Bab 5: Jejak Aroma Melati yang Tertinggal
Jakarta siang itu adalah definisi dari neraka dunia. Matahari membakar aspal hingga uap panas menguar ke udara, bercampur dengan asap knalpot MetroMini dan deru ribuan motor yang saling serobot di persimpangan.
Namun, di dalam kabin belakang sedan hitam mengkilap berpelat nomor khusus itu, kekacauan di luar sana hanyalah film bisu.
Arkan duduk diam, membiarkan punggungnya tenggelam dalam jok kulit kualitas terbaik yang didatangkan langsung dari Italia. Pendingin udara berhembus halus, menjaga suhu tetap di angka delapan belas derajat yang konstan. Hening. Steril. Sempurna.
Tapi bagi Arkan, kesempurnaan ini tiba-tiba terasa hambar.
Tangannya kembali bermain dengan kartu pelajar yang sejak tadi pagi tidak lepas dari genggamannya. Plastik laminating kartu itu sudah sedikit terkelupas di ujungnya, menandakan pemiliknya sering menyimpannya sembarangan. Namun, bukan tekstur kasar itu yang membuat Arkan terganggu.
Melainkan aromanya.
Arkan mendekatkan kartu itu ke hidungnya, menghirup pelan. Samar, sangat tipis, namun masih ada di sana. Aroma melati. Bukan jenis wewangian sintetis yang tajam menusuk, melainkan aroma yang lembut, sedikit manis, dan menenangkan. Aroma sabun cuci baju murah yang bercampur dengan keringat alami dan bedak bayi.
Aroma kemiskinan yang bersih.
"Bram," panggil Arkan tanpa membuka mata.
"Ya, Pak?" sahut Bramantyo dari kursi depan, suaranya tegang. Asisten itu masih belum percaya bosnya benar-benar membatalkan rapat direksi demi mengunjungi sebuah SMA negeri di pinggiran kota.
"Apa kita punya parfum mobil aroma melati?"
Bram terdiam sejenak, bingung. "Tidak, Pak. Standar kendaraan operasional Bapak adalah leather and sandalwood. Bapak sendiri yang melarang aroma bunga karena membuat pusing. Apa Bapak ingin saya membelinya sekarang?"
"Tidak usah," jawab Arkan cepat. Ia menjauhkan kartu itu dari wajahnya. "Lupakan."
Arkan menatap ke luar jendela yang dilapisi kaca film gelap. Gedung-gedung pencakar langit di kawasan bisnis perlahan berganti menjadi ruko-ruko kusam dan tiang listrik yang kabelnya semrawut. Mereka memasuki wilayah di mana hukum rimba jalanan berlaku lebih keras.
Aroma melati di kartu ini adalah satu-satunya hal yang terasa 'hidup' di tengah dunianya yang mati rasa. Gadis itu, Kanara, meninggalkan jejak yang lebih dalam daripada sekadar sepatu yang tertinggal. Dia meninggalkan kesan bahwa ada dunia lain yang tidak tersentuh oleh kekuasaan uang Arkan—dunia di mana orang berjuang hanya untuk bertahan hidup, namun tetap memiliki keberanian untuk menertawakan nasib.
Arkan ingin tahu, apakah aroma itu masih sama kuatnya saat ia melihat pemiliknya dalam balutan seragam sekolah, ataukah itu hanya ilusi malam pesta semata?
Sementara itu, di SMA Pertiwi Bangsa, bel istirahat kedua baru saja berbunyi.
Suara riuh ratusan siswa yang berhamburan keluar kelas memenuhi lorong sekolah yang cat dindingnya mulai mengelupas. Bau keringat remaja, aroma gorengan dari kantin, dan debu kapur tulis bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer khas sekolah menengah yang padat.
Kanara duduk sendirian di bangku beton di bawah pohon akasia di sudut lapangan. Kakinya yang diperban plester berdenyut nyeri setiap kali ia mencoba melangkah, jadi ia memutuskan untuk menghindari kantin yang pasti penuh sesak.
"Woy, Ra! Tumben nggak ke kantin? Puasa Senin-Kamis lagi?"
Seorang gadis bertubuh gempal dengan kacamata tebal menghampirinya, membawa dua bungkus es teh plastik. Itu Siska, teman sebangku Kanara, satu-satunya orang di sekolah ini yang tidak memandangnya dengan tatapan kasihan atau meremehkan.
Kanara tersenyum tipis, menerima sodoran es teh itu. "Lagi nggak nafsu makan, Sis. Kaki gue lecet."
"Lecet kenapa? Abis lari maraton lo?" Siska duduk di sebelahnya, menyedot es tehnya dengan ribut.
"Biasa, sepatu kekecilan," bohong Kanara. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa kakinya lecet karena sepatu hak tinggi tujuh senti yang ia pakai untuk menyamar di hotel bintang lima.
Siska mengangguk-angguk, tidak curiga. "Eh, lo tau nggak? Katanya ada sidak dadakan dari kesiswaan hari ini. Bu Ratna lagi ngamuk nyariin anak-anak yang atributnya nggak lengkap."
Jantung Kanara berhenti berdetak sesaat.
"Sidak?" ulangnya, suaranya tercekat. "Sidak apa?"
"Kelengkapan atribut lah. Dasi, topi, kaos kaki... sama kartu pelajar," jawab Siska santai. "Katanya sih buat data ulang penerima beasiswa. Yang kartu pelajarnya ilang, bakal dipanggil ke ruang BK."
Dunia Kanara seakan runtuh saat itu juga. Ruang BK. Panggilan. Data ulang beasiswa.
Ia meremas plastik es teh di tangannya hingga dinginnya menusuk telapak tangan. Kartu pelajarnya ada di tangan orang lain—atau mungkin sudah hancur terinjak-injak di lantai dansa hotel. Jika Bu Ratna tahu ia menghilangkan kartu identitasnya, ia akan dicerca habis-habisan. Lebih parah lagi, jika ada yang menemukan kartu itu dan mengembalikannya ke sekolah dengan cerita bahwa kartu itu ditemukan di sebuah pesta mewah...
Tamatlah riwayatnya.
"Gue... gue harus ke toilet," gumam Kanara panik. Ia berusaha berdiri, namun rasa nyeri di tumitnya membuatnya kembali terduduk.
"Eh, pelan-pelan dong! Muka lo pucet banget, Ra. Lo sakit?"
Belum sempat Kanara menjawab, suara klakson mobil yang asing dan berat terdengar dari arah gerbang depan. Bunyinya bukan seperti klakson motor atau mobil guru yang biasa didengar, melainkan suara rendah yang berwibawa dan mengintimidasi.
Suasana lapangan yang tadinya riuh mendadak senyap.
Ratusan pasang mata siswa menoleh ke arah gerbang utama.
Sebuah sedan hitam panjang—terlalu panjang dan terlalu mewah untuk berada di jalanan sempit depan sekolah—perlahan masuk membelah kerumunan. Bodinya yang mengkilap memantulkan cahaya matahari dengan angkuh. Lambang 'Spirit of Ecstasy' di kap mesinnya berkilau menyilaukan mata.
Satpam sekolah yang biasanya galak terlihat tergopoh-gopoh membukakan gerbang lebar-lebar, membungkuk hormat seolah-olah presiden baru saja datang berkunjung.
"Gila..." bisik Siska, mulutnya menganga. "Itu mobil siapa, Ra? Rolls Royce? Di sekolah kita?"
Kanara tidak menjawab. Matanya terpaku pada mobil itu. Firasat buruk yang sejak pagi menghantuinya kini berubah menjadi alarm bahaya yang meraung-raung di kepalanya.
Mobil itu berhenti tepat di depan lobi utama, hanya berjarak sepuluh meter dari tempat Kanara duduk. Kaca jendela belakang yang gelap perlahan turun.
Dan saat itulah, angin membawa aroma yang sangat ia kenali. Aroma yang seharusnya tidak ada di sekolah yang berdebu ini. Aroma cologne mahal yang bercampur dengan dinginnya AC mobil.
Dari celah jendela yang terbuka, sepasang mata elang menatap lurus ke arahnya, seolah-olah pemilik mata itu memiliki radar yang bisa menemukan Kanara di antara ratusan siswa berseragam sama.
Kanara menahan napas. Jejak aroma melati yang ia tinggalkan semalam ternyata tidak hilang. Justru jejak itulah yang menuntun sang pemburu datang langsung ke sarangnya.
Arkan Dewangga telah menemukannya.
