Bab 14 Bingung
"Maksud kamu apa?."
Aku memutar mata. Laki-laki itu kalau udah ketauan selingkuh memang seperti ini nih. Malah nanya maksud cewenya apa?. Tinggal jawab aja, iya atau enggak kayak aku kemaren. Susah banget. "Kamu kemarin ke apartemen Chyntia kan?." Tanyaku masih tetap tenang. Malah aku ikut menyanyi dari lagu yang sedang diputar di radio. "Jangan gugup Lif. Tinggal jawab aja." Sambungku.
"Aku kemaren emang ke apartemen Chyntia buat anterin pesanan makanannya."
Aku berhenti bernyanyi setelah mendengar jawaban Alif. "Karyawan kamu pada kemana sayang?."
"Aku sekalian anterin kerjaan." Alif menjawabnya dengan lancar, tapi aku yakin ada kegugupan didalamnya. Nada suaranya berbeda.
"Oh. Betah banget Lif sampei baru hubungin aku paginya."
"Hape aku ketinggalan dikantor sayang. Makanya aku juga pagi ini langsung dateng ke kantor. Lagipula aku ke apartemen dia sebentar kok. Aku langsung pulang karena capek banget."
"Oke." Aku hanya mengangguk tenang, padahal aku sudah kesal bukan main pada Alif. Lihat saja pembalasanku gimana.
Alif menepikan dulu mobilnya kemudian mengambil tanganku. "Nadila sayang, dengerin aku dulu. Aku bener-bener kemarin pergi ke apartemen Chyntia karena emang ada kerjaan juga."
"Kayak gak ada hari lain aja Lif. Kamu sadar gak sih dia lagi caper?." Alif terlihat berpikir. "Ya kalau kamu gak percaya sama aku juga gak apa-apa."
"Nad, mana mungkin Chyntia caper sama aku. Dia udah punya pacar di Medan."
Aku menoleh kaget. "Ya terus?. Orang nikah aja banyak yang selingkuh apalagi ini cuman pacaran. Ya udah lah Lif terserah aja. Kamu mau deket sama dia juga. Tapi...."
"Tapi apa?."
Aku mengecek kuku ku. "Tapi kamu jangan protes aku deket sama siapa aja."
Alif menghela nafas. "Aku mulai ngerti Nad selama ini kamu deket sama cowok lain itu cuman cara kamu ngelindungin hati kamu dari sakit hati. Aku ngerti kamu pernah dikhianati. Tapi please kamu percaya sama aku. Aku gak pernah pacaran lama kayak sekarang ini sama cewek lain. Aku juga gak pernah gak berani nyentuh cewek kayak ke kamu karena walaupun kamu gak ngomong aku tau kamu belum sepenuhnya percaya sama aku dan belum siap buat aku sentuh. Kurang bukti apa lagi Nad aku sama kamu?. Aku serius sama kamu."
Aku menyentuh sebelah pipi Alif. Inginnya sih sekalian nampar, tapi aku tau itu hanya cara kampungan. "Lif kalau kamu tau kayak gitu kenapa kamu dateng ke apartemen cewek lain?. Alasan apapun itu gak bisa dibenarkan sayang. Atau.... kamu mau aku ke apartemen Opik atau Bima?. Biar kamu tau rasanya."
Tanganku langsung dicekal Alif ketika aku akan menariknya dari pipi Alif. "Jangan pernah kamu lakuin itu!." Geram Alif. Alif dan aku hanya saling memandang dengan tatapan tajam. "Aku salah. Aku minta maaf." Akhirnya Alif melunak.
"Aku gak tau Lif. Aku masih kesel." Jawabku menatap Alif kesal. "Udah jalan lagi aja." Aku menarik tanganku. Kemudian Alif menjalankan kembali mobilnya dan kami hanya saling diam selama sisa perjalanan ke kantor yang memakan waktu sekitar 15 menit.
"Nad, kita perlu bicara lagi. Nanti pulang kantor aku jemput kamu." Ucap tegas Alif.
"Gak usah. Aku pulang sendiri aja."
"Gak!."
"Terserah." Aku langsung turun dari mobil Alif dan membanting pintu mobil Alif kenceng.
Shit. Kenapa aku harus cemburu sih Alif sama Chyntia?. Aku gak mau ngalamin kayak gini lagi. Aku pengen biasa-biasa aja. Ya Tuhan.
**
Di kantor hari ini pekerjaan menumpuk. Aku merenggangkan tubuhku. "Huh." Lenguhku. Tiba-tiba ada satu chat masuk dari Opik.
Nad, gue pengen ngomong sama loe.
Aku berpikir sebentar, sepertinya memang aku harus menyelesaikan masalah dengan Opik. Ini enggak bisa digantungin. Kasian juga dia.
Oke. Sore jam enam loe jemput gue di Jtech. Balas chatku pada Opik.
Handphone aku simpan, kemudian kembali membereskan dokumen yang tadi sudah aku kerjakan dan menyimpannya di ruangan Pak Bagas yang juga sedang sibuk menerima telepon dari kliennya. "Makasih ya Nad. Maaf kerjaan kita banyak banget hari ini." Ucap Pak Bagas setelah selesai menelepon.
"Gak masalah Pak, udah tugas saya kok." Balasku.
Baru aku akan pergi Pak Bagas bersuara. "Nad kalau hadiah buat cewek enaknya apa ya?."
Aku kembali lagi menghadap Pak Bagas. "Ceweknya siapa Pak?. Temen?. Tunangan?. Pacar?."
Pak Bagas malah tertawa. "Emang apa bedanya?"
Aku menghirup nafasku kemudian menjelaskan kepada Pak Bagas yang terlihat lemah urusan wanita. Wajah saja ganteng, tapi lempeng kalau sama perempuan. Kayak iya aja kemarin gregetan sama Bayu. Ckck. "Gini ya pak, kalau baru temen kan kita kasihnya yang berkesan. Kalau buat pacar, jangan yang terlalu mahal. Masih pacaran pak sayang, udah gitu nanti kebiasaan ceweknya. Nah kalau tunangan gak apa agak mahal juga, apalagi kalau istri gak apa apa mahal banget juga, wajar. Itu pak bedanya." Jelasku panjang lebar.
Mendengar jawabanku Pak Bagas malah semakin lebar tertawanya. "Nadila pikiran kamu jauh amat sih?."
"Biar bapak gak dapet cewe penguras harta kayak di film-film atau sinetron. Kalau matre dikit sih gak apa-apa. Wajar. Tapi kalau udah kelewatan sama kebiasaan itu baru kurang ajar pak."
"Gak salah kayaknya saya nanya kamu. Oke kalau temen yang mau saya jadiin pacar, apa hadiah yang cocok?."
"Saya duduk ya Pak?." Ijinku karena kaki pegal. Pak Bagas mengangguk. Aku berpikir sebentar. “Ceweknya gimana pak kepribadiannya?."
Kali ini giliran Pak Bagas yang berpikir. "Sederhana dan juga kalem."
"Kalau menurut saya sih cewek seperti itu lebih suka dikasi hadiah yang berguna dan manis. Gimana kalau bunga sama anting kecil?." Usulku. Untuk sesaat aku ingat kalau Opik juga memberikan aku anting dan bunga.
Pak Bagas memutar-mutar kursinya. "Bagus ide kamu."
"Tapi inget pak jangan yang terlalu mahal juga. Biasa aja, tapi cantik antingnya."
"Siap Bu Bos." Gurau Pak Bagas. "Ya udah makasih ya Nad. Kamu boleh pulang sekarang."
"Bisa aja. Iya sama-sama. Pulang dulu ya pak." Pamitku. Aku keluar dari ruangan Pak Bagas kemudian membereskan barangku dan segara turun ke bawah. Aku yakin Opik sudah datang. Sekarang sudah jam enam.
Benar saja, di lobi sudah ada Opik sedang duduk sambil memainkan handphone. "Woi." Aku duduk disamping Opik. "Maen apa sih?, serius banget." Kepalaku mendekati handphone Opik,
Opik menoleh dan hidungnya mengenai rambut yang hari ini aku gerai. "Wangi rambut lo ya."
"Gak nyambung. Maen apa sih?." Kesalku.
"Pengen tau aja." Opik berdiri dan memasukkan handphonenya ke dalam saku celana. "Yuk."
Aku ikut berdiri. "Yuk." Kamipun sama-sama berjalan menuju parkiran.
"Nad, mau maen ke apartemen gue gak?. Gue masakin sesuatu." Aku diam tidak langsung menjawab. "Tenang gue gak akan macem-macem."
Aku mengangkat bahu acuh. Alif aja kemarin kayak gitu. Terus aku harus setia gitu?, ih ogah. "Iya boleh. Bener ya tapi jangan macem-macem. Kalau iya gue telepon polisi."
"Iya... galak amat."
Ternyata apartemen Opik tidak jauh dari kantor baru ku. "Gila lo sekarang kerja di Jtech. Gak sia-sia resign." Kata Opik ketika mematikan mesin mobilnya.
"Berkah wanita teraniaya." Balasku girang.
"Lo itu ya jadi cewe kok langka. Sengsara juga dibawa happy aja gitu hidupnya."
"Ya ngapain dibawa sedih?. Gak bakal nambahin saldo rekening gue." Jawabku ikut berjalan disamping Opik memasuki gedung apartemennya.
"Nadila." Suara dan cekalan tangan Alif menahan langkah ku dan Opik.
"Alif. Ngapain disini?." Tanyaku kebingungan dan heran dengan kehadiran Alif yang tiba-tiba.
"Harusnya aku yang tanya gitu sama kamu." Balas Alif dengan sengit. "Ayo ikut aku."
Opik maju. "Woooo bung jangan maen tarik aja."
Alif berhenti. "Memang kenapa?. Dia pacarku." Kata Alif penuh penekanan.
Opik tertawa. "Baru juga pacar. Bukan istri." Alif sepertinya tersulut oleh kata-kata Opik. Alif langsung meninju Opik.
"Lif. Apa-apaan sih kamu?." Aku marah pada Alif. "Pik maaf ya, lo gak apa-apa?." Aku akan menghampiri Opik, tapi aku ditarik Alif ke mobilnya. "Udah. Aku bisa sendiri." Aku kesal dengan Alif.
"Masuk." Aku mengikuti saja perintah Alif untuk masuk ke mobil. Sebelumnya, aku lihat Opik sudah berdiri dan melihat ke arah kami. Aku merasa sangat bersalah.
Selama dijalan aku dan Alif sama-sama diam. Aku tidak tau mau dibawa kemana. Aku hanya memandang jalan dengan tatapan kosong saja sampai akhirnya kami sampai di depan apartemen Alif. “Kita perlu bicara." Ujar Alif ketika dia akan membuka pintu sampingnya.
Mengikuti apa maunya aku berjalan di samping Alif dan masuk ke apartemennya. Duduk di meja makan. “Kamu kalau mau ngomong, ngomong aja. Kamu mau putusin aku kan?." Tanyaku memulai percakapan.
"Aku... mau kita nikah." Kata Alif dengan satu tarikan nafas seperti sudah mengeluarkan ganjalan atau beban di hatinya.
Aku merasa tidak percaya dengan apa yang ku dengar. Dia kan tadi marah karena aku mau ke apartemen Opik. Kok jadi malah ngajak nikah?. "Kamu ngomong apa sih Lif?. Kamu ngingau?."
Dari menunduk Alif mengangkat wajahnya dan kini menatap mataku dengan yakin. "Aku serius. Ayo kita nikah Nad. Aku tau sekarang aku belum beli cincin dan ngasi kamu lamaran romantis. Tapi aku gak bercanda. Aku dalam keadaan sehat dan sadar."
Aku membawa minum air putih yang ada di meja untuk diminum Alif, tapi dia menahan ku. "Kamu harus minum dulu Lif. Kamu lagi emosi."
"Aku gak lagi emosi. Aku udah mikirin ini dua minggu ke belakang."
Aku duduk kembali. "Lif darimana kamu bisa kepikiran buat kita nikah?. Kita baru pacaran tujuh bulan lebih."
"Banyak yang pacaran lama gak cocok buat nikah. Aku udah ngerasa cocok sama kamu Nad. Tapi kamu kayak gak pernah percaya sama aku. Jadi aku bakal tunjukin keseriusan ku. Lagian nunggu apa lagi sih Nad?." Alif begitu yakin dalam menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia memang sudah memikirkan hal ini dari lama.
"Apa yang kamu harepin kalau kita nikah?."
"Kamu bakal percaya sama aku dan kamu bakal cuman sama aku aja. Aku bener-bener kesel Nad tiap kamu pergi sama cowok lain, deket sama cowok lain. Dan aku juga udah pengen nata hidup ku Nad." Aku diam mematung mendengar jawabannya yang terdengar gila, tapi manis juga. Aku menatapnya terus untuk tau apa dia cuma main-main atau benar-benar serius.
"Kasih aku waktu." Akhirnya aku menjawab itu setelah melihat adanya keseriusan dari mata Alif.
"Oke." Alif meraih tanganku dan menciumnya dalam. "Kalau kamu mau, aku bakal siapin lamaran serius ke keluarga kamu Nad."
Apa-apaan ini?. Alif memporak porandakan hidupku sebegininya. Disaat aku cuek dan selingkuh dia malah mau serius. Tapi aku juga enggak bisa sembunyiin perasaanku yang terasa aneh. Tersentuh dan bahagia, tapi juga takut. Apa benar ini cara Alif menunjukkan cintanya padaku?.
**
Dirumah aku hanya diam saja memikirkan kata-kata Alif tadi. Sungguh bingung. Setelah menikah apa semuanya akan terjamin?. Alif gak ketemu sama cewe lain dan cuman buat aku?.
"Kenapa Dek?. Kusut banget." Saking asyiknya ngelamun aku gak sadar kalau kakakku yang lagi ke rumah ini menclok di tempat tidurku.
"Ka.. apa sih artinya kalau playboy ngajak kita nikah?." Tanyaku pelan. "Ssst jangan ember lo." Aku mewanti-wanti dengan serius, Kak Nathan kan embernya bukan main.
"Em.... artinya ya dia mau enak-enak." Kak Nathan malah bercanda. Aku langsung menimpuk kepala Kak Nathan dengan bantal.
"Serius."
"Gak asyik lo. Em... oke sebagai mantan playboy, ya artinya dia beneran cinta sama lo. Apalagi kalau ceweknya kayak lo, menclok sama ini menclok sama itu. Ya mending diiket sama ikatan yang suci." Aku jadi ingat kejadian tadi sore saat Opik bilang cuman pacar sama Alif.
Aku menimpuk lagi kepalanya dengan bantal. "Rese lo. Jadi artinya dia cinta sama gue gak?."
"Ya kalau dulu gue sama Gina sih gitu." Kak Nathan ini dulu terkenal playboynya, tapi cuman Kak Gina yang dia bawa ke rumah. Udah sama cewek seksi, tertutup sampei segala macam cewek dia pacarin. Tapi berlabuh di Kak Gina, cewek sederhana dan apa adanya juga enggak neko-neko. Udah kayak novel-novel. Lah aku sama Alif?. Dia masa tobat karena aku cewek yang hobi jalan sama Opik. Ah aku pusing.
"Lo dilamar sama yang mana?." Tanya Kak Nathan kepo.
"Enggak, gue cuman nanya aja."
"Boong banget sih lo." Kak Nathan mengacak-ngacak rambutku gemas ke arah brutal.
Aku mendorong tubuh Kak Nathan keluar kamar. "Kepo banget. Sana keluar. Tuh bantuin Kak Gina, kesian ngurus dua junior lo sendirian." Setelah Kak Nathan keluar aku melamun lagi.
**
Disaat aku ingin menghindari Alif, dia malah datang ke rumahku pagi ini. Ya seperti biasanya untuk mengantarkan aku pergi ke kantor. Aku benar-benar diam tidak bersuara setelah di mobil, sementara Alif banyak bercerita. Sampei akhirnya mulutku terbuka karena sadar mobil Alif bukan jalan ke kantorku, tapi malah ke kantornya.
"Loh kok?." Tanyaku kaget. "Lif ngapain sih ke sini dulu?."
"Udah ikut aja." Alif membawa tanganku dan menuntunnya. Alif terus saja berjalan masuk dan untuk pertama kalinya aku dibawa ke ruangannya. "Tunggu disini ya." Aku didudukan di sofa kecil yang ada diruangannya.
Lalu gak lama ada satu sosok perempuan masuk. Awalnya aku gak mengenalinya, tapi beberapa detik kemudian aku ingat kalau itu wajah dari Chyntia. "Chyntia tolong ya. Gue mohon." Ucap Alif.
"Hai Nadila. Gue Chyntia. Salam kenal." Chyntia mengulurkan tangannya dan aku menerimanya dengan ragu. Aku sempat menelisik tampilannya yang tidak berbeda jauh dengan Dea. Apa ini selera Alif sebenarnya?. Bedanya, Chyntia lebih raman daripada Dea yang juteknya minta ampun.
"Salam kenal juga."
"Gue cuman pengen minta maaf sama lo karena udah buat Alif ke apartemen gue kemaren. Gue salah. Em... gue gak maksud gimana-gimana. But, sorry Nad. Alif cowok yang baik kok dan setia sama lo.” Tidak tau kenapa aku melihat mata Chyntia seperti terluka dan aku juga bisa merasakan Chyntia mengatakan Alif setia itu dengan benar-benar. Ada apa ya?. Aku jadi penasaran.
"Iya. Tapi jangan ulangin lagi ya. Nanti ada setan dan fitnah." Jawabku blak-blakan. Chyntia mengangguk lemah kemudian keluar setelah Alif mengucapkan terima kasih. Sementara aku duduk kembali di sofa.
"Kenapa kamu ngelakuin itu Lif?." Tanyaku penasaran.
"Biar kamu tau dan percaya. Kamu juga bisa tanya satpam kalau handphone ku emang ketinggalan."
"Hem. Tapi aku belum bisa jawab pertanyaan kamu sekarang."
Alif duduk di depanku dan mengangguk. "Gak apa-apa. Aku bakal nunggu. Aku cuma gak mau kamu salah paham dan ragu karena hal itu Nad."
"Hem. Ya udah aku ke kantor dulu ya." Aku berdiri dan Alif ikut berdiri.
"Aku anter."
"Udah gak usah Lif. Aku perlu waktu sendiri dulu." Dengan pasrah akhirnya Alif mengangguk.
Aku keluar dari ruangan Alif dan menyapu pandanganku mencari Niken. Dan tepat ketika aku melihat ke pojokan dia sedang berada di depan mesin foto copy. "Nadila." Teriaknya heboh. Udah berasa kantor punya dia.
"Ken." Aku mendekat dan berdiri disamping Niken. "Ken gue lagi bingung. Lo bisa makan siang bareng gue gak?."
"Beres. Lo tunggu aja di tempat biasa yang makanan Jepang." Aku mengangguk kemudian keluar dari kantor Alif. Ketika ada taksi lewat aku segera memberhentikannya. Gak lucu lah lagi galau jalan sendirian. Nelangsa banget kayanya, belum lagi kaki lecet.
**
Siangnya.
"Ada apa sih lo?. Tadi di kantor pada ngegosipin lo tau gak?." Niken heboh bertanya.
"Apa emang kata mereka?." Tanyaku santai.
"Tuh Pak Alif udah jadi bucin. Takut banget sama pacarnya sampei-sampei Bu Chyntia mesti ngomong langsung buat jelasin." Cerocos Niken dengan nada lucu membuat aku tertawa begitu saja. "Yeh... malah ketawa."
"Ya abis lo lucu banget ngomongnya. Udah lah biarin mereka ngomong apa. Ini masalah gue lebih gawat dari itu." Kataku mulai serius.
"Apa?. Lo hamil?." Tebak Niken dengan sadis,
"Hush." Aku mencubit tangan Niken. "Kalau ngomong itu gak ada filternya."
Niken mencomot sushi. "Ya terus apa dong?."
"Gue di ajak nikah sama Alif."
Niken langsung tersedak. "What?. Lo itu ngasih berita kayak gitu jangan pas gue lagi makan dong."
Aku menyodorkan ocha ku. "Nebak gue hamil lempeng banget. Bagian gue ngomong diajak nikah lo kaget banget. Ckckck. Hamil diluar nikah udah gak asing lagi. Diajak nikah malah dianggap aneh."
"Ya kan ini yang kita omongin itu lo."
Aku mengangkat bahu. "Terus kalau gue kenapa?."
"Lo gak pernah cerita tentang hal kayak gitu sama gue. Lo sering jalan sama cowok, ya jadi gimana gue gak mikir kesana." Hardik Niken yang tidak sadar diri.
"Sial lo. Jahat sama gue. Denger. Gue gak pernah lakuin hal itu sama cowo manapun. Gue gak cerita karena lo pasti ngolok-ngolok gue. Malesin.” Terangku.
Niken tertawa keras. "Sumpah lo?."
"Iya. Udah ah ngapain sih bahas itu."
"Ini penting Nadila. Jadi lo...?"
"Iya puas lo." Aku menjawab Niken dengan sengit.
"Sorry Nadila gue udah mikir macem-macem tentang lo." Niken berdiri kemudian memeluk ku. "Lo sih gak pernah cerita." Sepertinya dia langsung merasa bersalah.
"Ya ngapain juga gue cerita-cerita. Lagian gue yakin lo bakal ngolok-ngolok gue."
Niken memukul tanganku yang berada diatas meja. "Gantian lo yang mesti minta maaf sama gue, udah suudzon. Gue salut kali. Gue aja lemah sampei ya lo tau lah gue udah gak perawan gara-gara si Zidan dulu."
"Iya deh gue juga minta maaf. Jadi gimana dong?. Si Alif ngajak gue nikah." Biasa kalau ngobrol sama Niken muter kesana kesini dulu, solusinya diakhir.
"Oke. Menurut gue itu justru bagus. Ini yang kita omongin Pak Alif loh. Yang gak pernah pacaran lama dan males ke iket." Niken berkata dengan membara.
"Tapi apa lo jamin kalau gue sama dia nikah dia bakal setia sama gue?. Kejadian Hani sama Bima buat gue takut Ken."
Niken memutar matanya. "Ya elah si Bima lagi. Hani sama Bima sih gak usah jadi bahan pertimbangan kali Nad. Gini deh, lo cinta gak sih sama Alif?."
"Kalau gue cemburu tandanya gue cinta gak sih?."
Niken menimpuk kepalaku dengan dompetnya. "Iya lah itu mah."
"Gue kesel sama dia waktu datang ke apartemen Chyntia pake ada acara janjian lewat ig."
"Ya kali kalau bener Alif selingkuh ngapain dia janjian di ig yang notabene dia tau lo suka hilir mudik disana. Udah lah Nad gue tau kok lo cinta sama Alif. Jangan gengsi. Banyak buktinya." Niken dengan percaya dirinya.
"Jadi gue harus gimana sama lamaran dia?. Gue minta waktu sama dia."
Niken geleng-geleng sambil tertawa. Udah mulai kacau Niken. "Lo minta waktu sama dia berarti lo sebenernya pengen nerima lamaran dia Nadila, cuman lo gengsi aja sama ragu. Lo bukan type orang yang mikir-mikir dulu kalau gak suka. Lo bakal nolak langsung."
Sial bener juga apa kata Niken.
**
Malamnya aku terus didalam kamar. Makan juga di dalam kamar. Aku memikirkan semua kata-kata Kak Nathan dan juga Niken. Kenapa semua seakan setuju sama Alif?, tapi malah pikiran ku sendiri yang terus berargumen kalau aku ragu sama Alif. Kejadian Hani sama Bima buat aku ragu. Gimana kalau setelah nikah Alif macem-macem?. Gimana kalau setelah nikah Dea ngajak balik?. Gimana kalau udah nikah ada cewe lain?.
Gimana dong.?
**
