Bab 11 Pilihan
Beberapa hari setelah berbaikan dengan Alif. Aku menurut untuk tidak bertemu dengan Opik dulu karena memang beberapa hari ini juga Alif menempel padaku seperti perangko. Dia mengantarkan aku ke kantor, menjemputku pulang dan juga istirahat siang sama-sama. Ya memang sih kantorku yang sekarang dengan kantor Alif itu deket, tapi aku yakin sebenarnya Alif melakukan hal itu sengaja supaya aku gak pergi sama Opik. Alif cuman gak mau bilang jujur aja. Terlalu gengsi.
"Hon, besok sabtu siang temenin aku ke cafe ya. Bisa kan?." Tanya Alif ketika kami sedang makan siang di salah satu tempat makan mie yang dekat dengan kantorku.
Sepertinya bakalan ada Dea. Oke ini bakal jadi pertemuan pertama ku dengan perempuan itu. "Bisa. Kamu jemput aja ya."
"Pasti. Eh gimana kerasan kerja di tempat yang baru?." Alif memakan mie nya dengan cepat. Kayaknya dia laper banget.
"Ehm... sampei beberapa hari ini sih kerasan. Atasanku gak kaku dan ya fleksibel lah."
"Aku ikut seneng dengernya. Eh Nad sabtu besok sekalian anterin aku beli makan buat si Kuge sama si Kuce ya?. Makanan mereka abis."
Jadi ingat Opik kalau ngomongin Kuge sama Kuce. "Kebetulan. Makanan ikan aku juga abis."
"Aku juga kelaparan loh Nad." Ucap Alif random. Aku belum langsung menjawab karena berpikir maksud lain dari perkataan Alif apa. "Aku belum di cium hari ini." See?. Alif itu random dan sedikit mesum.
Tanganku menyentil keningnya. "Mesum aja."
"Ya sama kamu dong. Emang gak boleh?." Tanya Alif dengan mata yang mengerling. Dasar laki-laki.
"Enggak!." Candaku.
"Ya udah ke cewek lain aja."
Aku mengelap mulutku dengan tissue kemudian membalas perkataan Alif dengan tenang namun tatapan ku seperti laser yang siap membunuh Alif. "Ya udah aku juga sama yang lain."
"Bercanda sayang. Jangan marah gitu dong. Kamu imut juga ya kalau marah." Alif tertawa puas sekali. Aku berdiri saja dari tempatku dan meninggalkan Alif. Kebetulan makanan kami sudah di bayar di awal. "Hon, aku kan bercanda. Jangan marah dong. Mana mau aku sama yang lain." Alif merayu ku sambil membukakan pintu mobil dan membantuku naik ke jok mobilnya.
"Tau ah." Jawabku dingin, mengerjai Alif. Emang enak aku kerjain.
**
Sabtu pagi aku sudah mengeluarkan seluruh baju yang ada di dalam lemari. Aku bingung harus memakai baju apa. Yang bagus, modis dan cantik, tapi jangan terlalu keliatan juga kalau baju itu berlebihan. Nanti disangka aku niat banget lagi mau ketemu Dea sampei dandan abis-abisan. Intinya aku pengen baju yang bisa buat aku tambah keliatan cantik. Setelah satu jam mungkin, akhirnya aku memutuskan memakai celana jeans yang pas di kakiku dengan kaus putih polos kerah V. Buat sepatunya aku memilih high hells yang hanya lima cm dan juga tas selempang hitam kecil. Awalnya aku ingin pake dress diatas lutut, tapi ah kayaknya keliatan terlalu niat.
Jam sembilan pagi aku sudah mandi. Alif katanya bakalan jemput jam sepuluh. Aku duduk di meja riasku dengan bathrob dan juga handuk yang melilit di rambutku. Saat aku sedang memoles wajahku, ada seseorang yang mengetuk kemudian masuk waktu aku menyuruhnya masuk. "Hai sayang. Lagi apa sih?.”
"Kok udah dateng?. Katanya jam sepuluh." Tanyaku balik sambil meneruskan kembali kegiatanku.
"Iya tadi aku bosen dirumah. Jadi dateng lebih awal. Tadi di depan ada Mbak Nina nyuruh aku masuk."
"Oh iya mamah sama papah emang lagi pergi ke Bandung buat ngehadirin sodara, ada yang nikah." Alif berdiri di belakangku. Dia menatapku lewat cermin. Jangan tanya gimana reaksi ku sekarang. Seluruh tubuhku panas dingin, belum lagi jantungku gak karuan berdebar karena posisi Alif deket sama punggungku. "Jangan macem-macem ya." Ancamku.
"Emang jangan macem-macem itu apa aja sih sayang?." Tanya Alif pura-pura. Tangannya memelukku kemudian dia mencium puncak kepalaku. "Aku cuman mau cium kamu aja."
Aku menyikut perutnya dengan tanganku. "Garing. Sana duduk. Aku gak bisa dandan kalau kamu diem disitu." Titahku sambil mendudukkan Alif yang sekarang tertawa sangat puas di sisi ranjang. Awas kamu ya Lif.
"Kamar kamu enak juga ya. Oh ikan itu di kamar kamu. Aku baru tau kamu seneng pelihara ikan." Alif berjalan mendekati akuarium kecil yang ada di meja komputerku. "Lucu ya."
Ya iyalah kamu gak tau. Kalau kamu tau itu ikan dari siapa mungkin kamu gak akan bilang lucu. Ucapku puas dalam hati. Giliran aku yang tertawa.
Setelah lima belas menit, akhirnya aku selesai berdandan. "Kamu keluar Lif. Aku mau ganti baju." Aku berdiri dari dudukku dan mengusir Alif yang sedang bermain game sambil duduk di sofa yang ada didekat ranjangku.
"Tanggung Nad." Alif bermain game dengan serius.
"Ih aku mau ganti baju Lif. Cepet keluar." Alif tidak menghiraukan ku dan hanya terus bermain. Aku jadi penasaran Alif itu lagi maen apa sih?. Kok serius banget. Aku melongok ke depan handphonenya. Ternyata main tembak-tembakkan.
Cup
Alif mencium pipiku sekilas ketika aku sedang melihat game apa yang buat dia serius kayak gitu dan gak mau diajak ngomong. Eh bagian urusan kayak gitu, dia bisa nyium aku. "Daritadi aja aku panggilin suruh udahan gak nyaut. Giliran kayak begitu nyuri-nyuri kesempatan." Candaku pura-pura marah dan berdiri menjauhi Alif.
"Sorry, abisnya lagi asyik. Jangan marah dong." Alif merayuku. Dia mengikutiku kemudian menarik tanganku. Memegang wajahku dengan kedua tangannya. Ah udah bakal ancur pertahanan kalau dia kayak gini. Wajah dia yang dekat banget, wangi parfumnya yang selalu aku suka dan juga tangan besar hangatnya yang nagkring di pipi. Gimana aku bisa nolak coba?.
"Kamu PMS ya?. Kok marah-marah terus sih beberapa hari ini?."
Aku pura-pura menatapnya galak dan tajam. "Kenapa?, gak boleh?."
"Boleh dong boleh. Cuman gemesin aja kalau kamu udah kayak gini. Bikin aku pengen nyium." Alif tersenyum dengan sangat manis dan aku pasrah saja saat dia menciumku dengan lembut. Membuat aku yang tadinya marah jadi membalas ciumannya. "Katanya marah, tapi bales ciuman aku."
"Ish." Aku mendorong badan Alif, tapi dia malah menarikku lagi.
"Bercanda. Ya ampun emosian banget sih kamu. Bikin tambah cantik aja." Alif kembali menciumku. Lembut namun membuatku panas dingin dari atas sampei bawah. Apalagi dia mencium bibir dan telapak tanganku. "Udah ya, kamu cepet ganti baju. Nanti kalau kelamaan disini aku bisa khilaf." Alif menyudahi ciumannya kemudian mengelus kepalaku. Dan kemudian dia keluar. Aku melongo tidak percaya sambil melihat diriku di kaca dan BIG NO bekasnya kelihatan banget. "Alif bibir aku berdarah." Teriakku.
**
Mobil Alif sampai di satu cafe yang tidak terlalu besar, tapi cukup rame. Mungkin karena desain cafe sendiri yang menarik sebab menurut cerita Alif konsep yang dipunya cafe nya ini adalah go green. Mata disuguhkan oleh tempatnya yang cantik, banyak tanaman dan taman yang indah. Selain itu juga menu makanan yang disajikan juga sehat dan enak. Cocok untuk yang sedang diet. Target market nya adalah menengah ke atas. Ya pantes aja Alif gak mau lepasin usaha barengnya ini. Cuan kan lebih penting daripada cinta. Jaman sekarang cinta gak akan ada kalau gak ada cuan. Tapi kalau ada cuan, cinta bisa nyusul.
"Yuk." Alif mengambil tanganku dan membukakan pintu cafe. Langsung membawa ku ke lantai dua. Dimana ada satu ruang terbuka dengan meja besar dan banyak kursi. Sepertinya lantai atas ini memang digunakan khusus untuk Alif dan yang lainnya.
"Sini Lif." Teriak salah satu laki-laki yang aku ingat dari salah satu foto Dea. Ada tiga orang yang sedang duduk disana. Dan salah satunya adalah Dea. Aku melihat dia melirik ku dengan pandangan jutek. Persis dengan yang ada di foto.
"Kenalin ini cewek gue, Nadila." Alif memperkenalkan aku pada mereka semua. Aku lihat si Dea itu meneliti penampilanku dari atas sampai bawah dengan minuman di tangannya. Cih, sok keren.
"Beno." Laki-laki dengan setelan kaos oblong bergambar karakter kartun One Piece mengulurkan tangannya padaku dengan senyuman genit. Aku yakin dia playboy cap kaleng.
"Nadila." Aku berjabat tangan dengan Beno. Tepat ketika mau melepaskan tanganku, tangan Beno malah semakin erat menjabat tanganku.
"Udahan. Gak usah lama-lama. Gak bisa liat cewek bening lo." Tegur Alif pada Beno yang cengengesan sambil minta maaf. Apa aku bilang kan?. Beno itu playboy cap kaleng. Ya walaupun wajahnya lumayan, tapi kalau caranya kayak gitu. Males.
Setelah Beno, laki-laki yang terlihat agak tenang dengan penampilan rapih yaitu kemeja hijau toska lengan pendek mengulurkan tangannya padaku. "Kenalin gue Angga." Dari suara dan senyumnya, aku yakin kalau dia playboy kelas kakap.
Dan yang terakhir. Dea. Dia berdiri dari duduknya, mengangkat tangannya sambil memperkenalkan diri singkat. "Dea."
"Nadila," balasku tidak kalah dingin. Alif yang ada disebelahku terlihat serba salah melihat aku bisa ngomong sejutek itu.Dia langsung menarik kursi untukku dan mempersilahkan aku untuk duduk.
"Kemana sih si Hani lama banget. Katanya bentar lagi, bentar lagi. Halah lama banget. Kita kan gak bisa mulai kalau gak ada dia." Gerutu Beno sambil meminum minumannya. "Eh Nad mau pesen minum apa?. Ini menunya." Beno menyodorkan buku menu padaku.
"Kadal lo. Gue aja gak ditawarin." Protes Alif.
"Ogah. Ngapain gue nawarin lo." Beno tertawa keras, sedangkan Alif mendengus keras. "Eh tuh si Hani, bawa siapa?." Oh jadi ternyata ini pertama kalinya Hani Go Public. Congratulation Bima, akhirnya kamu diakui. Walaupun cuman di kalangan temen deket nya aja. Eh Alif bukan temen deket Hani deh. Dia bilang tadi di jalan kalau Hani itu sahabat Dea yang selalu Dea bawa kalau kumpul dan juga ikut berinvestasi dalam cafe itu karena memang suami Hani yang tajir melintir. Tapi walaupun sering kumpul, Alif dan Angga tidak terlalu dekat dengan Hani."Caper tingkahnya." Kata Alif.
Aku menoleh ke belakang. Manusia gila itu langsung terlihat. Akhirnya setelah enam bulan tidak melihatnya Tuhan mempertemukan aku dengan si laki-laki tidak tau diri itu di kondisi sempurna. Terima kasih Tuhan. Aku bahagia, apalagi saat melihat wajah Bima yang langsung kaku setelah balik melihatku. Tanganku langsung menyantol pada Alif. "Mantan gila kamu tuh Beib." Bisik Alif membuat aku tertawa.
"Yang didepan kita juga mantan kamu," balasku. Sungguh kecil dunia ini memang. Tapi bukan karena kecil-kecil banget juga sih. Kan dulu aku memang sengaja mendekati Alif karena dia lebih sukses dari Bima dan mantan pacar Dea.
Mata Hani terlihat sangat terkejut saat melihatku yang duduk disamping Alif. Tangannya langsung melonggar pada Bima. "Hai Bim, Han." Sapaku yang membuat Angga, Beno dan juga Dea agak terkejut. Selamat, kalian semua akan menonton secara langsung drama terbaik sepanjang tahun ini.
"Lo kenal mereka?." Tanya Beno bingung.
Aku menatap Bima dan Hani dengan wajah semanis gula, namun penuh kemenangan. "Ya kenal lah. Apalagi Bima. Ya kan Bim?."
"Kamu kan bawahannya Alif, pacarku. Masa aku lupa. Kita kan ketemu waktu pesta kantor beberapa bulan yang lalu. Kalau Hani emang karena sama Bima waktu itu lagi berduaan." Lanjutku. HAHAHA rasakan!. Jangan harap aku mau anggap kamu mantan pacarku. In your dream Bim!.
Bima dan Hani mati kutu. Mereka terlihat duduk dengan tidak nyaman. Dea sang sahabat yang merasa sahabatnya terpojokan menyuruh Hani memperkenalkan Bima. Hani si pencitraan itu ternyata memperkenalkan Bima sebagai teman dekatnya dari kecil. Aduh dusta banget sih hidupnya. Teman kecil darimana. Bima sama Hani kenal waktu kuliah. Begini nih kalau kebanyakan mecin. Daya khayal dan mengarangnya terlalu bebas. Cocok Hani kalau nulis novel.
"Ayo pesen minuman." Angga menyodorkan menu juga pada Hani dan Bima.
"Kamu minum apa sayang?." Tanyaku pada Alif sambil melihat kembali menunya.
"Samain aja hon."
"Sebel banget sih kalau udah jawab kayak gitu. Ayo cepetan apaan."
"Ehm.... jus alpukat aja..."
"Tanpa susu?." Potongku yang langsung diangguki oleh Alif.
"Inget aja. Good girl." Alif mengacak rambutku.
Mendadak Beno mendengus. "Elah kalian mesra-mesraan aja teruuuuus. Lif norak deh lo kalau lagi jatuh cinta gitu. Minuman aja mesennya yang cemen." Alif hanya membalas kata-kata Beno dengan tertawa. "Syirik aja lo.”
Aku jadi ingin tau reaksi Bima dan Dea. Sekilas aku melihat raut muka Bima yang suram. Sementara Dea si muka tembok itu datar-datar saja kaya jalan tol. Memang aku dan Dea itu berbeda 180 derajat. Setelah memesan minuman mereka berlima membahas mengenai tema apa yang akan diusung cafe nya untuk bulan depan dan menu apa yang akan jadi andalannya karena ternyata cafe mereka berganti tema setiap satu bulan sekali. Beberapa kali aku dan Bima ikut memberikan usul. Kalau aku sih usul dari segi desain dekorasi cafe, beda hal nya dengan Bima yang memberikan usul mengenai kalkulator promosinya.
"Aduh enak juga ya ada Nadila sama Bima ikut gabung. Jadi lengkap deh kita." Ucap Beno yang diangguki oleh Angga. Reaksi Alif?. Dia terlihat bangga padaku. Alif mengelus rambutku dengan sayang lengkap beserta senyumannya yang sangat menawan. Aduh udah jangan senyum gitu didepan Dea dong nanti dia cinta lagi sama kamu, teriakku dalam hati.
"Eh minum-minum dulu ya. Kita kan ada stock wine di bawah. Kesian lah, Bima sama Nadila ngasih ide masa gak dikasi penghargaannya banget sih." Usul Beno yang memang paling banyak bicara.
"Setuju." Jawab Angga singkat.
"Ya udah gue ke bawah dulu buat ngambil." Dea turun dari kursinya kemudian Hani ikut-ikutan ingin turun ke bawah dengan Dea. Mungkin dia takut kalau tanpa Dea dia bakal diserang oleh ku. Yang lebih menariknya lagi, Hani paksa Bima untuk ikut ke bawah. Ya kali mau bawa minum aja kayak mau nganterin orang kawin. Banyakan banget. Ah, mungkin Hani bawa-bawa Bima takut Bima aku goda kali ya. Hahaha. Kocak.
"Eh aku ke kamar mandi dulu ya Lif."
"Mau dianter gak?." Goda Alif.
"Maunya kamu." Balasku sambil menimpuk tangannya dengan tasku. Alif hanya tertawa saja.
Aku ke kamar mandi karena ingin membetulkan make up ku saja. Kan gak lucu kalau momen terbaik ku saat ini make up gak maksimal. "Oke. Done." Kataku pada diri sendiri setelah memoles bedak sekitar sepuluh detik. Aku langsug kembali ke tempat tadi, namun belum juga sampai, aku mendengar sesuatu yang menarik dan membuat langkahku tertahan. Aku langsung menempel pada dinding pemisah yang ada diantara ruangan kamar mandi dan tempat kami tadi mengumpul.
"Emang sih ya si Nadila itu cantik banget. Sama si Dea sih kata gue jauh. Lebih gimana gitu si Nadila cantiknya. Kalau si Dea kan ngebosenin." Cerocos yang aku yakini adalah suara Beno.
"Kualat baru tau rasa loe ngejelekin si Dea, nanti lo malah suka sama dia lagi." Suara yang aku sangat yakini milik Angga karena pelan dan dingin.
"Ngomongin pacar gue nafsu banget. Awas lo bayangin yang enak-enak sama dia. Gue tonjok lo. Gue aja gak berani nyentuh dia." Ancam Alif galak.
"Ah masa sih lo belum pernah nyentuh dia?. Gak percaya gue. Alif ini masalahnya."
"Suer. Lo gak tau Nadila itu punya pesona cewek yang beda banget dari cewek-cewek kebanyakan. Dia gak polos, tapi juga gak nakal, tapi justru itu yang bikin gue penasaran dan suka. Lo tau dia itu sering banget nguji kesabaran gue, tapi anehnya gue luluh aja gitu sama dia kalau dia udah didepan gue. Gue gak ngerti deh gue kenapa. Gue aja pacaran sama dia udah enam bulan lebih, lo tau kan gue gak pernah lama kalau pacaran. Gue juga gak tau, ngerasa nyaman aja gitu kalau deket dia." Cerocos Alif panjang lebar membuat aku diam dan seketika merasa bersalah.
"Lo itu namanya lagi jatuh cinta sama dia." Jawab Angga dengan tenang namun terdengar penuh keyakinan. "Gue ngerasain itu waktu sama Bunga. Satu pesen gue, jangan pernah lepasin dia atau lo nyesel. Lo bakal susah lagi nemu perasaan aneh tadi. Gue juga kan lo tau sendiri gimana sampai sekarang sendirian aja. Bukan karena gue gak bisa dapetin cewek, tapi gak pernah ada yang sama kayak Bunga." Sepertinya itu adalah kalimat terpanjang Angga.
"Tapi kok dia kayak nguji kesabaran gue ya?."
"Kalau gue tebak, dia cuman lagi ngelindungin dirinya sendiri dari resiko sakit hati sama lo. Dia mungkin tau reputasi lo."
"Sotoy lo." Potong Beno.
"Emang kalau lo berhadapan sama mantan pembunuh, lo gak bakal bawa senjata apa-apa gitu buat ngelindungin diri?. Loliat dong mata si Nadila waktu ngeliatin si Alif dan cara dia ke si Alif. Dia juga cinta kali." Si Angga ini memang sotoy seperti kata Beno atau memang peramal.
"Udah ah. Nanti keburu Nadila balik." Peringat Alif. Hatiku langsung gamang. Aku main-main sama Alif, sementara dia keliatannya.. ah aku tidak tau. Tapi kalau urusan hati, aku memang harus akui kalau aku jatuh cinta juga sama Alif. Bener kata si peramal Angga.
Ketika sedang melamun, Alif datang. "Sayang ngapain kamu bengong disini."
Aku gelagapan. Mampus kamu Nad ketauan nguping. "Ehm... aku ini tadi lagi mijit kaki. Pake high hells ternyata berat juga." Bohongku. Dasar kamu sama aja seperti Hani, sang pendusta.
Alif langsung berjongkok di depanku. Meneliti kakiku. "Ya udah kamu mau pake sandal?. Aku ada sandal di mobil."
"Gede dong."
"Yang penting kaki kamu gak sakit kan?.'
"Ya udah deh."
"Tunggu ya." Alif menuntunku untuk duduk di kursi dan menunggunya. Di meja ternyata sudah ada lagi Dea, Hani dan Bima. Beno yang tidak mengerti dengan Alif yang tiba-tiba lari ke bawah bertanya padaku lewat dagunya. "Dia lagi bawain gue sandal. Pegel pake high hells."
Beno manggut-manggut sambil tertawa kecil. "Bucin ya dia sekarang."
Aku langsung memelototi Beno. "Daripada lo Jones."
"Sial." Umpat Beno sambil meminum minumannya.
Ketika aku melihat Dea dan Hani ternyata Bima sedang memperhatikan ku. Idih berasa kenal aja tuh orang. Liat-liat aku segala. Ketauan maen lirik-lirikan sama aku, jamin Hani bakal ngegorok dia. Hani itu kan sebenernya pencemburu abis. Jaman aku masih pacaran sama Bima aja dia cemburuan sama aku yang notabene adalah pacarnya Bima loh ya waktu itu. Darimana aku tau?. Ya dari chat yang Bima lupa hapus.
"Ini." Alif kembali dengan sandal di tangannya. Menyimpannya di sampingku dengan rapih.
"Thanks ya sayang." Ucapku tulus. Alif tidak menjawab, dia hanya mengelus pipiku sekilas. Dan pemandanganku saat ini tidak luput dari mata elang Bima.
**
Kami semua kumpul di cafe itu sampai malam. Karena selain minum wine, kami juga bermain kartu yang selalu berakhir dengan kekalahan. Mungkin karena tidak mau dan juga tidak tega aku minum selain wine banyak-banyak, Alif mengambil alih minuman yang seharusnya aku minum. Jadilah saat ini Alif mabuk berat. "Udah gue aja yang bawa ke bawah." Ucap Angga ketika aku bingung harus membopongnya bagaimana.
"Thanks ya. Biar gue aja yang bawa dia ke apartemennya."
"Loe bisa?. Tau passwordnya?."
"Hem." Jawab ku pada Beno yang usil. "Duluan ya semuanya." Pamitku pada Beno, Dea, Hani juga Bima dengan wajah kesalnya yang aku tau pasti.
"Lo yakin bisa bawa Alif sendiri?.” Tanya Angga lagi ketika menutup pintu samping Alif.
"Iya. Gak usah khawatir Ga."
"Oke kalau gitu hati-hati. Titip bocah gede ini ya." Angga akhirnya kembali lagi ke atas dan aku menjalankan mobil besar Alif menuju apartemennya. Seketika aku menyesali kebodohanku karena menyanggupi membawa Alif sendirian. Aku bingung membawa Alif ke lantai atas. Mana jauh, berat lagi Alif ini. Mana takut muntah. Aduh bodoh kamu Nadila. Tapi karena gak tega juga liat Alif terkulai di jok, aku dengan modal nekat memapah Alif yang luar biasa berat itu ke unit nya. "Huft akhirnya nyampe juga. Berat banget sih Lif." Aku membanting tubuh Alif ke ranjangnya.
Aku membuka sepatunya dan juga celananya yang untungnya memakai boxer. Kalau enggak kan bisa syok berat. Kaosnya juga aku lepas dengan susah payah sampei badanku keringetan bukan main. Aku mengganti baju Alif dan menyelimutinya dengan selimut setelah menyeka keringat di wajah dan badannya dengan air panas. Tapi satu titik enggak ya. Titik berbahayanya.
"Lif gue pulang dulu ya. Bye." Aku mencium pipi Alif kemudian meninggalkan surat kecil dengan tulisan.
Jangan jadi sok pahlawan, aku yang ribetnya juga.
Untung pacar, kalau enggak aku udah buang kamu ke bendungan.
Nadila.
**
Lepas mengurus Alif, ketika aku turun dari taksi online aku melihat satu manusia yang sedang menungguku di teras. De javu banget sih kejadian ini. "Ada perlu apa Bim?." Tanyaku cuek.
"Kamu ngapain jadi pacar Alif segala. Dia bukan pria baik Nad."
Aku tidak salah dengar dengan ucapan Bima?. Dia pikir dia baik selama berpacaran denganku?. "Bim kamu kayaknya gak sehat deh. Siapa kamu ngatur-ngatur aku?. Aku aja gak pernah ngatur kamu kali. Heboh banget sih. Sana pulang gih." Aku berjalan melewati Bima.
"Kalau aku bener-bener bisa ninggalin Hani, apa kamu mau balik lagi sama aku Nad?." Tanya Bima ketika aku akan membuka pintu.
**
