Bab 7 Kegilaan
Jam tujuh Alif benar-benar sudah menclok di ruang tamu kata mamah. Aku yang masih dandan langsung buru-buru. Mamah beberapa kali buka pintu kamar dan menyuruhku cepat. Dan setelah 15 menit akhirnya aku siap. Sambil membawa blazer aku keluar dari kamar dan melihat tampilan Alif yang memakai kemeja biru navy. Lengan kemejanya dilipat sampai siku. Penampilannya sangat rapih dan wangi. Buat jantungku yang melihat dari jauh saja deg-degan. "Maaf ya lama." Kataku begitu muncul di ruang tamu dengan membawa kandang kura-kura dan makanannya, rempong banget.
"Gak apa-apa. Kamu beneran beliin aku kura-kura?." Alif langsung berdiri dari duduknya dan mengambil alih kandang sama makanannya. "Sepasang?." Aku mengangguk. "Makasih ya sayang." Alif mengelus kepalaku. Mirip majikan mengelus kepala peliharaannya dengan sayang.
"Eh kamu mau sarapan dulu atau gimana?."
Aku melihat jam di tangan yang sudah pukul 7.20, "enggak sempat kayaknya. Aku mau makan di mobil aja. Tunggu bentar ya." Aku segera meminta mamah untuk memasukkan roti yang sudah dibuatnya untukku ke tempat yang bisa aku bawa.
"Yuk." Aku dan Alif berangkat setelah pamit pada mamah dan papah. Dimobil langsung aku buka roti lapis yang mamah buat. "Kamu udah sarapan belum?. Mau gak?." Tanyaku beruntun.
"Belum. Boleh."
Aku menyuapi Alif dalam mobil, agak susah sih memang tapi gimana lagi. Aku lapar, tapi gak enak juga sama dia kalau makam sendiri. Kan gak sopan ya. Lagipula moto ku jinak-jinak merpati dan tarik ulur jadi aku sekarang harus lah mengulur setelah kemarin tarik kenceng dengan cara jalan sama Opik. "Kamu ada acara gak minggu ini?." Tanyaku ketika dia sedang mengunyah roti suapan terakhirnya.
"Gak ada. Kenapa?."
"Ehm.., gimana ya ngomongnya. Mamah minta aku ajak kamu. Bakal ada acara arisan, sekalian kakak ku pulang dari Surabaya. Jadi ya acara makan-makan aja gitu. Niken juga diajak." Kataku takut Alif berpikir bahwa acaranya adalah acara keluarga yang serius. "Tapi gak apa-apa kok kalau kamu gak mau. Aku gak mau buat kamu....,"
"Aku mau Nad. Kenapa kamu ngomong kayak gitu padahal kan aku belum jawab." Potong Alif. Dia menggapai-gapai tissue yang ada di dashboard mobil, aku membantunya mengambilkan tissue dan mengelap bibirnya dari remahan roti. Emang dia aja yang bisa buat aku dag dig dug, aku juga bisa. Terbukti dari reaksi di wajahnya yang kaget kemudian langsung diam. "Makasih sayang."
"Abisnya kan cowok itu mikirnya kemana-mana kalau udah diajak ke acara keluarga. Aku juga sih maunya gak ngundang kamu, bukan apa-apa aku takut aja kamu risih. Aku juga takut di hati kamu ngomong kok aku udah ngajak-ngajak ke acara gitu padahal belum juga pacaran sebulan. Tapi gimana lagi mamah sama papah nyuruh. Ya aku laksanain aja dulu "Alif malah tertawa dan mengacak-ngacak rambutku dengan satu tangan, sementara satu tangannya lagi masih memegang kemudi setir. "Kenapa ketawa?."
"Kamu itu gimana ya?. Banyak hal yang buat aku speechless lah pokoknya. Kamu kayak yang cuek, tapi sebenernya perhatian banget. Perhatian yang beda dari cewek pada umumnya. Makasi ya. Aku bakal dateng kok." Aku melongo saja. Iya gitu apa yang dikatakan Alif?. Aku memang cuman gak mau membebani dia karena acara keluarga itu. Dan aku juga gak mau kalau putus dari Alif keluargaku jadi nanya-nanya kepo dengan modus perhatian. Kan malesin banget.
Begitu sampai depan kantorku. "Makasi ya Lif. Nanti gak usah repot jemput terus anterin aku ke kantor. Kamu nanti jadi telat. Aku bisa sendiri kok."
Alif mengambil satu tanganku yang sedang memegang tas. "Cewek lain itu biasanya nuntut di jemput sama cowoknya. Ini malah mikirin aku. Thanks sayang. Aku bakal anterin kamu kalau lagi ada kerjaan diluar kayak hari ini. Jadi kamu gak usah khawatir. O ya kamu mau denger sesuatu gak?."
Aku mengubah sedikit posisi dudukku. "Apa?."
"Aku sebenernya nganterin kamu karena aku kesel kemaren kamu dianterin temen cowok."
Aku tertawa, "cemburu ceritanya?. Kamu tau gak sih sebenernya aku kemarin itu beli kura-kura. Nah Opik itu yang tau tempat beli kura-kuranya karena dia melihara kura-kura." Tapi aku juga di beliin ikan sama Opik. Lanjut dalam hati.
"Oh jadi kamu minta anter dia buat beli hadiahku."
"Iya." Aku mengedip-ngedipkan mataku. "Jawab dong pertanyaanku, jadi kamu cemburu ya?."
Alif mengangkat bahunya, "mungkin. Aku gak tau, aku gak pernah cemburu. Biasanya aku yang di cemburuin." Canda Alif yang langsung aku pukul tangannya. "Udah ah aku mau turun." Aku baru mau buka pintu mobil, tapi Alif menahan dengan menarik tanganku. "Gak mau cium aku dulu?."
"Jangan, nanti kamu gak konsen kerjanya." Kataku sok genit. Kemudian mendekatkan wajah dan mencium pipinya sekilas. "Bye." Kemudian aku langsung turun dan meninggalkan Alif dengan pipi yang panas. Berani-beraninya tadi kayak begitu sama Alif padahal sendirinya juga panas dingin.
Baru sampei lift, handphone yang ada di tanganku bergetar. Ada chat masuk dari Alif.
From : Alif
Aku tetep gak bakal bisa konsen kerja hari ini, tadi cium pipinya sekilas gitu haha :*
Aku tertawa tanpa sadar ketika sudah masuk ke dalam lift setelah membaca chat dari Alif. "Kenapa senyum-senyum?."
Opik tiba-tiba ada dibelakang ku. Bukan tiba-tiba kayaknya, tapi karena memang aku gak nyadar aja ada dia. "Ada apa baju loe cerah banget hari ini?. Kuning."
Aku menunduk melihat kemejaku. "Emang gak boleh?. Hari ini kan cerah banget."
TING
Pintu lift terbuka.
"Loe cantik banget hari ini." Opik pergi setelah mengatakan itu di telingaku. Aku tertawa mendengarnya kemudian ikut melangkah keluar dari lift. Bener berarti apa kata Niken kemaren siang. Biar kayak air mengalir aja, cewek cantik mah ada aja yang deketin.
**
Dari Sabtu mamah udah bawel banget buat nyiapin segala macemnya. Aku disuruh pergi ke toko kue, ke toko dekorasi sampei ke pasar buat pesen jajanan pasar. Mamah sendiri dirumah nata rumah gak beres-beres. Udah segala di geser. Geser sini geser sana. Papah sama Pak Rusli yang kasihan karena suruh angkat ini itu. Mending kalau udah dipindahin beres, ini udah dipindahin kalau ngerasa gak cocok minta dipindahin lagi. Makanya aku mending disuruh pesen ini itu bukan?. Dariapda angkut-angkut gitu. Ogah banget.
Sedang menyetir ke pasar ada panggilan masuk. Aku kira dari mamah. Udah deg-degan aja, Kalau dari mamah pasti tambah titip ini atau itu. Ya pokoknya banyak lah. "Halo..."
"Halo Nad, lagi apa?." Ternyata Alif.
"Aku lagi sibuk bantuin mamah nih. Pesen segala macemnya buat pesta besok. Kenapa Lif?."
"Mau dibantuin gak?."
Aku berpikir, kalau Alif bantu nanti malah aku makin lengket sama dia. Makin ketergantungan nanti. Enggak... aku harus inget Alif siapa. "Gak usah Lif, lagian ini juga aku tinggal ke pasar aja kok. Ngerepotin juga."
"Kamu tuh hobi banget bilang gak usah Lif atau nanti ngerepotin Lif." Alif menirukan gaya bicaraku. Sontak, aku tertawa. "Padahal kita baru aja jadian. Kata orang kan lagi anget-angetnya. Lagi pengen berduaan terus."
"Maaf deh. Abisnya aku gak biasa berlaku seenaknya ke cowok. Minta jemput lah atau apalah kalau gak mepet-mepet banget. Bukan karena gak mau ya. Tiap cewek pasti mau lah." Kataku sambil membelokkan mobil. "Cuman menurutku gak seharusnya aja kayak gitu."
"Oke deh. Malem bisa ketemu?."
Aku menimbang, aduh kalau ketemu sering beneran aku takut makin gak bisa dibendung perasaanku ini. Kan udah aku bilang perasaan ku buat Alif udah kaya bendungan sungai yang lagi banjir. Kalau gak di rem sendiri bakal makin meleber. "Kayaknya enggak deh Lif. Aku malem harus jagain anak kakakku pasti. Dia kan anaknya dua mana masih kicik-kicik. Aku biasanya jagain si Kakak Ibnu."
"Emang berapa tahun Ibnu nya?."
"Enam."
"Ya udah kita ajak jalan-jalan aja."
Aku terkejut. "Kamu mau malam mingguan sambil ajak anak kecil?. Yakin?." Tanyaku memastikan. Aneh kan cowok modelan kayak Alif mau ajak anak kecil. Biasanya Alif yang speechless sama aku, kali ini aku yang speechless sama Alif.
"Iya, daripada gak keluar sama kamu."
Aku tertawa keras sekali. "Gombalnya gilaaaa Lif. Ya udah oke deh. Nanti aku kabari lagi abis pulang dari pasar." Alif dan aku akhirnya mengakhiri panggilan. Lagipula sebentar lagi aku sampai di pasar. Untung pasarnya bersih, gak ke yang kotor. Gak kebayang kalau kotor apalagi malem hujan gede. Pasti becek, mana bego nya aku malah pake celana panjang warna putih. Super sekali aku. Bodohnya.
**
"Mah susah banget cari kios kuenya. Aku sampei muter-muter di pasar." Keluhku begitu sampai di rumah. Duduk di sofa minimalis yang empuk berwarna abu. "Aku tanya kios Ci Wila. Tapi pada gak tau eh ternyata nama toko kuenya toko Bambang." Cerocosku.
"Adikku kalau pulang itu salam bukannya marah-marah." Ah aku kenal sekali suara itu. Kak Nathan. Aku segera berdiri dan memeluknya. "Udah gede aja loe."
Aku melepas pelukanku dan mendeliknya tajam. "Berasa gak ketemu berapa taun. Kita ketemu itu empat bulanan yang lalu. Lagian ya kali gue kecil mulu. Loe juga udah punya anak dua." Giliran Nathan yang mendelik tajam padaku. "Berasa tua banget ya kalau inget udah punya dua anak."
"Kampret loe dek. Eh, sini gue mau nanya sesuatu. Duduk." Kak Nathan duduk di sofa yang tadi aku duduki dan aku duduk disebelahnya. Penasaran, ada apa sih kok kayak mau ngobrolin hal penting. "Gue mau ngomong."
Kak Nathan bukannya langsung bilang saja mau bertanya apa dan ngomong apa. Ini malah diem mulu. "Loe di pecat dari kerjaan loe kak?.Loe mau pinjem tabungan gue?." Pertanyaan beruntun ku langsung mendapatkan jitakan dari Kak Nathan. Aku menutup mata saja dengan sebelah tangan buat menahan emosi. "Jadi apa dong?. Cepet, jangan buat penasaran ah."
"Loe pacaran sama tiga cowok?." Pertanyaan Kak Nathan langsung membuat aku berteriak. "Mamah!!!!."
Setelah Kak Nathan aku ceritakan bagaimana kejadian sebenarnya dia malah tertawa. "Loe tuh ya dek, ngapain sih di pikirin si Bima itu. Dari awal kan gue udah bilang gak suka sama dia."
"Ya kan loe waktu itu bilangnya karena dia cuman kerja di bagian keuangan, dia pasti pelit. Alasan macam itu Udin." Kesalku pada Kak Nathan. Maklum, aku dan Kak Nathan itu dari dulu seperti kucing dan anjing. Memang bukan type kakak adik yang so sweet. Tapi gimana pun aku dan dia saling care.
"Ya walaupun alasannya gak tepat, tapi tetep aja kan itu namanya feeling Kakak cowok buat adik ceweknya Maliiiiih."
Kak Nathan bukannya memberi solusi, yang ada kami malah berantem. Tapi untungnya itu semua gak lama karena Kak Ibnu sama Ade Resti dateng sama mamahnya. Tadi mereka pergi ke rumah Kak Gina dulu, istri kakakku. Kalau misal aku sama Kak Nathan berantemnya berlanjut udah deh rumah mamah yang udah rapih bakal berantakan lagi karena kita saling lempar bantal dan yang lainnya. Perang kata lainnya.
Malamnya, Alif datang dengan penampilan yang rapih banget. Aku saja sampai terpesona. Kaos polo putih ada garis hitam dibagikan kerahnya sama celana item chino. Pake jam tangan di tangannya yang ototan. Gimana gak meleleh coba. Kakak iparku aja sampei bisik-bisik, "Nad jauh lebih ganteng dari yang beberapa bulan kamu kenalin."
Aku bersorak dalam hati. Berarti aku sukses dan Bima emang gak ada apa-apanya. Ah Bima, bersyukur sekali hampir dua bulan ini dia tidak menggangguku. Tidak tau kemana, tapi aku senang-senang saja. "Kita pamit dulu ya kak, mah, pah." Pamit Alif pada semua orang rumah. "Ayo sini." Ibnu nempel langsung sama Alif. Mungkin karena pendekatannya yang tenang dan dewasa. Aku berjalan bersisian bertiga dengan Alif dan Ibnu. Udah kayak keluarga bahagia aja.
"Mau makan dulu atau mau beli mainan dulu?." Tanya Alif lembut di mobil pada Ibnu yang duduk di belakang sendiri.
"Mau makan dulu laper."
"Boleh." Jawab Alif sambil tersenyum.
"Kamu pernah jadi pengasuh dimana?." Tanyaku bercanda pada Alif. "Atau kamu udah pernah punya anak?."
"Ya ampun Nad mikirnya jauh banget. Enggak dua-duanya."
"Terus kok bisa sih ngemong anak kecil?."
Alif mengedipkan sebelah matanya padaku. "Ada deh."
"Nyebelin." Aku memeletkan lidah.
"Kamu cantik banget malem ini. Lucu."
"Jadi cantik apa lucu?."
"Dua-duanya." Aku meneliti penampilanku sendiri yang memakai dress diatas lutut berwarna kuning cerah dan abu muda. Bergambar bunga Daisy dengan rambut yang aku gerai dan di buat bergelombang. "Kayak anak kecil, lucu tapi cantik."
"Thanks."
"Mau aku jujur sesuatu gak?." Tanya Alif sambil membukakan jendela untuk mengambil karcis parkir mall. "Kamu itu kadang kaya wanita dewasa, tapi kadang kayak anak kecil. Bikin aku mikir tiap hari, kamu hari ini jadi apa ya?."
"Menarik gak kalau gitu?." Aku bertanya ketika dia sudah mendapat kan tempat parkir dan berhenti.
"Banget." Jawabnya sambil membukakan safety belt ku begitu dekat dengan wajahku dan jantungku jangan ditanya lagi. Udah kaya lari marathon.
Shit.
**
Malam itu Alif dan Ibnu lengket banget kayak perangko. Tapi walaupun begitu Alif terus megangin tanganku. Ah memang dia ini gak aku ragu in lagi keahliannya buat cewek klepek-klepek. Aku diperlakukan lembut banget, tapi gak yang berlebihan. Alif juga dewasa banget.
"Ibnu seneng gak?." Tanya Alif begitu sampai lagi rumah.
"Seneng banget om."
"Syukur kalau gitu. Om pulang dulu ya?."
"Nak Alif besok jangan lupa kesini ya." Teriak mamah dari dapur.
"Iya tante. Saya pamit pulang." Alif mendekati mamah dan menyalami tangan mamah dan semua yang ada di rumah. Aku mengantarkannya sampai depan pagar. "Aku pulang dulu ya sayang." Alif mengacak rambutku.
"Mau dicium gak?." Tanyaku.
"Tumben."
"Kamu udah baik bantuin aku jagain Ibnu. Makasi ya beib."
"Siapa yang gak mau." Aku tertawa kemudian mencium bibir Alif sekilas. "Licik cuman sedikit."
"Maunya kamu banyak. Sana pulang." Lalu akhirnya Alif pulang dengan mobil Pajeronya dan tepat ketika aku akan masuk ada Kak Nathan dibelakang ku. "Genit banget sih loe dek. Cium-cium duluan."
"Syirik." Aku memeletkan lidah sambil pergi kedalam rumah.
"Heh Malih sini loe, gue cekek."
**
Acara arisan yang diadakan besoknya rame dan rempong lebih tepatnya. Malesin banget emang acara tahunan ini. Banyak yang nanya kapan kawin, kapan punya anak. Lah nikah aja belum, tunangan aja belum udah nanya kapan punya anak. Dasar bisa aja buat emosi.
"Kenapa bete gitu sih sayang?. Kesel ya?." Tanya Alif begitu aku menariknya ke taman dan duduk disana.
"Iya, ditanya kapan punya anak?. Ya kali nikah aja belum tunangan aja belum."
"Bikin anaknya yang bisa sekarang." Canda Alif sambil tertawa. Dasar memang Alif ini walaupun sikapnya dewasa tetep aja laki-laki, mesum.
"Pengennya. Eh Lif kamu kesel gak sih kalau ditanya gitu sama keluarga?."
Alif meminum minumannya kemudian menjawab. "Kesel cuman ya namanya orang tua gimana. Sabar aja kitanya Nad."
"Aku gak bisa sabar. Emosi tau gak. Eh Lif kabur yuk?."
"Aduh Nad aku gak mau bawa kamu kabur nanti di laporan sma mamah papah kamu."
"Ya kali. Maksudnya kabur dari pesta sekarang. Kemana kek gitu."
"Aku punya wine dirumah. Kamu mau minum?. Eh Niken berarti ditinggal dong?."
"Biarin dia mah lagi anteng makan ini itu. Boleh deh ke apartemen kamu. Stres yang ada kalau disini." Siang itu akhirnya aku dan Alif kabur. Aku tertawa saja sampei di apartemen Alif. Aku chat Kak Nathan bilang tolongin aku kasih alasan aku kabur dari acara itu, kalau dia gak mau nolongin aku bakal liatin sama istrinya foto dia waktu masih jaman culun banget ada ingusnya. Haha senjata yang ampuh memang dari dulu.
Di apartemen Alif, kami berdua minum wine sambil bercerita banyak tentang kantornya yang bagaimana dan kantorku yang seperti apa. Sampei gosip-gosip tentang aku dan Pak Arie yang lagi semarak kayak acara gebyar BCA jaman tahun 2000an.
"Ya kali sama yang tua bangkotan gitu. Genit lagi. Ogah. Gak mikir emang yang bikin gosipnya."
Alif tertawa enak sekali, menertawai hidupku. "Aku perlu dateng gak ke kantor kamu biar pada tau?."
Aku meminum sedikit wine ku kemudian menjawab dengan santai. "Iya kamu harus dateng. Nanti kalau ada acara ya."
"Eh Nad dipikir-pikir kita itu aneh ya, Ini kita minum siang-siang loh jam duaan. Orang itu kan kalau minum malem-malem."
"Iya sih, tapi kalau minum malem-malem takut ada setan ketiga."
"Emang kalau siang gak ada?." Tanya Alif sambil mendekatkan wajahnya kepadaku. Wah dia nantang. Oke siapa takut?.
"Setau aku sih lagi tidur siang." Jawabku di depan wajahnya sampei nafasnya juga terasa di wajahku. Aku dan Alif duduknya semakin dekat saja di meja makan.
"Tapi kayaknya dia gak tidur siang deh kalau ada cewek cantik kayak kamu di sebelahnya." Wajah Alif mendekat kemudian menciumku lembut dan manis. Ah memabukkan wine dan Alif. Aku mengimbangi ciumannya. Terakhir Alif menjauhkan wajahnya dan bilang. "Mau order Pizza?. Tapi aku ke kamar mandi dulu ya."
**
Beberapa bulan setelah kejadian yang kata Niken Alif ke kamar mandi itu buat nahan nafsunya, kami semakin dekat. Walaupun sesekali memang aku sama Opik jalan. Ya dijalani aja gitu. Dan menyenangkan ternyata. Gosip juga jadi reda gara-gara Opik.
Hari Kamis, Pak Ari mendadak mengajakku untuk ikut meeting di luar kota karena katanya repot kalau aku gak kebawa. Ya kali aku kantung Doraemon. Untung sih cuman ke Bandung. Jadi gak perlu nginep segala. Bulak-balik aja gitu. "Nad istri saya nelepon gak?." Tanya Pak Ari ketika sudah selesai meeting.
"Nelepon pak tadi. Tapi katanya ibu mau nonton sama temen-temennya dulu jadi nanti lagi neleponnya." Aku bingung kenapa Pak Ari terlihat berpikir keras. Firasatku jadi tidak enak. Ada apa ya?.
Pak Ari melihat jam di tangannya. "Pak Sugih kita ke mall Paris Van Java dulu ya." Perintah Pak Ari pada supirnya. Aku jadi semakin bingung. "Pak bukannya kita gak ada rencana kemana-kemana dulu?."
Pak Ari menggaruk alisnya yang kelihatan sekali tidak gatal. "Saya mau ketemu temen SMA saya Nad. Saya kan orang Bandung. Udah jangan bilang ibu. Nanti jadi salah paham. Bilang aja kita diajak makan sama klien."
Mataku langsung melotot. "Pak jangan macem-macem mendingan. Nanti bisa gawat kalau ibu tau. Saya yang bakal kena." Cerocosku pada Pak Ari yang tertawa. Ingin aku mengumpat di depannya, "hey tua bangka sadar dong. Ngapain sih nyari gara-gara terus. Kan kalau loe yang nyari masalah, gue yang repot." Tapi sayangnya aku tidak berani mengatakan itu dan hanya diam saja. Sebaiknya untuk melindungi diri sendiri aku menanggap tidak tau apa-apa saja. Lagipula Pak Ari tadi bilang cuman ketemu sama temen SMA nya di mall kan?. Jadi kayaknya gak masalah.
Sore itu aku dan Pak Sugih menulikan diri. Pak Sugih menunggu di mobil, sementara aku di salah satu meja yang ada di tengah-tengah restaurant Jepang itu. Sementara Pak Ari duduk berdua dengan wanita yang katanya teman SMAnya di meja yang berada di sudut. Percayalah, Pak Ari yang ketemuan sama temennya tapi aku yang deg-degan nya. Bukan kaya deg-degan kalau ketemu Alif ya. Deg-degan itu nikmat, kalau ini deg-degan horor. Aku duduk di meja yang tidak jauh dengan Pak Ari supaya aku bisa lari kalau tiba-tiba Bu Ari telepon dan minta ngomong atau video call sama Ari.
Saat sedang menunggu Pak Ari, ada satu chat masuk.
From : Alif
Kamu masih di Bandung?.
To : Alif
Iya masih.
Tau gak sih?, aku deg-degan banget sekarang.
Aku lagi nunggu bos tua-tua keladiku ketemuan sama temen cewek SMA, katanya.
Istrinya pasti nelepon sebentar lagi.
From : Alif
Asli?. Kamu pergi aja. Atau mau aku jemput?. hehe
To : Alif
Ya kali pake pesawat pribadi. Lebih lama nunggu kamu. Aku cuman mesti nahan aja kok 15 menitan karena aku kasih waktu dia 30 menit.
From : Alif
Yah padahal tadinya kalau kamu lagi dijalan balik ke Jakarta aku mau jemput terus kita makan bareng deh di apartemenku sambil minta cium sedikit Hehehe
To : Alif
Nanti deh ya. Sekarang aku cium lewat chat :*
From : Alif
Ngeselin, tapi gemesin juga :*
Aku tertawa melihat chat Alif, padahal tadi sebelumnya tegang. Ah aku jadi bisa sedikit rileks. Makasi Lif. Tapi hari itu kebahagiaan ku sebentar karena beberapa menit kemudian ketika sedang berpikir buat balas chat Alif kayak giman malah ada telepon masuk dari istri Pak Ari. Jelas aku langsung panik. Tapi aku menghirup nafas dalam-dalam dan mencoba rileks.
Aku berdiri dari kursiku dan menghampiri Pak Ari. Berbisik di telinganya. "Pak, istri bapa telepon."
Pak Ari langsung menegang. "Gimana dong?." Wanita yang katanya teman SMA Pak Ari melihatku serius. "Tenang Pak. Sekarang mending bapak normalin wajah bapak dulu terus video call ibu di meja saya tadi."
"Bentar ya Win. Aku kesana dulu." Pamit Pak Ari pada teman SMA nya. Aku hanya meneguk saja sebagai tanda hormat dan mengikuti Pak Ari. Lalu selama 15 menit setelahnya, menjadi waktu yang paling horor dan paling menegangkan. Aku harus memutar otak membantu Pak Ari supaya istrinya tidak curiga. Merepotkan saja tua banyak satu ini, kesal ku dalam hati.
"Pak terakhir ya, Saya bisa stres kalau sering kayak gini." Mint aku pada Pak Ari yang baru beres video call dengan istrinya.
"Iya. Makasih ya Nad." Pak Ari kembali lagi ke mejanya bersama teman SMAnya itu. Tapi lihat Pak Ari memegang tangan Bu Wina sepertinya bukan teman SMA biasa. Pake ada acara Pak Ari ngasih cincin segala. Aduh semakin dilema saja aku. Katanya tadi Pak Ari cuman ketemu biasa tapi malah kayak gitu. Kan kalau aku bilang bakal ada perang dunia dan siapa tau aku salah paham. Tapi kalau aku juga gak bilang gimana kalau hubungan Pak Ari dan bu Wina itu berlanjut. Aku bsia kena getahnya juga. Aduh bener-bener bingung. Kenapa ya dulu pengen jadi sekretaris bapak-bapak tua Bangka yang genit kaya begini?.
Hari itu aku dan Pak Ari akhirnya pulang di jam yang aku berikan padanya. Selama perjalanan aku berpikir. Apa yang harus aku lakukan kalau sampei ada pertemuan kedua antara Pak Ari dan Bu Wina karena yang tadi aku curi dengar sedikit kalau Pak Ari berjanji akan menemuinya lagi. Ya Tuhan, tobat. Tua Bangka ini berbohong padaku, pantas aja istrinya gak percaya dan curigaan. Akhirnya setelah dipikir-pikir, aku beranikan untuk bilang pada Pak Ari. "Pak kalau mau ketemuan sama Bu Wina jangan libatin saya lagi ya pak. Saya gak mau punya masalah sama ibu."
Tau apa jawaban Pak Ari?. "Siapa lagi yang bisa saya harepin selain kamu Nad. Lagipula Wina itu yang harusnya jadi istri saya sekarang, tapi karena urusan keluarga saya jadi harus nikah sama istri saya sekarang." Busyet curhat colongan. Tapi aku meragukan sih seluruh cerita dari Pak Ari benar karena kalau emmang karena urusan keluarga atau dengan kata lainnya terpaksa kenapa harus ada tiga anak hasil hubungannya dengan istrinya. Halah bisa aja ngomongnya.
"Tapi pak tetep aja saya gak mau terlibat. Bantuan saya tadi pertama dan terakhir buat bapak" Ucapku tegas. Pak Ari langsung memasangkan wajah memelas di jok belakang mobil. Semenatra aku yang duduk di depan, pura-pura tidak melihat dan hanya melihat ke luar jendela. Pak Sugih yang ada diantara kami melirik ku beberapa kali. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama denganku karena dia pun tidak akan luput dari interogasi an istrinya Pak Ari, tapi memang ada yang membedakan posisiku dengan Pak Sugih. Sialnya aku malah yang bisa terkena fitnah. Aku nanti yang dikira punya hubungan sama Pak Ari kayak gosip di kantor. Tubuhku bergidik ngeri langsung.
Sesampainya di Jakarta, aku di interogasi langsung oleh istri Pak Ari. Selama tiga puluh menitan. Kesal?. Iya pasti. Udah capek, pegel-pegel, ditambah laper. Aku tadi di restaurant Jepang gak selera buat makan. Jangankan buat makan buat minum aja gak enak. Mana gak bawa mobil lagi. Aku menghubungi Alif akhirnya.
"Halo Nad."
"Lagi ngapain Lif?." Tanyaku langsung tanpa basa-basi. Aku udah capek jiwa dan raga.
"Lagi diem aja depan TV. Kenapa?."
"Bisa jemput aku gak?. Aku dirumah bosku sekerang. Aku gak bawa mobil. Badanku udah capek banget."
"Ya udah tunggu aja disitu. Shareloc ya." Aku memutuskan panggilan dengan Alif kemudian mengirimkan lokasi ku sekarang.
Aku mengetuk-ngetukkan hak tinggiku di atas aspal. Tidak terbayang sama sekali aku bakal berdiri didepan komplek Pak Ari dengan masih memakai baju kerja. Rok span, kemeja kuning cerah dan blazerku. Dan juga sendirian. Merana banget kayaknya aku hari ini karena ulah bos tua Bangka ku itu. Aku menendang daun-daun kering sambil memeluk erat blazer yang aku sampir kan di tanganku. Kemudian layaknya Guardian Angel lampu sorot mobil Alif menyorot ku. Dia datang dengan kaos polo hitam garis putih di kerahnay dengan celana pendek warna hitam. Baju kesukaanAlif. "Nad."
Tidak tau kenapa aku malah berlari menubruknya dan memeluknya. Tangan Alif terasa mengelus kepalaku. Aku mendongakkan kepala dan melihatnya. "Capek banget ya?." Tanyanya.
Aku mengangguk seperti anak kecil. "Capek jiwa raga Lif. Butuh meluk kamu" Random banget ya aku. Kadang kayak cewek dewasa, angkuh tapi kadang kayak anak kecil gini. Tapi satu hal yang harus aku akui. Pelukan Alif nyaman banget. Ya Tuhan. Bagaimana ini?.
"Kasian. Yuk. Kalau lama-lama disini aku bisa nyium kamu terus kita di usir satpam." Canda Alif. Aku melepaskan pelukanku, dan Alif mengambil atas juga blazerku sementara satu tangannya lagi menuntunku. "Kamu laper gak?." Tanyanya.
"Banget." Jawabku sambil berjalan menuju mobilnya yang diparkir di pinggir jalan masih dengan lampu yang menyala.
"Mau aku masakin sesuatu gak?. Mumpung masih jam delapan."
"Ya udah deh. Lagian mamah papah juga tau aku ke Bandung. Jangan macem-macem ya?." Ancamku pada Alif ketika dia membantuku masuk ke mobilnya yang tinggi. Ya pake ros span ketat susah banget naik ke mobilnya. Udah kaya penguin aja.
Alif tersenyum luar biasa manis di bawah sinar lampu jalan. Ya ampun jantungku makin deg-degan. "Satu macem aja kok."
Aku mencubit otot tangannya. "Bisa aja jawabnya." Alif malah tertawa dan menutup pintu mobil kemudian akhirnya membawaku ke apartemennya. Agak deg-degan sih tapi gimana dong makanan Alif siapa yang bisa nolak sih?. Udah gitu gak tau kenapa aku kangen banget sama dia. Ya udah lah jinak dulu.
**
Apartemen Alif masih serapih terakhir aku datang ke tempatnya. Bedanya, sekarang di apartemennya udah ada sepasang kura-kura yang aku kasih beberapa bukan lalu. Aku berjongkok di hadapan kura-kura itu. "Eh udah beberapa bulan si kura-kura ini tinggal sama kamu, tapi belum dikasi nama. Kasi nama dong Lif."
Alif yang tadi menyimpan kunci mobil ikut berjongkok didepan kandang kura-kura itu. "Abisnya aku bingung mau kasih nama siapa. Kata kamu nama yang cocok buat mereka apa ya?."
Aku menoleh pada Alif sambil berpikir. "Gimana kalau nama kita aja?." Usul Alif mendadak membuat aku tertawa.
"Sok romantis banget deh." Ledekku. "Gimana kalau Kuce sama Kuge?." Tanyaku. Alif mengernyit sampai-sampai keningnya mengerut dalam. Aku jadi ingin tertawa, "gak usah mikir keras banget gitu dong sayang. Kuce itu kura-kura centil. Kalau Kuge itu kura-kura genit." Jariku mengelus-ngelus kerutan di kening Alif agar hilang. Tapi yang terjadi selanjutnya, Alif malah menangkap tanganku.
"Kamu yang sering buat aku mikir keras." Jawabnya menatapku intens sekali. Diakhiri dengan senyuman mautnya. Oh shit, aku gak boleh lemah. Masa baru sebulan jadian aku lemah.
Aku mengembalikan kesadaranku dan ikut tersenyum. "Kenapa harus mikirin aku sampei segitunya?." Dengan satu tangan ku yang masih bebas mengelus pipi Alif.
Alif memiringkan wajahnya. "Karena kamu itu gak bisa ditebak Nadila."
Aku ikut memiringkan wajahku dengan senyum ku. "Kalau aku mudah dibaca, nasib aku bakal kayak mantan-mantan kamu sebelumnya." Alif seperti sedang mencerna kata-kataku, dia diam saja. Aku mencium pipi dan bibirnya sekilas kemudian berdiri. Meninggalkan Alif yang masih jongkok. "Ayo masakin aku. Laper."
Alif tertawa mendekatiku sembari mengacak rambutku. "Kamu itu hobi bikin aku speechless. Ya udah tunggu bentar aku masak dulu ya. Malam ini aku bakal masakin kamu Fetucini Carbonara aja ya. Biar cepet."
"Boleh, apa aja yang penting enak dan kamu yang masaknya." Jawabku yang kemudian duduk di meja makan dan menonton kembali Alif yang sedang memasak. Seneng liat Alif masak, apalagi sekarang Alif masak dengan apron hitam. Dan wajahnya terdapat beberapa bulir keringat. Alif bener-bener seksi. Bikin aku betah liatin dia. Jadi mikir kalau meluk dia dari belakang gimana ya rasanya?. Ya ampun Nadila nyebut. Aku langsung menutup mataku dengan tangan. Aku harus membutakan diri sendiri dan menutup mataku supaya aku tidak tergoda dan jatuh ke pesona playboy kelas kakap dihadapanku ini.
"Kenapa?."
"Huaaaaaa!." Aku berteriak karena wajah Alif tiba-tiba ada disamping wajahku sangat dekat.
"Kamu kenapa tutup muka?." Tanya Alif sembari menyimpan hasil masakannya di depanku. "Ayo dimakan dulu." Alif mencium kepalaku kemudian duduk di depanku. Aku secepat kilat menormalkan ekspresi wajahku agar aku tidak terlihat bodoh didepan Alif dan tidak terlihat terpengaruh olehnya.
"Makanan kamu sekarang gak kalah enak sama yang kemaren." Pujiku setelah memasukkan satu suap makanan yang dibuat Alif. "Ayo kamu juga makan." Perintahku, karena alif hanya melihatku makan saja.
Alif jadi gelagapan dan langsung memakan makanan buatannya. Lalu kami makan dalam diam. Aku gak ngomong karena aku kayak orang bodoh didepan Alif. Apalagi kalau udah liat penampilan Alif. Hatiku gak karuan, perasaanku kayak gak basi bendung. Ibarat banjir terus aja ngeluap, ngalir. Aduh gawat banget. Kalau Alif sendiri aku gak tau kenapa dia jadi diem aja.
"Makasi ya Lif makanannya. Ayo anter aku pulang." Aku berdiri setelah minum air putih. Namun baru saja aku membawa tas dan blazer, Alif berdiri dan menahan tanganku. "Nad." Alif menarik dan menciumku. Ciumannya awalnya pelan kemudian berubah menjadi ciuman yang cepat, sampai blazer dan tasku jatuh. Badanku pun sudah mundur dan menempel di tembok. Kaki sudah seperti tidak ada tulangnya. Untung tanganku menggelantung di leher Alif. Tangan Alif bertengger cantik di pinggangku menahan badanku.
Alif menjauhkan wajahnya dari ku dengan nafas yang ngos-ngosan. "Maaf Nad, aku gak bisa nahan. Aku cowok biasa yang tertarik liat kamu." Aku tersenyum mendongak padanya. Ternyata Alif juga seperti cowok pada umumnya yang punya keinginan. Ya kali dia gak punya, berarti Alif gay. Lagipula jangan lupakan dia yang playboy.
"Kamu mungkin gak percaya kalau aku masih perawan Lif." Ucapku gamblang. Alif makin menunduk. "Selama ini aku gak pernah berbuat jauh sama mantan-mantanku sebelumnya. Gak tau sekarang aja sama kamu, aku kayak hilang akal." Jujurku. Aku kembali mencium bibir Alif. Desahan pun sempat muncul di bibir kami berdua. Mencoba menunggu, langkah apa yang akan Alif ambil.
Mendadak Alif menjauhkan wajahnya dariku lagi. "Kalau deket kamu, aku juga kayak hilang akal sehat. Apalagi setelah denger pengakuan kamu barusan aku tau aku gak boleh sembarangan ambil perawan kamu Nad." Jawaban Alif sangat membuat aku terkejut. Aku kira playboy seperti Alif justru akan mengambil kesempatan ini. Tunggu... tunggu apa Alif sedang membuat aku simpati sama kata-katanya barusan itu?.
"Kamu gak lagi ambil simpatiku kan?." Tanyaku langsung.
"Enggak Nad. Aku emang brengsek, tapi gak sebrengsek itu."
"Kalau aku sendiri yang bolehin kamu buat ambil?." Tanyaku penasaran. Tidak tau kenapa aku sangat penasaran sekali dengan apa jawaban Alif. Wajah Alif terlihat jelas sangat terkejut. Dia memandang mataku dengan serius. Seperti sedang mencari kebenaran. Mungkin dia takut aku lagi gak sadar udah nanya kayak gitu.
**
