Istri Sah Rasa Pelakor
Istri sah rasa Pelakor
Bab 5
"Ini surat perjanjian yang sudah kami tanda tangani. Indah tidak bisa menuntutku untuk memberikannya nafkah batin karena ini hanya pernikahan diatas kertas."
Meskipun Mas Lukman sudah menceritakan semuanya dan memperlihatkan padaku surat perjanjian itu. Aku masih belum bisa mempercayai sepenuhnya. Aku akan mencari tahu kebenarannya sendiri. Tidak ingin jika tertipu untuk kedua kalinya.
"Aku percaya sama kamu, Mas," ungkapku.
Ya, aku memang percaya. Tapi belum sepenuhnya. Aku akan membuktikan jika apa yang kamu ceritakan itu benar adanya. Semoga saja aku tidak akan kecewa lagi.
Mengajaknya pulang karena, ini sudah jam delapan malam. Aku dan Mas Lukman harus bekerja besok.
Mas Lukman fokus menyetir, aku memainkan ponselnya yang baru diaktifkan. Seharian ini memang aku sengaja menonaktifkan ponselku dan ponsel Mas Lukman. Tidak ingin diganggu saat menghabiskan waktu bersama.
Saat menyalakan data, banyak pesan masuk dari aplikasi hijau. Hanya satu nama, Indah. Ada juga beberapa panggilan tidak terjawab dari Indah dan ibu mertua.
Sepertinya wanita licik itu mengadu pada ibu mertua.
Sesampainya di rumah, aku bisa melihat ibu mertua yang tertidur di sofa. Indah yang tadi sibuk dengan ponselnya, kini mengalihkan pandangannya pada kami. Ia menatap tajam ke arahku tapi berjalan mendekati Mas Lukman.
"Mas, kok baru pulang sih? Tadi aku chat kamu gak bales, di telpon juga gak diangkat." Indah mencoba merangkul lengan Mas Lukman tapi suamiku itu menghindar.
"Kalau ada yang penting, bicarakan besok. Sekarang aku mau istirahat, capek. Ayo, Sayang!" Mas Lukman menggenggam tanganku dan berjalan melewati Indah yang diam mematung.
'Bom waktu itu sebentar lagi akan meledek!' batinku.
Saat kaki ini memijak anak tangga terakhir. Ibu mertua berteriak memanggil Mas Lukman, tapi suamiku itu seolah-olah tidak mendengar. Terus melangkah sampai di depan kamar.
"Mas, seenggaknya temui dulu Ibu, gak baik loh orangtua udah manggil kamu abaikan." Mencoba menasehatinya selembut mungkin.
"Besok 'kan bisa. Ibu jug pasti nginep disini kok." Mas Lukman membalas lalu masuk ke kamar mandi.
Aku hanya mengedikan bahu tidak peduli. Saat ini aku tidak berniat untuk mengambil hati ibu mertua, karena percuma. Ia pasti masih memihak pada menantu kesayangannya itu.
Sembari menunggu Mas Lukman keluar dari kamar mandi, aku membuka ponsel untuk melihat rekaman cctv yang belum sempat aku lihat.
Mempercepat tayangan saat ibu mertua datang ke rumah, karena dalam rekaman cctv pagi sampai sore tidak ada yang mencurigakan. Indah tidak keluar dari kamarnya, ia hanya memanggil Jumi untuk mengambilkan minuman ataupun makanan.
Di jam lima sore, ibu mertua datang barulah Indah keluar. Terlihat Indah memasang wajah memelas sambil berucap. "Bu, Mas Lukman ninggalin aku sendirian. Dia pergi dengan wanita mandul itu, bagaimana kalau aku kenapa-kenapa saat Mas Lukman gak ada di rumah?" Suara wanita itu terdengar seperti orang menyedihkan.
Cih! Biasanya ia memang berada di rumah ditemani Jumi saat aku dan Mas Lukman bekerja.
Wanita ini tidak hanya suka mendramatisir keadaan tapi juga melebih-lebihkan fakta yang ada.
Ckrek!
Suara pintu kamar mandi terbuka, dengan cepat aku menekan tombol off di ponsel agar Mas Lukman tidak curiga.
"Kamu gak mandi, Yank?" tanya Mas Lukman sambil mengeringkan rambutnya.
"Iya, ini mau mandi, kok." Menyimpan benda pipih itu di atas nakas sebelum masuk ke kamar mandi.
***
Saat menuruni tangga, aku sudah bisa mencium wangi masakan. Apa Jumi memasak? Tidak mungkin, karena aku selalu mengatakannya jika aku yang harus memasak untuk sarapan.
Alisku bertaut saat mendapati Indah sedang menaruh piring berisi makanan itu di meja makan.
"Kamu memang menantu idaman, Indah. Udah cantik, terkenal, rajin lagi. Yang terpenting kamu bisa kasih Ibu seorang cucu." Ibu seperti sengaja mengeraskan suaranya saat melihat aku memasuki dapur.
"Ibu bisa aja. Sebagai seorang istri 'kan aku harus bisa melayani suami, bangun pagi buat bikin sarapan. Aku gak pernah malas-malasan loh, Bu," timpal Indah.
Aku hanya menanggapinya dengan senyum miring, biasanya wanita ular itu bersandiwara di depanku. Bahkan sampai menjelekkanku di depan ibu mertua.
"Eh … Mbak Kanaya udah bangun, gimana tidurnya? Enak dong pasti, bangun tidur udah disuguhi sarapan kayak gini," seru Indah dengan tatapan sengit ke arahku.
"Jelas enak dong. Orang yang numpang 'kan memang harusnya tahu diri. Jangan cuma mau enak aja, ongkang-ongkang kaki menikmati semua yang ada di rumah ini!" ujarku dengan santai.
Tangannya terlihat mengepal, sepertinya ia menahan amarah. Ia pasti ingin terlihat baik di depan ibu mertua.
"Kamu kalau ngomong yang sopan dikit, Kanaya! Indah itu istrinya Lukman juga, dia pernah tinggal disini." Ibu mertua berujar dengan penuh amarah tidak terima dengan perkataanku.
Aku hanya mengabaikannya dan beralih mengambil susu dari dalam kulkas. Duduk dengan santai di kursi.
"Mas, kita makan dulu yuk! Ini aku yang masak loh." Indah mencari muka di depan Mas Lukman.
"Gak usah, kalian aja yang makan. Aku mau sarapan di luar aja. Ayo, Yank!" ajak Mas Lukman, ia menggenggam tanganku membuat Indah semakin panas.
"Sarapan dulu, Man. Masa kamu gak ngehargain masakan Indah sih? Kasian loh, dia bangun subuh buat masakin sarapan buat kamu." Ibu mertua mencoba membujuk Mas Lukman.
"Lukman udah telat, Bu. Nanti sarapan di mobil aja. Beli bubur di depan komplek sana," balas Mas Lukman lalu mencium tangan ibu mertua. Aku pun melakukan hal yang sama sebelum menyusul suamiku yang sudah keluar rumah.
Aku berbalik menatap Indah, melayangkan senyum mengejek padanya.
Istri sah rasa pelakor, mungkin cocok untukku. Harusnya Indah yang membuatku panas, ini malah sebaliknya. Siapa suruh kau bermain-main dengan macan betina ini.
'Kau rasakan akibatnya sendiri! Berani bermain api, harus siap terbakar!'
***
Baru saja sampai di kantor, Bu Margaretha menyuruhku untuk kembali pulang. Ia akan pergi untuk berlibur dua bulan dan dua bulan pula aku akan menjadi pengangguran. Ini menjadi libur paling panjang yang pernah diberikan oleh wanita paruh baya itu.
"Sebagai pengganti gaji, saya kirim bonus langsung ke rumah kamu nanti."
Perkataan Bu Margaretha itu terngiang di telingaku, penasaran dengan bonus apa yang akan diberikan untukku. Terkadang aku malu karena sering dibelikan barang-barang olehnya, apapun yang ia beli akan ia belikan juga untukku. Ia selalu mengatakan itu bonus dari kerja kerasku selama mengabdi padanya.
Sebelum pulang, aku mampir ke salon sembari menunggu Mas Lukman pulang kerja.
Sekian lama, baru aku menginjakan kaki di salon ini. Aku juga ingin memanjakan diri setelah bekerja begitu keras akhir-akhir ini.
Biasanya aku akan pergi menemani Bu Margaretha ke salon dan ikut perawatan. Tapi karena Bos besarku akan pergi berlibur, jadi aku ke salon sendiri.
Baru saja kaki ini berpijak di tangga menuju gedung, aku mendapatkan pesan dari ibu mertua. Ia memintaku untuk membelikan makanan saat pulang nanti.
Bersambung ....
