Pustaka
Bahasa Indonesia

Spark in Desert

104.0K · Tamat
Romansa Universe
81
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Zeny sangat menyukai huruf mesir kuno hingga sering dianggap aneh oleh orang lain. Terutama oleh Deanis sang pemain basket popular di kampus. Hingga suatu hari saat sedang studi tour di Mesir, Zeny dan Deanis tanpa sengaja menjatuhkan sebuah artefak yang membuat mereka terjebak di zaman Mesir kuno yang sedang mengalami peperangan. Cinta pun tumbuh seiring perjalanan mereka mencari cara untuk kembali.

RomansaPengembara WaktuZaman Kuno

Bab 1 Study Tour ke Mesir

Bab 1 Study Tour ke Mesir

Gadis berkacamata itu tampak sibuk membolak-balik buku-buku tebal yang ada di hadapannya. Manik matanya yang cokelat tampak berbinar saat menelusuri dan mempelajari untaian kata dan kalimat yang tertuang dalam buku di hadapannya. Huruf-huruf asing nan cantik membuatnya semakin tertarik untuk mempelajarinya sejak dulu. Ia bahkan membuat catatan di ponsel pintar miliknya agar ia bisa segera menghafal dan memahaminya dengan cepat di mana pun dan kapan pun.

“Ah. Lalu ini, yang seperti ini stetoskop ini... bukan-bukan. Zeny, ayolah! Itu bukan stetoskop. Apa ya kemarin sebutannya? Ah! Tali penambat,” monolog gadis berkacamata itu merutuki dirinya sendiri dengan bodoh.

Gadis itu bernama Zeny, Zeny Nuffah. Ia sedang berada di perpustakaan untuk kembali menghafal ulang huruf-huruf Hieroglif. Huruf Mesir Kuno yang tampak seperti gambar-gambar aneh tak berarti, nyatanya memiliki cara pelafalan, penulisan dan makna tersendiri jika dibaca dan dipahami dengan baik.

Sudah sejak di bangku SMA hingga sekarang di perguruan tinggi, Zeny mempelajarinya, baik secara otodidak maupun melalui kursus. Ia bahkan menguras setengah dari tabungannya hanya untuk membeli buku-buku panduan membaca huruf Hieroglif sekaligus menerjemahkan maknanya, mengunduh aplikasi-aplikasi gratis maupun berbayar di dalam ponsel pintarnya mengenai Hieroglif, masuk dalam komunitas berbayar bahkan membayar kursus online mengenai Hieroglif dan Mesir Kuno.

Sementara Zeny sibuk dengan deretan huruf-huruf Mesir Kuno itu, tak jauh dari mejanya, salah seorang mahasiswa, teman seangkatannya tengah mengamati gadis itu dengan tatapan remeh dan tidak suka padanya. Tak lama, seorang gadis menghampiri Zeny. Begitu melihat seseorang mendekat pada Zeny, si pemuda itu berbalik badan dan keluar dari perpustakaan.

“Kau Zeny Nuffah?” tanya gadis itu pada Zeny dengan datar.

Zeny yang merasa namanya disebutkan pun menoleh. Ia membenarkan letak kacamatanya yang agak melorot ke punggung hidungnya lalu membalas, “Ya. Ada apa?” tanya Zeny.

Gadis yang menghampiri Zeny itu memberikan selembar kertas yang terlipat tiga pada Zeny lalu berkata, “edaran study tour dari Miss Elora.”

“Oh. Trims,” balas Zeny sambil meraih kertas itu dan membukanya.

Zeny membacanya cepat lalu menghela napas.

“Harusnya aku tidak membacanya. Aku tak mungkin pergi. Ayah tidak pernah mengizinkanku pergi study tour ke mana pun itu. Apalagi ini ke Mesir,” monolog Zeny dengan datar.

Beberapa detik usai bermonolog, Zeny pun membelalakkan matanya. Ada sesuatu yang baru disadarinya. Lembar edaran yang baru saja dilipatnya, kini dibukanya kembali dan dibacanya ulang.

“Mesir? Sungguh ke Mesir?! Aku harus pergi. Aku harus. Aku akan membujuk Ayah. Aku harus!” seru Zeny cukup keras sehingga membuatnya menjadi pusat perhatian mahasiswa-mahasiswi di perpustakaan itu.

Tanpa ragu, Zeny pun membereskan buku-buku yang ada di mejanya, menumpuknya dan membawanya dengan cara memeluknya dengan kedua tangannya lalu keluar dari perpustakaan. Ia berlari penuh semangat sepanjang koridor menuju lokernya untuk mengambil beberapa barang untuk dibawa pulang dan ditunjukkan pada sang ayah.

Belum sampai di depan lokernya, ia bertabrakan dengan seseorang karena kecerobohannya. Zeny pun jatuh terduduk ke belakang, bukunya jatuh berceceran, sedangkan orang yang ditabraknya masih berdiri tetapi mengaduh dengan kesal sambil menoleh ke arah Zeny.

“Ah, maaf. Maafkan aku. Aku sedang terburu-buru,” ujar Zeny meminta maaf sambil membereskan buku-bukunya yang berserakan.

“Kau lagi, kau lagi! Apa gunanya kau bermata empat kalau terus-terusan menabrak orang, hah?!” cemooh pemuda itu.

Zeny menghela napas. Mendengar suara pemuda yang ditabraknya sudah membuat ia hafal dan tahu siapa yang ditabraknya tanpa sengaja itu. Dan Zeny cukup muak berurusan dengan pemuda satu ini.

“Aku sudah bilang maaf,” ujar Zeny singkat. Ia hanya tidak ingin memperpanjang dan membuat keributan yang akan menarik perhatian banyak orang.

Pemuda itu berdecak lalu tersenyum miring. Ia pun menginjakkan kakinya dengan sengaja ke salah satu buku yang terdekat di kakinya. Zeny yang melihat itu pun memegang punggung buku yang diinjak oleh pemuda itu dan memintanya untuk menyingkirkan kakinya.

“Bisa kau angkat kakimu sebentar?” tanya Zeny.

“Tidak bisa,” jawab pemuda itu datar.

Zeny menggembungkan pipinya sejenak lalu membuang napas kasar. Tampaknya gadis itu masih berusaha bersabar karena buku yang terinjak oleh pemuda itu adalah silabus kesayangannya mengenai Hieroglif dan peradaban Mesir Kuno yang diunduhnya berbayar dari Universitas Cambridge. Ia tak ingin koleksi khusus kesayangannya itu rusak atau cacat.

“Deanis, singkirkan kakimu,” pinta Zeny sekali lagi pada pemuda yang bernama Deanis itu.

Alih-alih menyingkirkan kakinya, Deanis membungkukkan diri lalu menyingkirkan tangan Zeny dari buku yang diinjaknya. Kemudian ia mengangkat kakinya sedikit dan memungut buku itu.

“Ckckck. Gambar-gambar aneh ini lagi. Kau tidak bosan?” ujar Deanis sambil membuka buku di tangannya dan membolak-balik dengan kasar.

Zeny kesal melihat perlakuan Deanis pada buku kesayangannya itu.

“Kembalikan bukuku, Deanis,” pinta Zeny sekali lagi.

Deanis tidak menggubrisnya. Ia malah dengan cepat membolak-balik buku yang menurutnya usang itu dengan cepat hingga membuat beberapa lembar halamannya lecek dan sobek. Zeny yang geram pun akhirnya mencengkram pergelangan tangan Deanis kuat-kuat lalu mengambil bukunya kembali. Setelah mendapatkan bukunya kembali, Zeny pun pergi menjauh dari Deanis, menuju lokernya.

Deanis tersenyum miring dan mengekori Zeny. Gadis itu sudah di depan lokernya, tengah membuka dan mengambil beberapa barang termasuk ranselnya dari sana dan menyimpan satu dua buku yang tadi dipeluknya, tak termasuk si silabus tadi karena ia akan membawanya pulang.

Deanis mengamati tingkah Zeny lalu berkata, "sepertinya aku tahu kenapa kau terburu-buru.”

Zeny tampak tidak peduli dengan ucapan Deanis bahkan tidak menanggapi. Gadis itu sibuk mengemas barangnya ke dalam ranselnya lalu menutup lokernya. Zeny pun berbalik badan dan berjalan melalui koridor untuk keluar dari kampusnya, dan Deanis masih mengikutinya dengan terang-terangan. Deanis bahkan terus mengoceh meskipun Zeny tak meresponnya.

“Memangnya kau dapat apa dengan pergi ke Mesir? Mumi?” oceh Deanis.

Zeny masih diam.

“Atau kau ingin membawa pulang sebuah piramid?” oceh Deanis.

Lagi, Zeny masih tidak menanggapinya.

“Ah, mungkin saja kau yang jadi muminya, benar `kan? Itu cita-citamu kan? Haha,” oceh Deanis yang bahkan tertawa.

Zeny menghentikan langkahnya dan mendadak berbalik badan hingga ia dan Deanis hampir bertabrakan. Seketika Deanis mengerem langkahnya sebelum keduanya benar-benar bertabrakan. Pemuda itu tampak terkejut namun berusaha menjaga ekspresinya.

“Tidak lucu, Deanis,” balas Zeny geram lalu pergi begitu saja menuju mobilnya dan pulang.

Deanis hanya menatap kepergian Zeny dengan tatapan yang tak bisa didefinisikan. Garis senyum di bibirnya menghilang dan berubah datar. Pemuda itu melipat kedua tangannya di depan dada, tanpa berhenti menatap Zeny yang semakin menjauh dari kampus dan menghilang di ujung jalan.

“Kenapa aku jadi merasa cemas?” monolog Deanis dalam hati.

***

Sesampainya di rumah, Zeny memarkir mobilnya di pekarangan dan segera berlari masuk ke dalam sambil berseru memanggil sang ayah.

“Ayah.. Yah? Ayah!” seru Zeny sambil berlari masuk ke dalam rumah.

“Di belakang,” sahutan dari sang Ayah pun terdengar.

Zeny pun menuju ke belakang rumahnya di mana ayahnya berada.

Ayah Zeny adalah seorang pengrajin keramik tersohor di kota mereka dan beliau lebih sering berada di rumah untuk melakukan pekerjaannya di workshop miliknya yang ada di belakang rumah.

“Wah, apa itu keramik baru? Aku baru melihatnya hari ini,” ujar Zeny sambil menghampiri Ayahnya.

Sang Ayah menoleh dan tersenyum.

“Bagus `kan? Ayah akan membuatnya satu set lalu akan Ayah hiasi dengan motif ornamen di pinggirnya, pasti akan jadi lebih cantik. Bagaimana menurutmu?”

Zeny tersenyum dan mengangguk dengan antusias meski sebenarnya gadis itu tengah gugup karena hendak meminta izin mengikuti study tour. Ia pun mendekati sang Ayah lalu memeluk pria paruh baya itu dengan manja.

“Ayah, sudah makan?” tanya Zeny.

“Sepertinya makan dengan putri kesayangan Ayah lebih menyenangkan daripada Ayah makan sendirian,” balas sang Ayah.

“Kalau begitu, ayo makan. Aku lapar.”

“Tentu saja kau lapar. Tadi pagi kau tidak sarapan dan pergi begitu saja.”

“Itu ‘kan... karena awalnya aku berencana untuk diet,” ujar Zeny beralasan sambil mengerucutkan bibirnya.

“Jadi sekarang kau tidak diet?”

Zeny tersenyum dan menggeleng.

“Tidak. Diet mulai besok. Aku lapar, hehe.”

Ayah Zeny tertawa. Bagi pria paruh baya itu, Zeny adalah permata hati dan sumber kebahagiaan satu-satunya di dunianya. Terlebih setelah istri tercintanya meninggalkan mereka berdua untuk selama-lamanya.

“Baiklah. Ayo kita masuk ke dalam. Ayah akan membuatkan Aglio e Olio kesukaanmu,” ujar Ayah kemudian keduanya masuk ke dalam rumah.

Zeny dan Ayahnya pun makan bersama. Mereka terbiasa makan sambil mengobrol sekadar menceritakan hari mereka pada satu sama lain. Dan di saat inilah, Zeny berusaha memberitahu kepada Ayahnya.

“Hum, Yah...”

“Ya Nak...”

“Bolehkah aku ke Mesir?”

*to be continued*