Bab 4: Sepatu Hak Tinggi yang Menyakitkan
Pagi datang terlalu cepat bagi Kanara. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah ventilasi kayu di atas jendela kamarnya terasa menusuk mata, memaksanya bangun dari tidur yang tidak nyenyak.
Hal pertama yang ia rasakan saat membuka mata bukanlah rasa segar, melainkan denyutan perih di kedua tumit kakinya.
Kanara mendesis pelan, menarik selimut tipis yang menutupi kakinya. Di sana, di bagian belakang tumitnya yang putih pucat, terdapat dua luka lecet yang memerah dan sedikit membengkak. Kulitnya terkelupas, meninggalkan daging merah muda yang terasa panas saat bersentuhan dengan udara pagi.
Itu adalah oleh-oleh dari malam sebelumnya. Jejak nyata dari sepatu hak tinggi murahan yang memaksanya berdiri tegak selama berjam-jam demi terlihat anggun di hadapan orang-orang yang bahkan tidak sudi menatap wajahnya.
"Sepatu sialan," gumam Kanara, menyentuh luka itu dengan ujung jarinya, lalu meringis.
Ia turun dari kasur dengan hati-hati, mencoba menapakkan kakinya di lantai semen yang dingin. Rasa perih itu menyengat, memaksanya berjalan sedikit pincang menuju kamar mandi sempit di belakang dapur.
Di depan cermin kamar mandi yang buram oleh bercak air kering, Kanara menatap pantulan dirinya. Lingkaran hitam samar terlihat di bawah matanya. Gadis di cermin itu terlihat rapuh, jauh berbeda dengan sosok wanita percaya diri yang berani menantang pria asing di balkon hotel mewah semalam.
Pria itu.
Ingatan tentang wajah Arkan—meski Kanara belum tahu namanya—kembali menghantui. Tatapan matanya yang tajam, suaranya yang berat, dan seringai tipis yang ia berikan saat Kanara menyebut dirinya Cinderella.
"Lupakan, Nara. Lupakan," perintahnya pada diri sendiri sambil membasuh wajah dengan air dingin. "Dia cuma hantu masa lalu. Kamu tidak akan pernah bertemu dia lagi."
Namun, saat Kanara bersiap memakai seragam sekolahnya, rasa panik itu kembali mencekik. Ia meraba saku tas sekolahnya untuk kesekian kalinya, berharap ada keajaiban di mana kartu pelajarnya tiba-tiba muncul di sana.
Kosong.
Kartu itu benar-benar hilang. Identitasnya sebagai siswi SMA Pertiwi Bangsa kini entah berada di mana. Jika kartu itu ditemukan oleh pihak hotel dan mereka melaporkannya ke sekolah, beasiswanya bisa dicabut. Kepala sekolah tidak akan mentolerir siswi penerima beasiswa prestasi yang bekerja di tempat hiburan malam atau memalsukan umur, meskipun itu hanya acara makan malam resmi.
"Nara? Kamu sudah bangun, Nak?"
Suara lemah ibunya dari kamar sebelah membuyarkan lamunan buruk Kanara. Ia buru-buru memasang wajah ceria, menyembunyikan rasa sakit di kakinya dan kekalutan di hatinya.
"Sudah, Bu! Nara lagi siap-siap," sahutnya sedikit berteriak agar terdengar bersemangat.
Kanara mengambil plester luka dari kotak obat di atas kulkas. Dengan telaten, ia menutupi luka di tumitnya. Rasa perihnya sedikit berkurang, tapi tekanan dari sepatu sekolahnya nanti pasti akan membuatnya kembali menderita.
Ia menatap sepatu kets hitamnya yang tergeletak di dekat pintu. Sol karetnya sudah menipis, dan warnanya sudah memudar menjadi abu-abu kusam. Sepatu yang setia menemani langkahnya menyusuri jalanan panas Jakarta, sepatu yang tidak pernah membohongi siapa pun tentang siapa dirinya.
Berbeda jauh dengan sepatu kaca Cinderella yang berkilau namun menyiksa.
"Dunia memang adil," bisik Kanara getir sambil mengikat tali sepatunya. "Sepatu yang indah menyakitimu, sepatu yang jelek melindungimu."
Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit berlapis kaca di pusat kota, Arkan Dewangga sedang menatap sesuatu yang jauh lebih menyakitkan daripada luka lecet di kaki.
Ia duduk di kursi kebesarannya di lantai teratas Gedung Dewangga, membelakangi jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian. Di atas meja kerjanya yang luas dan bersih, tergeletak sebuah map biru tua.
Laporan yang diminta Arkan semalam sudah tiba, lengkap dan terperinci, berkat kerja efisien Bramantyo.
Arkan membuka map itu perlahan. Halaman pertama menampilkan foto close-up Kanara dari data sekolahnya, tersenyum kaku dengan seragam putih abu-abu.
Nama: Kanara Adhisti
Usia: 17 Tahun
Status: Siswi Kelas XI, SMA Pertiwi Bangsa (Beasiswa Penuh)
Ayah: Meninggal (Kecelakaan Kerja, 5 tahun lalu)
Ibu: Ratih Kumala (Sakit Keras - Gagal Ginjal)
Alamat: Jalan Kenanga III, Gang Buntu No. 4, Jakarta Timur.
Mata Arkan bergerak turun, membaca baris demi baris data kehidupan gadis itu.
Catatan utang di warung sembako. Tunggakan sewa rumah kontrakan selama dua bulan. Riwayat pekerjaan paruh waktu yang panjang mulai dari pelayan restoran cepat saji, pengantar koran, hingga pianis lepas.
Hati Arkan terasa mencelos. Gadis yang semalam berbicara tentang "ketenangan yang mahal" itu ternyata hidup dalam kebisingan masalah yang tak ada habisnya. Gadis yang menolak diantar pulang dengan mobil mewah itu ternyata harus berjalan kaki pincang menuju rumah yang bahkan tidak layak disebut hunian.
Ada perasaan tidak nyaman yang merambat di dada Arkan. Perasaan bersalah.
Semalam, ia sempat berpikir gadis itu hanya sedang bermain peran, seorang remaja labil yang ingin merasakan sensasi menjadi dewasa. Tapi data di hadapannya mengatakan lain. Kanara tidak bermain peran. Dia bertarung untuk hidup.
Topeng "Cinderella" yang ia pakai bukan untuk menggoda pangeran, melainkan perisai untuk mencari nafkah.
"Bram," panggil Arkan tanpa menoleh.
Bramantyo, yang berdiri tegak di dekat pintu, segera maju selangkah. "Ya, Pak Arkan."
"Apa jadwal saya jam sepuluh pagi ini?"
"Rapat evaluasi kuartal dengan direksi, Pak. Lalu makan siang dengan investor dari Singapura."
Arkan menutup map itu dengan bunyi buk pelan namun tegas.
"Batalkan makan siang itu. Geser rapat direksi ke jam dua siang."
Mata Bram membelalak di balik kacamata tebalnya. "Tapi, Pak... investor Singapura itu sangat penting. Dan membatalkan rapat direksi mendadak akan menimbulkan desas-desus."
Arkan memutar kursi kerjanya, menatap asisten setianya dengan sorot mata yang tidak bisa dibantah. Wajahnya dingin, namun ada api aneh yang menyala di balik manik mata hitamnya.
"Saya punya urusan yang lebih mendesak daripada sekadar angka saham, Bram."
Arkan berdiri, meraih jasnya yang tersampir di kursi. Tangannya meraba saku bagian dalam, memastikan kartu pelajar itu masih ada di sana. Benda plastik kecil itu terasa hangat di balik kain sutra jas mahalnya.
"Siapkan mobil," perintah Arkan sambil berjalan menuju pintu. "Kita akan melakukan kunjungan yang tidak terduga."
"Ke mana, Pak?" tanya Bram bingung, bergegas mengikuti langkah lebar bosnya.
Arkan berhenti sejenak di ambang pintu, senyum miring yang penuh arti terukir di bibirnya.
"Ke sebuah sekolah menengah atas."
Arkan tahu ini gila. Ia tahu ini tidak masuk akal. Seorang CEO mendatangi sekolah SMA hanya untuk mengembalikan kartu pelajar? Ia bisa saja menyuruh kurir atau sopirnya.
Tapi Arkan ingin melihatnya.
Ia ingin melihat wajah gadis itu saat topengnya terlepas sempurna. Ia ingin melihat Kanara Adhisti yang asli, tanpa gaun merah, tanpa riasan tebal. Ia ingin melihat apakah gadis itu masih memiliki keberanian yang sama saat berdiri di hadapannya dengan seragam putih abu-abu yang lusuh itu.
Dan jauh di lubuk hatinya, Arkan tahu, ia hanya sedang mencari alasan untuk bertemu dengannya lagi.
