7. Terima saja cintaku!
“Jordy-Jordy!” Dika menggelengkan kepala sambil tertawa renyah.
“Apa? Apa?!” Sungut Jordy seraya berdecak kesal. Pria itu sudah bisa mengatasi kemarahannya sejak mulai menyelesaikan karyanya beberapa jam yang lalu.
“Kamu kira nama dia Jejeng? Heh?!”
“Nggak tahu, malas mikir!”
“Kamu sempat berpikir kalau dia adalah Ajeng yang selama ini menempel sama kamu, nggak?” Dika mengukir senyum penuh makna, pria itu masih penasaran dengan reaksi Jordy.
Sekali lagi Jordy hanya menghela napas panjang sambil menggeleng cepat. “Mana mungkin heh? Kamu lari dari Malioboro sampai Borobudur pun! Aku nggak bakalan percaya kalau si Jejeng cupu yang aku kenal adalah Ajeng Ardiyanti dengan tubuh seksi jelita! Huh dasar!”
Jordy kembali melanjutkan menggoreskan kuasnya pada kanvas miliknya, dia tidak mau mendengar seloroh dari Dika. Otaknya tidak berubah jernih tapi malah semrawut tidak jelas gara-gara rekan lukisnya tersebut.
“Ya sudah kalau nggak percaya!” Omel Dika sambil menggembungkan kedua pipinya.
“Tok-tok-tok! Prak-ketoprak! Ketoprak Bang!” Seru seseorang pada dua pemuda tersebut sambil mendorong gerobak di jalan depan studio lukis milik Jordy.
“Mau kagak? Aku pesanin sekalian? Walau sakit hati, itu perut harus tetap diisi!” Tawar Dika padanya, dia tahu Jordy masih kesal sama Ajeng.
“Iya deh pesankan sekalian.” Sahutnya seraya meletakkan paletnya lalu berdiri dari kursinya. Jordy melangkah menuju westafel untuk membersihkan kedua telapak tangannya dari percikan cat minyak.
Mereka berdua makan bersama di sana, Jordy terlihat lahap menikmati ketoprak pesanannya. Dika merasa lega, mau bagaimanapun kerasnya sikap Jordy padanya, dia tidak pernah mengambil hati. Jordy merupakan salah satu teman terdekatnya sejak duduk di bangku SMA. Dari dulu Jordy sering membantunya, bahkan Jordy juga yang mengajaknya bergabung saat pria itu mendirikan studio lukis tersebut di Jogjakarta. Tanpa Jordy, mungkin dirinya masih terdampar di pinggiran jalan Jogjakarta.
Usai makan, mereka segera berkemas untuk menutup studio.
“Karyamu untuk besok?” Sela Dika untuk mengingatkan Jordy.
“Tuh!” Menunjuk ke sebuah lukisan yang sudah dia siapkan beberapa hari lalu. Kebetulan tema yang dia kerjakan sama dengan permintaan dari dosennya. Sketsa wajah! Sketsa tersebut sengaja dia buat sempurna, wajah Ajeng Ardiyanti akan dia kumpulkan. Pikirnya Ajeng akan merobeknya jika dia memberikan hasil sapuan kuasnya tersebut. Jadi Jordy memutuskan untuk mengumpulkannya di kampus sebagai bahan pameran dua hari lagi. Masa-masa kuliah harusnya menjadi masa paling menyenangkan dalam hidupnya. Tapi Jordy tidak menyangka justru luka demi luka akan dia terima sejak dia memutuskan untuk menambatkan hatinya pada sosok Ajeng seorang!
“Wah niat kamu!” Seru Dika sambil mengambil helmnya. Pria itu tak henti-hentinya tertawa melihat Jordy yang jatuh luluh pada sosok gadis bernama Ajeng tersebut.
“Iya dong! Namanya juga perjuangan!” ucapnya sambil mengulum senyum menatap lukisannya tersebut. Ajeng dengan topi fedora berdiri di tepi pantai, dia mengambil foto tersebut tanpa sepengetahuan Ajeng. Rencananya dia akan memberikan lukisan itu sebagai kejutan untuknya, tapi batal lantaran Ajeng sudah menolak cintanya.
Keduanya segera kembali ke asrama. Sampai di asrama, Jordy segera memeriksa pesan pada ponselnya. Dia melihat akun Ajeng aktif beberapa menit lalu. Dia tahu pasti gadis itu sedang lembur untuk menyelesaikan karyanya malam ini.
Jordy mengeringkan rambutnya sambil menatap foto Ajeng dalam ponselnya. Iseng-iseng dia mengirimkan pesan pada gadis itu. Walau sampai kiamat satu dibanding seratus Ajeng mustahil bersedia membalas pesannya.
“Sudah selesai belum karyanya?” Satu pesan dia kirimkan pada Ajeng. Benar seperti prediksi dalam benaknya, gadis itu tak membalas pesan tersebut. Jangankan membalas, membacanya pun tidak!
Jordy membanting punggungnya ke atas ranjangnya. Dalam bayangannya hanya ada wajah Ajeng dan Ajeng. Entah dia membuka mata atau memejamkan matanya yang ada hanya wajah gadis itu. Hatinya masih sakit karena ditolak, tapi dia tetap tidak bisa dengan mudah menepis sosok Ajeng dari dalam kepalanya.
“Ajeeengggg!” Teriaknya sambil menatap langit-langit kamarnya. “Ah, aku kan masih simpan alamat rumah Ajeng, kalau aku kirimkan alamat ini lagi mungkin dia akan balas pesanku.” Ucapnya dengan penuh semangat. Jordy mengirimkan kembali alamat rumah Ajeng pada gadis itu. Dan benar! Notifikasi segera masuk ke dalam ponselnya.
“Mau apa kamu! Aku belum selesai membuat prakarya!”
“Aku ke sana ya? Buatkan aku kopi!” Seru Jordy melalui pesan suara. Tidak ingin menunggu lebih lama lagi, Jordy segera menyambar jaketnya lalu bergegas pergi keluar asrama. Pria itu melajukan mobilnya menuju ke kosan Ajeng.
Di sisi lain.. Ajeng menggigit bibirnya sendiri, gadis itu melihat ke arah halaman kos yang dia tinggali. Hening sekali, hari sudah agak malam. Ajeng sedang membuat lukisan di beranda depan kosan lantaran cemas kalau dikerjakan di dalam maka cat akan tumpah di mana-mana.
Tak lama kemudian, nampak mobil Jordy masuk ke halaman depan. Ajeng cemas sekali, gadis itu segera berdiri dari kursinya. Ajeng merasa penolakannya pagi ini benar-benar dianggap hanya bualan belaka oleh pria tersebut.
Jordy turun dari mobilnya lalu melangkah mendekat ke arah Ajeng. Jordy terkekeh geli melihat wajah cantik gadis tersebut belepotan dengan cat minyak di sana-sini.
“Kamu sedang melukis atau memakai make up?” Sindirnya sambil menahan tawa seraya menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu, kamu datang ke sini cuma ingin mengejekku! Sudah! Balik sana! Go out! Kopi dan gulaku juga sudah habis!” Omel Ajeng seraya kembali duduk di kursinya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Jordy tidak menyahut, pria itu segera melepaskan jaketnya lalu meletakkan di atas meja beranda, tanpa permisi dia membungkukkan tubuhnya di belakang punggung Ajeng Ardiyanti. Jordy menggenggam tangan kanan Ajeng, membantu gadis itu untuk menyelesaikan karyanya. Sapuan kuas dalam genggaman Ajeng menjadi cepat, hanya dalam beberapa menit saja lukisan dengan model artis Swedia tersebut sudah hampir selesai. Bukan kanvas yang menjadi pusat perhatian Ajeng, melainkan sosok wajah serius di sebelah bahu kanannya. Jordy Wijaya! Ujung hidung Ajeng berulang kali menggesek pipi pria tersebut gara-gara Jordy menggenggam punggung telapak tangan kiri Ajeng untuk menahan palet dari sisi kiri tubuh gadis tersebut, tapi sentuhan itu tidak mampu mengalihkan Jordy dari kanvas di depan mereka berdua. Pria itu menggebu terus menyapu kanvas hingga lukisan tersebut usai barulah dia menoleh ke kiri. Di mana wajah Ajeng Ardiyanti tengah terpaku padanya.
“Kenapa? Aku ganteng kan? Ralat penolakanmu.” Seru Jordy padanya.
Jarak hidung mereka berdua hanya berselisih lima sentimeter. Ajeng segera tersadar, lalu melengos membuang muka ke arah kanvas yang sudah sempurna.
“Mimpi saja!” Ketus Ajeng padanya, Ajeng berusaha menepis lengan kiri Jordy dari sisi kiri tubuhnya. Tangan kiri Jordy masih menggenggam palet bersama tangan Ajeng.
“Kopiku mana?” Tanya Jordy seakan tak jera mendengar ucapan ketus dan pedas dari bibir gadis tersebut.
“Aku bilang aku nggak punya kopi dan gula! Sudah habis!” Omelnya lagi sambil meronta dari tahanan Jordy. Kedua tangannya masih berada dalam genggaman Jordy Wijaya. Ajeng kembali menoleh ke samping lantaran kesal Jordy tidak mau melepaskan genggaman tangannya.
“Ini saja sebagai gantinya!” Jordy merenggut paksa tengkuk Ajeng untuk mendapatkan bibirnya.
