#Capter 2 :Soleha Si Pencuri Hati (Nikahan Soleha)
Lelaki bertopeng ninja berlari-lari kecil kala melintasi pos ronda tidak jauh dari musholla Hidayatullah. Dia memeluk televisi LED 14 inci bak memeluk bocah berumur 1 tahun. Pencahayaan minim di sekitar rumah panggung itu melalaikan penglihatannya. Dikiranya takkan ada seorang manusia pun, apalagi di kanan dan kiri cuma kebun pisang kepok. Junet dengan seksama memperhatikan kostum yang dikenakannya hingga tersadar kala si maling hampir berbelok ke gang Salah Sangka 1.
"Astaga naga, maling, Pak! Maling itu, buruan!" tepuknya histeris ke paha kiri Miing.
Miing malah berbalik, meringkuk lalu terpejam.
"Pak! Jangan bercanda dong! Itu arahnya dari rumah Soleha!"
Miing malas-malasan menjawab karena rasa kantuk yang teramat sangat, "Serius kamu?" tanyanya menoleh.
"Ya, dia barusan dari arah timur!"
"Hadeh, bilang dong dari tadi!"
Junet segera mengambil pentungan yang biasa terpajang pada pilar bambu. Dia berteriak disusul Miing dan kini ketiganya kejar-kejaran sampai tiba di anak sungai yang membelah Kampung Terong Ungu dengan Kampung Terong Bulat.
Tak disangka si maling membentangkan sebilah jembatan kayu sebagai penghubung lalu mengangkatnya kembali. "Dasar tua keladi lu, tua-tua kecil nyali!"
"Pak, ayo dong dikejar! TV-nya Soleha... Soleha, Pak Ming!" sengaja Junet mendengungkan nama kembang desanya sebagai bahan bakar Miing Parmiing.
"Situ yakin itu TV punya dia? Kalau bukan?"
"Ya... Ya... Ya nggak apa-apa, yang penting itu maling kita tangkap dulu!"
"Cuma TV 14 inci, mahar saya nanti emas 1 kg buat Eha (panggilan sayang Soleha). Lagian situ yakin bener itu TV-nya dia?"
Obrolan kedua bapak paruh baya itu malah membuat si maling raib dari pandangan. Sekarang apa coba dalihnya jika ditanyai hansip juga warga lainnya? Tapi satu hal yang aneh... Kok nggak ada yang ikutan nimbrung padahal teriakan Miing dan Junet sangat keras totalitas?
................
"Tua dan muda mari goyang bersama, nyanyi lagu yang gembira..."
"Yahui! Goyang teruuus!!" Rojali meliuk-liukan pinggulnya senada alunan musik orkestra.
Asoy geboy para orang tua bersama pasangan masing-masing seolah dunia milik berdua, bahkan anak mereka tidak segan memvideokan tingkah kocak itu sebagai kenangan terindah...
"Pak, denger nggak tuh?" tanya Junet menelisik.
"Musik itu?"
"Iya, kok tumben ada kondangan malam-malam gini?"
"Masa bodo ah, tuh lihat malingnya sudah hilang."
Junet menoleh lantas tepok jidat...
"Udah deh, kita balik saja. Saya sudah kehilangan tenaga nih," Miing terlihat lemas, jika harus cari cara menyeberangi anak sungai itu rasanya takkan sanggup lagi.
"Ya udah deh, semoga kita nggak diinterogasi warga nantinya."
Miing pun mengangguk setuju.
MC pernikahan naik ke atas panggung mengumumkan bahwa akad nikah bakal segera dilangsungkan. Warga berbondong-bondong meninggalkan halaman resepsi, pun undangan di atas pelaminan yang tanpa kehadiran pengantinnya, yah karena memang belum sah.
Ini agak lain memang, harusnya akad digelar dulu baru resepsinya, namun karena pernikahan si bunga desa, maka acaranya pun diadakan lain dari pada yang lain.
Soleha berjalan diapit Bu Fulanah dan Bu Ningsih. Dia begitu ayu tanpa makeup berlebihan. Gaunnya pun indah nan syar'i...
"Masya Allah...." bisik Akmal tiada berkedip.
"Siap, Mal?" tanya Haji Furoda (nama baru Haji Saepul gara-gara berangkat haji furoda tahun lalu).
"U-udah Pak Aji...."
"Santai, Bro.. Ingat saja abis ini, ok?"
Cepat-cepat Akmal mengangguk supaya tidak ada sambungan kalimat nyeleneh nih aki-aki kepo.
"Akmal Tarmiji Bin Masnawi, aku nikahkan engkau dengan Solehatun Binti almarhum Burhanuddin dengan maskawin seperangkat alat dapur dibayar tunai!"
"Blablabla... Blablabla...." jawab Akmal mantap (sengaja penulis tidak menyebutkan teksnya).
Keesokan paginya:
"Tega nian engkau khianati abang sedemikian rupa. Apa salah abang sampai kau khianati seperti ini? TV sudah dibelikan, biarpun dirampok maling amatiran, rice cooker sudah abang kreditkan, biarpun ujungnya kamu sendiri yang bayar sisanya. Kurangnya di mana sih Eha? Kurang ganteng? Tidak mungkin, kurang kaya? Setara juga kan sama pengusaha furnitur dadakan itu? Kurang kece? Nggak mungkin, nanti kalau abang cat hitam rambut ini pasti lebih muda 10 tahun dari sekarang, yah walau tidak boleh sebetulnya...."
Aki tua itu tak tahu semua barang pemberiannya telah dibayar kontan oleh Soleha kepada Mumun tiap kali dia memberikannya.
Buk! Krek... Buk!
"Suara apa itu?"
"Itu juga, Ron!"
"Cepatlah, Ron!"
"Hei, kalian! Apa kalian nggak kapok?!"
Penampilannya yang semrawut membuat Roni, Idgam, dan Rosita heran sekaligus iba.
“Kakek, sakit?” Roni bertanya tak sadar setelah Miing berada di depannya.
“Istirahatlah, Kek… Kalau ada masalah, bawa anteng aja..."
Akhirnya, keempat manusia beda generasi itu duduk berbaris di bawah pohon mangga halaman kontrakan Parmiing.
Dia bercerita diselingi isakan tangis tanpa air mata sampai puas, sementara bocah-bocah ingusan itu cuma mengangguk meski kurang memahami.
7.30, Tobugo Babe Miing:
"Jika ada yang bilang aku buaya, jangan kau dekat, janganlah kau percaya! Meski ada seribu gadis, namun engkaulah satu-satunya!"
"Jika nanti ku buka pintu hati, ku buktikan aku setia menemani... Oh Tuhan, tolong yakinkan aku pada dirinya! Dia-dia-diaaa yang membuatku terpesona....." Rojali maju-mundur ngedance ala Michael Jackson kala tiba sambil menenteng cerigen minyak gas.
Miing bertolak pinggang, menimang ucapan yang pantas untuk membalas lelaki berkumis lebat itu, "Beli apa pagi-pagi gini, Jal?"
"Ngebon minyak gas 1 liter, Be, sekalian mie rebus 3 bungkus dan air mineral 1 botol."
"Astagfirullahalazim...."
"Kurang banyak, Be? Ya udah, tam..."
"Ok-ok, cukup ya, udah cukup untuk minggu ini buat lu."
"Satu lagi, Be. Kalau boleh paket data yang 10 giga. Ane harus posting banyak-banyak biar cepat laku tuh lukisan di kosan."
Lagi-lagi Babe Miing mengalah demi rasa kemanusiaan, dikirimnya kuota sesuai pesanan itu lewat HP Androidnya dalam hitungan detik, "Dah masuk, buruan lu cek deh..."
"Ok, Be. Thank you so much!"
"Kagak ngerti gue bahasa bule! Tunggu ntar gue ambil pesanan lu."
Serah terima kasbon pun dilakukan. Lambaian selengean plus kata "Cau!" dilontarkan Rojali sebagai rasa terima kasih.
Di pukul 12 lebih sedikit, matahari telah berada di pusat ketinggian. Panasnya menyengat hingga keringat bercucuran bak air terjun berskala mini.
Nyengir kuda kumpulan bapak-bapak yang dihampiri Mbak Rose. Pertigaan gang sempit itu sudah biasa dipakai mangkal tukang ojek, terkhusus masyarakat kampung Terong Ungu.
Kini cuaca terik seolah menghilang tertutupi pesona Mbak Rose, apalagi warna ngejreng kebaya hitam motif mawar merahnya sangat-sangat menyegarkan mata yang mulai terasa mengantuk.
