Bab 10 Pertengkaran Pertama
Selama di Lembang, aku sangat senang. Rasanya bener-benar dapat udara segar. Aku tidak memikirkan si tua bangka yang rese itu, pekerjaanku yang hilang dan juga kasih cintaku yang rumit karena jujur aku bingung dengan perasaanku sendiri pada Alif. Karena sepertinya setelah enam bulan berpacaran dengan Alif perasaan ku pada Bima sudah hilang, seperti orangnya juga yang sudah menghilang lebih dari enam bulan ini dariku. Patut disyukuri dan dirayakan. Biarlah dia ditelan bumi atau dimakan suami Hani sekalipun. Aku tidak peduli. Eh tapi kan sebenarnya aku memulai hubungan dengan Alif supaya aku bisa memanasi dia.
Kok tiba-tiba jadi penasaran sama Bima sih. Iseng, aku buka instagramnya dan ternyata Bima baru mengupload fotonya yang hanya bergambar langit. Captionnya, cuman mendung. Gak jelas seperti biasanya. Mana foto di feednya juga cuman enam. Tidak menemukan yang menarik di Bima aku jadi ingin membuka instagram Hani. Begitu dibuka aku lihat fotonya hanya dengan suami dan anaknya. Si ratu pencitraan. Gak rame.
Ah iya Alif. Dari pertama jadian jarang banget update bareng atau kepoin dia. Ah aku intip saja. Yang pertama aku lihat instagramnya penuh dengan foto pemandangan. Ada foto si Kuge dan si Kuce juga. Dan ternyata ada satu fotoku nyempil. Kapan dia motoin aku?. Ah waktu ulang tahunku, captionnya cuman wish you all the best. Gak rame. Tapi tunggu... waktu aku scroll aku menemukan komentar yang rame dari yang namanya Dea, mungkin mantannya yang sahabat Hani itu.
Deaananda : Pacar baru kamu lumayan juga
Alifd : Thanks
Apa?. Lumayan juga?. Aku jadi penasaran, segimana cantiknya sih dia sampei komentar kayak gitu?. Aku langsung buka ig nya dengan emosi. Ketika terbuka, jreeeng ternyata dia agak eksotis, manis dan dari segi penampilan berpakaian dewasa dan juga lebih gimana ya aku menyebutnya angkuh, mungkin ya. Dari fotonya dia banyak mendongakkan wajah. Dan kebanyakan memakai pakaian kerja. Serius banget juga auranya. Kayaknya beda banget 180 derajat sama aku. Ya oke kesimpulannya dia gak jelek, tapi gak cantik juga. Terus kenapa dia bilang aku ini lumayan. Huh... sabar sabar. Aku mengelus dada.
Tunggu... tiba-tiba aku menemukan foto yang menarik di mataku. Foto yang Dea unggah lima hari lalu. Di fotonya ada orang berlima sedang duduk dengan lima cangkir kopi. Ada Hani juga. Dan juga ada Alif di paling ujung. SEBELAH DEA. Dua orangnya lagi aku gak kenal. Yang lebih menarik lagi adalah caption foto itu 'gak ada yang lebih nyaman selain rumah sendiri dan mereka'. What?!, apa maksudnya sama caption itu, gak ada yang paling nyaman dari mereka katanya?. Mereka atau Alif?. Dadaku tiba-tiba panas terbakar. Aku langsung mengingat lima hari lalu Alif kemana.
"Woi.. serius banget." Opik membuat aku kaget. Untung aja jariku gak tap foto itu dua kali, kan gawat nanti jadi ke love fotonya. Ketauan deh ngintip. "Yuk. Jalan lagi. Gue udah kelar urusannya."
"Makanya jangan sok-sok an makan pedes." Balasku dengan pikiran yang gamang. Aku belum selesai berpikir, lima hari lalu Alif bilang pergi kemana ya?.
Opik tertawa. "Ya maaf. Kan pengen nyoba." Opik dan aku berdiri kemudian keluar dari Floating Market menuju tempat parkiran yang untungnya gak terlalu rame. Ya gimana mau rame ini hari kerja. Pengangguran kayak aku aja yang bisa kesini. Atau yang paling bagus, pengusaha atau wiraswasta. Yang paling buruk pegawai yang lagi bolos kayak Opik.
"Mau pulang aja nih?." Tanya Opik memecah sedikit lamunanku yang sedang memikirkan Dea, mantan Alif. Ngapain sih udah putus juga masih ngurusin hidup mantan, kurang kerjaan aja. Wait, tadi aku juga kan kepoin ig nya Bima. Eits, tapi aku gak sekurang kerjaan dia sampei di komentarin segala. Cih. Yang paling menyebalkan, buat apa lagi Alif sama Dea ketemu lagi?. Ah ya ampun kemana ya Alif lima hari lalu?. Akhirnya aku ingat. Alif waktu itu bilang mau ketemu sama teman-temannya. Hah teman?.
"Woi." Opik melambaikan tangannya dihadapanku.
"Hah?." Tanyaku seperti orang linglung. Membuat Opik geleng-geleng sambil menyalakan mobilnya.
"Mikirin apa sih Nad?. Pasti orang yang loe intip di ig nya ya." Tuduh Opik yang sayangnya betul. Opik tertawa puas saat aku mendengus kasar saja, tidak menjawab. "Eh gue nanya serius nih. Mau pulang aja atau mau kemana lagi?. Laper lagi gak?. Mau makan gak?. Tanya Opik beruntun, udah kayak truk gandeng aja. Panjang banget.
"Pertanyaannya banyak banget. Gue sampei bingung jawab yang mana dulu."
Opik bukannya minta maaf malah lagi-lagi tertawa puas banget. "Okei. Garis besarnya. Loe mau langsung pulang atau kemana dulu sekarang?. Gue supir loe hari ini. Free." Opik menekan kata terakhirnya.
Kali ini aku yang gantian tertawa. "Ya ampun baik banget sih loe hari ini. Kalau gue bilang mau belanja emang loe bakal mau nganter?."
Opik mengangkat bahunya acuh. "Why not?." Tawaran menggiurkan. Tapi tadi Alif kayak marah gitu. Gak apa-apa?. Aduh bingung. Ah, tapi dia sama Dea aja udah ketemu gak pake bilang dulu sama aku.
"Oke kalau gitu ke Paris Van Java mall aja."
"Oke."
**
Jam lima aku sampai di Paris Van Java mall. Dua jam keluar masuk outlet baju, sepatu, tas dan banyak lagi yang lainnya. Aku juga berkeliling mengantar Opik melihat baju dan sebagainya. Ternyata cowok-cowok juga dia seneng belanja.
"Nad kata loe bagus yang biru apa yang item?." Tanyanya mengangkat dua kemeja beda warna.
"Ehm..., biru."
"Oke, gue ambil biru." Opik langsung meminta untuk dibungkuskan yang biru. "Nad, loe gak beli tas?."
"Gue udah banyak beli baju sama sepatu. Tas lain kali aja deh. Loe lupa gue ini pengangguran sekarang?." Opik tertawa kencang. Seneng banget kayaknya dia ngetawain hidup nelangsa ku. "Ketawa aja yang puas."
"Jangan marah dong cantik. Sorry deh."
"Bodo." Balasku cuek sambil keluar toko lebih dulu, tanpa menunggu Opik.
"Sini Nad." Aku kaget, Opik mengambil tanganku dan menuntunnya ke arah berbeda.
"Mau kemana sih Pik?. Capek nih, gue pake high hells." Teriakku karena Opik terus saja menuntunku, tidak tau mau berhenti dimana.
Mendengar keluhanku Opik bukannya berhenti untuk duduk, dia hanya berhenti untuk melirik kakiku lalu menuntunnya lagi. "Hah?." Aku shock. Opik udah kayak guru BP aja lagi geret murid tukang bolos ke ruang BP.
"Pilih yang loe suka." Titah Opik begitu kami masuk ke salah satu toko tas yang harganya lumayan. Dia melepaskan tanganku kemudian duduk memperhatikanku.
"Hah?. Maksud loe?."
Opik menggelengkan kepalanya sambil membuang nafas lelah. Ish kenapa dia ini?. "Ampun deh Nad. Ya loe pilih tas yang loe mau. Gue yang traktir."
Aku tertawa kecil. "Dalam rangka apa loe beliin gue tas?."
"Dalam rangka perayaan loe lepas dari jeratan Pak Ari." Jawab Opik dengan senyum menyebalkannya. Mungkin itu senyuman yang sering dia pake buat gaet cewek karena ya memang terpaksa sih aku harus akui senyumannya itu menawan.
"Rese. Tapi bener nih?. Loe gak akan nyesel?."
"Enggak. Tapi kalau loe udah ke terima kerja di tempat baru. Loe gak boleh buat absen hubungin gue."
"Kalau gue gak mau?."
"Ya tinggal gue datengin rumah loe."
"Kalau gue kabur?."
"Ya bakal gue cari." Gak ada habisnya emang kalau berdebat sama Opik. "Cepet pilih."
"Maksa. Ya udah." Aku melihat-melihat tas sementara Opik duduk memainkan handphonenya. Mungkin dia maen game, maen sosmed atau chat-chat an aku gak tau.
"Gue mau ini aja." Opik langsung menyimpan handphone di sakunya dan melihat tas yang aku pilih. Warna merah hati dengan ukuran sedang dan model keluaran terbaru.
"Ya udah." Opik membawa tas yang aku pilih kemudian membayarnya. "Yuk." Opik lagi-lagi membawa tanganku dan menuntunnya ke toko apa lagi aku gak tau.
"Toko sandal?." Tanyaku bingung.
"Hem. Kaki loe pegel kan?." Aku mengangguk seperti robot. "Sana cari satu sandal. Gue gak mau gendong loe nanti. Tempat parkirkannya jauh."
"Geer, siapa juga yang mau digendong sama loe." Aku menyelonor pergi saja memilih sandal yang aku suka dan akhirnya pilihanku jatuh pada satu sandal berwarna putih. Modelnya sederhana dan yang paling penting enteng. Baru aku akan membawanya ke kasir, Opik malah merebut sandal itu dari tanganku. "Loe duduk aja." Aku melongo. Emang Opik sebaik ini juga ya sama temennya?.
Opik membuka dus sandal itu kemudian menyimpannya di hadapanku. "Ayo pake. Sepatu loe masukin sini aja." Aku hanya menangguk pasrah. Tidak berkata apa-apa.
**
Setelah makan, aku dan Opik langsung pulang dari Bandung di jam sembilan malam. Jalanan tidak terlalu macet, jadi perjalanan kami ya ke bilang lancar lah. Selama di jalan, aku gak bisa tidur. Banyak hal yang bergentayangan di otakku ini. Dari Alif yang diam-diam bertemu mantannya, masih komunikasi sama mantannya dan juga Opik yang baik banget. Rumit dibikin sendiri ya kayaknya hidup ku ini.
"Nad kok loe mikir aja sih?."
"Hah?."
"Tuh kan. Kenapa sih loe?."
"Enggak. Eh mau gantian bawa mobilnya gak?. Kan dari pagi loe yang bawa." Tenaga Opik kayak gak ada abis-abisnya. Dari pagi dia bawa mobil, jalan kesana kemari, keliling-keliling mall.
"Gak usah, gue masih kuat kok. Tapi loe temenin gue ya. Gue takut ngantuk."
"Oke deh. Eh Pik ehm..., kok loe beliin gue tas sama sandal sih. Loe emang biasanya loyal gitu ya sama temen?."
"Enggak." Jawab Opik singkat.
"Ehm.. terus loe kok baik banget mau jauh-jauh ke Bandung sama gue?. Jadi supir gue lagi seharian ini." Pertanyaanku tidak dijawab oleh Opik. Dia hanya diam dan menyetir saja. Oke, aku mengerti. Aku mungkin memang harus mengerem mulutku ini. Lagu kayaknya bakal buat keadaan awkward sekarang ini berubah deh. Radio aku nyalakan saja. Tapi sial, waktu aku nyalakan radio malah sedang acara curhat percintaan. Tentang cewek sama cowok yang temenan terus mereka saling suka. Aduh salah nih, keluhku pada diri sendiri.
"Nad." Opik tiba-tiba berbicara dan firasatku gak enak. "Gue mau jujur sama loe, boleh gak?."
Tuh kan. "Boleh lah. Masa orang jujur gue larang." Jawabku dengan nada penuh kekhawatiran.
"Ehm.... Gak jadi deh." Setelah agak lama diam dia malah bilang kayak gitu. Gak jelas si Opik ini. Tapi mendadak mobilnya melipir ke salah satu rest area tanpa ba bi bu.
"Pik kalau mau ke toilet, ke toilet aja. Gue tunggu dimobil."
Opik bukan turun, malah menarik nafas. Dia menoleh dan memandangku. Aduh, kenapa sih dia ini. "Nad, gue udah gila."
"Ya kan biasanya juga kelakuan loe gila."
"Ish, gue gila karena suka sama loe." BOOM. Akhirnya bom diantara kami itu meledak. Kemarin aku hanya meraba-raba perasaan Opik dan juga mendengar pendapat Yuli saja. Sekarang terang banget, jelas lagi. "Oke. Gue tau loe udah punya cowok. Tapi....," Opik mengacak rambutnya yang seuprit. "Tapi gue kepikiran loe terus, pengen deket loe terus, pengen buat loe senyum. Banyak deh. Kampret emang perasaan gue ini, gak pandang status apa ya?." Cerocos Opik sendiri sambil mengacak rambutnya terus menerus kemudian menelungkupkan kepalanya di kemudi setir.
Kasian juga aku melihatnya. Aku mengambil tangan Opik yang terus mengacak rambutnya. "Udah Pik. Gak usah kayak gitu ah. Ketombe loe jatuhan tuh." Candaku mengalihkan suasana yang terasa awkward ini. Mana mungkin rambut dia ketombean. Penampilannya aja rapih banget, wangi lagi.
Tanganku ditahan olehnya dan dia menatapku dalam. "Nad gue gak pernah gini loh sama cewek."
"Maksud loe?." Tanyaku dengan takut, karena raut wajah Opik serius banget. Persis kalau dia lagi ngomong masalah keuangan di kantor.
"Gue gak pernah suka banget gini sama cewek. Biasanya kalau dia mau sama gue ya syukur, kalau enggak juga ya udah masih banyak yang lain. Sama loe... walaupun loe udah punya pacar gue masih aja suka dan ngarep. Gue kayak buta aja gitu mau di buat nelangsa sama loe. Karma kayaknya dari doa-doa cewek yang gue buat patah hati." Jawab Opik dengan nada frustasi. Aku jadi kasihan banget dengernya.
Tanpa aku sadari Opik mencium tanganku yang tadi digenggamnya. "Pik. Gue gak bisa larang loe suka sama gue, walaupun gue udah punya pacar. Perasaan gak bisa diatur, tapi yang gue pikirin perasaan loe. Gue.. "
Tanganku digenggamnya, tidak dilepaskan. "Gue gak minta loe buat mikirin perasaan gue Nad. Yang gue minta loe jangan jauhin gue."
"Pik."
"Udah ah gak usah ngeliatin gue pake tatapan menyedihkan kayak gitu, pake manggil-manggil nama gue lagi." Ucap Opik dengan suara yang aku tau dibuat tidak semenyedihkan mungkin. Sedetik kemudian Opik menarik dan memelukku. Tanganku ragu untuk balik memeluknya, tapi setelah merasakan pelukan Opik tulus tanganku terangkat untuk balas memeluknya. Dan aku merasakan dia mencium puncak kepalaku.
Sisa perjalanan kami lewati dengan sama-sama diam. Opik sesekali hanya tersenyum dengan senyuman yang aku yakin palsu. Aku juga begitu karena jujur aku bingung harus bagaimana. Setelah sampai didepan rumah Opik menahan tanganku. "Nad, loe janji kan gak akan jauhin gue?. Gue emang gak berharap banyak kalau loe bakal suka sama gue. Tapi gue bakal tetep nunggu loe, ya syukur-syukur loe bisa balik suka sama gue. Kalau enggak, biarin gue lupain perasaan gue sendiri."
"Pik, loe emang biasanya romantis gini?."
Opik tertawa sarkastik. "Enggak. Gue jahat kalau mutusin cewek. Ya makanya karma juga kali ya buat gue."
"Bisa jadi."
Opik melotot.
**
Begitu aku masuk rumah, betapa terkejutnya aku melihat Alif duduk di bangku taman dengan masih memakai pakaian kerja. Di jam... aku melirik jam tanganku, hampir dua belas malam. Perasaanku jadi tidak enak. "Lif."
Alif berdiri dari duduknya dan melihat beberapa kantong besar di kedua tanganku. "Darimana aja kamu sampei baru pulang jam segini?. Sama cowok lain lagi. Telepon juga gak aktif." Alif bertanya dengan suara yang dalam. Aku baru tau, suaranya seksi banget kalau lagi marah. Penampilannya udah gak serapih biasanya. Tapi kok ganteng banget ya Alif lagi marah kayak gitu, apalagi berdiri di samping lampu taman. Berasa malaikat aja gitu. Ya ampun sadar Nadila, dia udah ketemu sama mantannya gak pake bilang-bilang.
Tapi....
Kalian boleh mikir aku gila. Silahkan. Disaat Alif marah seperti itu dan aku juga marah sama dia, aku malah simpen belanjaanku terus meluk dia. Menghirup aromanya dalam-dalam. Ah... aku suka perpaduan wangi parfumnya dan AC mobil.
"Nad..." Peringat Alif.
Aku menjauhkan tubuhku, tapi kemudian malah mengalungkan tanganku di lehernya. Menatap matanya. "Aku tau kamu kesel sayang, tapi aku jauh lebih kesel sama kamu karena kamu udah ketemu sama mantan kamu gak bilang-bilang sama aku." Wajah Alif yang mulanya mengeras karena marah dan kesal menjadi tegang.
"Dea?."
Aku hanya mengangkat bahu.
"Aku punya usaha kedai kopi bareng. Jadi kemaren aku sama dia ketemu. Dia baru aja balik dari Surabaya, abis diklat disana."
"Oh usaha bareng berdua?." Saat Alif akan menjawab lagi aku menciumnya lembut kemudian melepaskannya dan menarik tubuhku. "Aku gak mau denger lagi soal kamu sama mantan kamu yang namanya Dea." Kemudian aku meninggalkan Alif berdiri sendiri di taman dan aku masuk kedalam rumah. Lebih menyiksa bukan kalau kita marah dengan cara kayak gitu daripada kita marah-marah sama teriak-teriak?.
**
Pagi buta, aku mencari berbagai macam lowongan yang sesuai denganku. Aku tidak mau lama-lama membohongi keluargaku. Jadi secepatnya aku harus dapat pekerjaan lagi. Saat jam menunjukan jam enam lebih ada chat masuk. Ya ampun bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Bayu kirim chat kalau di kantornya ada lowongan jadi sekretaris direkturnya. Dia minta aku mengirimkan CV ku hari ini ke kantornya. Jtech salah satu perusahaan teknologi besar.
Aku langsung lari ke kamar mandi dan bersiap-siap. Saat sedang duduk di depan kaca rias mamah bilang kalau ada Alif di ruang tamu. Kalau bukan karena harus mengantarkan CV, aku akan bergerak seperti siput supaya Alif menunggu lama dan kesal. Tapi berhubung aku ditunggu jam delapan, jadi ya sudah lah.
"Lif." Sapaku senormal mungkin. Biar dia ngeri gimana gitu sama aku. Enak aja mau ngelicikin aku ketemuan sama mantan.
Huh.
"Nad."
"Ayo berangkat langsung aja. Aku mau kasih CV ke Jtech." Aku langsung berpamitan pada mamah dan juga papah. Berbohong kalau hari ini aku ada meeting penting jadi harus dateng pagi banget dan gak ikut sarapan.
Didalem mobil, aku dan Alif sama-sama diam. Aku malas membuka percakapan terlebih dulu. Gengsi. Siapa juga yang salah. Ya aku salah juga, tapi kan aku ke Opik gak punya perasaan spesial. Gak kayak dia ke mantannya itu. Kita gak tau hati seseorang.
"Kemaren kemana aja?." Akhirnya Alif yang buka suara lebih dulu.
"Ke Bandung."
"Ya ke Bandung tuh kemana aja Nad?." Alif bertanya dengan sabar, walaupun aku tau dia pasti kesel bukan maen.
"Ke Floating Market terus ke mall."
"Sebelum dapet kerjaan kalau kamu bingung mau kemana pas jam kerja gini, kamu ke apartemenku aja." Alif menoleh ku sekilas. "Jangan sama Opik lagi. Dia itu kayaknya suka sama kamu."
Kok dia tau Opik suka sama aku?. Apa bener ya cowok juga punya radar kalau ceweknya ada maen. "Tau darimana?."
"Nadila, dia itu kasih kamu hadiah ulang tahun anting."
"Bayu juga kasih aku kalung."
"Aku juga yakin dia suka sama kamu."
Aku tertawa. "Kamu ini terlalu berlebihan Lif."
"Aku cowok Nad, aku tau kalau cowok suka kayak gimana. Buat apa sekarang dia mau anterin kamu beli kura-kura, ke Bandung terus waktu ulang tahun pagi-pagi udah ngasih kado. Jelas banget itu Nadila." Alif memberikan penekanan di belakang kalimatnya.
"Terus kamu mau aku gimana?."
"Jangan terlalu deket sama dia."
"Kalau aku gak deket sama dia. Apa kamu bisa jamin kamu gak deket sama cewe lain?. Misalnya mantan kamu."
Alif menghela nafasnya. "Aku punya usaha bareng dia yang kita buat waktu masih sama-sama. Mau mundur sayang Nad, cafe nya rame." Jawab Alif. Udah kayak anak aja tuh cafe. Ya bilang aja langsung kalau kamu gak bisa ninggalin dia. Gak bisa gak ketemu sama dia. Basi.
"Oke. Eh aku turun didepan situ aja." Kebetulan udah depan gedungnya. Ah, aku jadi bisa menghindar dari Alif. Males berantem, terlebih ini sebenarnya pertengkaran pertama kita setelah enam bulan pacaran.
"Sayang..." Alif menahan tanganku.
"Pembahasan kita selesai Lif. Aku turun dulu ya." Aku memajukan wajahku dan menciumnya sekilas. "Bye."
"Nad." Suara Alif yang frustasi masih terdengar ketika aku membuka pintu mobilnya untuk turun.
Rasakan!.
**
Bayu datang ketika aku menunggu di lobi. "Nad dibawa semuanya kan lengkap?."
"Hem..." Aku menyodorkan map berwarna biru pada Alif. "Semalem gue udah siapin CV karena emang udah niat mau ngelamar-lamar hari ini. Eh rejeki, loe hubungin gue tadi pagi ngasi tau ada lowongan."
"Sebenernya emang bos gue lagi butuh cepet, soalnya sekretaris yang lama ngedadak keluar karena ikut suaminya yang dapet mutasi dadakan."
"Oh gitu."
"Loe ikut gue aja langsung sekarang karena sebenernya juga dari kemarin gue udah bilang sama bos gue itu. Jadi loe hari ini tinggal interview langsung sama dia aja. Yuk, gue anter." Bayu jalan lebih dulu dan aku mengikutinya.
"Eh gimana sama si Niken?." Tanyaku ketika aku berjalan bersisian dengan Bayu.
"Ya gitu aja Nad."
"Sorry ya Bay jujur aja gue ini masih belum inget loe waktu jaman SMA itu yang mana." Jujurku yang membuat Bayu menoleh ketika kami sudah masuk ke dalamlift.
"Gue emang agak beda sama waktu jaman SMA. Jaman itu gue masih dekil. Belum ngerti negrawat diri." Bayu tertawa mengakuinya. Emang sih suka ada yang waktu jaman SMA nya ganteng banget, eh pas udah gede dia malah jadi kucel dan gak ada ganteng-gantengnya. Eh ada juga yang jaman SMA nya biasa aja, pas udah kerja dia jadi cantik atau cakep banget. Aku?. Aku dari SMA udah centil dan suka dandan. Jadi kayaknya gak ada perubahan. Eh ada perbedaannya, kalau jaman SMA wajahku gak glowing kayak sekarang.
"Sini Nad." Bayu membuka sebuah ruangan. "Permisi bos, ini saya nganter yang mau ngelamar jadi sekretaris bos. O ya ini CV nya." Ucap Bayu pada seorang pria yang gak tua bangka kayak Pak Ari. Umurnya aku perkirain sekitar 30 tahunan lebih. Berkulit putih bersih, potongan rambut rapih dan murah senyum sepertinya.
"O ya, silahkan duduk. Thanks ya Bay."
"Your welcome bos." Balas Bayu sambil menarik kursi untuk aku duduki. "Tinggal dulu ya Nad. Kalau udah chat aja."
"Oke. Makasi Bay."
"Ya sama-sama Nad." Bayu kemudian keluar dan meninggalkan aku juga Pak Bos yang kelihatannya jauh banget dibandingin Pak Ari. Ngomong-ngomong Pak Ari, aku tiba-tiba ingat buat liat jarinya. Huft. Untung gak ada cincin kawinnya. Eits, bukan aku mau ngegaet dia ya. Aku cuman males kejadian Pak Ari keulang lagi.
"Kamu deket sama Bayu?."
"Enggak Pak. Saya temen SMA nya." Pak Bos itu manggut-manggut sambil terus membaca CV ku.
"Nadila Putri Utomo. Kamu kemarin kenapa resign dari perusahaan sebelumnya?."
"Saya mau cari pengalaman baru aja."
"Kamu bisa gak kalau sewaktu-waktu harus lembur atau ikut saya tugas keluar kota?."
"Iya saya bisa Pak. Saya belum menikah, jadi saya gak terikat. Dan saya juga asli orang Jakarta, jadi saya stay di Jakarta."
"Oke.. oke..." Dia menutup CV ku kemudian melihatku. "Dari CV kamu sih, kamu punya standar yang saya pengen buat jadi sekretaris. Kebetulan saya juga lagi perlu banget sekretaris. Kewalahan saya ngurusin semua sendiri. Jadi... ya oke kita coba dulu ya tiga bulan. Kalau lebih dari tiga bulan saya cocok dan kamu terbukti bagus. Saya akan buat kamu jadi sekretaris tetap saya. O ya asal kamu tau, saya ini kalau punya sekretaris pasti lama."
"Jadi saya ke terima Pak?."
Pak Bosnya itu mengangguk. "Ya. Selamat ya Nadila. Kenalin nama saya Bagas." Pak Bos yang ternyata bernama Pak Bagas itu berdiri dan mengulurkan tangnnya.
"Terima kasih Pak. Saya akan berkerja sebaik mungkin." Aku ikut berdiri dan berjabat tangan dengannya.
"Besok kamu mulai masuk jam 1/2 8."
"Iya Pak."
Yes status ku bukan pengangguran lagi. Tapi itu mulai besok sih, hari ini aku masih pengangguran.
**
Aku memutuskan diam di apartemen Alif. Menonton Netflix, nyemil, lalu tidur karena semalaman gak tidur. Sampai jam lima sore, rencananya aku ingin pulang cepat-cepat supaya gak ketemu sama Alif. Eh tapi ternyata Alif pulang malah lebih awal dan aku belum pergi. "Kamu udah makan belum Nad?. Makan aja dulu disini. Aku masakin kesukaaan kamu." Alif duduk di sampingku. "O ya gimana lamaran kamu tadi?."
"Aku mau pulang aja kayaknya Lif."
Alif menahan tanganku. "Maafin aku."
"Buat apa?." Sengaja aku pura-pura bodoh.
"Aku udah gak bilang sama kamu soal Dea. Gini deh, tiap aku harus ke cafe dan ketemu Dea, kamu ikut. Biar kamu juga tau temen-temennku yang lain. Kamu gak pernah ketemu sama Angga sama Beno kan?." Terjawab sudah siapa yang ada disamping Hani di foto yang kemarin aku liat.
"Oke."
"Tapi udah ya kamu juga gak usah terlalu deket sama Opik?."
"Hem..."
"Good girl." Alif mengelus-ngelus kepalaku. "Gimana lamaran kamu?."
"Aku besok mulai kerja. Percobaan dulu tiga bulan sekarang."
"Kamu tau darimana di situ ada lowongan?." Tanya Alif yang membuat aku langsung diam.
"Bayu." Akhirnya aku jawab jujur saja.
Alif diam sebentar. "Oh oke. Terus sekarang gimana bosnya?. Kayak Pak Ari gak?."
"Gak. Dia seumuran kamu kayaknya. Eh kamu itu umur berapa sih Lif?."
"34, tahun ini."
"Ya seumuran kamu lah."
"Ganteng?." Aduh Alif ini kepo banget deh.
Aku tampak pura-pura berpikir. "Ehmmm gimana ya." Alif mencubit pipiku.
"Ya udah aku mau ganti baju dulu. Tapi bentar deh aku mau peluk kamu dulu. Kamu kayaknya suka kalau aku baru pulang kerja. Kemaren juga main peluk aja." Alif tertawa puas sekali. Hah dia mau main-main. Aku langsung menoleh pada Alif dan menatap matanya tajam. "Iya memang. Tapi itu kemaren."
Alif hanya tersenyum menyebalkan kemudian memelukku erat. Meletakkan kepalanya di atas kepalaku. "Kenapa sih kamu hobi banget bikin aku gak tenang?. Tapi kamu juga suka bikin aku panas dingin."
**
