Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Insiden di Museum

Bab 3 Insiden di Museum

Zeny sudah berada di dalam bus. Begitu pun teman-temannya. Mereka kini sedang dalam perjalanan menuju Museum Kairo yang berlokasi di Alun-alun Tahrir.

Alun-alun Tahrir adalah kawasan yang dapat dikatakan sibuk. Tak hanya museum yang ada di sana, perkantoran, gedung pemerintahan, hotel berbintang dan juga sebuah kampus pun berada di kawasan Alun-alun Tahrir. Plaza, stasiun bahkan tempat ibadah pun ada di sekitarnya.

Zeny mencoba menghilangkan kekesalannya dengan mempelajari buku mengenai Mesir Kuno miliknya. Masih ingat ia saat Gracia berkata bahwa kamar Deanis tepat di depan kamar mereka.

Dari tiga puluh mahasiswa kelas Sejarah dan enam belas kamar hotel yang disewa, mengapa harus kamar yang terletak di depan kamarnya yang dihuni oleh pemuda menyebalkan itu selama empat hari ke depan? Memikirkan hal itu lagi, sudah membuat Zeny pusing kepala. Seolah Deanis yang akhir-akhir ini sering mengusilinya itu seperti penguntit baginya.

Zeny menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia mencoba menghapus bayangan-bayangan mengerikan dari kepalanya jika saja ia sering bertemu dengan Deanis selama di Mesir. Gadis itu sedih, membayangkan perjalanan studi pertamanya akan menjadi perjalanan yang menyedihkan hanya karena Deanis.

Perlahan bus yang Zeny dan rombongannya tumpangi berhenti. Mereka telah sampai di kawasan Alun-alun Tahrir.

Bus mereka kini telah terparkir di tempat khusus dengan rapi dan teratur. Satu per satu mahasiswa kelas Sejarah itu pun turun untuk diberi arahan oleh Miss Elora terlebih dahulu.

Miss Elora memberikan beberapa tugas dan jadwal sekaligus berpesan pada mahasiswanya bahwa mereka diperbolehkan berkeliling setelah tugas yang diberikan hari itu selesai dan kembali ke bus sesuai waktu yang telah ditentukan.

Zeny tampak sangat bersemangat. Setelah Miss Elora selesai memberikan pengarahan dan seluruh teman-temannya berpencar masing-masing, Zeny tampak antusias dan memilih untuk melakukan tugasnya secara mandiri agar cepat selesai lalu ia bisa berkeliling di kawasan alun-alun Tahrir itu lebih lama.

Sebelum ia masuk ke dalam museum, di sekitar luar museum tampak ada sebuah pasaraya yang tergelar. Dari jauh, Zeny melihat pasaraya itu tampak menjual beberapa pernak-pernik Mesir yang dapat dijadikan sebagai cinderamata.

Zeny pun teringat ayahnya. Ia ingin memberikan oleh-oleh untuk ayah tercintanya sebagai kenang-kenangan simbolis bahwa ia pernah mengunjungi Mesir.

Gadis itu berjalan-jalan dari satu penjual ke penjual lainnya. Sebagian besar dari mereka berbicara bahasa Arab. Sedikit banyak, Zeny mengerti apa yang mereka ucapkan, hanya saja, untuk menanggapinya, Zeny tidak percaya diri dengan kemampuan bahasa Arabnya.

Di antara penjual yang dilewatinya, ada satu penjual yang menarik perhatiannya. Sebuah stand yang dijaga seorang kakek. Sebagian dari mereka bersorak menjajakan dagangannya, namun tidak dengan kakek itu. Kakek itu hanya diam, duduk di sebuah kursi, mengenakan jubah dan kacamata hitam. Zeny pun mendekati stand sang kakek.

Zeny tak langsung bertanya pada si kakek. Ia hendak melihat-lihat dagangan yang dijual oleh sang kakek di stand tersebut. Saat melihat-lihat, Zeny menemukan sebuah gelang yang unik. Tampak terbuat dari batu imitasi yang dihiasi dengan huruf-huruf Hieroglif di setiap permukaan keping-keping batu imitasi itu.

“Gelang itu, cocok sekali untuk Nona,” celetuk sang kakek yang tiba-tiba berkomentar menggunakan bahasa Inggris tentang gelang yang ditemukan Zeny dan kini tengah digenggamnya.

Zeny menoleh ke arah kakek itu yang tampak masih menatap lurus ke depan dengan kacamata hitamnya tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun. Tanpa curiga sedikit pun, Zeny tersenyum dan mulai mencoba menawar.

“Berapa harganya, Kek?” tanya Zeny sambil masih memperhatikan gelang itu di genggamannya dengan takjub.

“Sepuluh pound. Tapi jika Nona mengambil sepasang, cukup lima belas pound saja,” ujar sang Kakek.

Zeny pun mulai berpikir dan menghitung kurs harga yang disebutkan sang Kakek. Tak lama, gadis itu tersenyum dan mengeluarkan tiga lembar uang senilai lima pound dari dompetnya.

“Saya ambil sepasang ya, Kek,” balas Zeny dalam bahasa Inggris sambil menyerahkan uang itu ke tangan sang Kakek.

Sang Kakek pun tersenyum dan berterima kasih pada Zeny. Zeny mengangguk dan mengambil sepasang gelang yang dibelinya. Satu gelang telah dipakainya dan satu gelang yang lain disimpannya di dalam ransel miliknya untuk sang Ayah.

Setelah mendapatkan yang diinginkannya, Zeny pun masuk ke dalam Museum Kairo dengan wajah yang berseri-seri karena ia merasa begitu takjub dengan apa yang dilihat oleh kedua matanya. Museum Kairo adalah museum dua lantai, di mana lantai dasar adalah pameran koleksi papirus dan koin yang digunakan pada masa lampau. Ada juga beberapa artefak seperti patung, meja atau sarkofagus.

Zeny sangat takjub melihat beberapa dari papirus yang dilihatnya ditulis dengan huruf Hieroglif. Bahkan untuk beberapa saat, ia terpaku menatap satu-dua fragmen kecil hanya untuk berusaha membaca huruf-huruf Mesir Kuno itu. Namun tetap saja, karena itu hanya potongan-potongan kecil yang tidak utuh, sulit bagi pemula sepertinya untuk mengartikannya.

“Hei, Udik. Sedang apa kau? Wah, kau tidak mengenakan pakaian petualang seperti kemaren,” celetuk Deanis yang berada di sekitar Zeny saat Zeny tampak bergeming di depan salah satu potongan papirus yang dipamerkan di balik kaca.

Zeny sempat terkejut dan agak terlonjak ke belakang. Saat melihat bahwa Deanis lah yang membuatnya terkejut, gadis itu mendengus kesal sambil memutar bola matanya malas lalu berpindah tempat tanpa menghiraukan Deanis.

“Oh! Kemana dua matamu yang lain?” tanya Deanis yang agak terkejut melihat Zeny yang tak berkacamata. Tampaknya Zeny mengganti kacamatanya dengan lensa kontak berwarna abu-abu.

Zeny memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Deanis. Gadis itu malas menanggapi Deanis dan memilih untuk tidak menghiraukan pemuda itu meskipun ia geram.

Deanis yang tidak mendapat respon apa pun dari Zeny hanya mengendikkan bahunya singkat. Namun pemuda itu tampak tidak menyerah. Sepertinya Deanis punya cukup banyak waktu untuk menjahili Zeny dibandingkan mengerjakan tugasnya, hingga pada akhirnya, pemuda itu terus mengikuti Zeny.

Zeny tak menggubris Deanis dan kembali sibuk dengan tugasnya. Selesai berkeliling di lantai dasar sambil melengkapi tugasnya, ia naik ke lantai pertama untuk melihat koleksi lainnya dari Museum Kairo.

Di lantai pertama yang merupakan lantai teratas di museum itu, dipamerkan koleksi artefak dari dua dinasti terakhir Mesir seperti barang-barang dari makam para Fir’aun Thutmosis III dan IV, Amenophis II, Hatshepsut dan punggawa Maiherpri serta artefak lain dari Lembah Para Raja.

Di lantai ini, Zeny teringat gelang yang baru dibelinya dari kakek-kakek tadi. Ia pun mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat kembali gelang yang dibelinya itu. Gadis itu melepas gelangnya dari tangannya lalu mencoba membaca tulisan Hieroglif yang ada di gelang itu dan menyamakannya dengan beberapa artefak yang ada di lantai itu.

Deanis tampak memperhatikan gerak-gerik Zeny yang tampak melihat gelangnya dan ke beberapa artefak secara bergantian. Karena penasaran sekaligus ingin sekali menjahili Zeny, Deanis mendekat dan mengambil untaian gelang yang dipegang oleh Zeny.

“Benda apa ini? Oh! Gelang,” celetuk Deanis sambil mengangkat gelang milik Zeny ke arahnya.

Zeny terkejut saat gelang yang ada di tangannya diambil paksa oleh Deanis. Gadis itu membulatkan matanya ke arah pemuda jahil itu.

“Kembalikan, Deanis!” seru Zeny dengan lantang.

Deanis melirik sekilas pada Zeny sambil tersenyum miring. Diangkatnya tinggi-tinggi gelang milik Zeny yang ada di tangannya.

“Gelang ini... aneh juga. Motifnya gambar-gambar aneh yang ada di buku-bukumu `kan?” ujar Deanis sambil mengamati gelang yang sedang ditinggi-tinggikannya.

“Itu Hieroglif, Bodoh. Kembalikan!” seru Zeny lagi sambil melompat-lompat mencoba meraih gelangnya dari tangan Deanis.

Deanis tertawa mengejek sambil terus meninggi-ninggikan tangannya dan memundurkan langkahnya karena lompatan Zeny membuat gadis itu semakin maju dan maju ke arahnya.

“Kembalikan, Deanis! Kenapa kau selalu menggangguku? Hei! Berikan gelang itu!” seru Zeny kesal sambil terus melompat dan berusaha mengambil kembali apa yang menjadi miliknya.

Keduanya saling mencoba meraih dan menjauhkan seuntai gelang itu. Semakin lama, posisi mereka semakin bergeser mendekat ke salah satu display artefak. Tanpa sadar, Deanis menabrak display itu dengan pinggulnya dan membuat artefak itu bergeser kemudian terjatuh.

Alih-alih terdengar suara artefak pecah, mereka justru melihat sebuah cahaya terang keluar dari gelang yang kini tengah dipegang mereka berdua secara bersamaan. Deanis dan Zeny menoleh ke arah sumber cahaya itu dan terpaksa menyipitkan kedua mata mereka karena cahaya terang itu semakin menyilaukan. Seketika sekeliling ruangan di sekitar Zeny dan Deanis berubah menjadi putih serta baru terdengar dentuman.

Deanis membuka kedua mata mereka secara perlahan saat mendengar dentuman itu. Keduanya terjatuh di atas tumpukan pasir dan dengan kepala yang agak terasa pening.

Deanis mencoba mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian ia memperhatikan Zeny yang tergeletak tak sadarkan diri tak jauh darinya. Deanis menghampiri Zeny dengan agak terhuyung dan mencoba menyadarkan Zeny.

“Hei Udik, bangunlah,” ujar Deanis sambil mengguncang-guncangkan tubuh Zeny dan mengamati sekitar mereka yang hanya dipenuhi dengan hamparan gurun pasir.

“Ck. Di mana ini?” monolog Deanis.

*to be continued*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel