Bab 6: Kembali ke Realitas Pahit
Waktu seolah membeku di lapangan SMA Pertiwi Bangsa.
Debu yang beterbangan, teriakan siswa yang bermain bola di kejauhan, bahkan angin panas yang menerpa wajah, semuanya terasa berhenti saat pintu penumpang mobil mewah itu terbuka.
Satu kaki yang dibalut celana bahan hitam licin dan sepatu pantofel kulit mengkilap menapak turun ke atas paving blok sekolah yang retak dan berlumut. Kontras yang begitu tajam itu menyakitkan mata—seperti melihat berlian yang diletakkan di atas tumpukan jerami busuk.
Arkan Dewangga keluar dari kendaraan besinya, berdiri tegak menjulang di bawah terik matahari Jakarta. Ia mengenakan setelan jas abu-abu tua three-piece yang potongannya memeluk tubuh atletisnya dengan sempurna, lengkap dengan kacamata hitam yang menyembunyikan sorot matanya yang mematikan.
Di belakangnya, Bramantyo—asisten setianya—ikut turun, tampak sedikit risih dengan debu yang langsung menempel pada jas mahalnya, namun tetap memasang wajah profesional.
"Itu... itu siapa?" bisik Siska di samping Kanara, suaranya bergetar antara kagum dan takut. "Ganteng banget, gila! Kayak aktor film!"
Kanara tidak menjawab. Lidahnya kelu, menempel di langit-langit mulut yang mendadak kering kerontang. Ia ingin lari, ingin menghilang ditelan bumi saat itu juga, namun kakinya yang lecet menolak untuk diajak bekerja sama. Tubuhnya kaku, terpaku di bangku beton itu seperti terpidana mati yang menunggu eksekusi.
Arkan tidak langsung berjalan. Ia berdiri diam sejenak, satu tangannya memasang kancing jas, sementara kepalanya menoleh pelan, memindai sekeliling sekolah.
Di balik lensa gelap kacamatanya, Arkan sedang menyerap "realitas pahit" yang terpampang di hadapannya.
Ini bukan dunia yang biasa ia pijak. Tidak ada marmer dingin atau aroma pengharum ruangan otomatis. Yang ada hanyalah cat tembok yang mengelupas menampilkan bata merah di baliknya, jendela kelas dengan kaca nako yang sebagian pecah ditambal kardus, dan bau selokan mampet yang menguar samar terbawa angin.
Dunia Kanara Adhisti.
Arkan merasakan denyutan aneh di dadanya. Semalam, gadis itu berdiri di balkon hotel bintang lima, mengkritik kemewahan pestanya dengan dagu terangkat. Sekarang, Arkan melihat dari mana keberanian itu berasal. Gadis itu tidak tumbuh di taman bunga; ia tumbuh di antara ilalang berduri. Wajar jika ia memiliki duri untuk melindungi dirinya sendiri.
"Selamat siang! Selamat siang, Bapak!"
Keheningan pecah oleh suara tergopoh-gopoh dari arah lobi. Seorang pria paruh baya dengan kemeja batik yang sedikit kekecilan di bagian perut berlari kecil menghampiri Arkan. Itu Pak Burhan, Kepala Sekolah, yang wajahnya kini memerah campuran antara panik dan hormat berlebihan.
"Maafkan penyambutan kami yang kurang layak, Pak... Pak Arkan Dewangga, benar?" Pak Burhan membungkuk sedikit, menjabat tangan Arkan dengan kedua tangannya yang berkeringat. "Saya dapat telepon dari dinas tadi pagi kalau ada peninjau, tapi saya tidak menyangka Bapak sendiri yang akan turun."
Arkan melepas kacamata hitamnya, menyelipkannya ke saku jas. Tatapan matanya yang dingin langsung membuat Pak Burhan menelan ludah.
"Saya kebetulan lewat," jawab Arkan datar, sebuah kebohongan yang terdengar sangat meyakinkan. "Dan saya ingin melihat kondisi sekolah yang katanya mencetak banyak siswa berprestasi ini."
"Oh, tentu! Tentu saja! Sebuah kehormatan besar!" Pak Burhan mengangguk antusias, lalu menoleh ke arah kerumunan siswa yang menonton. "Anak-anak! Ayo beri salam! Jangan cuma melongo!"
"Selamat siang, Pak!" seru ratusan siswa serempak, suara mereka bergema di lapangan.
Arkan tidak tersenyum. Ia hanya mengangguk singkat, gestur seorang raja kepada rakyatnya. Namun, matanya tidak tertuju pada Pak Burhan. Matanya bergerak cepat, melewati barisan siswa yang berbisik-bisik, melewati tiang bendera, hingga akhirnya berhenti di satu titik.
Di bawah pohon akasia di sudut lapangan.
Di sana, seorang gadis berusaha menyembunyikan wajahnya di balik punggung temannya yang bertubuh besar.
Kanara menahan napas saat merasa tatapan itu menguncinya. Jarak mereka mungkin dua puluh meter, tapi rasanya Arkan sedang berdiri tepat di depan hidungnya, menguliti rahasianya satu per satu.
Dia tahu, batin Kanara menjerit. Dia pasti tahu.
Arkan bisa saja menunjuknya sekarang. Ia bisa saja berteriak, "Itu dia penipu yang menyusup ke pestaku!" dan menghancurkan hidup Kanara dalam hitungan detik.
Namun, Arkan tidak melakukannya.
Sudut bibir pria itu terangkat sedikit—sangat tipis, nyaris tak terlihat—sebelum ia memalingkan wajahnya kembali ke Pak Burhan.
"Mari, Pak. Tunjukkan ruangan Bapak," ujar Arkan tenang. "Ada sesuatu milik salah satu siswa Anda yang... tertinggal di tempat saya."
Darah Kanara tersirap.
Pak Burhan tampak bingung, tapi tidak berani bertanya. "Ah, mari, mari lewat sini, Pak Arkan. Kantor saya ada di lantai satu."
Rombongan kecil itu mulai bergerak. Arkan berjalan dengan langkah tegap membelah kerumunan siswa yang otomatis minggir memberinya jalan layaknya Laut Merah yang terbelah.
Saat Arkan melewati deretan bangku tempat Kanara duduk, jarak mereka memendek.
Sepuluh meter. Lima meter. Tiga meter.
Kanara menundukkan kepalanya dalam-dalam, berpura-pura sibuk mengikat tali sepatunya yang sebenarnya tidak lepas. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga telinganya berdenging. Aroma cologne mahal itu—aroma sandalwood dan mint yang maskulin—menerpa hidungnya saat Arkan melintas.
Ia berharap pria itu terus berjalan. Ia berdoa pria itu tidak berhenti.
Langkah kaki pantofel itu melambat tepat di sampingnya.
Kanara memejamkan mata, tangannya meremas ujung rok abu-abunya hingga kusut.
Hening satu detik yang terasa seperti satu abad.
Lalu, langkah kaki itu berlanjut. Menjauh.
Kanara memberanikan diri mendongak sedikit. Ia melihat punggung lebar Arkan yang berbalut jas mahal menjauh menuju koridor kantor kepala sekolah. Pria itu tidak menyapanya. Tidak menegurnya. Tidak mempermalukannya di depan umum.
Tapi Kanara tahu ini belum berakhir. Justru, ini baru permulaan.
"Gila, Ra! Lo cium nggak wanginya?" Siska menepuk bahu Kanara heboh. "Wangi duit banget!"
Kanara tidak menjawab. Ia lemas. Tulang-tulangnya terasa ditarik paksa dari persendiannya. Realitas pahit baru saja menghantamnya telak.
Arkan Dewangga bukan datang untuk menghukumnya di depan umum. Itu terlalu mudah. Pria itu datang untuk bermain. Dia datang ke wilayah Kanara, melihat kemiskinannya, melihat sekolahnya yang jelek, melihat betapa kecilnya Kanara dibandingkan dirinya.
Dan kalimat terakhir Arkan pada Pak Burhan tadi terngiang-ngiang mengerikan di telinga Kanara.
"Ada sesuatu milik salah satu siswa Anda yang... tertinggal di tempat saya."
Kanara tahu persis apa "sesuatu" itu. Kartu pelajarnya. Nyawanya.
"Sis," panggil Kanara dengan suara serak, tangannya meraih lengan Siska sebagai pegangan untuk berdiri.
"Kenapa, Ra? Muka lo pucet banget sumpah, kayak mayat hidup!"
"Anterin gue ke UKS," bisik Kanara gemetar. "Gue rasa... gue bakal pingsan."
Tapi bahkan sebelum mereka sempat melangkah, suara pengeras suara sekolah yang cempreng berdenging nyaring, membuat semua siswa menutup telinga.
"Panggilan ditujukan kepada siswi kelas sebelas, Kanara Adhisti. Sekali lagi, Kanara Adhisti. Ditunggu di ruang kepala sekolah sekarang juga."
Suara Pak Burhan di pengeras suara itu terdengar riang dan mendesak.
Kanara membeku. Siska melongo menatapnya.
"Ra? Lo... dipanggil? Sama orang kaya tadi?" tanya Siska tak percaya.
Kanara tidak bisa menjawab. Dunianya gelap. Hukuman itu telah tiba, dan kali ini, tidak ada pintu belakang untuk melarikan diri. Ia harus masuk ke kandang singa, dengan kaki yang terluka dan hati yang ketakutan, menghadapi pria yang memegang kartu as masa depannya.
