
Ringkasan
Kisah bunga desa yatim piatu yang dinikahi pemuda kaya. Baru seumur lumut pernikahannya, cobaan orang ketiga dari cinta pertama sang suami menghantam bak petir di pagi buta. Kisah Soleha Si Pencuri Hati, novel ringan nan menghibur, syarat makna dan inspiratif. Kisah kedua berjudul Dendam Kesumat Mak Kunti yang di ilhami dari kisah nyata, bagaimana golongan syetan dari kalangan jin dan manusia sibuk menggelincinrkan anak-cucu Adam bahkan hingga matahari terbit dari barat. Jangan lupa follow instagram, halamanpenulis8 Dan facebook, Eci Ana Your support means a lot, thank you.
#Capter 1: Dendam Kesumat Mak Kunti (Kegaulauan Mak Kunti)
Matahari mulai tampak dan cahaya keemasannya menerpa lubang Gua Raskin. Di tempat itu hiduplah kelompok dedemit berskala kecil, yakni Babe Wowo (Genderuo), istrinya Mak Kunti, dan ketiga anak jahiliahnya: si Tuyul cebol, si Juring ceking, dan terakhir si Tiren kepala plontos (akibat kena guyuran sayur lodeh mendidih sebelum koit).
Mak Kunti masih saja termenung di pinggir pantai, sesekali tangan berkerutnya menyapu pasir bak dedemit baru gede. Babe Wowo sudah menasihati selaku imam, tapi Mak Kunti tidak merespons sama sekali.
"Ck-ck-ck... Emak lu udah kesambet, Ring," desah Babe Wowo bertolak pinggang, sebelah tangannya menggaruk perut berkali-kali hingga terkelupas akibat kutu air.
Si Juring mengernyit, memeras otak, garuk-garuk kepala hingga tembus batang otaknya, "Maksud, Babe?" Kini ia di atas batu besar, sedang ayahnya berdiri tegak di samping kanan depan pintu Gua Raskin...
Cuit-cui!
"Idih, geli Ring!"
Wowo merasa geli akibat Juring noel-noel pinggul kirinya. Inilah alasannya kenapa si Juring lebih dekat dengan sang ayah ketimbang si Tuyul atau si Tiren.
"Babe masih waras ternyata..."
"Maksud Babe Nyak lu, bukan Babe yang kesambet!"
"Lah, Nyak kan setan, Be. Hakikatnya kan bikin orang hilang kesadaran alias lupa diri... Trus, siapa yang bisa bikin Nyak ngerasain hal yang sama? Masa setan goda setan?"
Genderuo itu pun menampar wajah Juring hingga bola matanya keluar. Cepat-cepat Juring merayap, meraba-raba pasir.
Tiba-tiba Mak Kunti berceloteh lagi.....
"Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman:
وَّاَنَّا لَمَسْنَا السَّمَآءَ فَوَجَدْنٰهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيْدًا وَّشُهُبًا
wa annaa lamasnas-samaaa-a fa wajadnaahaa muli-at harosang syadiidaw wa syuhubaa
"Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api," (QS. Al-Jinn 72: Ayat 8)
Lanjutnya lagi....
Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala pun telah berfirman:
وَّاَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَا عِدَ لِلسَّمْعِ ۗ فَمَنْ يَّسْتَمِعِ الْاٰ نَ يَجِدْ لَهٗ شِهَا بًا رَّصَدًا
wa annaa kunnaa naq'udu min-haa maqoo'ida lis-sam', fa may yastami'il-aana yajid lahuu syihaabar roshodaa
"dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya)."
(QS. Al-Jinn 72: Ayat 9).
Si Kunti terdiam, tubuhnya serasa terbakar akibat dendam kesumat pada anak-cucu Adam. Asap keluar dari puncak kepala. Ia berceloteh tiada mampu meredam bibir yang telah mengucurkan darah berwarna hitam, sama seperti warna api neraka terpanas.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya yang pasti berlaku hingga akhir zaman...
وَّاَنَّا مِنَّا الصّٰلِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذٰلِكَ ۗ كُنَّا طَرَآئِقَ قِدَدًwa
wannaa minnash-shoolihuuna wa minnaa duuna zaalik, kunnaa thorooo-iqo qidadaa
"Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang saleh dan ada (pula) kebalikannya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda."
QS. Al-Jinn 72: Ayat 11)
"Hmmm," gumam Babe Wowo sambil manggut-manggut.
"Mak, lu lagi galau, Ring. Mending Babe tidur di toilet umum aja ketimbang kena batunya..."
Dentuman kaki Babe Wowo menggetarkan bumi di sekelilingnya. Mak Kunti menelisik ke mana perginya sang suami hingga ide cemerlang menghinggapi benak jahiliahnya.
"Jika arah itu gagal, pasti bisa melalui arah lainnya..."
Musholla Al-Hikam, 1.30 WIB:
Jemari sang muazin tak henti bergerak sesuai zikir lisan dan hatinya. Tadi, hampir saja kesalahan fatal diucapkan akibat bisikan setan yang terlaknat (Mak Kunti) kala memberikan sebuah ceramah.
"Bisa aku alpa seperti itu?" gelengnya penuh sesal mendalam. "Ilmuku cuma seujung kuku, tapi begitu congkak!"
"Tapi bukankah Allah Ta'ala yang memberi ilmu ini padamu?" bisik Kunti lembut.
Zamir berkedip.
"Bukankah ilmu seharusnya disampaikan terang-benderang? Siapa dan dari mana sumbernya? Apa salahnya menyebutkan nama sendiri, Zamir?"
Bola mata Zamir membulat sempurna.
"Harusnya menyebutkan nama demi memantik semangat orang lain. Masa, kamu mau pintar dan masuk surga sendirian?" goda si Kuntilanak tak tanggung-tanggung.
Zamir mengangguk beberapa kali. Dia tampak yakin akan was-was yang berhembus di hatinya. Dan Kunti pun mulai menggoda Amar yang baru saja tiba usai mengambil air wudhu.
Tadinya Amar hendak mendirikan sholat, namun ucapan lirih Zamir mengundang rasa penasarannya.
Amar yang tergoda terus saja memperhatikan. Kunti pun kembali menghasut supaya dia duduk di samping Zamir dengan dalih sekadar menasihati sebagai bentuk kepedulian. "Zam, kenapa? Ada hal yang mengganggumu, kah?"
Zamir lumayan terkejut.
"Kenapa? Cerita deh sama ane. Siapa tahu ane bisa bantu ente."
"Semua baik-baik saja kok. Tak ada apa-apa."
"Kita bicara pakai bahasa ibu deh, Mir. Kelu lidah ane ikutin bahasa baru yang lu bawa."
"Tapi aku nggak biasa, Mar. Kan aku di sini baru tiga hari?"
"Ane paham, tapi masa waktu tiga hari nggak bisa bikin lidah lu beradaptasi?"
"Aku serius, lagian memperdebatkan hal sepele ini cuma mengundang perselisihan."
Amar mengernyit, ekspresinya kian mengundang kecemasan di hati Zamir. Berusaha sang muazin meredam egonya karena posisinya sebagai imam baru musholla Al-Hikam sesuai bisikan si kuntilanak.
"Istigfar, Mir. Kita di musholla. Nggak baik bicara bahasa ketus kayak begini. Kita kan sahabat...?"
Bersambung..
