Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Unik

"Jadi pulang bareng?." Kepala Opik mendadak muncul di samping kubikelku. Untung gak jantungan. "Yuk. Udah gak usah kerajinan lembur gitu, Pak Arinya juga udah pulang kan dari jam empat?."

Aku mendongakkan kepala. "Kok tau sih?."

"Tadi ketemu pas gue mau bikin kopi di pantry." Jawab Opik. "Buruan."

Mataku mendelik sembari membereskan barang. "Iya bawel, bentar."

"Nah gitu dong." Aku berdiri dari kursiku dan mengikuti langkah Opik menuju lift. "Lembur Yul?." Tanya Opik menoleh pada Yuli.

"Iya Pik. Pulang barengan?." Tanya Yuli melirik ku.

"Iya. Duluan ya."kataku berbarengan dengan Opik. Yuli hanya melambaikan tangan padaku dan Opik. "Dia itu seneng banget lembur ya." Sambung Opik ketika sudah berada di dalam lift.

"Yuli emang sering pulang malem. Katanya kosannya sepi udah gitu gak ada wifi. Hobinya kan streaming drakor." Aku dan Opik melangkah berbarengan keluar dari lift. Lobi kantor sudah lumayan sepi. Pantas sih, udah jam tujuh juga. Tadi aku dan Opik ada kerjaan dulu, dia juga tanggung mau solat isya dulu. Jadi kita baru pulang jam segini padahal jam pulang kantor itu dari jam lima.

Diparkiran Mobil Jazz lama Opik terlihat sangat bersih dan terawat. Walaupun katanya mobil Jazznya itu dari jaman kuliah, tapi Opik rajin steam sama dibawa ke bengkel juga. "Mau makan malem dulu gak?." Tanya Opik sambil memasang safety belt.

"Ehm.. boleh." Jawabku juga sambil memasang safety belt.

"Ya udah nasi goreng mau?."

"Boleh." Opik menstater mobilnya kemudian pergi meluncur ke tempat nasi goreng yang ternyata deket banget sama kantor, tapi lumayan penuh. "Loe sering makan disini?. Eh bentar, jangan-jangan loe sering bawa korban-korban loe kesini ya?." Tanyaku sambil bergeser untuk duduk.

"Kejam loe kalau ngomong. Berasa gue ini penjahat pake kata-kata korban segala."

Aku memajukan wajahku dan berbisik, "penjahat kelamin."

Opik memukul bahuku, "ya ampun wajah polos kayak gini di katain kayak begitu. Jahat banget loe sama gue."

"Halah polos, Yuli aja kemaren cerita liat loe lagi sama cewek di salah satu kafe. Eh ceweknya nangis terus pergi duluan dari kafe. Udah kaya adegan ada yang minta pertanggung jawaban dari cowoknya, tapi si cowoknya malah bilang putus." Balasku puas.

Beberapa minggu yang lalu Yuli pagi-pagi heboh banget. Dia bilang melihat Opik malam minggu di sebuah kafe yang fancy sama cewek cantik, eh tapi malah si ceweknya pulang duluan pake adegan nangis-nangis bombay kaya di drama-drama yang di tontonnya.

Opik langsung terlihat berpikir. "Sembarangan loe kalau ngomong, mit amit. Yang mana sih?."

"Saking banyak sih lupa deh loe."

"Salah mulu ya jadi cowok." Aku menertawainya didepan penjual nasi goreng yang sedang mengantarkan dua pesanan nasi goreng kami.

"Rame banget mas Opik ngobrolnya." Kata si penjual. Kayaknya Opik sering makan disini sampei-sampei si penjual nasi gorengnya hapal wajah sama namanya.

"Gak tau nih pak nuduh-nuduh saya suka bawa cewek ke sini." Cerocos Opik sambil mengaduk nasi gorengnya.

"Jarang bawa cewek dia mah mbak. Paling sama Mas Yuda. Eh bentar ya ada yang beli." Penjual nasi goreng itu kemudian kembali ke depan jongkonya untuk melayani pelanggan.

Nasi goreng yang ada di hadapanku ini memang sangat menggiurkan. Sayang banget, selama dua tahun aku kerja di kantor deket sini malah baru tau ada nasi goreng kayak gini. Ini sih gara-gara Niken yang suka nyuruh nemenin dia makan atau kalau enggak Bima yang lagi gak ada jadwal sama komandannya, Hani. Jadi aku gak tau ada nasi goreng semenarik ini. Dan setelah di suappun ternyata rasanya enak banget. Opik juga lahap banget makannya. "Suka nyogok berapa ke tukang nasi goreng buat ngejaga nama baik loe?." Candaku yang langsung membuat Opik tersedak.

Aku menyodorkan air putih padanya. Muka Opik yang putih terlihat merah. "Gue itu emang gak suka bawa cewek kesini." Jelas Opik ketika mukanya yang tadi seperti kepiting rebus sudah kembali normal. Ya wajarlah nasi gorengnya pedes jadi pasti sakit tenggorokannya.

"Jadi gue bukan cewek?." Tanyaku pura-pura melotot. Opik tertawa sampei kesedak lagi buat kedua kalinya dan minumnya habis. Aku yang kini giliran tertawa, tidak tega akhirnya aku menyodorkan gelasku padanya yang tinggal setengah isinya.

"Ya soalnya cuman loe cewek yang mau diajak kesini." Terang Opik. Memang kalau melihat mantan-mantan Opik yang suka bertengger di insta storynya itu cantik-cantik. Ada yang model bahkan. Pacar Opik gak perlu diragukan lagi lah intinya. Ya memang modalnya cuman Jazz lama, tapi dia ini anak Gubernur. Jadi ya pasti mantan-mantannya itu minta di ajak ke kafe fancy yang di ceritain Yuli atau tempat yang lebih mahal lainnya. Dompetnya tebal gitu. Dia kan sampingan juga jadi photographer.

"Damn, gue harusnya minta diajak ke tempat yang lebih mahal."

"Salah loe, tapi bagus sih karena gue emang suka banget makan disini. Hampir tiap malem gue makan disini. Kalau makan di tempat lain yang lebih mahal juga pasti baliknya harus kesini dulu. Udah kaya jodoh aja pokoknya gue sama nasi goreng Pak Karim ini."

Ketika sudah menyuap nasi goreng terakhir, ada telepon masuk dari Alif. Aku diamkan sebentar. Lalu kemudian mengangkatnya dengan sekalem mungkin. "Hai Lif."

"Hai Nad. Lagi dimana?."

Aku melirik Opik, menimbang. Kalau bilang lagi makan sama temen cowok nanti pedekate aku yang harus lebih express sama Alif bakal agak molor kayaknya. Bohong aja gitu ya?. "Lagi di tempat nasi goreng yang ada di deket kantor." Gak jadi bohong. Jawaban aman.

"Sendirian?."

"Iya." Jadi bohongnya sambil melirik Opik yang lagi makan kerupuk. Kalau jujur nanti ditanya sama siapa.

"Belum pulang?."

"Belum, tadi ada kerjaan dulu. Kenapa Lif?."

"Gak apa-apa tadinya mau ngajak kamu makan. Eh taunya lagi makan. Ya udah kalau gitu sampei ketemu makan siang besok." Aku menutup panggilan dari Alif cepat kemudian tertawa. Sepertinya berhasil memakai trik jinak-jinak merpati ke cowok playboy kayak Alif.

"Kenapa loe ketawa gitu?." Tanya Opik setelah memesan dua botol air mineral. "Gebetan baru ya?."

"Sotoy loe."

"Gak mungkin kalau bukan gebetan pake aku kamu segala." Bener juga sih kata Opik.

"Ketularan Winda tuh keponya."

"Yuk ah." Aku akhirnya diantar Opik sampei depan rumah dengan Jazz lamanya yang diberi nama Robert. Sok bule banget emang nama mobilnya.

**

Pagi-pagi aku membawa kotak yang lumayan besar, berisi barang-barang dari Bima. Rencananya aku hari ini bakal kasih langsung ke kantornya Bima sekalian janjian sama Alif. Mamah yang melihat kotak itu terkejut. "Ya ampun kamu dipecat?. Bawa kotak gitu segala."

Aku yang sedang mengoles roti langsung mengirup nafas dalam-dalam. "Bukan mah, ini barang dari Bima semua."

"Kok?. Putus?. Kamu selingkuh sama Alif yang kemaren itu ya?." Aduh kenapa jadi aku yang dituduh selingkuh?. "Jangan dong sayang. Jangan selingkuh-selingkuh gitu."

Aku menyuap roti yang sudah kuolesi selai besar-besar. "Dia yang selingkuh kali mah bukan aku."

"Masa sih?." Tanya mamah masih curiga padaku.

"Ya udah lah, aku pergi dulu ya mah. Ke papah aku duluan ya." Mamah mengangguk, aku salam ke tangannya kemudian pergi.

Gara-gara kotak besar yang berisi benda keramat dari Bima, hari ini jadi banyak yang nanya. Dari mulai Yuli, "ngapain bawa kotak kayak begitu?. Loe gak resign kan?."

Opik juga, "loe bukan mau keluar gara-gara denger gosip loe sama Pak Ari dari gue kemaren kan?. Udah gak usah di pusingin, loe tinggal jadian sama gue. Pasti itu gosip ilang."

Sampei Winda yang melirik-lirik ku waktu di lift. Aku yakin di kepalanya yang kecil itu dia sedang menghubung-hubungkan gosip-gosip selama ini tentang aku dan terakhir dihubungkan sama kotak yang aku bawa. Dan yang terakhir kepo sama kotak yang aku bawa adalah Pak Ari. "Ya ampun Nad, kamu jangan resign dong. Darimana saya dapet sekretaris kayak kamu." Terbang idunku, tapi emang bener juga. Dimana lagi Pak Ari nemu sekretaris kaya aku, ditelepon sejam sekali sama istrinya kalau lagi ada meeting di luar kota. Atau video call berjam-jam waktu Pak Ari lagi kerja berdua sama aku. Ribet memang istrinya, tapi ya gimana lagi Pak Ari suka baik kalau ngasi bonus. Ibunya juga baik suka ngajak makan sesekali kalau habis kerja di luar kota.

Aku menjawab semua pertanyaan beberapa orang itu dengan kalimat yang sama. "Ini barang dari mantan yang harus dibuang." Emang ya gak Niken, gak Yuli, pada kepo banget deh. Kalau orang bawa kotak segede gaban emang kenapa?. Kan gak nyuruh mereka bawain juga.

Istirahat siang aku langsung pergi ke kantor Alif untuk makan bareng. Tapi sebelum itu aku menelepon Bima untuk menyerahkan kotak besar. Aku melihat dia keluar dari lift sambil celinguk-celinguk. "Nad.., kotak apa itu?." Tanyanya langsung kaget ketika sudah mendekat.

Mungkin di pikirannya aku kesini buat ngajak dia makan siang atau baikan. In your dream Bim!. "Ini barang-barang yang dulu kamu kasih buat aku. Kan kemaren aku bilang bakal ngembaliin semuanya."

Bima tidak menerima kontrak itu ketika aku sodorkan. Dia malah mendorong balik kotaknya. "Aku gak mau."

"Kenapa?."

"Aku masih sayang sama kamu, terserah kamu mau bilang kita udah putus atau apapun. Yang jelas aku bakal terus deketin kamu." Aku kira dia malem gak datang menggangguku karena dia udah sadar, ternyata bukan sadar tapi malah semakin gila. Ya ampun.

"Aku udah bawa dari rumah loh Bim, sampei ditanyain sama orang-orang gara-gara bawa kotak gede ini. Jadi kamu harus terima dan bawa." Tegas ku tapi tetap saja Bima menggeleng. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Berurusan sama Bima memang selalu menyita emosi dan tenaga. "Ya udah kalau kamu gak mau, aku bakal hibahin aja barang ini."

"Jangan dong Nad. Itu semua kan aku beli bener-bener buat kamu."

Ya Tuhan laki-laki tukang gombal ini benar-benar buat aku jadi muak lama-lama. "Nad." Pertolongan datang. Alif mendekat dengan kemeja biru lautnya yang super duper rapih. "Bim." Sapa Alif pada Bima.

Wajah Bima langsung tegang kikuk. Tau gak sih sejenis reaksi yang kesal kaget, tapi dia gak bisa apa-apa. "Pak Alif." Sapa Bima. Dari kemaren-kemaren aja bilangnya Alif. Di depannya keok. Kesempatan, disaat seperti itu aku mendorong kotakku ke perutnya yang rata dan mau tidak mau Bima memegang kotak itu. "Nad." Protes Bima.

"Yuk Lif." Ajak ku pada Alif.

"Tinggal dulu ya Bim." Alif menepuk pundak Bima kemudian kami meninggalkan Bima yang memandang tidak percaya. Aku tertawa puas dalam hati. Rasakan!.

Setelah adegan di lobi kantor itu Bima tidak menggangguku. Tidak tau karena dia sudah malas berhubungan dengan Alif atau memang sudah menyerah. Ya aku seneng-seneng aja. Hubunganku dengan Alif juga meningkat pesat. Kita sering makan siang atau makan malam berdua. Sabtu Minggu juga kami keluar buat sekedar nonton atau makan. Kadang kita juga joging doang. Satu bulan kira-kira, akhirnya Alif minta aku jadi pacarnya di tempat parkir yang ada di kantor ku. Dia menjemputku buat makan malem sama-sama. Alif berdiri di samping mobilnya ketika menungguku. Waktu aku mendekat dan dia membukakan pintu Alif bilang, "jadi pacar aku mau gak Nad?."

Aku yang tadinya mau mendudukkan diri di mobilnya berhenti dan kembali berdiri. "Kalau aku mau. Aku bakal jadi pacar ke berapa?." Aku memandang mata Alif dan dia berbalik menatapku dengan pandangan serius.

Lalu beberapa detik kemudian Alif tertawa, "mungkin ke sebelas atau mungkin ke dua belas. Aku gak itung-itung."

"Kenapa pengen aku jadi pacar kamu?."

"Karena kamu unik."

Giliran aku yang tertawa. Dari awal Alif bilang aku unik. "Aneh lebih tepatnya."

"So.... jawaban kamu?." Alif mendekatkan wajahnya padaku.

"Ehm..., boleh lah." Jawabku dan Alif langsung menciumku sekilas. Bibirnya terasa lembut dan kenyal. Kaya jeli. DEG. Tiba-tiba jantungku berdebar. Ya ampun apa-apaan ini?. Aku kan gak boleh pake perasaan sama Alif. Dia ini playboy kelas kakap. Inget Nadila, jangan sampei keluar mulut singa masuk mulut harimau.

"Jangan bengong gitu sama ciuman kita barusan. Ayo masuk mobil ini tempat parkir."

Shit. Siapa yang nembak sama nyium aku disini?!.

**

"Mau makan dimana?." Tanya Alif sambil menoleh padaku yang duduk di jok samping.

"Ehm..., dimana ya?. Yang enak aja lah."

Alif berpikir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir. Kebetulan lampu merah, dia juga menyimpan dagunya di kemudi setirnya. "Kamu bisa masak gak Nad?." Todong Alif. Aku langsung gelagapan. Aku jarang banget masuk dapur. Rasanya dapur udah kayak tempat keramat. Mamah bakal ngomel panjang lebar kalau udah urusan masak.

"Enggak. Jangan suruh aku masak pokoknya." Jujurku. Aku memasang wajah lucu dengan mata puppy eyes supaya Alif gak nyuruh aku masak.

"Ya udah aku aja yang masak. Aku bisa masak dikit-dikit, tapi belum beli sayuran dan sebagainya."

Aku langsung menjawab denagn semangat. "Ya udah ayo beli aja ke supermarket sama-sama." Alif langsung mengangguk. Aku lega. Daripada disuruh masak ya mending disuruh belanja lah.

Alif ternyata memborong makanan. Kami sampai membawa dua kantung plastik besar. Katanya dia sekalian nyetok isi kulkas. Yang dibelinya itu rata-rata makanan sehat semua, mulai dari sayur, buah, daging sampai macam-macam saus. Saus cabe lah, tomat lah, terus tiram dan yang lainnya pokoknya. Buat makanan tambah enak pokoknya.

"Aku masukin ke kulkas ya belanjaannya." Begitu sampai di apartemen Alif buat yang kedua kalinya setelah pertama pulang dari joging waktu itu.

"Hem, makasih ya sayang. Aku mau mandi terus ganti baju bentar." Deg. Jantungku berdebar lagi cuman gara-gara dipanggil sayang sama Alif buat pertama kalinya. Ya ampun Nadila eling-eling, nyebut. Aku memperingati ke satu bentuk kecil yang ada di dalam diriku yang suka berbuat di luar logika ku sendiri.

Ku pikir lebih baik membuka kulkas dan memasukkan semua belanjaan Alif ke dalamnya. Setelah selesai menata bahan makanan, bukannya menutup pintu kulkas aku malah berdiri didepannya. Berharap dinginnya kulkas bakal bangunin dan sadarin jiwaku yang lemah sama cowok cakep dan lemah lembut kaya Alif. Sebelum Bima, aku bisa kendaliin perasaanku sendiri. Tapi emang kebanyakan mantanku yang sebelumnya gak selembut Alif atau Bima. Tapi bukan berarti kasar loh. Mereka emang lembut, tapi ya kerasanya beda aja gitu. Argh, masa segampang ini sih aku sama cowok modelan kayak Alif. Inget Nad dia itu playboy, bisa putusin loe kapan aja.

"Ngapain Nad depan kulkas lama-lama?." Alif mendadak ada disamping wajahku saat aku menoleh karena kaget. Tau perasaan ku udah kayak apa?. Kayak ada yang main drum band, gak karuan.

"Gerah." Jawabku tenang. Ingat bukan kalau aku harus tetap bisa mengendalikan diri sendiri agar selalu terlihat tenang dihadapan laki-laki. Lalu tanpa aba-aba. Ya masa iya ya pake aba-aba. Alif menciumku. Bukan ciuman sekilas lagi. Aku yang baru saja bertekad jadi tidak berdaya. Setelah beberapa saat tiba-tiba seperti ada yang bersuara. Ingat Nad!, katanya. Aku yang awalnya mengikuti bibir Alif kini mengimbangi ciuman Alif selama beberapa menit untuk menunjukan bahwa aku tidak lemah. "Kamu good kisser." Ucap Alif ketika baru saja menyudahi ciuman kami.

"Kamu juga." Balasku dengan masih wajah kami yang sangat dekat. "Ayo masakin aku." Lanjutku. "Kamunya awas dulu, aku mau bawa bahan-bahannya." Alif tersenyum sangat manis. Ya ampun ini laki-laki bikin panas dingin aja cuman sama senyumannnya doang. Baru mandi lagi. Rambut acak-acakan masih basah-basah gimana gitu. Belum lagi tadi mulutnya yang wangi mint.

"Yang enak ya." Aku mundur dari depan kulkas kemudian duduk di meja makan kecil yang ada didepan kitchen setnya. Ya khas apartemen-apartemen lah. Aprtemen yang ke bilang elit karena ada didaerah tengah-tengah kota, udah gitu desain sama interiornya juga mewah. Ya pantas sih Alif ini kan manager. Lebih tua juga dari aku, Bima dan Niken.

"Kalau aku bisa masak enak apa hadiahnya?."

Aku duduk sambil berpikir, playboy satu ini lagi mancing nih pasti biar bisa ciuman lagi kayak tadi. "Hadiahnya aku bakal beliin kamu kura-kura. Biar gak sendirian banget hidupnya disini."

Alif tertawa, "perhatian banget sih. O ya kenapa harus kura-kura?."

Aku membuka tempat makanan ringan yang ada di meja sambil berpikir. "Ehm..., karena kalau kura-kura gak bakal recokin kamu. Kura-kura kan diem aja. Dia itu ada tapi gak akan ganggu kamu, tapi kalau gak ada kamu bakal kesepian."

"Kayak kamu gitu?." Tanya Alif sambil mencuci kerang.

Aku berhenti mengunyah, "maksudnya?."

"Kamu kan gak suka telepon-teleponin aku, gak suka gangguin aku. Tapi kalau gak ada ngangenin."

"Gombal."

Alif melanjutkan masaknya dengan serius dan tenang. Dia udah kayak chef aja. Cara pegang spatula juga Alif kayak udah pengalaman banget. Aku megang spatula?. Jangan disuruh. Sering di marahin mamah. "Bukan gitu Nad megangnya, nanti jatuh kena kaki kamu. Makanannya juga jadi gak ke aduk bener." Mungkin karena Alif udah lama hidup mandiri, jauh dari orang tua makanya dia bisa masak kayak gitu. "Ngeliatin aku sampei segitunya?. Kagum ya liat aku masak?." Alif membuat aku malu karena ketahuan gak ngedip liatin dia masak.

"Geer. Aku cuman lagi ngebayangin aja kalau kamu yang diajarin sama mamah pasti kamu dapet nilai A. Aku kan kalau diajarin masak sama mamah pasti sering di marahin. Udah gitu banyak nilai minusnya." Alif tertawa sambil memindahkan pasta kerangnya yang menggiurkan ke atas piring besar. Di tata dengan rapih sekali dan piringnya juga di lap dengan hati-hati pinggirannya. Bener-bener udah kayak chef.

"Selesai." Alif membawa dua piring besar ke meja dan menyimpannya di depanku. "Kamu mau aku ajarin masak?."Tanyanya setelah duduk.

"Nanti bakal di marahin gak kayak mamah?." Aku menggosokkan kedua tanganku dan mengambil garpu dengan tidak sabar.

"Tergantung situasi. Eh enak gak?. Inget ya kalau enak janjinya." Alif mengingatkan. Dan begitu suapan pertama, rasanya enak banget, Pengen nangis deh saking enaknya. "Gimana?." Tanyanya lagi tidak sabar. "Dari reaksinya kamu sih kayaknya enak banget."

"Merem melek gitu bukan mataku?." Aku bener harus mengakui kalau Alif ini udah kayak chef. Masakannya enak banget. Sekelas lah sama masakan mamah yang bedanya kalau kelas mamah itu masakan lokal kalau Alif ini masakan luar.

"Ya gitu deh." Jawabnya sambil tertawa.

"Iya aku akuin masakan kamu enak banget."

"Inget janji kamu ya, kalau lupa awas nanti aku cium lagi."

Mataku mendelik tajam. "Maunya kamu sih kalau itu." Alif tertawa saja lalu menanyakan hal yang membuatku mati kutu kalau harus berbohong. "Emang kamu gak mau?."

"Ehm..., biasa aja."

**

Setelah berpacaran, beberapa pertemuanku denagn Alif benar-benar membuat jantungku gak karuan. Berdebar. Panas dingin. Udah kaya orang meriang. Gawat. Aku langsung hubungin Niken buat janjian makan siang. Dan mau tidak mau Niken harus mau.

"Apa sih loe?. Gue sampei batalin janji sama si Bayu loh. Padahal dia itu sibuk banget." Cerocos Niken begitu bertemu di Solaria yang ada di deket kantornya.

"Biarinlah, biar dia ngerasa loe itu susah didapetin. Loe sekarang kan lemah sama Bayu." Aku puas sekali melihat Niken mengumpat dengan ekpresi wajahnya.

"Cepetan cerita. Loe kan udah jadian sama Alif terus sekarang dimana gawatnya?." Tanya Niken tidak sabar sambil mencomot kerupuk nasi goreng yang baru saja diantar.

Aku meminum dulu jus melonku yang dipesan Niken sebelum aku datang. "Yang gawatnya itu ya perasan gue sendiri Ken. Gue kayaknya mulai jatuh cinta sama si Alif. Hati gue dag dig dug kalau dekat dia. Mana kalau dia udah nyium gue, aduh gue mati rasa. Lemes. Gue gak mau kayak waktu sama Bima. Dia bukan playboy aja nyakitinnya gak kira-kira, apalagi si Alif yang emang playboy." Jelasku panjang lebar.

Niken bukannya prihatin malah tertawa keras. "Rasain loe kena batunya. Maen-maen sama playboy kelasnya Pak Alif sih."

Aku mendengus, "gue yakin soalnya dulu-dulu juga mantan gue ada yang playboy gue bisa atasin dan gak pake perasaan. Loe inget kan si Juna?. Dia kan vokalis band. Udah kayak apa aja kalau ketemu cewek. Tapi gue bisa atasin."

"Ya karena jaman itu loe juga masih jalan dan deket sama beberapa cowok lain. Kan sekarang cuman sama Alif doang."

Aku menggebrak meja. "Bener itu dia kata kuncinya. Gue harusnya gak deket cuman sama Alif doang. Jadi gue bisa gak pake perasaan sama dia. Tapi deket sama siapa lagi ya?."

Niken menyuap nasi gorengnya dengan lahap kemudian menjawab pertanyaan ku denagn santainya. Memang kalau kayak gini, dia yang paling bisa aku andelin. "Ya kayak air mengalir aja Nad. Cowok mah pasti ada aja yang deketin sama cewek cantik kayak loe, asal loe nya jangan buat benteng sendiri. Kalau ada bentengnya ya mereka gak bisa deketin loe."

Aku menyadari satu kata yang Niken ucapkan. "Loe barusan bilang gue cantik ya?."

"Damn, gue salah bilang. Ya cewek lumayan kayak loe lah."

"Halah rugi banget bilang temennya cantik juga."

**

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Pepatah itu kayaknya cocok banget buatku sekarang. Setelah pembicaraan ku tadi siang sama Niken, Opik datang ke kubikelku menjelang jam pulang dengan memutar-mitra kunci mobil di jarinya. "Nad loe katanya mau nyari kura-kura."

"Iya. Loe mau nganterin emang?." Candaku, tapi ternyata disambut serius sama Opik dengan mengangguk. Yes. Beberapa hari yang lalu aku memang menanyakan dimana tempat beli kura-kura untuk menepati janji sama Alif. Kebetulan Opik ini punya kura-kura di rumahnya dan sering update di instagramnya. Kayaknya isi sebagian feed nya itu kura-kura gede yang segede bantal itu. "Kapan?."

"Sekarang aja yu?. Gue sekalian mau beli makannya si Albert." For you information, Albert itu nama kura-kuranya Opik. Kocak banget emang dia itu. Nama sendiri aja Opik, bagian namain mobil sama kura-kuranya sok bule. Robert lah, Albert lah.

"Duh si kura-kura bule. Iya tunggu gue matiin dulu komputer terus beresin barang gue dulu." Opik mengangguk dan menyimpan dagunya di sekatan kubikelku sembari menungguku. Bukannya aku geer atau bagaimana, aku merasa Opik melihatku dengan khusyu. "Ngeliatin gue sampei segitunya. Gue tau kok kalau gue cantik." Kataku membuat Opik tersenyum ketika aku menoleh.

"Iya iya terserah loe. Ayo cepet." Opik langsung gelagapan. Dan pergi berjalan lebih dulu. Aku tertawa saja.

Aku ternyata di bawa ke sebuah toko yang lumayan gede dan pemilik toko itu akrab banget sama Opik. Perasaan dimana-mana pada kenal sama dia. "Makanan buat si Albert aja atau mau ngambil yang lain lagi?. Gue ada ikan baru. Cakep warnanya."

"Ini temen gue mau beli kura-kura. Eh boleh liat dong ikannya." Pemilik toko itu keluar dari balik etalasenya. Memimpin jalan kami. "Kura-kuranya mau yang masih kecil atau udah gede?." Tanya penjual yang berumur sekitar 30an sepertinya.

"Mau yang gimana Nad?." Opik berbalik bertanya padaku.

"Yang kecil aja. Tapi jangan terlalu kecil banget juga. O ya sepasang ya." Penjual itu mengangkat dua kura-kura yang sedang. Menyodorkannya padaku. "Ayo pegang aja."

Wajahku mengernyit. Membayangkan kuku kura-kura itu bakal kena tangan terus nyangkut-nyangkut. Opik mengambil kura-kura yang disodorkan dan mengambil tanganku kemudian meletakkannya di tanganku. "Gak apa-apa kali Nad. Lama-lama juga biasa."

"Geli ya."

"Dikit doang. Gimana?. Mau ngambil yang ini?." Tanya Opik dan aku mengangguk saja. Lalu menyodorkan kembali kura-kura yang terasa geli di kulitku itu pada penjualnya lagi buat di bungkus. "Sama makanannya plus kandangnya ya." Tambahku.

"Beres. Yuk kalau mau liat ikannya." Penjual itu menyerahkan kura-kura yang dipegang pada pegawainya dan menyuruh pegawainya itu menyiapkan segalanya. "Ini ikan bagus banget. Jenis Guppy HB Blue Taiwan."

Aku langsung terpesona liat ikan itu. Mereka sepasang. Punya gradiasi warna biru yang bagus. "Bagus banget." Kataku tanpa sadar saking terpesonanya aku sama ikan itu. Aku memang bukan type orang yang seneng buat melihara kucing, hamster dan sebagainya karena jangankan buat pelihara megang aja gak berani. Geli dan takut.

"Bagus gak?."

"Bagus lah, banget." Jawabku masih dengan tatapan terpesona kepada sepasang ikan itu.

"Gue ambil ya. Sama peralatan dan sebagainya. Makanannya juga. O ya akuariumnya yang kecil aja, tapi bagus buat disimpen di dalem ruangan." Ucap Opik langsung pada penjual itu yang langsung dijawab siap bos.

"Mau pelihara?." Tanyaku bloon. Aku tidak connect. Takut geer kalau Opik membelinya untukku. Kata dia nanti siapa loe?. Aku tertawa dalam hati.

"Iya." Tuh kan?. Untung gak maen ngambil keputusan sendiri. Opik berjalan ke kasir, sementara aku melihat-lihat ikan lainnya. Saat sedang asyik, ada satu panggilan masuk. Dari Alif ternyata, aku menghirup nafas ku dulu sebelum menjawabnya. Jangan sampei terdengar aku excited jawab teleponnya. "Halo Lif."

"Lagi apa sayang?." Tanyanya langsung.

"Lagi di luar. Beli sesuatu."

"Diluar dimana Nad?." Saat akan menjawab ada suara Opik yang seperti toa dari arah kasir. "Nad mau pake hiasan juga gak?." Aku mengangguk ke arah Opik. Sementara Alif diseberang sana jadi langsung diam. Sepertinya sedang mencerna sesuatu. "Siapa itu Nad?. Kayaknya suara cowok."

"Temen sekantor ku. Aku lagi beli sesuatu dulu."

"Kamu pulang bareng dia?."

"hem...." Jawabku sambil melihat diluar jendela yang lagi turun hujan deres banget.

"Siapa namanya?. Ati-ati ya."

"Opik." Jawabku. Alif hanya menjawab dengan gumaman kemudian menutupnya. Kebiasaan sinyal jelek jadi gak cipika-cipiki dulu deh.

"Jadi berapa?." Tanya Opik kepada penjual tadi ketika aku mendekat padanya.

"Makanan kura-kura, makanan ikan, kura-kura sama ikannya, akuariumnya semuanya jadi satu juta lima ratus." Busyet, si Opik beli begitu mahal banget. Mending buat sepatu atau tas. Ya, tapi mau gimana lagi itu hobinya. Mungkin kata dia juga buat apa beli tas sampei jutaan. Setiap orang punya kesukaan dan prioritas masing-masing.

"Yang kura-kura nanti gue bayar di mobil ya." Bisikku.

"Siapa nih bos?. Pacar?." Tanya penjual itu sambil menyodorkan mesin debitnya pada Opik.

"Cantik gak?." Tanya Opik dengan muka tengilnya, tanpa membantah. Aku langsung mencubit tangannya dan menggeleng pada penjual tadi.

"Cantik lah bos. Cocok sama loe."

Aku tersenyum kikuk. "Thanks."

"Tuh kan katanya kita cocok." Canda Opik berbisik di telingaku.

Setelah dimobil, aku langsung menanyakan berapa harga kura-kura ku. Eh dia malah menjawab, "gak usah Nad. Udah, gak seberapa ini."

"Eh beneran, gue gak enak ah. Sini liat struk belanjaannya." Aku merebut struk belanjaan yang ada di dashboardnya, kebetulan tadi karena buru-buru ada pelanggan yang mau masuk buat parkir jadi Opik menyimpan struk belanjaan di dashboard. "Gila ini gak salah ikan kecil dua tadi seuprit harganya 150 ribu?. Belum lagi akuariumnya 400 ribu kecil gitu." Aku menoleh tak percaya.

"Ya kan ada harga ada kualitas. Kayak loe aja beli tas bagus pasti ada harganya kan?."

"Ya sih." Setuju ku dengan tawa sumbang diakhir. "Ini kura-kuranya 75.000 ribu kan satu jadi kalau dua, 150.000 ribu. Sama makannya plus kandangnya 250.000 ribu. Jadi semuanya 40.000 ribu ya." Aku baru akan mengeluarkan uang, tapi Opik melarangnya. "Udah gak usah. Itu tadi sekelian aja. Duit gue masih banyak di bank."

"Basi loe. Gak mau pokoknya gue bayar."

"Terserah, nanti gue kembaliin ke meja loe uangnya." Aku tidak mendengarkannya dan menaruh uang di dashboard mobilnya.

Selama di jalan aku dan Opik mendengarkan lagu di radio sambil nyanyi bareng. Untungnya lagu yang diputer kita hapal. Macet juga jadi gak kerasa karena selain nyanyi-nyanyi, kita juga ngobrol tentang semua yang ada di kantor sampei ngobrolin hal pribadi kayak mantan-mantannya Opik. Selain model, ternyata dia juga pernah pacaran sama penyanyi. Ya bukan penyanyi terkenal banget sih, tapi sering manggung di cafe. Aku jadi penasaran gimana dia kenal sama model, penyanyi gitu. Kalau aku bisa pacaran sama Juna ya karena kakak Niken kerja jadi manajer nya jadi bisa kenal. "Karena temen deket gue photographer profesional yang buat majalah gitu. Dia pernah adain pesta selametan rumah barunya. Gue dikenal-kenalin deh sama model yang waktu itu dateng." Jawab Opik.

Kami terus mengobrol sampei didepan rumah. "Makasi ya Pik udah anterin." Ucapku sambil turun dan Opik membuka bagasi. "Loe chat aja ya tata cara rawatnya." Aku menenteng kandang kura-kura dan makanannya. "Ngapain itu akuariumnya ikut di turunin?."

Dengan santai Opik jawab, "ini buat loe pelihara. Gue liat mata loe tadi ngeliatinnya gitu amat." Aku mendengus kasar. Masa iya sih?. "Gue nanti sekalian kirim tata cara ngerawatnya ke loe bareng sama yang kura-kura."

"Bentar.. bentar. Jadi gue kurang dong uangnya?."

"Udah gak usah." Opik tidak menghiraukan ku dan menutup bagasi tanpa melihatku.

Aku membuntutinya. "Eh gak bisa gitu dong. Tadi gue liat tempat sama ikannya ini lumayan harganya."

Opik tiba-tiba berhenti dan menatapku galak. "Udah gak usah Nadila. Gini aja deh kalau loe ngotot, loe harus bayar pake makan siang kalau gue lagi bokek. Selesai. Udah loe mendingan sekarang bantu gue buka pintunya. Gue bakal simpen didalem. Atau mau loe yang masukin ke dalem?. Tapi ini berat banget."Opik nyerocos. Akhirnya aku pasrah.

"Ogah mesti bawa berat begitu."

"Ya udah kalau gitu bukain cepet pagernya." Aku menurut dengan membukakan pager dan pintu. Ketika pintu dibuka, ada mamah dan papah yang sedang makan malam. Opik menurunkan dulu akuariumnya, kemudian salam basa-basi dengan mamah dan papah. Membawakan akuarium itu ke kamar, menatanya selama kurang lebih 30 menit. "Udah selesai." Kata Opik setelah menyalakan lampu akuariumnya.

"Waw bagus banget." Aku terpesona. Akuarium itu disinari lampu biru dengan ikan biru metalik yang membuat siapa saja betah memandanginya. Aku ngerti sekarang kenapa Opik rela ngeluarin uangnya gede cuman buat ikan. "Thanks ya. Baik banget sih." Aku mencubit pipi Opik, dia sempat diam sebentar seperti gerogi kemudian pamit pulang.

Mamah dan papah yang kepo langsung bertanya ketika aku ikut duduk dengan mereka yang sedang menonton TV. "Siapa lagi tuh sayang?. Kamu beneran gak selingkuh kan?. Udah sama Alif sekarang jalan juga sama siapa tadi?. Opik?. Pake di beliin akuarium segala." Mamah memulai interogasinya. Papah type orang tua yang terlihat pasif, namun mata dan telinganya pasang kuda-kuda untuk mendengarkan.

"Bukan mah, aku sama Bima emang udah putus lama. Dia aja gak tau malu sering kesini."

"Hush...," mamah memukul tanganku.

"Iya emang bener. Aku sekarang pacaran sama Alif. Nah Opik tadi itu cuman temen kantor aja."

"Masa sih?." Goda mamah membuat aku memutar mata jengah. Percuma ngomong sama mamah pasti ujungnya begitu deh. "Anak mamah laku keras ya?."

Giliran aku yang memukul tangan mamah. "Ya kali anaknya dagangan."

Mamah dan papah tertawa. "Eh Nad nanti minggu kakak kamu dateng. Sekalian ada arisan kelurga. Kamu ajak aja salah satu temen cowok kamu itu. Yang paling penting jangan lupa ajak Niken."

"Iya... aku pasti bakal ajak anak asuh sama papah itu. Ya udah ah aku mau ke kamar. Mau mandi dulu." Aku berdiri dan meninggalkan kedua sejoli yang sudah berumur itu berdua di ruang TV.

Tepat ketika aku kembali ke kamar dan mengecek handphone ada satu chat masuk dari Alif.

From : Alif

Besok aku jemput kamu ya. Jam tujuh pagi.

Good Night.

Tumben dia mau anterin ke kantor. Biasanya jemput aja. Ya udah lah, irit bensin yang ada.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel