Bab 1: Melarikan Diri dari Pesta Mewah
Udara di dalam aula pesta hotel bintang lima itu terasa mencekik, bukan karena pendingin ruangan yang rusak, melainkan karena kepalsuan yang menguap dari setiap tamu yang hadir. Arkan Dewangga menatap lautan manusia di hadapannya dengan tatapan datar yang nyaris tanpa emosi. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu berdiri di pinggiran keramaian, memegang gelas kristal berisi air mineral yang ia biarkan menghangat di tangannya.
Sebagai pemimpin tertinggi dari Dewangga Group yang menguasai sektor teknologi dan properti, Arkan adalah pusat gravitasi ruangan itu. Sejak ia melangkah masuk sepuluh menit yang lalu, puluhan pasang mata telah mengintainya, menunggu celah sekecil apa pun untuk mendekat, menjilat, atau menyodorkan proposal bisnis berkedok obrolan santai.
Ia muak.
Tanpa memedulikan tatapan lapar para kolega bisnis ayahnya, Arkan berbalik badan. Langkah kakinya yang panjang dan tegas membawanya menuju pintu kaca besar yang tertutup tirai beludru tebal di sudut ruangan. Ia butuh udara segar, atau setidaknya, tempat di mana tidak ada orang yang memanggilnya dengan sebutan hormat yang terdengar menjilat.
Balkon itu sepi dan gelap, hanya diterangi oleh bias cahaya bulan dan lampu kota Jakarta yang berkelap kelip di kejauhan. Arkan menghembuskan napas panjang, menyandarkan tubuh tegapnya pada pagar pembatas besi yang dingin. Angin malam menerpa wajahnya yang keras, sedikit mengacak rambut hitamnya yang tertata rapi. Akhirnya, keheningan.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama.
Pintu kaca di belakangnya bergeser terbuka dengan kasar, lalu ditutup kembali dengan cepat seolah olah seseorang sedang melarikan diri dari kejaran hantu.
Arkan tidak langsung menoleh. Ia tetap berdiri diam di dalam bayang bayang pilar besar, menjadi pengamat tak terlihat.
Seorang gadis berdiri di sana, bersandar pada pintu kaca dengan napas terengah engah. Tubuhnya ramping, dibalut gaun malam berwarna merah marun yang potongannya terlihat sedikit ketinggalan zaman, seolah olah itu adalah pakaian bekas yang dipaksa agar terlihat mewah.
Gadis itu tidak menyadari kehadiran Arkan. Dengan gerakan kasar dan tidak anggun sama sekali, ia membungkuk dan melepas sepatu hak tinggi yang ia kenakan.
"Sialan," umpat gadis itu pelan, suaranya mendesis menahan sakit. "Siapa pun yang menciptakan sepatu setinggi ini pasti punya dendam pribadi pada kaum wanita."
Arkan mengangkat alisnya. Di kalangan sosialita yang biasa ia temui, mengumpat adalah dosa besar, dan melepas sepatu di tempat umum adalah tindakan bunuh diri sosial. Namun, gadis ini justru menenteng kedua sepatunya dengan satu tangan, lalu memijat tumit kakinya yang memerah tanpa rasa malu.
"Tempat ini bukan ruang ganti," suara Arkan memecah keheningan, berat dan dingin.
Gadis itu terlonjak kaget. Sepatu di tangan kanannya nyaris terlepas jatuh ke lantai bawah jika saja ia tidak sigap menangkapnya. Ia berputar cepat, matanya menyipit menembus kegelapan untuk menemukan sumber suara.
"Siapa di sana?" tanyanya waspada. Tidak ada nada takut dalam suaranya, hanya keterkejutkan yang bercampur dengan pertahanan diri yang kuat.
Arkan melangkah keluar dari balik bayangan pilar. Cahaya lampu taman yang remang remang kini menerangi sebagian wajahnya. Ia menunggu reaksi standar yang biasa ia terima: terkejut, lalu merapikan diri, kemudian tersenyum manis dengan nada menggoda.
Namun, gadis itu hanya mematung. Matanya yang bulat dan bening menatap Arkan dari ujung kaki hingga ujung kepala, lalu mendengus pelan.
"Oh, hanya tamu lain yang sedang membolos," gumamnya, seolah olah Arkan hanyalah staf magang yang sedang mencuri waktu istirahat. Ia kembali memijat kakinya. "Jangan khawatir, Tuan. Saya tidak akan melaporkanmu pada panitia acara. Saya juga sedang bersembunyi."
Sudut bibir Arkan berkedut. Ini menarik. "Kamu tidak tahu siapa saya?"
Gadis itu mendongak, menatap Arkan tepat di manik matanya. Ada kelelahan yang nyata di wajah cantik itu, namun sorot matanya tajam dan hidup, berbeda jauh dengan tatapan kosong para model yang sering dikencani Arkan.
"Apakah penting?" balas gadis itu retoris. "Di dalam sana, semua orang memakai topeng. Anda mungkin direktur, pewaris takhta, atau mungkin hanya supir yang meminjam jas majikannya. Di balkon gelap ini, kita cuma dua orang asing yang kakinya sakit atau kepalanya pening."
Arkan terdiam. Jawaban itu begitu sederhana namun menampar logikanya dengan telak. Selama ini ia mendefinisikan dirinya dengan jabatan dan kekayaan, tapi gadis asing ini menelanjanginya hanya menjadi manusia biasa dalam satu kalimat.
"Saya tidak bersembunyi," bantah Arkan, sedikit tersinggung harga dirinya disamakan dengan gadis yang berantakan ini. "Saya hanya mencari ketenangan."
"Sama saja," sahut gadis itu acuh tak acuh. Ia meletakkan sepatunya di lantai, lalu nekat duduk berselonjor di ubin balkon yang dingin tanpa memedulikan gaunnya akan kotor. "Ketenangan adalah barang paling mahal di gedung ini. Lebih mahal dari kaviar yang mereka sajikan."
Gadis itu memejamkan mata sejenak, menikmati angin malam. Saat itulah Arkan mencium aroma yang menguar dari arahnya. Bukan parfum mahal berbau mawar atau vanila yang menyengat, melainkan aroma lembut dan menenangkan. Seperti wangi bunga melati yang baru mekar setelah hujan, bercampur dengan sedikit aroma sabun bayi. Aroma yang aneh untuk wanita dewasa, namun entah mengapa, Arkan merasa saraf saraf di kepalanya yang tegang perlahan mengendur.
"Kamu pianis pengganti itu, kan?" tebak Arkan. Ia samar samar ingat melihat punggung seseorang di depan grand piano saat baru masuk tadi.
Mata gadis itu terbuka seketika. Kewaspadaan kembali menyelimuti wajahnya. "Hanya untuk malam ini. Pianis aslinya sakit perut," jawabnya cepat, seolah takut Arkan akan menuntutnya. "Kenapa? Permainan saya buruk?"
"Lumayan," jawab Arkan jujur, meskipun sebenarnya permainan piano gadis itu tadi cukup memukau, penuh emosi yang rawat dan jujur, berbeda dengan teknik kaku pianis profesional. "Tapi kamu bermain terlalu cepat di bagian nocturne. Seperti orang yang ingin segera pulang."
Gadis itu tertawa kecil, suara yang renyah dan tanpa beban. "Saya memang ingin segera pulang. Sepatu ini membunuh saya perlahan lahan, dan..." Ia berhenti bicara, melirik jam tangan murah yang melingkar di pergelangan tangannya.
Ekspresi wajahnya berubah drastis. Riasan wajah yang membuatnya terlihat dewasa tidak bisa menutupi kepanikan murni yang tiba tiba muncul di matanya.
"Astaga, jam sepuluh!" pekiknya tertahan.
Gadis itu melompat berdiri, menyambar sepatu hak tingginya dengan gerakan kilat. Kakinya yang telanjang menapak di lantai marmer yang dingin.
"Hei, tunggu," panggil Arkan spontan. Ia jarang sekali ingin menahan seseorang, tapi rasa penasaran yang aneh menahannya. "Siapa namamu?"
Gadis itu sudah berada di ambang pintu kaca. Ia menoleh sekilas, rambut hitam panjangnya berayun mengikuti gerakannya. Ada keraguan di wajahnya, seolah menimbang apakah ia harus memberikan nama aslinya atau tidak.
"Anggap saja Cinderella," jawabnya asal, lalu tersenyum miring. Senyuman yang entah mengapa membuat jantung Arkan berdetak satu ketukan lebih cepat. "Dan jangan berharap saya meninggalkan sepatu kaca. Sepatu ini, meski menyakitkan, harganya setengah dari gaji saya."
Dengan kalimat terakhir itu, ia menghilang di balik tirai, meninggalkan Arkan sendirian di balkon yang kini terasa jauh lebih sepi daripada sebelumnya.
Arkan Dewangga terdiam di tempatnya berdiri. Ia menatap pintu kaca yang tertutup rapat itu selama beberapa detik, lalu pandangannya turun ke lantai, tempat gadis itu tadi duduk.
Tidak ada sepatu kaca yang tertinggal. Namun, ada sesuatu yang berkilau kecil di dekat pilar.
Arkan membungkuk dan memungut benda itu. Sebuah kartu pelajar.
Benda itu kusam dan sedikit terlipat di ujungnya. Arkan membalik kartu itu ke sisi depan, dan matanya menyipit saat membaca tulisan di sana. Foto seorang gadis remaja dengan seragam putih abu abu menatap balik padanya. Wajahnya polos tanpa riasan, rambutnya dikuncir kuda, namun sorot matanya yang tajam dan hidup itu tidak salah lagi.
Itu dia.
Nama yang tertulis di sana membuatnya tertegun.
Kanara Adhisti.
SMA Pertiwi Bangsa.
Arkan mendengus pelan, sebuah tawa tak percaya lolos dari bibirnya yang kaku. Rasa ketertarikan yang baru saja tumbuh di dadanya kini bercampur dengan rasa kaget yang luar biasa. Wanita yang baru saja mengkritik hidupnya dengan bijak, yang memiliki aroma menenangkan dan tatapan berani itu, ternyata hanyalah seorang bocah ingusan yang seharusnya sedang belajar untuk ujian sekolah.
"Menarik," bisik Arkan pada angin malam, menggenggam kartu pelajar itu erat erat. "Sangat menarik."
