Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab Amarah

Sengaja, sudah jam tujuh malam tapi aku belum siap. Aku masih memakai blush on. Niken yang katanya satu malam lagi menginap di rumah karena bete dengan Bayu masih tidak berpindah sedikitpun dari tempatnya di kasur. Niken masih tiduran sambil menonton Netflix. "Loe gak apa-apa gue tinggalin?." Tanyaku santai.

"Gak apa-apa. Gue seneng bisa disini. Enak juga bisa makan masakan tante. Kalau di apartemen gue bosen mesti beli makanan dari luar terus. Ngirit juga sih akhir bulan. Sana loe tenang aja jalan sama Alif. Gue mau santai-santai sendiri."

Baru akan memakai lipstik, handphoneku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Alif. Aku mendiamkan sebentar kemudian mengangkatnya. "Ya Lif?."

"Aku udah didepan Nad. Aku masuk ya. Mau minta ijin sama mamah papah kamu dulu."

"Iya boleh masuk aja. Tungguin bentar ya, aku masih pake make up."

"Oke." Aku kemudian memutuskan panggilan dan kembali melanjutkan aktivitasku yang akan memakai lipstik."

"Pasti Alif udah didepan?."

"Hem..," jawabku santai.

"Cepetan dong Nad!. Alif udah dateng, tapi belum pake baju, belum pake sepatu." Niken geleng-geleng kepala.

Aku berdiri mengambil baju dan masuk ke kamar mandi. "Gue gak mau terlalu gampangan." Balasku ketika keluar dari kamar mandi.

"Biar gak kaya Bima ke loe sekarang?." Aku melemparkan handukku tadi ke mukanya. Biar tau rasa. "Galak banget deh."

Setelah memakai sepatu dan membawa tasku, Niken mengekori. "Gue mau liat Alif ah. Pengen tau kalau mau ngedate gimana dandannya?. Kok karyawan cewek di kantor banyak yang suka sama patah hati sama dia."

Setelah keluar kamar, aku lihat Alif sedang duduk di ruang tamu dengan baju kemeja casual warna biru navy dan celana chino coklat. Tiga kali ketemu, bahkan waktu tadi pagi disaat dia joging dia selalu rapih dan wangi. "Niken disini juga?."

"Anak asuh mamah papah." Jawabku. "Eh udah ketemu sama mamah papah?."

Alif mengangguk. "Sama mamah kamu, tapi barusan lagi ke kamar dulu. Katanya mau panggilin papah kamu dulu buat makan."

Aku mengangguk kemudian duduk di sebelah Alif. Niken juga ikut-ikutan. "Bentar ya tunggu mamah papah dulu." Alif mengangguk.

Tidak lama, mamah dan papah keluar dari kamar. "Oh ini yang di ceritain mamah. Siapa namanya?."

"Alif, Om." Alif berdiri kemudian salam pada papah.

"Mau kemana sih sayang?." Tanya papah mengelus kepalaku dengan sayang. Kebiasaannya dari dulu.

Aku memberikan cengiran lebar. "Mau nonton pah." Niken si pengacau malah menjawab lain, "Nadila mau pacaran tuh pah." Aku memberikan pelototan tajam pada Niken.

"Pah udah yah, gak usah dengerin dia. Dia syirik aja tadi kencannya gagal total." Balasku yang membuat Niken tidak bisa menjawab lagi. "Mah, pah aku sama Alif pergi dulu." Sebaiknya obrolan ini tidak diteruskan karena akan merembet kemana-mana. Aku takut ada nama Bima dibahas tidak sengaja. Mengganggu mood saja.

"Permisi om tante."

"Jangan malem-malem ya pulangnya. O ya yang paling penting jangan macem-macem." Nasehat papah dan mamah disikapi Alif dengan senyumannya yang lembut dan sopan. Playboy seperti Alif ini memang sudah bisa dikelompokkan kedalam playboy kelas kakap. Punya banyak skill dan juga pintar menutupi semuanya dengan keeleganan.

**

Malam itu aku dan Alif nonton film bergenre action kemudian makan di restaurant Jepang. Tidak tau, tiba-tiba ingin makan ramen saja. Untungnya Alif juga mau, walaupun dia lebih memilih sushi. "Rame aja ya kalau tempat makan Jepang itu." Ucap Alif ketika kita baru memesan makanan.

"Mungkin karena makanan Jepang itu lebih bisa diterima rasanya sama lidah kita dibanding yang lain." Alif mengangguk saja. Sampai ada satu perempuan yang mendekat, "Alif?."

Alif tampak berpikir, sepertinya saking banyak cewek yang pernah pacaran dengannya. Dia sampai harus berpikir keras seperti itu. "Meli?."

Wanita itu cemberut. "Biasa deh lupa."

Alif kembali berpikir, "ya ampun Seni."

Seni memeluk Alif singkat setelah Alif berdiri. Jadi pengen dipeluk juga sama Alif. Gimana ya rasanya?. Sama gak ya kaya pelukan Bayu. Ya ampun pikiranku benar kacau.

"Lupa terus deh. Untung inget, kalau masih gak inget juga aku bakalan ganggu idup kamu." Cerocos wanita yang bernama Seni itu bernostalgia dengan Alif sementara aku duduk saja bermain handphone. "Ya udah aku kesana lagi ya. Kalau ada acara jangan lupa undang aku ya." Seni itu benar-benar pergi tanpa ingin tau siapa yang sedang duduk dengan Alif. Dasar cewek bermuka badak. Untung aku orang yang tidak ambil pusing.

"Maaf ya, dia temen kuliahku." Jelas Alif ketika duduk kembali.

"Mantan lebih tepatnya mungkin?." Tanyaku dan Alif hanya tertawa saja. "Wajar kok kalau kamu punya banyak mantan sampei pada lupa namanya. Aku juga gitu soalnya." Akuku dengan terus terang.

"Kamu bikin aku kagum terus. Unik." Alif tertawa dengan lesung pipinya yang mempesona.

"Langsung bilang aja aneh. Gak apa-apa kok. O ya kamu orang asli mana sih sebenernya?." Tanyaku persis ketika makanan datang.

Alif menerima dulu mangkok ramen dan juga sushi baru menjawab pertanyaanku. "Aku asli orang Bandung. Ibu sama bapak ku tinggal di sana, tapi aku pengen kerja disini. Pengen mandiri." Jawab Alif santai sambil membukakan plastik sumpit karena aku terlihat susah merobek plastiknya. "Nih."

"Maksih ya." Aku menerima sumpit yang sudah dibuka Alif. "Bukan karena kamu pengen mengikuti gaya hidup bebas?." Tanyaku to the poin. Alif sepertinya banyak mendapatkan kejutan dariku semenjak pertama kali kita ketemu di pesta. "Kamu kaget ya?."

"Aku speechless karena kamu to the point banget, cewek kan biasanya kalau nanya muter-muter. Tapi gak apa-apa sih daripada muter-muter, bikin pusing. Em..., aku gak mengikuti gaya hidup bebas karena itu terlalu berisiko dan aku masih punya akal sehat. Tapi aku tidak menyalahkan yang menjalani gaya hidup seperti itu. Hanya saja kalau buat aku itu enggak. Aku buka-bukaan aja ya sama kamu, aku laki-laki normal yang punya rasa ketertarikan sama cewek dalam hal seksual dan ya menggiurkan lah jalanin gaya hidup bebas tuh. Tapi kita tentunya sebegai manusia harus dibatasi dengan akal sehat. Untungnya sih aku masih punya akal sehat." Terang Alif.

"Aku juga gak menyalahkan orang yang menjalani gaya hidup bebas. Itu pilihan hidupnya sendiri, tapi kalau buat jadi pasanganku aku gak mau dia punya gaya hidup kayak gitu." Aku mulai menyeruput ramenku. "Mantan kamu ada berapa sih?." Tanyaku langsung setelah mengunyah satu suapan tadi.

"Ehm....," dia berpikir. Seprtinya sih sedang menghitung. "Kalau dari jaman SMA, ya sepuluh lah." Alif menggaruk kepalanya. "Kamu?."

"Dari SMA itu sekitar delapan." Alif tertawa dan aku juga ikut tertawa.

"Beda tipis lah." Alif sambil menyuapkan satu sushi ke mulutnya.

"Ya kali pertandingan." Setelah obrolan yang agak terasa berat itu, aku dan Alif kembali mengobrol, tapi hal-hal yang ringan. Yang buat kami sama-sama tertawa, walaupun memang receh banget karena ternyata Alif itu orang yang punya selera humor garing dan ya aku juga sama kayak gitu. Niken bahkan sering ngatain, "apa sih ketawa sampei segitunya?. Gak lucu juga." Dan aku sekarang punya teman receh. Bahagianya. Bima saja selalu menggelengkan kepalanya dulu saat aku mencoba jadi pelawak disaat dia sedih. Tidak tau sedih apa, mungkin karena Hani. Menyedihkan.

Alif mengantarkanku sampai depan rumah di jam sebelas kurang. Aku bilang tidak usah pamitan karena mamah dan papah pasti sudah tidur. Dan dia menurut. "Ya udah aku pulang dulu ya." Ucap Alif ketika aku akan buka pintu.

"Iya ati-ati."

"Nad besok makan siang bareng ya."

"Chat aja dulu." Aku kemudian turun dan langsung kedalam kamar dengan Niken yang sudah tertidur menginvasi kasurku.

"Tidur di sofa kalau kaya gini."

**

Seharusnya aku siang ini makan siang dengan Alif, tapi yang terjadi malah Bima menclok di lobi menungguku dan tidak bisa diusir. Shit, umpatku.

"Apa lagi sih Bim?. Ngintilin terus." Kataku begitu tiba di lobi dan melihat Bima duduk tenang di kursi tunggu.

"Karena aku pacar kamu." Jawab Bima tidak tau malu.

Ya Tuhan aku harus bagaimana kan lagi manusia satu ini. Gak ngerti-ngerti. Jadi penasaran, gimana sih dulu cara gurunya atau dosennya ngajarin dia?. Aku menghela nafas sambil memijit pelipis. "Kita kan udah putus dari semenjak di saung dan kesepakatan malam itu, aku besok bakal beresin semua barang dari kamu biar kamu bener-bener sadar."

Dengan wajah badaknya dia malah mengabaikan perkataanku dan menarik pergelangan tangan. "Yuk makan siang." Aku sepertinya tidak ada pilihan lain selain mengikuti maunya Bima. Karena kalau gak diikutin aku takut dia bertindak malu-maluin.

Didalam mobil Bima, tanganku langsung mengetikkan chat pada Alif.

To : Alif

Lif maaf kayaknya siang ini aku gak jadi makan siang sama kamu. Ada gangguan mendadak yang susah diatasi. Sorry ya...

From : Alif

Yah :(

Ya udah apa boleh buat, tapi besok bisa ya.

To : Alif

Oke :)

"Kamu chat siapa?. Alif?. Kok kamu jadi deket sama dia sih?." Bima menoleh beberapa kali padaku.

Aku memutar mata sambil menyimpan handphoneku. "Udah tau masih nanya. Aku deket sama dia ya karena nyaman dan yang paling penting gak ada istri orang atau pacar orang nyusup di hubungan kita." Aku melirik untuk melihat reaksi Bima. Dia mencengkram setir kemudinya dengan erat.

"Kamu yakin dia cowok baik?."

"Ya aku gak tau, tapi kan tadi poin pentingnya udah aku bilang. Enggak ada istri orang atau pacar orang nyusup di hubungan kita." Perkataan ku sepertinya membuat Bima benar-benar marah. Bima menepikan mobilnya dengan sekali hentakan. Nafasnya naik turun. Sementara aku mencoba tenang saja dengan diam dan menolehnya sekilas. Wajahnya merah padam.

Sebelum berkata Bima mengatur nafasnya terlebih dulu. "Nad, oke aku ngaku kalah. Kamu udah berhasil bikin aku kewalahan dan ngerasain satu persatu apa yang dulu aku lakuin ke kamu. Tapi apa harus kamu terus-terusan gini sama aku?. Apa gak bisa kita akhirin aja balas-balasan kayak gini dan kembali biasa?."

Giliran aku yang tersulut emosi. "Kamu sadar udah janji berapa kali Bim?. Kamu selalu bilang kalau kita mulai lagi dari awal dan bilang bakal jaga jarak sama Hani. Tapi kenyataannya apa?. Kamu selalu pergi ke dia Bim dan ninggalin aku!." Teriakku frustasi dengan air mata yang sekarang malah turun. Kenapa sih harus lagi sama Bima nangis kayak gini?, dari kemarin-kemarin air mataku kering udah kaya gurun sahara. Sekarang tanganku juga sampai bergetar dan aku mengepal kuat.

Ya udah lah terlanjur basah. Aku bakal keluarin uneg-uneg ku semuanya. "Waktu kita dinner berdua, ada panggilan dari Hani kamu langsung pergi ninggalin aku padahal paginya kamu baru bilang bakal berubah. Terus waktu kita lagi nonton di bioskop kamu juga tinggalin aku nonton sendirian gara-gara Hani telepon minta kamu temenin dia karena anaknya panas. Kamu loh yang di teleponnya, bukan suaminya. Kamu juga ninggalin aku waktu aku lagi sakit karena Hani nelepon bilang dia mogok dijalan. Belum lagi yang lainnya." Aku sudah tidak kuat lagi. Bima tidak bisa aku biarkan begitu saja, berbuat seenaknya dan ngomong seenak jidatnya.

"Tapi Nad, aku gak maksud ninggalin kamu...," Bima meraih tanganku dan berbicara lebih lunak setelah melihat aku marah.

"Terus maksud kamu apa?." Tantangku.

Seperti biasanya, saat Bima tidak bisa berkata apa-apa lagi dia akan memelukku dan biasanya aku akan luluh. Tapi kali ini ketika dia memelukku aku diam saja, tidak menyambutnya atau memeluknya balik. "Bim anterin aku ke kantor lagi. Aku udah gak mood buat makan." Ucapku dingin padanya ketika dia masih saja berusaha meluluhkanku dengan pelukannya.

"Nad..,"

"Anterin aku atau aku turun disini." Ancamku dengan tegas.

Bima langsung melepaskan pelukannya. "Oke, aku anter kamu ke kantor lagi. Kita makan di kantin aja."

"Gak ada kita lagi Bim, tapi aku atau kamu."

Bima tidak bisa membalas perkataanku lagi dan sepanjang perjalanan itu kami hanya saling diam. Mungkin Bima kaget aku bisa semarah itu karena selama pacaran kemarin aku memang suka mengeluh tentang dia dan Hani, tapi tidak pernah semeledak barusan.

**

Setelah meninggalkan Bima tadi di mobilnya dengan wajah nelangsa aku tidak ada mood untuk makan. Aku langsung kembali ke kubikel dan mengeluarkan foto aku dan Bima yang ada di dalam dompet. Mengeluarkan anting juga pemberiannya yang selalu aku bawa di dalam kotak perhiasan kecil yang ada di tas. Kemudian aku juga menghapus semua foto yang ada di handphoneku. Selesai melakukan itu semua aku menelungkupkan wajah ke meja. Capek banget rasanya berurusan sama Bima. Dalam hati kecilku aku tau, mungkin ini karena belum sepenuhnya rasaku hilang buat Bima jadi aku seperti ini.

"Nad." Opik, salah satu staf keuangan berdiri di depan kubikelku. "Ini biasa laporan akhir bulan. Dikoreksi dulu ya."

Aku membawa berkasnya kemudian menjawab dengan lemas. "Hem. Nanti gue periksa dulu."

Opik menarik bangku Yuli kemudian duduk di sampingku. "Kenapa sih loe?. Kusut banget mukanya."

"Gak apa-apa Pik."

"Gak usah boong, tadi gue liat loe kayak lagi berantem sama cowok loe di lobi."

Liat gara-gara Bima kan. Menurunkan pasaran aja. "Mantan." Koreksiku. "Ya gitu lah nyebelin dia, gak mau diputusin. Kerjaannya ngerecokin gue mulu beberapa hari ini."

"O jadi loe baru putus. Kalau loe gak mau direcokkin, ya udah loe jadian aja sama cowok lain lama-lama dia juga bakal mundur. Laki-laki itu harga dirinya gak bisa dilukain apalagi di perlakuan seenaknya sama ceweknya." Bener kata Opik, aku harus secepatnya jadian sama Alif. Kalau enggak dia bakal terus gangguin dan malah bisa jadi semakin membuat aku sakit hati, susah move on.

"Iya sih."

"Loe udah makan belum sih?." Aku menggeleng. "Ya udah makan aja yuk daripada galau gitu, ngerugiin diri sendiri aja. Gue juga belum makan kok. Kita makan bareng di kantin." Aku mengangguk patuh karena benar juga kata Opik. Baru aja gue bangkit, masa sekarang udah mewek-mewek lagi karena Bima. BIG NO!

Begitu sampai kantin, banyak sekali yang makan. Mungkin karena akhir bulan juga kali ya jadi mereka lebih milih makan di kantin daripada di luar, lebih murah. Walaupun penuh, untung masih ada satu meja kosong. "Tunggu disini aja, biar gue yang pesenin. Loe mau apa?." Tawar Opik.

"Soto Bu Rosi aja."

"Oke." Opik pergi kemudian kembali lagi setelah sepuluh menit. "Nih punya loe." Opik menyodorkan satu mangkuk soto mie yang masih mengepul panas. Menggiurkan sekali.

"Makasih ya. Uangnya ini." Aku baru akan mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dompetku, tapi ditahan Opik.

"Udah, dari gue aja."

"Baik banget sih loe."

"Baru tau?." Balas Opik sambil menyuapkan satu suapan besar. Selama makan kami banyak mengobrol mengenai banyak hal yang terjadi di kantor. Termasuk gosip-gosip yang banyak beredar. "Loe ternyata suka gosip juga ya Pik."

"Ya loe tau sendiri ada si Winda di bagian gue. Ya gue jadi denegr semua gosip yanga da di kantor."

Aku tertawa sambil mengelap mulutku dengan tissue. "Tapi kalau gosip gue sama Pak Ari, itu ngaco berat. Mana mau gue sama bapak-bapak tua udah punya istri kayak gitu. Genit lagi. Lagian kalau iya gue sama Pak Ari ada apa-apa, ngapain gue sering bawa si Bima kemaren."

"Ya gue juga gak percaya kali Nad. Kalau loe digosipin sama gue, gue percayalah. Lah sama Pak Ari?. Udah kayak novel-novel panas aja, affair antara bos sama sekretarisnya."

Aku melempar tissue ku. "Garing loe."

"Ya kan gue masih muda, ganteng lagi. Jadi masih bisa dipercaya gosipnya. Ini Pak Ari udah bangkotan."

"Nanti orangnya tiba-tiba ada dibelakang loe baru tau rasa."

Opik mengetuk-ngetukkan tangannya ke meja. "Mit amit. Jangan ngomong sembarang loe. Eh tumben gue gak liat mobil loe hari ini?."

"Mobil gue di bengkel, lagi servis berkala. Tadi pagi dianterin Pak Rusli."

Opik si laki-laki dengan rambut cepak namun penuh jambang di mukanya mengangguk-ngangguk. "Mau nebeng ke mobil gue gak?."

Aku tertawa, "jadi ceritanya ngajak pulang bareng?."

"Enggak, sayang bensin aja. Gue baru beli bensin full tank, tapi lagi gak punya pacar yang bisa gue anter-anterin pulang. Kebetulan ada loe yang mobil nya lagi diservis."

"Halah. Gengsi banget sih loe. Ya udah boleh. Loe juga gak jelek-jelek amat pulang bareng gue." Candaku.

"Kampret." Candanya balik sambil melempar tissue.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel