Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Obrolan Singkat yang Mengubah Takdir

​Arkan tidak kembali ke dalam ballroom. Pesta itu sudah selesai baginya, bahkan sebelum acara utama dimulai. Dengan langkah lebar, ia meninggalkan balkon, melewati koridor samping yang sepi, dan langsung menuju lobi utama di mana sopir pribadinya sudah bersiaga.

​"Pulang, Pak?" tanya sopir itu, sedikit terkejut melihat majikannya keluar begitu cepat.

​"Ke apartemen," jawab Arkan singkat.

​Ia menghempaskan punggungnya ke sandaran kulit jok mobil mewah itu. Kaca penyekat antara kursi penumpang dan sopir perlahan naik, memberikan privasi mutlak yang sangat ia butuhkan. Di dalam keheningan kabin yang hanya terdengar dengungan halus mesin, Arkan kembali mengeluarkan benda yang sejak tadi ia genggam di saku jasnya.

​Kartu pelajar itu tergeletak di telapak tangannya yang besar.

​Di bawah sorot lampu baca mobil yang temaram, wajah gadis di foto itu terlihat begitu muda, begitu polos, dan sangat berbeda dengan wanita bergaun merah yang baru saja mematahkan egonya di balkon.

​Kanara Adhisti.

​Arkan mengeja nama itu dalam hati. Lidahnya terasa asing menyebutnya.

​Ia memejamkan mata, membiarkan ingatan tentang obrolan singkat di balkon tadi berputar kembali layaknya kaset rusak. Suara gadis itu terngiang jelas. Nada bicaranya yang sinis namun cerdas, cara dia menertawakan kemewahan pesta, dan keberaniannya menatap mata Arkan tanpa rasa takut.

​"Di balkon gelap ini, kita cuma dua orang asing yang kakinya sakit atau kepalanya pening."

​Kata-kata itu sederhana, tapi efeknya seperti gempa kecil di benak Arkan. Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, ia dikelilingi oleh orang-orang yang selalu tahu siapa dia. Orang-orang yang menimbangnya berdasarkan nilai saham, bukan isi kepala. Namun, gadis ingusan ini—anak SMA ini—melihatnya hanya sebagai manusia biasa.

​Dan ironisnya, gadis itu benar.

​Arkan membuka matanya, menatap foto Kanara sekali lagi. Ada perasaan aneh yang menjalar di dadanya. Bukan kemarahan karena merasa ditipu, melainkan rasa penasaran yang menggelitik. Rasa ingin tahu yang berbahaya.

​Mengapa seorang siswi SMA menyusup ke pesta kalangan atas? Mengapa dia menyamar menjadi wanita dewasa? Dan yang paling penting, mengapa dia terlihat begitu putus asa saat melihat jam tangan?

​Ponsel di saku jasnya bergetar, membuyarkan lamunannya. Nama 'Bramantyo' tertera di layar. Asisten pribadinya.

​Arkan menggeser tombol hijau. "Ya, Bram."

​"Pak Arkan, Anda di mana?" Suara Bram terdengar sedikit panik di ujung sana. "Tuan Besar mencari Anda. Beliau ingin memperkenalkan Anda pada putri dari pemilik Bank Central."

​Arkan mendengus kasar. Perjodohan lagi. Ayahnya tidak pernah lelah berusaha menjualnya demi ekspansi bisnis.

​"Bilang pada Ayah, saya ada urusan mendesak," potong Arkan dingin. "Dan Bram, saya butuh kamu mengerjakan sesuatu malam ini juga."

​Hening sejenak di seberang sana. Bram tahu nada bicara itu. Itu bukan nada seorang atasan yang meminta tolong, melainkan nada seorang jenderal yang memberi perintah perang.

​"Siap, Pak. Apa yang perlu saya lakukan?"

​Arkan menatap kartu pelajar di tangannya, ibu jarinya mengusap nama yang tertera di sana.

​"Saya akan kirimkan foto sebuah kartu identitas. Cari tahu segala hal tentang pemiliknya. Latar belakang keluarga, sekolah, tempat tinggal, catatan akademik, hutang piutang... semuanya."

​"Baik, Pak. Kapan Anda butuh datanya?"

​"Sebelum saya sampai di kantor besok pagi."

​Arkan memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban. Ia memotret kartu pelajar itu dan mengirimkannya pada Bram. Setelah pesan terkirim, ia memasukkan kembali kartu itu ke dalam saku jasnya, tepat di atas jantungnya.

​Obrolan lima menit di balkon itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi gadis itu. Mungkin baginya, Arkan hanyalah orang asing yang ia temui saat sedang sial. Namun bagi Arkan, obrolan singkat itu adalah pemicu. Pemicu yang membangunkannya dari kebosanan hidup yang sempurna dan monoton.

​Di sisi lain kota, jauh dari kenyamanan jok kulit mobil mewah Arkan, Kanara baru saja melompat turun dari bus kota yang reyot.

​Angin malam di pinggiran Jakarta terasa lebih lembap dan berdebu. Tidak ada aroma parfum mahal di sini, hanya bau selokan yang mampet dan asap sate dari pedagang kaki lima.

​Kanara berjalan cepat menyusuri gang sempit yang hanya cukup dilewati satu motor. Lampu jalan di sini sudah mati sejak minggu lalu, memaksanya mengandalkan cahaya bulan dan hapalan langkah kakinya agar tidak terperosok ke lubang jalan.

​Pikirannya masih kacau. Rasa panik kehilangan kartu pelajar bertarung hebat dengan rasa lega karena berhasil membawa pulang uang tunai.

​Ia berhenti di depan sebuah rumah kecil dengan cat dinding yang mengelupas parah. Pagar besinya sudah berkarat dan engselnya berdecit nyaring saat didorong. Ini rumahnya. Tempat di mana realitas sesungguhnya menunggunya.

​"Aku pulang," ucap Kanara pelan saat membuka pintu kayu yang lapuk.

​Tidak ada jawaban. Rumah itu sepi dan remang-remang. Kanara sengaja tidak menyalakan lampu ruang tamu untuk menghemat listrik. Ia melangkah jinjit menuju satu-satunya kamar tidur di rumah itu.

​Di atas kasur tipis yang diletakkan di lantai, seorang wanita paruh baya terbaring lemah. Wajahnya pucat, namun garis-garis kecantikan masa mudanya masih terlihat jelas meski digerogoti penyakit.

​Kanara meletakkan tasnya pelan-pelan, lalu duduk di tepi kasur. Ia mengulurkan tangan, menyentuh kening ibunya. Masih hangat, tapi tidak se-panas kemarin.

​"Ibu," bisiknya lirih.

​Mata wanita itu mengerjap pelan, lalu terbuka. Senyum tipis terukir di bibir keringnya saat melihat putrinya. "Nara... kamu sudah pulang? Lembur lagi di minimarket?"

​Hati Kanara mencelos. Kebohongan demi kebohongan. Ia bilang pada ibunya ia bekerja menjaga minimarket, bukan menjadi pianis sewaan di pesta orang kaya dengan identitas palsu.

​"Iya, Bu. Toko lagi ramai tadi," jawab Kanara, memaksakan senyum ceria. Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu—hasil memecah bayarannya tadi di warung depan gang. "Dan lihat, bos Nara kasih bonus. Kita bisa beli obat Ibu besok."

​Mata ibunya berkaca-kaca. Tangan kurusnya menggenggam tangan Kanara. "Maafkan Ibu, Nak. Harusnya kamu belajar, main sama teman-teman... bukan cari uang buat Ibu."

​"Sstt, Ibu nggak boleh ngomong gitu," potong Kanara cepat, menahan getaran di suaranya. "Nara senang kok kerjanya. Yang penting Ibu sembuh. Nara cuma punya Ibu."

​Kanara memeluk ibunya, membenamkan wajahnya di bahu wanita itu. Aroma minyak kayu putih yang familiar menenangkan detak jantungnya yang sejak tadi berpacu. Di sini, di rumah sempit ini, ia bukan Cinderella. Ia bukan wanita dewasa yang percaya diri. Ia hanya anak perempuan yang ketakutan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki.

​Namun, saat matanya terpejam, bayangan balkon itu kembali muncul. Wajah pria itu. Kartu pelajarnya yang hilang.

​Tidak akan terjadi apa-apa, batin Kanara mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Pria itu pasti sudah membuang kartuku ke tong sampah. Orang kaya tidak punya waktu mengurusi sampah orang miskin.

​Kanara tidak tahu, bahwa di saat yang sama, di sebuah griya tawang mewah di pusat kota, foto wajahnya sedang terpampang besar di layar komputer canggih, dan takdirnya baru saja diputar ulang ke arah yang tak pernah ia bayangkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel