Membuat Pelakor Panas
Membuat pelakor panas
Bab 6
Aku tidak menanggapi pesannya, memilih menonaktifkan ponsel.
Berjam-jam melakukan perawatan dari ujung rambut hingga ujung kaki, setelahnya tubuh ini terasa lebih segar dan wajahku semakin terlihat bersinar. Tidak rugi mengeluarkan kocek dalam untuk melakukan perawatan, hasilnya sangat memuaskan.
Selesai dengan pembayaran, aku langsung tancap gas untuk menjemput Mas Lukman.
Membelah jalan kota yang diisi kemacetan. Satu jam lebih baru aku sampai di depan gedung tempat suamiku mencari sesuap nasi.
"Mau makan di luar atau di rumah?" tanya Mas Lukman yang baru menutup pintu mobil.
"Di rumah aja, Mas. Aku kangen masakan kamu," ujarku dengan melempar senyum ke arahnya.
Mas Lukman hanya membalas dengan anggukan kecil. Tidak seperti biasanya, ia terlihat sangat lesu. Apa pekerjaannya sangat menguras tenaga sampai dia seperti ini?
“Mas, kamu bener mau pisah sama Indah setelah anak itu lahir?” Aku buka suara mengubah posisi duduk menyamping, menatap Mas Lukman yang baru saja menginjak pedal rem karena lampu merah menyala.
Ia terlihat menghela napas.
“Kita ‘kan udah omongin ini, Sayang. Kamu masih gak percaya sama suamimu ini?” sekilas Mas Lukman melirik ke arahku.
“Apa kamu benar-benar gak ada rasa sama Indah? sedikit pun?” Aku mengalihkan pertanyaan, sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya. Tidak bisa menunggu untuk berbicara di rumah, rasanya sudah tidak sabar.
“Gak ada. Sedikit pun!” Ia menjawab dengan nada tegas.
“Bagaimana kalau Indah mencintaimu dan gak mau pisah sama kamu, Mas?” Kembali kulayangkan pertanyaan padanya.
“Udahlah, Sayang! Kamu gak usah mikir macem-macem, Mas sama dia itu udah pasti bakalan pisah setelah anak itu lahir.”
Aku mengedikkan bahu dan memperbaiki duduk menghadap ke depan, tidak ada lagi pembicaraan di antara kami sampai berada di depan rumah. Aku dan Mas Lukman saling menatap saat melihat mobil Range Rover berwarna putih dengan pita besar terparkir di halaman rumah kami.
Bersamaan denganku yang keluar dari mobil, Jumi keluar dari rumah dan berlari dengan tergesa ke arahku. Ia menjelaskan tadi ada petugas dealer datang dan menanyakan alamat, alamat yang disebutkan sama dengan alamat rumahku begitupun nama penerima juga atas namaku.
“Man, kamu yang beliin ini buat Kanaya?” Ibu mertua tiba-tiba datang dan mendekati Mas Lukman.
“Boro-boro beli mobil, Bu. Cicilan mobil Ibu aja masih panjang kok, mana udah jadi penghuni bengkel lagi itu mobil baru,” tutur Mas Lukman.
Dua bulan lalu ibu mertua memaksa Mas Lukman untuk membelikan mobil, tapi karena uang Mas Lukman tidak cukup jadilah mengajukan kredit. Dan mobil itu menghuni bengkel karena ibu mertua yang coba-coba masuk jalan raya padahal baru belajar menyetir.
“Terus ini dari siapa? Gak mungkin Kanaya beli mobil semahal ini, mana cukup uangnya. Gajinya aja cuman cukup buat beliin ibu satu baju doang,” ujar ibu mertua meremehkan, ia menatap sengit ke arahku.
“Jual diri kali dia, makanya bisa beli mobil mahal gini!” Indah menatap tajam padaku dengan tangan yang dilipat di dada.
“Jaga ucapanmu, Indah! Sekali lagi kau menghina istriku, jangan salahkan aku jika aku menendangmu dari rumah ini!” Mas Lukman mengacungkan telunjuknya pada Indah membuat wanita itu mencebik.
Ibu mertua malah memarahi Mas Lukman yang membentak Indah dengan begitu kasarnya, di tengah perdebatan mereka ponselku berdering menandakan pesan masuk, dengan cepat aku membukanya karena dari Bu Margaretha, takut jika ia membutuhkan sesuatu yang penting.
[Kamu suka bonusnya, Nay?]
Mataku terbelalak membaca deretan kata itu, mencubit pipiku sendiri untuk menyadarkan jika ini semua bukanlah mimpi. Sakit dan perih ternyata, berarti ini bukan mimpi. Jadi ini bonus yang dimaksud oleh Bu Margaretha.
Mas Lukman mendekatiku yang masih diam mematung, mengambil alih ponsel dari tanganku. Matanya bergerak, sepertinya membaca pesan masuk itu. Mengalihkan pandangan dari layar datar dan menatapku.
“Jadi ini dari Bu Margaretha, Nay?” Mas Lukman bertanya untuk meyakinkan.
Mas Lukman memang kenal dengan atasanku, karena beliau sering mengundangku dan Mas Lukman untuk makan bersama.
“Iya, Mas. Tadi pagi beliau mengatakan akan mengirimkan bonus untukku langsung ke rumah.” Aku mengatakan apa adanya, aku kembali mengambil ponsel dari Mas Lukman dan membalas pesan Bu Margaretha untuk mengucapkan terimakasih.
Tring!
[Selama bekerja pada saya, kamu sangat profesional dan bisa menangani semua masalah kantor dengan baik. Bahkan sering memenangkan tender besar, hadiah ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan prestasi kamu. Saya harap kamu suka dan bisa menerimanya.]
Mata ini memanas setelah membaca keseluruhan isi pesan itu, selain padaku Bu Margaretha memang tidak segan-segan memberikan hadiah berharga fantastis bagi siapa saja yang berprestasi dan bisa mengharumkan nama perusahaan.
Mas Lukman langsung memelukku dan mengucapkan selamat. Ia tahu persis bagaimana aku meniti karir dari nol hingga bisa menjadi seorang asisten pribadi CEO sebaik Bu Margaretha. Semua itu aku perjuangkan dengan mengeluarkan banyak tetes keringat dan air mata.
“Percuma banyak duit, karir bagus tapi gak bisa punya anak. Apa kalau nanti kamu tua, uang itu yang bakalan jaga kamu? Nggak. Jangan bangga dulu kalau belum bisa memberikan anak buat Lukman!”
Perkataan ibu mertua membuat hati ini serasa dihimpit batu besar. Sesak dan sakit, tidak bisakah ia berbicara lembut padaku. Aku ini menantunya, istri dari anaknya. Bukan orang lain.
“Indah, kamu harus kasih ibu cucu yang banyak. Biar ibu senang, rumah besar tapi gak ada anak di dalamnya buat apa?” ujar ibu mertua pada Indah yang kini beralih menatapku dengan penuh ejekkan.
***
“Maafin Ibu, ya. Ucapannya jangan kamu masukin hati. Kita harus terus berdoa dan mengusahakan yang terbaik. Soal anak itu mutlak kuasa Allah.” Mas Lukman berbisik dan semakin mempererat pelukannya.
Perkataan kasar ibu mertua tak ayal membuat hati ini tergores, untuk kesekian kalinya terulang kembali. Jika memang tidak suka padaku, kenapa dulu ibu memberikan restu. Aku tidak pernah memaksanya untuk menyukaiku, aku pikir hatinya lulus saat restu itu kami dapat. Ternyata tidak.
Untuk apa memberikan restu dengan terpaksa yang ujung-ujungnya akan menyakitiku, bahkan berulang kali.
Menghapus kasar air mata, nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin waktu bisa terulang kembali, tidak ada gunanya juga menyesali yang sudah terjadi. Tapi, aku ingin tetap mempertahankan yang sudah kubangun dengan susah payah. Tidak ingin hal buruk menghancurkannya.
***
Mencoba untuk bersikap biasa saja di depan mereka, toh jika pun aku terlihat bersedih mereka tidak akan bersimpati, yang ada semakin mengolok-olok.
Berjalan mendekati Mas Lukman yang sibuk memasak, melirik Indah yang duduk memperhatikan.
Tersenyum miring lalu melingkarkan tangan di tubuh Mas Lukman. Aku bisa melihat dari sudut mata, Indah kesal mungkin juga cemburu. Firasatku mengatakan ia memiliki rasa pada Mas Lukman, ia bersedia menikah dengan Mas Lukman bukan hanya karena embel-embel materi yang akan diberikan oleh suamiku ini.
"Masih lama, Mas? Aku udah laper banget tahu," berbisik manja di telinganya.
Mas Lukman berbalik dan membalas pelukanku. Rasanya seru sekali membuat ular itu kepanasan.
"Gak sabaran banget sih kamu, Sayang. Kenapa gak Mas duluan yang kamu makan?" Mas Lukman mengedipkan sebelah matanya, menggoda.
"Nakal!" Aku memukul pelan dada bidangnya.
Biarlah Indah menahan amarahnya disana, ia tidak akan bisa menyerangku atau melarang kami bermesraan. Apalagi ibu mertua barusan menerima telepon dan kini berada di ruang tengah.
Bersambung ….
