas, supaya tidak ada pertumpahan darah lagi. Tapi kalau mau main hakim sendiri, kami yang melaporkan."

“I-iya, Pak ... selesaikan kekeluargaan saja.” suara Bu Mira melunak.

“Baik. Kalau begitu, kita sepakati buat pertemuan keluarga, antara keluarga Ibu dan keluarga Mbak Rahma. Bagaimana, Bu Mira? Mbak?"

“Kami setuju aja, Pak. Semakin cepat semakin baik. Anakku luka, warga harus ingat itu. Si Rahma akan Harlan ceraikan! Dia juga harus ganti rugi biaya pengobatan Harlan."

"Itu kita bicarakan bersama nanti, Bu Mira."

"Ya, kami tunggu. Tapi warga sini harus catat baik-baik, jangan memihak dengan satu orang saja. Harlan pasti juga ada alasannya begitu. Bukan cuma si Rahma!"

"Bener tuh, Pak. Yang korban siapa yang gak apa-apa siapa? Kan kelihatan."

"Hum, masa nggak ada yang lihat? Punggung Mas Harlan luka parah, tuh. Masih pada pura-pura nggak tau?"

"Sudah. Ayo kita pulang!" Bu Mira berdiri sembari menarik tangan dua putrinya.

Punggung tiga orang itu menjauh, menyisakan tarikan napas berat, dan gelengan kepala Pak Eko dan Bu Ida.

"Ternyata ada manusia yang merasa paling benar sendiri?" gumam lelaki itu tak habis pikir.

Benarlah kata pepatah gajah di depan mata sendiri tak terlihat, tapi semut di seberang lautan sana tampak.

Kualitas tanggung jawab lelaki itu terletak pada cetakan pertama yang membentuknya. Didikan keluarga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel