Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Godaan Pelakor

Memberikan Hadian untuk Jumi

Bab 7

"Co … cwiit!" Suara itu membuat kami dengan kompak menoleh mendapat Jumi yang berdiri di sebelah Indah.

"Bikin Jumi iri aja nih, Ibu sama Bapak. Apalagi yang di sebelah pasti kebakaran jenggot," seru Jumi dengan tawanya yang renyah. Aku sebisa mungkin menahan tawa melihat wajah Indah sudah memerah, ia menatap tajam ke arah Jumi.

"Lo nyindir gue?" bentak Indah pada Jumi.

"Jumi 'kan bilang kebakaran jenggot, emang situ punya jenggot?" ledek Jumi.

Tangan Indah refleks memegang dagunya. Tawa ini langsung pecah, Indah melayangkan tatapan tajamnya itu padaku. Terkadang aku melihat wanita itu agak sedikit kurang satu ons.

Tidak sadar jika apa yang Jumi katakan hanya sebuah kiasan. Kehadirannya bisa sedikit menghibur walaupun sering kali membuat ubun-ubun ini terbakar.

Indah menghentakkan kakinya, ia melangkah mendekat dan mendorongku mundur. Bergelayut di lengan Mas Lukman.

"Mas, kok diem sih? Istrinya di zalimin kayak gini kamu gak belain," rajuknya.

'Apa yang dikatakan? Dizalimi, lucu sekali.'

"Mereka cuman becanda, kamu tuh sensitif banget sih!" Mas Lukman melepas tangan Indah yang melingkar dan kembali melanjutkan memasak.

***

"Jadi, dua bulan ini kamu di rumah aja? Andai aja Mas bisa libur dua bulan, kita–"

"Gak bisa makan!" potongku dengan terkekah. Mas Lukman menatapku dengan wajah keslanya yang dibuat-buat.

Aku memang sudah mengatakan jika Bu Margaretha memberikan libur selama beliau pergi berlibur.

"Oh ya, Mas. Mobil kita 'kan ada tiga nih sekarang. Aku mau kasih mobilku yang dulu buat Jumi, seenggaknya bisa dipakai usaha rental mobil misalnya. Penghasilan suaminya di rantau gak cukup buat kebutuhan Jumi dan keluarganya." Melirik Mas Lukman dari pantulan cermin, jemari ku masih mengaplikasikan skincare di wajah ini.

"Itu terserah kamu, Sayang. Mobil itu 'kan kamu beli pakai uang pribadi kamu, jadi itu hak kamu."

Aku mengangguk. Sebelum diberikan sebuah Range Rover oleh Bu Margaretha sebenarnya aku sudah berniat untuk membeli mobil baru tapi tidak semahal hadiah ini.

Niatku memang akan memberikan mobilku yang dulu untuk Jumi. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, usianya masih muda yaitu 25 tahun. Berjarak lima tahun dari usiaku.

Tapi nasibnya sangat membuatku prihatin, ia hidup dengan sederhana. Memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil, ia menikah saat umur 17 tahun karena di kampungnya umur 17 sudah cukup untuk menikah. Orang Tuanya juga tidak sanggup jika harus membiayai Jumi yang ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Gaji yang kuberikan kadang tidak cukup karena orangtua Jumi terlilit hutang pada rentenir. Jumi selalu menolak saat aku ingin membantu melunasi hutang orangtuanya.

Mungkin dengan cara memberikan mobil ini ia akan menerima, bagaimanapun caranya aku ingin membantu Jumi.

"Yank, ayo!" Aku tersentak dari lamunan dan menatap Mas Lukman dari pantulan cermin. Ia berbaring menghadap ke arahku.

Ia memajukan bibirnya seperti akan mengecup. Aku hanya tersenyum tipis, berbalik dan duduk menghadapnya.

"Apa?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Ayo kita ehem-ehem!" ajaknya.

"Aku lagi dapet tamu, Mas."

Wajahnya terlihat kecewa, bukannya aku tidak ingin. Hanya saja aku belum siap, apalagi selalu terlintas di benak jika Mas Lukman pernah melakukannya juga bersama Indah.

Aku tidak akan melakukannya sampai benar-benar siap. Aku juga ingin memastikan jika suamiku ini bersih.

"Maaf," sesalku.

Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Menepuk ruang di sebelah tubuhnya sebagai isyarat.

Ranjang bergerak saat aku naik, menutup separuh tubuh dengan selimut dan bersandar di dada bidangnya, ia melingkarkan tangannya di tubuhku.

Perlahan menutup mata meskipun rasanya sulit, tangan Mas Lukman mengelus-elus puncak kepalaku.

Beberapa menit berselang, rasa kantuk ini belum kunjung mendera. Mas Lukman memindahkan kepalaku dari dadanya.

Aku merasakan pergerakan di ranjang kemudian suara kunci diputar. Meskipun pelan, aku bisa mendengar pintu itu terbuka.

Setelah memastikan Mas Lukman sudah benar-benar keluar, aku meriah ponsel untuk memantaunya lewat cctv.

Entah kenapa jantung ini berdenyut dengan keras, takut jika hal yang tidak diinginkan terjadi.

Terlihat Mas Lukman berjalan ke dapur, ia membuat kopi dan setelahnya berjalan ke arah ruang tengah. Menyalakan televisi dan meraih cemilan di atas meja.

Tidak sampai satu menit, sosok Indah datang menghampiri, duduk di sebelah Mas Lukman.

"Mas, kok kamu belum tidur sih? Atau kamu kangen sama aku?"

Terlihat jelas Indah merayu Mas Lukman, ia merapatkan tubuhnya pada suamiku, tangannya yang bebas meraba dada Mas Lukman. Rasanya ingin berteriak keras agar mereka segera menjauhkan diri masing-masing. Tapi, aku mencoba menahan diri.

"Kalau kamu butuh sesuatu bilang aja!"

Mas Lukman menggeser tubuhnya menjauh dari Indah sembari berseru.

"Aku butuh kamu, Mas. Kamu tega banget sih, istri lagi hamil tuh harusnya lebih sering di perhatiin. Bukannya malah sibuk sendiri. Emang kamu gak peduli sama anak ini? Kamu cuman peduli sama Mbak Kanaya." Indah berkata dengan tangannya yang mengelus perutnya yang memang sudah semakin membesar.

Selama tinggal disini memang tidak pernah kulihat Mas Lukman menghabiskan waktu bersama Indah. Entah untuk membicarakan mengenai kondisi kehamilan wanita itu atau hal lainnya. Apa Mas Lukman takut padaku? Atau karena apa?

Aku memang tidak membenarkan jika Mas Lukman lepas tanggung jawab dari Indah. Bagaimanapun wanita itu mengandung anak suamiku.

Niatku membawa Indah kesini untuk mengetahui kebenaran hubungan mereka sebenarnya. Apa iya mereka saling mencintai atau tidak.

"Istirahatlah, ini udah malem. Gak bagus wanita hamil keseringan begadang. Besok aku akan transfer uang buat kamu beli perlengkapan bayi," seru Mas Lukman, ia bangkit membawa kopinya dan menaiki tangga.

"Aku gak butuh uang, Mas. Aku butuh kamu!" Indah berteriak saat Mas Lukman sudah beranjak.

Benar-benar wanita bar-bar, tidak berpikirkah ia kalau sekarang sudah malam. Untung saja teriakannya tidak sampai membangunkan penghuni rumah.

Suara derap langkah kaki terdengar. Dengan cepat aku kembali berbaring, takut jika Mas Lukman akan masuk ke kamar.

Benar saja, suara pintu kamar dibuka.

Aku pura-pura terbangun, menatapnya yang duduk di sofa dekat jendela.

"Mas."

Ia langsung menoleh saat aku memanggilnya.

"Mas gak bisa tidur, makanya mau nonton bola biar cepet ngantuk," jelasnya dengan senyum lebar.

"Gak bisa tidur kok bikin kopi, Mas?" Aku turun dari ranjang dan menghampirinya.

"Pengen yang manis-manis, Yank. Kamu sih gak bisa Mas makan, makanya ini gantinya," tutur Mas Lukman.

Aku bersandar di bahunya, merangkul tangannya.

"Kamu samain aku sama kopi? Berarti di mata kamu aku item gitu, pahit pula? Padahal aku udah sering perawatan loh, Mas. Habis uang jutaan tau buat ini," ujarku tidak terima.

"Buk–"

Tok … tok … tok ….

Bersambung ….

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel