Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6. Cinderella itu adalah Jejeng si cupu

"Kamu ngomong apa tadi? Muka ganteng ini kamu samakan dengan lilin?" Tanya Jordy dengan tatapan mata tidak percaya.

"Jo, aku harus pulang. Tugas kuliah belum selesai. Dosen ngasih tugas bikin prakarya lagi, kamu tahu aku nggak pandai melukis." Ucap Ajeng dengan wajah memelas seraya memegang lengan Jordy yang masih tetap menahan daun pintu yang menyebabkan dia tidak bisa keluar dari dalam ruangan kamarnya.

"Aku belum puas lihat kamu di sini." Ucapan Jordy mendadak membuat Ajeng menoleh menatap wajahnya. Ajeng tidak tahu bagaimana jika sampai identitas tentang masa lalunya terbongkar dan Jordy mengetahui siapa dia yang sebenarnya. Banyak hal terlintas di dalam benak Ajeng, antara kebencian Jordy terhadap dirinya di masa lalu karena penampilannya yang cupu lalu kembali mengerjainya hingga menjadi bulan-bulanan pria di sebelahnya tersebut.

Gadis itu melamun dengan sejuta tanya, banyak sekali yang terlintas di dalam benaknya hingga memenuhi seluruh isi kepala. Ajeng merasa tidak memiliki ruang lagi di dalam kepalanya untuk memikirkan hal lain.

Beberapa detik kemudian Ajeng kembali tersadar. "Jo, aku harus pergi." Ucapnya dengan nada lirih, melihat tatapan Jordy sedang larut memandanginya membuat hati Ajeng sedikit mencair.

"Aku bisa membantumu menyelesaikan tugas, ayo!" Jordy segera menyambar jaket serta kunci mobilnya. Tanpa pikir panjang Jordy mengambil pergelangan tangan Ajeng, mulai membawanya berlari. Dia berniat mengajak Ajeng ke galeri lukis miliknya. Di sanalah Jordy selama ini melukis dan mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan selama tinggal di Jogjakarta.

"Cukup! Jo..!" Ajeng berteriak, dia mengibaskan genggaman tangan Jordy dari pergelangan tangan kanannya. Gadis itu segera berlari di koridor asrama, meninggalkan Jordy mematung tidak mengerti.

"Se-benci itukah kamu padaku Jeng?" Jordy menatap sedih ke arah gadis bertopi yang kini sedang berlari, perlahan punggung Ajeng terlihat semakin jauh hingga tak terlihat lagi di depan matanya. Jordy menjatuhkan tubuhnya, duduk di lantai koridor asrama beralaskan ubin berwarna putih. Pikirannya mendadak terasa buntu, tidak bisa berfungsi dengan baik.

Dulunya dia dipuja bak pangeran dengan seribu bidadari di kampusnya tersebut, namun kini dia bagai si bungkuk buruk rupa yang merindukan sang rembulan! Hanya karena terlanjur cinta dan tertolak sampai dipermalukan.

"Ajeng.." Bisiknya dengan nafas berat. Jordy segera berdiri dari lantai, niatnya hari ini dia ingin pergi ke galeri lukis. Dia sudah membuat lukisan dengan wajah Ajeng, niatnya dia ingin menghadiahkan lukisan tersebut untuk Ajeng. Akan tetapi gadis itu malah mempermainkan perasaanya.

"Aku yang ke ge-eran, aku pikir Ajeng cinta padaku! Tapi dia bilang cuma butuh teman bicara! Hah! Apa seluruh teman sekelasnya itu bisu semua! Jauh-jauh mendekatiku hanya untuk mencari teman bicara. Alasan yang aneh dan menyebalkan!" Gumam Jordy selama di perjalanan di dalam mobil menuju galerinya.

Tak lama kemudian pria itu tiba di sana, dia melihat temannya juga sudah stand by di tempat tersebut. Dika tampak sibuk menyelesaikan pesanan.

"Tumben siang-siang ke sini? Nggak tidur?" Tanya Dika padanya. Pria itu sedang mengerjakan sebuah lukisan.

"Iya tadinya mau tidur, tapi batal." Seru Jordy ikut mengambil cat lalu menuang beberapa warna dalam palet. Jordy juga mendapat banyak pesanan lukisan dalam waktu satu bulan terakhir. Pria itu membuka buku daftar pesanan, seraya mencocokkan dengan lukisan yang sudah jadi, lima dari sepuluh sudah mereka selesaikan. Tiga sudah dikerjakan Dika. Dia sendiri memiliki lima pesanan, dan masih sisa dua belum dia kerjakan.

Pria itu mengambil kursi serta memasang kanvas. Mulai menggores sketsa ringan, membagi bagian-bagian tertentu dan membuat campuran untuk warna dasar. Aroma cat minyak serta tiner memenuhi galeri tersebut. Aneka macam ukuran kuas terkumpul dalam satu tabung berisi tiner.

Jordy memandang jauh ke dalam kanvas, seolah melihat dengan jelas apa yang akan ia gores kan. Dalam waktu setengah jam sketsa sudah mulai terlihat nyata. Pikiran Jordy yang awalnya kusut karena patah hati tertolak Ajeng kini perlahan mulai reda dan berganti dengan bara api untuk terus menggores cat yang sudah tertuang dan mulai dia wujudkan dalam sebuah lukisan pada kanvasnya.

"Jika cinta itu ada dan membuat mahluk bahagia. Namun hari ini cinta yang disebut membawa bahagia telah meninggalkan sebuah luka dalam jiwa, menyiksa raga, bertukar menjadi segenggam emosi yang teramat nyata dan sukar untuk terlupa!" Jordy tersenyum dalam setiap sapuan kuasnya. Warna indah mulai terlihat nyata dari campuran aneka warna cat yang tadinya terdiri sendiri-sendiri.

Dika dan Jordy terpaku dalam kanvas mereka masing-masing. Lalu-lalang kendaraan di jalan raya tak bisa mengalihkan perhatian mereka.

Pikiran dua orang tesebut telah membumbung tinggi pada bentuk-bentuk yang ingin mereka ciptakan melalui goresan warna tertentu dalam ujung kuas mereka. Jordy mengambil kuas kecil untuk membuat warna lebih terang pada pucuk-pucuk ranting dalam lukisan pemandangan alam yang sedang dia kerjakan.

"Jo?" Panggilan Dika membuat goresan kuasnya terhenti sejenak, Jordy menoleh ke arah sahabatnya tersebut.

"Apa?" Tanya Jordy seraya mencelupkan kuasnya ke dalam tiner, lalu berganti mengambil kuas lain dengan ukuran yang lebih besar.

"Kamu ingat Jejeng nggak?" Tanya Dika dengan bibir tersenyum.

"Jejeng cupu dan kusam itu?" Tanya Jordy dengan wajah cerah, tentu saja dia ingat dengan nama julukan anak sekelasnya semasa SMA tersebut. Jejeng adalah julukan untuk Ajeng Ardiyanti di masa SMA.

"Iya siapa lagi! Aku dengar-dengar dia masuk ke kampus kita!" Seru Dika dengan penuh semangat.

Jordy mendadak meletakkan paletnya, lalu beralih menatap Dika dengan tatapan mata serius. Pria itu menyentuh bahunya, meminta Dika agar menoleh.

"Jangan omong kosong kamu!" Serunya.

"Serius, yaelaaaahh!" Dika masih terus melukis kanvasnya, dia tidak secepat Jordy dalam sehari bisa selesai beberapa sketsa dan dua lukisan jadi sempurna.

"Tapi ini sudah satu semester loh! Kalau Jejeng memang ada di kampus kita, kenapa aku tidak pernah bertemu sama dia? Misterius banget kan?! Ngibul kamu!" Jordy tetap tidak mau percaya ada Dika. Karena dia memang tidak pernah melihat sosok Ajeng mantan teman sekelas satu SMA dengannya.

"Ada yang bilang, dia satu jurusan juga sama kita!" Seru Dika lagi.

"Kamu pikir jurusan seni rupa ada berapa kelas? Tiga kelas doang! Dan aku yang mendata nama mereka semuanya, nggak ada nama Jejeng! Apalagi muka cupu Jejeng!" Seru Jordy sambil menggelengkan kepalanya dengan bibir tersenyum.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel