Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 15 Jawaban

Aku mengintip Kak Gina dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia sedang menidurkan Resti. Aku mengetuk pintu dengan pelan terlebih dulu. Untung Resti gak sepeka kakaknya dulu waktu bayi yang denger orang makan kerupuk sedikit aja ke bangun. Resti ini doyan tidur.

Mendengar ketukan pintu Kak Gina langsung menoleh. Wajah cantiknya langsung tersenyum lebar saat melihatku. "Eh ayo sini masuk aja Nad."

"Ka, boleh gak aku ngobrol sama kakak?. Aku mau nanya sesuatu, tapi jangan bilangan sama Kak Nathan ya. Kan dia itu ember." Kak Gina tertawa mendengar perkataanku. Dia memang tidak pernah tersinggung kalau aku blak-blakan soal Kak Nathan karena memang seperti itulah sifat Kak Nathan di depan mamah dan papah kalau udah menyangkut aku. Mirip ember bocor.

"Boleh dong. Kita ngobrolnya di kamar kamu aja biar bebas, gak takut Resti sama Ibnu kebangun. Sekalian kita sambil minum-minum cantik. Kamu mau minum apa?." Kak Gina bangkit dari duduknya kemudian membetulkan selimut Resti dan Ibnu dengan penuh kasih sayang. Wajahnya memang terlihat capek, tapi dia tersenyum bahagia. Apa kalau aku nikah terus punya anak juga gitu ya?. Gak bisa kerja, cuman ngurus anak?. Gimana kalau kita capek-capek ngurus anak, eh ternyata suami kita selingkuh?. Idih...

"Nad." Kak Gina menepuk pelan tanganku. Terlalu asyik melamun aku sampai tidak sadar Kak Gina sudah selesai dengan ritualnya. Aku mengikuti Kak Gina yang berjalan menuju dapur. Oh ya untuk beberapa bulan ini Kak Gina dan anak-anaknya plus Kak Nathan akan tinggal dirumah sebelum rumah yang baru mereka beli selesai di renovasi. Aku sih enggak masalah, malah seneng-seneng aja karena rumah jadi rame dan juga ada Kak Gina yang aku bisa ajak cerita. Cuman emang satu masalahnya, aku jadi sering di gangguin Kak Nathan dan berasa punya satpam yang lebih jahat juga kejam dibanding papah.

"Nad mau minum apa?." Tanya Kak Gina lagi setelah di dapur.

Aku berdiri disamping Kak Gina sambil berpikir enaknya minum apa malem-malem di cuaca panas kayak gini. "Sirup aja kak."

"Mau dipakein buah apa?." Kak Gina berjongkok didepan kulkas kemudian menyebutkan berbagai macam stok buah punya mamah dan juga Kak Gina untuk cemilan anak-anaknya. "Ada melon, buah naga, anggur, apel, alpukat, semangka, jeruk."

"Ya ampun kak banyak banget. Udah kaya mau jualan aja." Candaku yang juga disetujui oleh Kak Gina. "Em.. aku mau melon aja biar pas sama sirup melon." Jawabku dengan cengiran. Kak Gina langsung membawa melon itu dan memotongnya untuk kami berdua dengan sabar. "Kak gak capek?." Tanyaku tiba-tiba penasaran.

Kak Gina sambil tertawa kecil menjawab. "Ya gak capek Nad kalau cuman motong melon."

"Bukan, maksud aku seharian ini kakak kan udah jagain dua anak, ngurusin Kak Nathan yang rewelnya ngelebihin dua juniornya."

Tangannya yang terus memotong melon dan menuangkan sirup melon ke dalam gelas menjawab pertanyaanku dengan enteng. "Capek Nad, tapi aku happy jalaninnya. Kayak kamu kerja di kantor capek, tapi karena ngejalaninnya seneng jadi gak kerasa. Justru malah capek itu yang buat kita ngerasa hidup. Ya kan?." Kak Gina menyodorkan gelas padaku dan aku menerimanya dengan senang hati apalagi melihat sirup itu bercampur dengan es. Ah seger banget kayaknya. Udah kerasa aja gitu di kerongkongan ku ngalir.

"Enak nih." Tiba-tiba bayi besar Kak Gina datang dengan setelan baju tidurnya dari arah ruang TV. "Dek, lo temenin mamah gih. Daritadi gue nemenin mamah nonton sinetron sambil ngejawab hem, iya, hem, iya. Mamah ceritain dari A sampei Z, tapi gue gak ngerti. Itu film kayaknya udah episode ke seribu berapa deh." Bisik Kak Nathan padaku. Aku tertawa sangat puas. "Malah ngetawain gue."

"Rasain. Gue sama papah sering kayak gitu. Makanya papah suka pura-pura tidur kalau lagi males. Eh Kak Gina gue pinjem dulu ya. Ada urusan penting. Yuk kak."

Kak Nathan yang tidak terima malah teriak. "Eh emangnya istri gue barang dipinjem-pinjem. Ikut."

"Ini urusan cewek. Temenin mamah aja."

"Nathan, kamu kok lama banget ke dapur ngambil minum aja." Terdengar mamah berteriak ditengah suara TV yang menggelegar. Aku dan Kak Gina tertawa saja melihat dari jauh wajah pasrah Kak Nathan kembali ke ruang TV buat nemenin mamah.

"Jadi mau cerita apa nih?." Tanya Kak Gina setelah kami duduk berdua di sofa yang ada di depan TV.

Aku diam dulu sebentar, berpikir mau mulai darimana ya aku harus cerita sama Kak Gina tentang lamaran Alif. "Kak, kok kakak bisa yakin nerima lamaran Kak Nathan waktu itu?. Kan Kak Nathan waktu itu playboy." Tanyaku terus terang tanpa sensor playboy. Kak Gina itu ibaratnya udah tau luar dalam Kak Nathan. Apa kelebihannya sampei kekurangannya yang seabrek.

"Aku waktu itu sempet ragu Nad, tapi aku yakin setelah liat cara dia memperlakukan mamah dan juga anak kecil. Laki-laki yang memperlakukan ibunya dengan baik, pasti akan memperlakukan kita dengan baik juga. Ya walaupun gak menjamin dia bakal setia sama kita." Ucap Kak Gina dengan tawa di akhirnya.

Aku makin mengernyit bingung. "Terus kalau Kak Gina gak menjamin Kak Nathan setia kok Kak Gina terima?."

Kak Gina menghabiskan dulu minumannya kemudian baru menjawabku. "Aku liat dia beberapa bulan waktu pacaran sama aku. Dan juga aku liat lingkungannya. Setelah itu aku cuma memasrahkan semuanya sama Tuhan dan ikut aja kata hati aku sendiri." Jawaban Kak Gina selalu buat hati adem.

"Susah juga ya." Gumamku tanpa sadar.

"Jadi dilamar sama siapa?. Alif ya?." Tanya Kak Gina tepat sasaran. Aku langsung kaget, kok Kak Gina udah kayak peramal aja. "Keliatan tau, dari Opik sama Alif yang kakak liat paling sayang sama kamu itu ya Alif."

"Masa sih kak?." Tanyaku dengan hati berbunga-bunga. "Ah bisa aja kakak kalau ngomong. Bikin aku jadi enak sama seneng."

**

Setelah mengobrol dengan Kak Gina, aku jadi mencoba buat baca juga pahami apa yang hati aku pengen. Sebab kayaknya bercampur aja gitu apa yang otak sama hati aku pengen sampei aku sendiri bingung tujuh keliling. Aduh susah banget ya baca hati sendiri aja, keluhku. Apa mungkin karena hati aku gak sebersih Kak Gina kali ya makanya aku susah banget baca apa maunya hati aku ini. "Woi ngelamun aja." Rese memang Niken ini. Dateng-dateng ke kantor malah ngagetin.

"Masih mikirin lamaran Alif?. Udah terima aja kali Nad." Niken duduk di kursi yang ada di depan mejaku.

"Maen terima aja. Emang lo pikir nikah itu maen-maen?." Aku mendengus kesal pada satu manusia rese ini yang sayangnya sahabatku. "Lo pasti kesini pengen liat Bayu.”

"Enggak. Sorry gak ada di kamus gue ngejar cowok yang udah nolak gue. Dia itu udah buang batu permata buat batu kali yang gue gak tau itu siapa. Tapi gue yakin seyakin-yakinnya sih kalau cewek yang dia taksir itu batu kali." Jadi aku batu kali?. Tanyaku dalam hati. Beda mulut, beda mata. Ketika Bayu lewat berjalan untuk pulang dan tersenyum sopan pada kami, mata Niken berkaca-kaca.

"Gak usah gengsi. Kalau mau nangis, nangis aja." Aku menyodorkan tissue. "Gue traktir sushi mau gak?. Biar lo gak sedih lagi." Tawarku.

Niken langsung menyambar tissue itu lalu tidak lama membuangnya dengan kasar. "Mau lah. Hih ngapain gue mesti nangis buat cowok gak tau malu kayak si Bayu sih?. Ayo lo mesti traktir gue sekarang juga. Siap-siap aja ya tagihannya." ... "Eh tapi lo kan sekarang udah kerja di Jtceh, jadi amanlah ya kalau cuman gue traktir sushi aja. Eh bos lo baik kan sekarang?." Padahal perusahaannya tempat Niken kerja juga gak kalah gede sama Jtech. Dasar dia aja yang hobi nimbun duit buat di hambur-hambur lagi di awal bulan.

"Iya lah, Pak Bagas baik banget. Gak kayak Pak Ari yang bangkotan." Jawabku emosi.

"Eh, eh ngomong-ngomong gimana kabarnya si tua bangka itu?." Niken si kepo.

Aku memutar mata malas. "Mana gue tau. Lagian gue juga gak mau tau. Terakhir istrinya dateng ke sini nyariin suaminya, pake acara nampar gue segala lagi."

Mata Niken melotot sempurna. "Suer?. Gila banget tuh emak-emak. Siapa juga yang mau nyulik tua bangka gitu.?. Ngerepotin doang. Udah gak usah di pikirin." Hibur Niken berapi-api.

Setelah itu kami sama-sama pergi ke restaurant sushi yang ada disalah satu mall. Disana aku dan Niken mengobrol banyak hal remeh temeh dari A sampai Z. Sampei handphone ku berbunyi. Ada panggilan masuk dari Alif. "Kok diliatin doang?. Angkat aja kali, muka lo mupeng gitu."

Sial, Niken ini. Kalau ngomong suka bener. "Gue belum punya jawabannya Ken." Jawabku dengan mata yang masih melihat handphone.

"Ya, tapi bukan berarti lomgak bisa dihubungi Maemunaaaaaah. Lagian lo mau nyangkal apalagi sih Nad?. Lo itu jelas cinta sama Alif."

"Gue beneran takut Ken. Kayak Pak Ari aja udah nikah, tapi kerjaannya nyeleweng. Itu Pak Ari yang bangkotan loh, gak ada ganteng-gantengnya apalagi si Alif yang ganteng kayak gitu."

Niken malah tertawa. Gak ngerti kenapa. "Jadi lo mau nikah sama yang lebih jelek dari Pak Ari?. Biar menjamin gak selingkuh?. Aduuuuh Nad, gue harus membumi hanguskan si Bima emang, gara-gara dia pemikiran lo jadi sempit banget. Pikiran loe suudzon aja teruuuuuus sama cowok. Hati-hati boleh sih Nad, tapi jangan jadi parno. Hidup lo bakal ke siksa." Kata-kata Niken benar lagi buat ke sekian kalinya. Dan menyebalkannya, kata-kata Niken itu terus terputar di ingatan ku seperti kaset rusak.

**

Opik ada didepan rumahku ketika aku pulang makan sushi bareng Niken. "Pik." Sapaku. Wajah Opik terlihat cemas. Aku jadi ikut khawatir. Ada apa ya?.

"Nad. Gue harus ngomong sama lo. Duduk sini." Saking paniknya, berasa dia yang punya rumah.

"Ada apa sih Pik?. Wajah lo kayak gitu banget." Aku duduk sesuai perintah Opik, sementara dia berjongkok di depan ku. Aduh ada apa ya ini?.

"Nad dengerin dulu. Istri Pak Ari tadi ribut besar di kantor sama Pak Ari karena konon katanya Pak Ari ngilang beberapa hari kemaren. Disana mereka ribut gede sampei bisa di denger sama banyak orang. Nah istri Pak Ari sama Pak Ari banyak nyebut nama lo. Dan Pak Ari marah besar waktu denger lo yang udah ngasi tau istrinya tentang cewek simpenannnya Pak Ari." Opik menjelaskan panjang lebar.

"Terus kenapa lo cemas banget?. Bagus dong Pak Ari kena batunya." Aku bertanya dengan heran.

"Nad, masalahnya Pak Ari bilang bakal balas dendam sama lo." Balas Opik dengan gemas.

Aku tertawa mendengar apa yang membuat Opik cemas itu. "Aduh Opik apa sih yang bisa dilakuin sama tua bangka itu?. Balas dendam gimana coba?. Bos gue baik, dia percaya sama gue. Apa yang bisa dia lakuin lagi?. Lo kan tau dia itu cemen."

Opik malah mencubit kedua pipiku. "Aduh Nad, lo tau gak sih secemen apapun cowok kalau udah ngambek bisa nekat juga. Please lo buat sekarang-sekarang ati-ati dulu. Jangan sendirian." Kasian juga aku ngetawain dia, wajah Opik beneran khawatir.

"Oke gue bakal ati-ati dan gak akan sendirian." Janjiku yang enggak janji banget.

Opik berdiri dari duduknya dan mengacak rambutku buat pertama kalinya. "Bagus. Kalau ada apa-apa lo telepon gue. Kapanpun. Ya udah lo istirahat ya. Gue pulang dulu. Oh ya ini nasi goreng Pak Karim, gue tadi makan disana terus inget lo." Opik menunjuk bungkusan nasi goreng diatas meja kecil yang ada di samping kursi tempat dudukku sekarang.

"Pik." Panggilku saat Opik sudah melangkah beberapa langkah. Dia menoleh. "Gue mau minta maaf sama kejadian di depan apartemen lo waktu itu. Gue gak tau Alif bisa kesana."

"No problem. Gue tau itu bukan salah lo, Udah gak usah dipikirin. L janji bakal maen ke apartemen gue kalau lo udah putus atau bosen sama si Alif." Opik tertawa sumbang. "Gue balik ya." Ah aku kasihan sekali melihat Opik, dia udah mirip bucin aja wajahnya tiap ketemu aku dan ngomongin Alif.

"Iya ati-ati Pik. Makasih nasi gorengnya."

**

Pagi-pagi aku sudah berangkat ke kantor. Hari ini Pak Bagas ada meeting penting jadi semuanya harus disiapkan dengan baik, walaupun memang dokumen semuanya sudah siap tapi aku selalu ingin memastikan kembali semuanya sudah sempurna. “Kerja kamu bagus banget Nad. Saya suka." Puji Pak Bagas begitu datang dan melihat semua yang diperlukannya sudah siap.

"Makasih pak. Itu kan memang udah kerjaan saya. Bonusnya aja jangan lupa pak." Aku mengangguk hormat kemudian tertawa.

Pak Bagas ikut tertawa. Dia memang bos yang menyenangkan. "Oke, tenang kalau itu. Gampang. Tunggu aja di rekening kamu." Aku dan Pak Bagas tertawa. "Oh ya kita berangkat sepuluh menit lagi ya Nad." Aku mengangguk mengerti kemudian kami pun pergi ke perusahaan yang akan bekerja sama dengan perusahaan kami memakai mobil kantor.

Jam dua belas tepat kami kembali lagi ke kantor. Saat aku dan Pak Bagas masuk ke dalam gedung ada Alif sedang duduk menungguku di lobi. "Sayang." Panggil Alif langsung berdiri.

Pak Bagas langsung menyenggol tanganku sambil berbisik. "Cie yang disamperin pacarnya. Ya udah ya saya ke atas dulu. Nanti dia cemburu lagi, tuh liat matanya aja udah beringsatan kayak gitu." Goda Pak Bagas yang ada benarnya juga, sepertinya Alif juga tadi sengaja memanggil aku sayang didepan Pak Bagas.

"Bisa aja sih pak." Pak Bagas hanya tersenyum kemudian dia berjalan lebih dulu ke atas. "Lif." Aku menghampiri Alif.

"Yang tadi siapa Nad?." Tanya Alif dengan nada menginterogasi.

"Pak Bagas, atasan ku." Jawabku santai.

"Deket banget kayaknya sama kamu." Tanya Alif lagi dengan mendelik tajam.

Aku tertawa mendengar Alif. Dia ternyata cemburuan ya. "Dia emang gitu orangnya. Tapi kalau urusan kerjaan galak banget. Sama yang lain juga dia gitu."

Alif mengangguk-ngangguk. "Nad makan siang yuk. Aku kangen." Alif mengambil tangan kananku. "Aku gak masalah kamu belum punya jawaban itu, tapi jangan ngehindarkan aku."

Aku melihat tangan kami. Aku juga sebenernya kangen sama Alif. Apalagi sama tangannya yang besar dan hangat. Kangen pegangan tangan kaya sekarang. Akhirnya aku pun menyerah dan mengangguk. Alif langsung tersenyum bahagia. Kemudian kami sama-sama berjalan ke parkiran dengan banyak mata yang melihat. "Udah ah Lif pegangannya, malu tau banyak yang liat. Kita disangka norak. Kayak baru pacaran."

"Biarin alay sekali-kali." Alif menjawab dengan cuek.

"Ih." Aku melotot dan akhirnya Alif melepaskan tangannya dari tanganku. "Good boy."

"Gemesin banget sih." Alif mengacak rambutku.

Ketika aku keluar dari kantor, aku merasa ada mobil yang sangat cepat melintas lalu....

BRUGH.

"Nadila." Terdengar suara Alif.

Pandanganku kabur. Sepertinya aku bakal pingsan.

**

Aku terbangun. Kok bau banget ya. Keningku otomatis mengernyit. Membuka mataku dan aw silau. "Sayang." Suara Alif langsung terdengar. Dia terdengar khawatir.

"Ngapain kita disini Lif?." Tanyaku linglung setelah melihat ke sekeliling. Alif bukannya menjawab pertanyaan ku, dia malah sibuk memanggil suster. Langsung datang beberapa suster dan dokter kemudian mereka memeriksa ku. Aku hanya diam saja memperhatikan.

"Nanti istrinya kita pantau ya sampei besok siang karena yang terkena benturan itu kan kepala. Kalau memang tidak terjadi apa-apa istri anda boleh pulang." Aku melotot langsung menoleh pada Alif. Dia bilang aku ini istrinya?.

"Sayang untung kamu gak apa-apa. Aku khawatir banget tau. Pantesan tadi aku pengen banget istirahat makan siang sama kamu. Pengen pegangan tangan. Coba tadi kamu gak takut dianggap alay, aku bisa narik kamu biar kamu gak ke tabrak mobil kayak tadi." Cerocos Alif sambil memelukku erat. Aku baru tau dia bisa secerewet ini.

Lucu. Aku spontan tertawa. Alif langsung melihatku dengan bingung. "Kamu kok malah ketawa sih?."

Bukannya berhenti tertawa, aku malah semakin enak ketawa ngeliatin wajah Alif. "Lucu. Kamu ternyata bisa cerewet juga."

Alif mendelik ku tajam. "Kamu gak tau khawatirnya aku tadi."

Aku berhenti tertawa dan menganti ekspresiku menjadi tersenyum manis pada Alif. "Thanks. Kamu jadi bener-bener cinta sama aku Lif?."

Alif menghela nafasnya berat. Mengambil tanganku yang ada selang infusnya. "Nad, aku gak akan sepanik tadi kalau aku gak cinta sama kamu. Aku juga gak akan ngelamar kamu kalau gak cinta. Apa sih sebenernya yang buat kamu ragu terus sama aku?."

"Kamu itu punya apa yang banyak cewek pengen. Kamu juga playboy. Aku gak mau diselingkuhin lagi Lif. Cukup aku jadi orang bego sekali." Jujurku. "Aku ngeliat langsung banyak yang selingkuh walaupun mereka udah nikah."

"Aku emang suka ganti-ganti pacar dulu. Tapi aku gak pernah main-main sama komitmen Nad. Apalagi kayak pernikahan. Aku gak akan selingkuh. Kamu udah cukup buat aku gila Nadila. Aku gak perlu cewek lain. Kamu udah kayak spektrum buat aku. Banyak warnanya." Alif mencium tanganku lama sehingga membuat aku tertegun.

"Kamu sayang banget sama mamah kamu?."

Alif tertawa, "kamu konyol banget kalau nanya. Iya lah. Aku sayang banget."

"Kamu pernah bentak mamah kamu gak.?."

Alif mengernyit bingung. "Ya kali aku mau jadi batu bentak ibu aku. Gak berani lah. Naik satu oktaf aja aku gak berani. Maaf ya Nad, dia wanita yang paling aku cintai pertama di dunia ini."

"Terus kenapa kamu jadi playboy?."

"Aku sebenernya memilih aja, bukan playboy. Ya yang menurut aku gak sreg ya putus. Aku gak pernah selingkuh, segimana aku kesel sama dia. Aku tetep perlakuin mereka dengan baik."

"Nanti kamu bisa aja ceraiin aku kalau bosen."

Tangan Alif memegang pipiku. "Beda Nad kalau pernikahan itu bukan kayak pacaran. Ikatannya jauh lebih serius dan sakral. Lagian kalau dari salah satu kita bosen, kita harus terbuka biar kita peka dan buat satu sama lain lagi jatuh cinta. Kalau dasarnya kuat, pasti itu gampang dan bisa diatasi. Dan aku cinta banget sama kamu. Makanya aku yakin." Alif mengatakannya dengan yakin dan tulus. Jantung ku sampai berdebar. Mataku juga sampai gak bisa beralih dari matanya. Apalagi tiap hari liat dia tambah ganteng aja.

Aku tidak bergeming sampai akhirnya aku mengangguk. "Yes."

"Hah?. Apanya yang yes Nad?. Lamaran ku?." Aku mengangguk. Wajah Alif langsung berbinar, dia pun langsung berdiri dari duduknya. Alif memelukku. "Aku gak bisa janji kita bakal bahagia terus, tapi aku janji bakal terus ada disamping kamu. Aku bakal terus cinta sama kamu." Alif mendekatkan wajahnya kemudian dia mencium bibirku lembut.

"Woi.." Suara Kak Nathan membuat aku dan Alif belingsatan kaget. "Maen cium-cium aja." Ka Nathan yang memakai kemeja kerja mendelik tajam pada Alif. Apa aku bilang dia ini mirip satpam dan lebih galak daripada papah kan?.

"Maaf Mas, tadi saya saking senengnya jadi kayak gitu." Mas, padahal mereka itu lahir di tahun yang sama. Ya, tapi sama calon kakak ipar ya harus panggil mas. Calon kakak ipar?. Aku jadi senyum-senyum sendiri.

"Apa yang buat kamu seneng?" Kan Kak Nathan itu kepo tingkat dewa.

"Nadila nerima lamaran saya." Jawab Alif dengan bangga.

Kak Nathan langsung melirik ku dengan bahasa kalbunya. Mungkin pertanyaannya, Nad apa nih?. Lo beneran nerima lamaran dia?. "Oh, jangan seneng dulu kamu kan belum lamaran

ke keluarga kita."

"Iya mas nanti saya akan lamaran langsung dengan keluarga secepatnya setelah Nadila pulih."

Kak Nathan hanya mengangguk saja kemudian menghampiriku. "Nad, gimana?, lo gak apa-apa?. Kepala lo di perban di tengah gitu. Gue kaget banget tau. Makanya loe itu kalau nyebrang jangan pecicilan sambil ngobrol kan jadi gak liat-liat."

"Gak apa-apa tinggal observasi aja sampei besok. Emang lo pikir gue ini anak kecil apa?."

"Kayaknya kejadian tadi disengaja deh. Dari mobil itu tadi ada yang teriak kalau Nadila jangan macem-macem."

"Lo liat nopol nya?." Tanya Kak Nathan langsung diangguki oleh Alif. "B **** **" beritahu Alif. Tiba-tiba aku teringat sesuatu mengenai perkataan Opik semalam.

"Kayaknya aku tau siapa pelakunya. Apalagi nopolnya sama." Ucapku lemah. Ya gimana aku enggak hapal, dari dulu bosen banget liat nopol itu.

Kak Nathan dan Alif langsung menoleh sama-sama. "Siapa?."

"Pak Ari, kemarin Opik bilang kalau Pak Ari sama istrinya berantem di kantor. Pak Ari marah besar sama aku gara-gara aku ngasih tau istrinya tentang simpanannya itu. Dia bakal balas dendam sama aku." Jelasku.

"Oh makanya Opik malam sampei nungguin kamu pulang di teras?" Aduh gak usah diperjelas juga kali dateng ke rumahnya. Aku memelototi Kak Nathan. Gak bisa liat orang bahagia dikit. Udah tadi gangguin aku mau ciuman.

Alif gak menanggapinya, hanya melihatku saja dengan pandangan samurai. "Ya udah kita lapor polisi sambil ngomong juga sama Pak Ari."

"Iya lo mesti ngomong. Bawa sekompi pasukan kalau perlu." Ya kali mau perang bawa pasukan sekompi.

**

Bikin meleleh aja Alif ini. Selain bantu aku seleseiin kasus ku dengan Pak Ari. Hampir setengah hari ini dia ngurusin aku. Beliin makanan, bawain baju sama bawain bantal. Mamah sama papah juga dia jemputin. Oh ya setelah kejadian itu dia gak balik lagi ke kantor, bahkan sekarang malem juga Alif masih pakai pakaian kerja. "Udah Lif kamu pulang aja. Kamu pasti capek. Aku gak apa-apa kok sendirian." Kataku ketika sudah jam sembilan malam.

"Emang kamu berani sendirian?." Tanya Alif yang gak aku sangka. Aku kira dia bakal bilang, "udah gak apa-apa sayang. Aku mau disini."

"Berani. Kenapa enggak?." Tantangku balik. Walaupun sih sebenernya aku jadi takut setelah Alif nanya gitu barusan. Rese ah dia.

"Em..., sekarang malem Jumat loh sayang."

Shit...., umpatku langsung. Kenapa si tua bangkotan itu balas dendamnya pas hari Kamis sih?. Kakiku dalam hati.

"Ya udah aku pulang dulu ya." Aku tau dia ini lagi akting, tapi kalau sampei dia pergi aku beneran takut. Akhirnya aku menahan tangan Alif. "Jangan pulang, disini aja temenin aku." Ucapku gengsi.

Senyuman licik Alif langsung terbit. "Nah gitu dong." Idih. Kesel banget liht wajah Alif yang senyum-senyum sendiri. "Gengsian banget sih sama calon suami sendiri." Goda Alif. Mukaku langsung merah merona, aku jadi memilih memalingkan wajah ke samping. "Sini dong aku liat wajah malu-malu kamu." Alif terus menggoda.

"Malu-malu apa?. Enggak!." Alif Rese banget malam ini. Mengenai pernikahan aku jadi ingat sesuatu yang mengganjal.

"Lif." Panggil ku setelah aku pastikan wajahku normal.

Alif malah mendekatkan wajahnya, deket banget. Buat aku memundurkan sedikit wajahku dengan mata melotot. Kan kalau dadakan gini aku enggak siap. Tenang Nadila!. Teriak seseorang didalam pikiranku. Aku kembali memajukan wajahku untuk menantangnya. "Apa sayang?." Tanya Alif.

"Aku mau ngajuin syarat pernikahan boleh?." Tanyaku dengan nafas kami yang saling tercium. Aku mencoba terlihat setenang mungkin, padahal jantungku sudah enggak karuan.

"Boleh. Apa?." Alif kuat banget. Kayaknya dia tidak ada niat untuk mundur sejengkal pun dari wajah kami yang sangat dekat sekarang ini.

"Aku pengen tetep kerja dan..... "

"Dan?." Tanya Alif dengan mata menggoda.

"Aku pengen kita nunda punya anak." Jawabku. Damn, kenapa aku gugup banget bilang tentang punya anak?. Senyuman rubah Alif muncul lagi. Tuh kan ketauan aku malu ngomongin hal kayak gitu.

"Boleh, asal jangan lebih dari setahun ya nunda anaknya?." Aku mengangguk lega. "Aku gak bakal larang-larang kamu atau ngekang kamu udah nikah nanti, tapi.... inget satu syarat juga dariku yang jelas. Kamu gak boleh deket sama cowok manapun dan siapapun."

Aku yang kali ini tersenyum jahat. "Satu syarat ku juga yang penting. Jangan pernah deket sama cewek manapun. Gak ada pengecualian, sahabat atau apa pun. Dan kalau kamu langgar, aku bakal langsung angkat kaki dari rumah."

Alif mengangguk sambil tersenyum sangat manis. Kemudian dia menciumku lembut dan terakhir mengelus kepalaku dengan sayang. Ah kenapa sih hal so sweet kayak gini harus di rumah sakit?.

**

Besok sorenya aku pulang dari rumah sakit dengan dijemput Alif sepulang kerja. Dirumah sudah ada yang menyambut, mamah, papah, Kak Nathan, Kak Gina dan juga dua junior Kak Nathan. Udah kayak engak pulang berapa lama aja. Pasti ini ide mamah. Aku yakin seratus persen.

"Aduh anak mamah akhirnya pulang." Mamah memelukku dengan heboh.

"Lo tau gue harus pulang lebih awal sama mamah karena lo pulang hari ini." Gerutu Kak Nathan yang langsung dicubit Kak Gina. "Iya sayang maaf."

"Udah jangan ngobrol disini. Kasian Nadila mau istirahat dulu." Papah si penengah yang bagaikan malaikat datang menolong ku. Dia seperti bersayap saat ini. "Mah anterin Nadila ke kamar ya. Papah mau ngomong sama Alif." Papah berubah cepat dari malaikat menjadi makhluk yang menyeramkan. Dan aku tau dalang dibalik nya, siapa lagi kalau bukan Kak Nathan yang saat ini tersenyum puas.

Akhirnya mamah mengantarkan aku ke kamar, aku sekilas tadi menoleh pada Alif yang menegakkan badannya untuk bicara dengan papah. Sepertinya dia sedang menguatkan diri agar bisa setenang mungkin bicara dengan papah. Ya iya lah dia mau nikahi aku. Dia harus hadepin keluargaku. Selamat berjuang sayang. Aku mengedipkan satu mataku dengan genit.

"Eh kata Nathan kamu dilamar sama Alif, bener?." Tanya mamah langsung heboh setelah masuk kamar. Bener kan kalau Kak Nathan yang bocorin. Dasar ember.

"Iya mah." Jawabku dengan pelan karena malu.

Wajah mamah langsung berseri seperti menang arisan. "Duh, cucu mamah nanti kayak gimana ya?. Yang satu anak mamah cantik, calon menantu mamah juga gantengnya pake banget."

GUBRAG

Mamah mikirnya udah jauh banget. "Bagus kamu terima Alif. Cowok jaman sekarang jarang yang mau serius. Dia mau serius itu bagus. Attitude nya juga bagus. Ngerawat kamu juga kemaren sabar banget, cara perlakuin mamah sama papah juga baik banget. Kerjaannya juga bagus. Mobilnya juga bagus. Cukup lah buat kehidupan kalian kedepannya." Cerocos mamah panjang lebar. Gak pake titik. Gak pake koma.

"Anak mamah itu siapa sih?. Aku atau Alif?. Kok mamah kayak lagi promosiin anak sendiri?"

Mamah tertawa. "Ya ampun maaf sayang. Saking senengnya mamah. Lagian kan nanti juga Alif jadi anak mamah." Suasana berubah menjadi hening dan sedih saat mamah tiba-tiba menangis.

"Mah kok jadi nangis?." Aku heran.

"Mamah gak nyangka. Anak mamah yang dulunya kecil, sering ngompol, sering pake baju princess sekarang udah mau nikah." Aku langsung memeluk mamah. Dan aku ikut menangis. Ah cengeng banget sih.

**

Dua hari aku di biarkan di rumah. Banyak yang datang jenguk. Mulai dari Niken, Bayu, Opik yang langsung marah-marah karena aku gak percaya dan gak dengerin dia sambil bawa buah-buahan, Adel dan juga Gina. Pak Bagas sih kirim parcel. Alif?. Jangan ditanya, dia dateng sering banget. Bawain ini, bawain itu. Dan Alif juga bilang kalau akhir minggu nanti aku sama Alif bakal pergi ke Bandung buat minta restu ke mamahnya. Aku jadi deg-deg an gimana nanti ya, bakal kayak di film-film atau di novel-novel gak ya?. Jahat, kejam, cemburuan. Aduh aku bergidik ngeri.

"Dek ada yang mau jenguk." Kak Nathan tiba-tiba nyelonong masuk, menggangguku yang sedang melamun.

"Siapa kak?."

"Alif."

"Ngapain bilang dulu kan biasanya juga enggak?." Kak Nathan hanya menjawab kebingunganku dengan mengangkat bahu. Makin mencurigakan saja. Bener aja, begitu aku keluar kamar. "Nad." Kenapa malah satu manusia ini sih yang muncul.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel