Silence
Aku mendengar jika Bibi Kate berbicara dengan seseorang saat aku melewati gerbang yang dibukakan oleh Bibi Kate, Aku ingin sekali bertemu dengannya lagi untuk beberapa kali atau mengatakan—“Bisakah kita menjadi teman Jasmin?"
Karena aku takut, aku sangat takut, aku tak ingin sendiri, walau aku tidak bisa melihat mereka tapi aku juga manusia, aku butuh bersosialisasi.
"Bibi Kate, aku bisa sendiri," ucapku, aku melepaskan tangan Bibi Kate saat menuntunku kembali kedalam rumah, bukankah aku sudah mengatakan, aku ingin mandiri walau sulit dilakukan sendiri. Aku meraba dinding rumahku saat aku merasa kakiku sudah melangkah masuk kedalam.
"Giselle, kamu ingin makan sesuatu? Kamu meninggalkan waktu sarapan tadi dan sudah waktunya makan siang," tanyanya, Bibi kate berjalan di belakang tubuh Keira, gadis yang sebelumnya selalu senang berbicara banyak hal pada dini dan bahkan Giselle sudah dianggap sebagai putrinya sendiri walau Bibi Kate hanya satu putra yang kini yang tinggal di New York.
Bibi Kate, bisa saja meninggalkan rumah ini begitu tahu majikannya meninggal dalam kecelakaan yang sudah mendekati 4 tahun terjadi, siapa sangka hanya Giselle yang selamat dalam tragedi yang hampir seluruh di dalam mobilnya mati di tempat.
Dia sudah seorang putra yang kini sudah memiliki sebuah restoran yang begitu terkenal di Kota New York, seharusnya dia bisa duduk santai di sana sambil menikmati masa tuanya, tapi dia lebih memilih berada dirumah ini dan diam-diam menyimpan gajinya untuk membantu Giselle menjalankan operasi Kornea matanya.
Bibi kate, dia tahu segalanya, dokter berkata Giselle masih melihat karena dia tidak buta sejak lahir, hanya perlu melakukan operasi kornea dan dalam sebulan dia bisa kembali melihat, Bibi Kate pernah memaksa Giselle untuk melakukan operasi dengan uang asuransi yang ditinggalkan orang tuanya dan keluarga mantan tunangannya.
Tapi gadis itu selalu menolak, dia tidak mau melihat.
"Bibi—Kate," aku menghapus air mataku, kutumpahkan segalanya didepan bibi Kate yang sedang memelukku, aku tidak ingin berbohong jika ini begitu menyakitkan, aku ingin melihat tapi aku begitu takut melangkah, aku takut tidak sanggup mengingat kejadian kecelakaan itu.
"ak—aku, setiap hari selalu saja seperti ini, mereka terus meremehkan fisikku! Apa yang salah dari diriku Bibi, aku bahkan tak mengenal mereka tapi rasa—sangat sakit,"
“Giselle, apa seseorang melukaimu? Aku melihat sikumu terluka,"
Aku di bawah untuk duduk di tempat yang sangat aku hafal adalah ruang tamu, sofa biasa aku duduk bersama dengan orang tuaku saat kita sedang memiliki waktu luang, bahkan rasanya sofa ini belum berubah.
"Bibi Kate, bisakah aku ikut bersama mereka? Aku tidak bisa menanggung ini sendiri, bohong jika setiap hari aku—tidak memikirkan mereka, aku merindukan Daniel."
Aku merasakan tangan Bibi Kate mengelus area pipiku secara bergantian, entah kenapa berkunjung ke taman 'garden hope' selalu berakhir seperti ini, berakhir dengan aku yang tidak bisa melupakan wajah Daniel, pria yang begitu aku cintai sampai mengingat kenangan bersama begitu sesak untuk diingat, senyum terakhir yang Daniel tunjukkan sebelum dirinya memutuskan untuk menyelamatkan diriku.
‘Aku benci! karena semua ini aku berada disini, sedangkan mereka pergi meninggalkanku.’
"Giselle, semua akan baik-baik saja, kamu hanya perlu berani untuk mengabaikan ucapan mereka."
inilah yang membuat Bibi Kate lemah untuk meninggalkan Giselle, jika dia tidak berada disini hingga saat ini mungkinkah dia bisa menepati janjinya?
“ini sudah hampir mendekati 4 tahun mereka pergi, tapi—,"
"bukankah bibi sudah mengatakan? Jika Giselle seperti ini terus larut dalam kesedihan, mereka tidak akan pernah senang melihatmu dan bahkan mereka tak bisa pergi."
Tanpa aku sadari, aku tertidur dalam sandaran di bahu Bibi Kate saat dia terus membuatku tenang, hari ini aku mengingat satu kenangan dan satu kejadian, hal yang selalu ingin aku simpan namun terus terulang Bagaimana aku bisa menulis di paper baru jika menyentuh tinta hitam saja aku tidak mampu.
********
Duduk diantara jumlah pengunjung memang hal biasa, tapi suasana akan terasa berbeda jika berada didekat jendela dengan pemandangan hujan yang seakan mengetuk-ngetuk jalanan, menikmati secangkir kopi sambil menulis dalam buku kecil dan pulpen bertintakan hitam memberikan kesan tersendiri.
Orang lain tidak akan menyadari jika pria yang duduk di sudut ruangan sambil menatap keluar jendela adalah pemilik cafe ini, bagaimana tidak wajahnya begitu tenang ditambah dengan pakaian casual malah menggambar kesan jika sosok dirinya bukan seorang pemilik Cafe tapi seorang Ceo muda.
Katakan-lah seperti itu, tapi terkadang memang orang menilai hanya dari cover tanpa minat ingin membukanya.
"Maaf Tuan Agata, mengganggu waktu anda."
Pria yang bernama lengkap Damian Agata itu menatap tenang kearah salah satu karyawannya, tak ada wajah tidak senang saat ada seseorang yang mencoba mengusik ketenanganmu, bahkan tidak segan dia menunjukan senyum ditambah dimple manisnya.
"kenapa?”
"Tuan Agata, Ibu anda menelpon," ucapnya, suara terdengar seperti sedang berbisik.
"Ibu? Kenapa dia tidak menelponku langsung?"
"karena anda meninggalkan ponsel di ruangan anda, Tuan Agata."
Damian mengangguk mengerti, dia seharusnya tidak mengajukan pertanyaan itu terlalu larut dalam suasana tenang ini membuatnya lupa untuk menghubungi sang Ibu.
"terimakasih, kamu bisa kembali," Damian menerima ponselnya, terlihat di dalam layar ponselnya ada beberapa panggilan tidak terjawab dari sang ibu.
"Ibu?"
Pria itu meletakkan ponselnya di telinganya, sambil terus memandang ke arah luar jendela, hujan tidak terlalu besar namun sudah cukup lama turun.
"Hm—masih seperti biasa, tidak perlu mengkhawatirkanku."
Suaranya, dia merendahkan nada seperti menunjukkan betapa dia menyayangi wanita yang sedang ditelepon, Damian bahkan menyandarkan tubuhnya di kursi.
"aku akan berkunjung kerumah Ibu jik—,"
Damian menghela nafas, perkiraannya tidak pernah salah, Ibu melarangannya untuk kembali padahal dia sangat merindukkan keluarganya, dia bahkan dipindahkan kesini sudah lama sekali mungkin sekitar 2-3 tahun jika Damian ingat.
“Eomma, aku lahir di New York! Kenapa aku tidak boleh pulang? Aku bosan menjaga Cafe dan toko bunga Ibu."
Para pengunjung langsung mengarah ke arah Damian saat suara
terdengar seperti sedang merengek minta permen, merasa dirinya menjadi pusat perhatian Damian segera memperbaiki posisi duduknya dan sikap tenangnya.
"bagaimana dengan kabar Ayah? Ibu juga harus menjaga kesehatan, ini sudah memasuki musim semi,"
Damian meneguk kopinya, dia melipat buku yang selalu dia bawah dan meletakkan pulpen di saku jasnya.
"aku senang mendengarnya, baiklah Ibu. aku akan menghubungimu lagi."
Damian meletakkan ponselnya di meja, entah kenapa kepalanya terasa pusing dan akhir-akhir ini juga dia terasa mudah lelah dan bahkan Damian sering melupakan sesuatu seperti contohnya ponsel, biasanya benda tipis itu selalu ada didekat dirinya tapi dia bisa melupakannya begitu saja.
"Tuan? Anda baik-baik saja?"
"Akh!” Damian merasa kepala terhantam sesuatu sampai menimbulkan rasa sakit yang membuatnya sulit melihat dan bahkan penglihatannya menjadi lebih buram.
Kejadian itu terjadi begitu lama dari sebelumnya, sampai 10 menit berlalu semua itu menghilang begitu saja, membuat Damian tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Tuan? Anda baik? Wajah anda begitu pucat."
Damian mengangguk ringan, "Ya, aku hanya merasa sedikit pusing, kamu bisa kembali,"
‘kenapa akhir-akhir ini aku lebih sering merasakan sakit dikepala? sebenarnya apa yang terjadi? Aku bahkan tidak mengingat apapun kejadian yang terjadi 3 tahun yang lalu,'
Damian mengambil semua barangnya, mungkin karena terlalu sibuk dengan kuliah, lalu mengelola Cafe membuatnya jarang beristirahat dengan baik dan kini dia mencoba membuka toko bunga, apalagi Damian begitu sering mengkonsumsi kopi secara berlebihan.
“mungkin aku butuh tidur,"
Dia meninggalkan Cafe setelah mengatakan hal yang biasa Damian sampaikan sebelum dia pergi atau berangkat kuliah, dia memang sedang menyelesaikan kuliah S2 disini dan menjalankan bisnis milik keluarga pamannya. Padahal usia Damian yang sudah memasuki umur 24 tahun, setidaknya pria itu harusnya disibukkan dengan perusahaan milik sang ayah tapi dirinya diasingkan di Kota Paris ini.
Atau setidaknya, Damian punya cita-cita yang mungkin ingin dicapai dengan usahanya sendiri, tapi sekali lagi perintah Ibunya adalah hal mutlak untuknya, katakan jika Damian adalah anak tunggal yang menjadi satu harapan keluarganya.
