Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Pria Asing di Balkon Gelap

​Napas Kanara memburu, seirama dengan detak jantungnya yang menghantam rusuk seperti palu godam. Ia tidak berhenti berlari hingga kakinya menyentuh lantai dingin koridor staf di bagian belakang hotel. Jauh dari lampu kristal, jauh dari aroma parfum mahal, dan jauh dari tatapan tajam pria asing di balkon itu.

​Di sini, di lorong yang berbau cairan pembersih lantai dan sisa makanan katering, Kanara akhirnya bisa membiarkan tubuhnya merosot ke dinding.

​"Gila," desisnya pada diri sendiri, tangannya meremas dada gaun merah marun yang terasa sesak. "Kamu gila, Nara. Hampir saja."

​Ia memejamkan mata, namun bayangan pria di balkon tadi menolak untuk pergi. Pria itu berbeda. Di dalam ballroom yang penuh dengan manusia plastik yang tertawa palsu demi koneksi bisnis, pria itu berdiri seperti patung es yang kesepian. Ada aura bahaya yang menguar darinya, jenis bahaya yang tenang namun mematikan, seperti laut dalam yang siap menenggelamkan siapa saja yang terlalu dekat.

​Kanara bergidik. Ia seharusnya tidak bicara seakrab itu. Ia seharusnya menunduk, meminta maaf, dan pergi seperti pelayan yang patuh. Tapi mulutnya yang kadang tidak bisa direm, ditambah rasa sakit di kakinya, membuatnya lupa diri.

​Cinderella? Kanara mendengus kasar, menertawakan kebodohannya sendiri. Cinderella punya ibu peri. Kamu cuma punya tagihan listrik yang menunggak.

​Dengan gerakan cepat, ia masuk ke dalam salah satu bilik toilet staf yang sempit. Waktu adalah musuh utamanya sekarang. Jika ia tidak segera keluar dari hotel ini sebelum pukul sepuluh lewat lima belas, ia akan ketinggalan bus terakhir menuju pinggiran kota. Ongkos taksi akan memakan separuh dari bayarannya malam ini, dan itu bukan pilihan.

​Jari-jarinya yang cekatan melepas gaun sewaan itu dengan hati-hati—satu robekan kecil berarti ia harus mengganti rugi. Dalam dua menit, sosok wanita anggun yang tadi bermain piano telah lenyap.

​Di cermin toilet yang retak di sudutnya, Kanara menatap pantulan dirinya yang asli. Seorang gadis remaja dengan kaos oblong putih yang warnanya sudah memudar dan celana jeans gombrong yang nyaman. Ia menghapus lipstik merah menyala di bibirnya dengan punggung tangan, menyisakan warna pucat alami bibirnya. Ikatan rambutnya ia lepas, membiarkan rambut hitamnya jatuh berantakan menutupi leher.

​Ini baru Kanara. Kanara yang nyata. Bukan pianis misterius yang memikat hati para tamu.

​Ia meraih tas kanvas kumal yang ia sembunyikan di balik tangki air toilet. Tangannya merogoh ke dalam saku tersembunyi tas itu, menarik keluar sebuah amplop cokelat tipis. Bayaran malam ini.

​Tiga ratus ribu rupiah.

​Jumlah yang sangat kecil bagi orang-orang di pesta tadi—mungkin hanya seharga satu gelas wine yang mereka teguk—tapi bagi Kanara, ini adalah nyawa. Ini berarti obat untuk Ibu, token listrik, dan beras untuk seminggu ke depan.

​"Terima kasih, Tuhan," bisiknya pelan, menyelipkan amplop itu ke tempat paling aman di dalam tasnya.

​Ia siap pulang. Kakinya masih terasa nyeri bekas sepatu hak tinggi tadi, jadi ia memutuskan untuk memakai sandal jepit karet yang selalu ia bawa. Saat ia membungkuk untuk memasukkan sepatu hak tinggi—aset berharganya—ke dalam tas, keningnya berkerut.

​Saku samping tasnya terbuka.

​Saku tempat ia biasa menyimpan kartu identitas dan uang receh.

​Darah di wajah Kanara surut seketika.

​Dengan panik, ia membongkar isi tasnya di atas wastafel yang basah. Buku catatan, pulpen, dompet koin, botol minum kosong. Semuanya ada di sana. Tapi benda persegi panjang berbahan plastik yang paling ia takuti jika hilang, tidak ada.

​Kartu Pelajarnya.

​"Tidak, tidak, tidak," racau Kanara, suaranya bergetar. Tangannya meraba-raba saku celana jeans, saku gaun yang sudah terlipat, bahkan lantai toilet yang kotor. Nihil.

​Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Kartu itu adalah satu-satunya bukti identitas yang ia bawa. Jika kartu itu jatuh di dalam ballroom, dan seseorang menemukannya, tamatlah riwayatnya.

​Agensi penyalur bakat yang mempekerjakannya memiliki aturan ketat: Tidak ada anak di bawah umur. Kanara memalsukan usianya menjadi dua puluh tahun untuk mendapatkan pekerjaan ini. Jika mereka tahu ia adalah siswi SMA Pertiwi Bangsa kelas dua, bukan hanya ia yang akan dipecat dan di- blacklist, tapi mereka mungkin akan menuntutnya atas penipuan.

​Pikirannya berputar cepat, merekonstruksi kejadian sepuluh menit terakhir.

​Ia ingat memegang kartu itu saat di pos satpam belakang untuk menukar akses masuk. Lalu ia memasukkannya ke saku... saku gaun? Atau saku tas?

​Ingatannya terhenti pada satu momen.

​Balkon itu.

​Saat ia berlari panik setelah melihat jam tangan. Ia menyambar sepatunya dengan kasar. Mungkinkah kartu itu terjatuh saat ia bergerak tiba-tiba?

​Wajah pria asing di balkon itu kembali muncul di benaknya. Pria dengan sorot mata tajam yang seolah bisa membaca jiwa.

​Jika kartu itu jatuh di sana... dan pria itu menemukannya...

​Kanara mencengkeram pinggiran wastafel erat-erat hingga buku jarinya memutih. Pria itu tahu wajahnya. Sekarang, pria itu mungkin tahu namanya, sekolahnya, dan fakta bahwa ia hanyalah seorang penipu kecil yang menyusup ke dunia orang dewasa.

​"Tolong jangan," doanya lirih pada bayangan di cermin. "Tolong jadilah orang kaya yang tidak peduli pada sampah kecil di lantai. Tolong buang saja kartu itu ke tempat sampah."

​Namun, jauh di lubuk hatinya, Kanara memiliki firasat buruk. Firasat yang mengatakan bahwa pria asing di balkon gelap itu bukanlah tipe orang yang membiarkan sesuatu berlalu begitu saja. Pria itu adalah tipe pemburu.

​Dan malam ini, Kanara baru saja meninggalkan jejak darah tepat di depan sarangnya.

​Suara langkah kaki mendekat dari lorong luar membuat Kanara tersentak. Ia buru-buru memasukkan semua barangnya kembali ke dalam tas. Ia tidak bisa kembali ke sana. Tidak sekarang. Risikonya terlalu besar. Ia harus menghilang.

​Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Kanara menyampirkan tas di bahu, menundukkan kepala, dan berjalan cepat keluar melalui pintu belakang, menyatu dengan kegelapan malam Jakarta yang bising, berharap rahasianya aman di tangan kegelapan.

​Tanpa ia sadari, rahasianya kini berada di tangan orang yang paling berkuasa di kota ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel