Flower Angel
Aku kembali pada titik dimana segalanya membuatku tak nyaman.
Seperti layaknya sebuah hujan di gantikan dengan indahnya pelangi di akhirnya.
Aku tak ingin menaruh harapan pada siapapun, tapi—hanya hal sederhana itu mampu menggoyahkan hatiku, sangat sederhana sampai serapuh itu hati ini?
Mungkin benar tapi juga bisa salah, untuk saat ini kemungkinan masih sebuah perasaan semu, karena sejak awal. Aku hanya merindukan suasana lama, ketika semua begitu normal terjadi.
Rumah ini sedikit terasa memiliki suasana yang sudah lama lenyap, hanya mengenalnya selama beberapa jam, rasa akrab tumbuh sering bergantinya menit, aku juga tak mengerti, aneh karena aku sendiri bisa menganggap jika Jeno adalah pria baik.
Karakter yang pria itu memiliki mampu mengalih dan menarik perhatianku, walau hanya bisa mendengar dia berkata.
Hari sudah menjelang sore, mungkin lebih tepat jam sudah menunjukkan pukul dua. Aku sudah menunggu untuk hari ini, melangkah keluar untuk mendatangi tempatmu dimana kamu beristirahat, Daniel. Separuh hatiku dan segala hal yang masih bersama diriku hingga detik ini saat aku masih bernafas.
Ibu, ayah dan Daniel. Hari ini banyak yang akan aku sampaikan pada kalian sehingga rasa tidak akan cukup dua jam untuk berbicara dengan kalian, tapi aku akan mengatakannya secara singkat, jelas dan cepat saat mengunjungi tempat lain.
Aku memakai gaun pilihan ibu dan kesukaan Daniel, gaun yang rencanakan akan aku kenakan saat pesta pernikahan, ya masih tersimpan baik di lemari pakaianku. aku juga menambahkan sebuah jam tangan pemberian ayah beberapa tahun yang lalu, mungkin saat aku masih universitas dan terakhir tentu saja memakai cincin pertunanganku dengan Daniel.
Aku menghela nafas sebelum menarik pintu, sudah cukup lama aku berdandan walau rasanya sulit karena kali ini aku memilih untuk melakukannya sendiri, tak apa. Aku ingin terlihat cantik tanpa merepotkan Bibi Kate.
Aku menuntun tongkat untuk menelusuri lorong dan segera menuju ruang tamu, idaman mungkin Bibi kate sudah menunggunya.
Bibi Kate, dia tersenyum melihat Giselle, setelah beberapa tahun berlalu, kini Giselle mulai mandiri dalam banyak hal, biasanya Bibi Kate akan terus bersedih sambil memeluk erat tubuh Giselle, ya. Saat dia harus menerima hal yang sudah terjadi, Giselle sangat sering menghancurkan kamarnya dan mengurung diri.
Sekarang? Melihatnya tentu suatu bahagian yang sangat dia syukuri.
“kamu berdandan? Cantik sekali, Giselle.” ucapnya, suara Bibi Kate yang mengisi ruang tamu yang memang selalu sunyi dan mengejutkan Giselle yang batu menginjakkan kakinya di ruang tamu.
Aku tersenyum senang, aku kembali mempercepat langkahku dengan tongkat sambil berjalan mendekati Bibi. “apa riasanku tidak terlihat berantakan? Apa aku memakainya dengan benar Bibi Kate?”
Seperti biasa Bibi Kate akan langsung menuntun jalanku, dia segera membawaku keluar dari rumah ini, aku tidak bisa menolak hal yang Bibi Kate lakukan karena gaun yang aku gunakan cukup panjang, apalagi kali ini aku memakai heels walau tidak terlalu tinggi.
“Tidak! Semua terlihat bagus dan cantik, Bibi Kate. Senang bisa melihat Giselle sekarang lebih banyak tersenyum, Bibi Kate harap Giselle bisa segera bahagia.” ucap Bibi Kate, dia ingin menangis untuk rasa bahagianya, itu berarti janjinya akan sedikit terlaksanakan, sedikit lagi dia bisa melihat Giselle bahagia dan kembali melihat indah dunia.
Aku kembali membayangkan bagaimana penampilanku saat ini? Masihkah sama seperti 4 tahun yang lalu? Ataukah aku semakin terlihat pusat dan tidak terawat, atau sebaliknya tubuhku semakin berat dan kulitnya yang tidak seputih dahulu.
‘Ah! Aku merindukan dimana aku biasanya menatap cermin di pagi hari, dan menatap senyum dari ibu dan ayah.’ batinku berkata.
“Bibi, apakah putramu akan mengantar kita?” tanyaku tanpa sadar, tiba-tiba langkahku terhenti dan terkejut dengan apa yang baru saja keluar dariku, apa yang baru saja aku pertanyakan? Kalimat itu seakan aku sudah lama mengenal putra Bibi Kate, dan apa yang sedang aku harap? Bukan waktunya menanyakan pria itu bukan?
“maksud-ku, itu—,” Aku kembali ingin berkata untuk menjelaskan jika tidak sepenuhnya aku menanyakan keberadaan putranya, walau ucapannya sedikit gugup.
Bibi Kate tersenyum karena tingkah lucu Giselle, dia suka dengan Giselle yang sekarang dan seperti kembali melihat gadis itu saat masih bersama orang tuanya. “Jeno? Dia baru saja pergi saat selesai makan siang tadi, katakan dia ada urusan dengan temannya,”
Aku menghela nafas, ada perasaan kecewa saat udara itu terbuang, tapi bukankah pria itu menemui Ibunya untuk bisa menghabiskan waktu bersama? apa yang sebenarnya aku harapkan?
Berharap dia mengatakan suatu untuk penampilannya kali ini?
Atau aku ingin kembali merasakan saat dia menggenggam tanganku?
“Giselle, ingin naik taksi atau bus, kita juga bisa naik kereta jika Giselle ingin?” tanya Bibi Kate saat aku merasa jika kita sudah melangkah keluar dari rumah lebih tepat melewati gerbang rumah kita.
“taksi, tapi aku ingin kita membeli bunga terlebih dahulu Bibi Kate, tidak jauh dari sini ada toko bunga bukan? Apakah masih ada?” ucapku, dulu aku dan Ibu memiliki langganan toko bunga yang biasa kita beli untuk teman-temannya kita Ibu memiliki jadwal pertemuan dengan mereka, aku dan juga Ibu pernah mengikuti kelas merangkai bunga disana, tapi karena sudah lama tidak berkunjung, mungkin saja sudah tutup atau berubah menjadi sebuah restoran.
Jika diingat kembali pemilik bunga itu adalah seorang pemuda ramah yang sering Giselle ajak bicara jika dirinya berkunjung kesana, dia pria yang ramah yang memiliki senyuman sangat hangat dan ucapan yang lembut, apakah dia masih menjaga toko itu?
“apa kita perlu kesana naik taksi?” tanya Bibi Kate, dia memperhatikan cuaca yang begitu ceria hari ini dan merasakan udara begitu bersahabat dengan terik matahari.
“aku rasa tidak perlu, toko bunga ‘Flowers Angel’ tidak jauh dari sini, dia berada di seberang dengan supermarket biasanya kita berbelanja,” ucap Giselle, dia masih hafal letak toko bunga itu walau sudah lama tidak kesana.
Bibi Kate hanya mengangguk mengerti, dia tahu jika toko bunga itu adalah langganan mendiang Ibu Giselle, dan memang benar hanya satu-satunya toko bunga yang berada dekat dengan area rumah mereka. Tanpa berpikir panjang mereka kembali melangkah setelah memutuskan apa tujuan pertama.
Diperjalanan angin menyambutku dengan serbu bunga yang berterbangan, jika waktu menjelang sore memang waktu yang baik untuk sekedar berjalan-jalan atau duduk ditaman. Aku juga lebih banyak tersenyum hari ini dan perasaanku mulai mencair seiring indahnya musim semi ini walau setelahnya akan ada badai salju yang besar yang akan terjadi ketika musim semi berganti.
15 menit dilewatkan begitu saja untuk sampai di sebuah toko yang dulu bertuliskan “flowers angel” tapi aku tidak tahu apakah papan nama itu masih sama seperti dulu saat aku masih bisa melihat atau sudah berpindah tangan dan diganti oleh pemilik baru, karena sudah lama aku tidak kesana, mungkin terakhir aku kesini dua tahun yang lalu. Dan dari kabar yang aku dengar jika pemiliknya sempat menutup toko selama lebih satu tahun dan akhir-akhir ini kembali beroperasi karena.
Mungkin pemiliknya sudah berganti.
“selamat datang Nona dan Ibunya,” sapa sang pemilik dengan sopan membukakan pintu untuk keduanya.
saat melangkah masuk aku mendengar suara familiar itu, mungkinkah pria itu masih menjaga toko milik ibunya? Aku ingat saat pertama bertemu dengannya yang ternyata satu universitas denganku, Damian. Itu bukan namanya? Aku lupa tapi aku sangat ingat suara itu.
“terima kasih Tuan,” ucapku dulu, lalu di ikuti oleh Bib Kate, aku juga membungkukkan tubuhnya saat sudah didalam toko, aroma ini tidak berubah dan bahkan suasana masih sama seperti empat tahun yang lalu. Aku menjadi bernostalgia saat aku dan Ibu berdebat untuk menentukan bunga untuk Ayah yang saat itu baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya.
‘aku rindu kalian, segalanya. Aku tidak bisa melupakan kenangan kita bersama.’
“ada yang bisa saya bantu? Bunga apa yang ingin kalian beli? Atau acara apa yang akan kalian hadiri?” ucapnya penuh dengan kehati-hati dan begitu lembut, dia sangat sopan dan murah senyum saat bertatapan dengan Bibi Kate.
“terima kasih untuk tawarannya Tuan, tapi aku ingin memilih bunga sendiri.” ucapku, aku masih tahu letak-letak bunga kesukaan Ibu, ayah dan Daniel. Tak berpikir dan menunggu Kate mengantarku, aku sudah melangkah kakiku dengan tongkat, langsung mendekati area bunga di dekat jendela bagian depan toko.
Bibi Kate, wanita paruh baya itu memilih tidak mengikutiku, dia lebih memilih untuk duduk di kursi, mungkin karena lelah berjalan, mengingat usianya yang mudah lelah.
Tanganku meraba bunga yang masih bisa dijangkau, aku mencium bunga dan menyentuh bunga itu satu persatu, mencari bunga yang ingin aku berikan pada Ibu, ayah dan Daniel. Tapi tanpa aku sadari aku tidak merasa, jika ada seseorang yang tepat berdiri dibelakangku dengan pakaian casual sederhana.
“Giselle?”
