8. Pria idola kampus
Ajeng berontak, dia berhasil lepas sebelum bibir Jordy menyapa wajahnya. “Plaaaaakkk!” Tamparan keras yang dia dapatkan dari Ajeng. “Kamu pikir aku apa hah! Jangan lupa, aku bukan siapa-siapa kamu Jo! Kamu membuatku semakin jijik dan muak! Kamu terlalu rendahan! Jauh dari standar pria dalam list ku!” Ajeng menatap Jordy dengan penuh amarah.
Jordy masih memegangi pipinya yang memerah dan panas akibat tamparan keras Ajeng. “Hah? Astaga! Okay, sepertinya aku harus mengunjungi Pak Lurah Jepara untuk melamar putrinya!” Seru Jordy santai seraya bersiap memutar tubuhnya.
“Okay! Satu cangkir kopi!” Seru Ajeng cepat dengan wajah kesal. Gadis itu segera berlalu masuk ke dalam, membuatkan kopi untuknya.
Jordy mengulum senyum lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi beranda kosan. “Imut banget sih! Ajeng!” Ucapnya sambil meregangkan otot punggungnya.
Beberapa menit kemudian, Ajeng kembali dengan satu cangkir kopi dalam genggaman tangan kanannya.
“Nih, minum!” Menyodorkan cangkir kopinya di depan wajah Jordy. Pria itu tersenyum lalu mengambil cangkir tersebut dari genggaman tangan Ajeng. Ajeng duduk di sebelahnya, sesekali Ajeng menoleh ke arah Jordy untuk melihat ekspresi pria yang sangat dia benci. Jordy meneguknya sedikit demi sedikit, tiba-tiba pria itu mengernyitkan keningnya.
“Kenapa? Nggak enak?” Tanya Ajeng dengan tatapan tidak mengerti ke arah Jordy.
“Manis, semanis senyummu.” Sahutnya seraya menggerai tawa.
“Dasar tukang gombal! Cepat habiskan! Aku mau masuk ke dalam, sudah malam.” Ajeng sudah berdiri dari kursi beranda.
“Sadis sekali, dasar Putri Pak Lurah Jepara..” Gumam Jordy seraya menghabiskan kopi dari cangkir tersebut lalu meletakkannya di atas meja.
“Tutup mulutmu! Awas saja kalau sampai kamu menghubungi Papaku.” Gertak Ajeng padanya dengan penuh amarah.
“Nggak akan, santai saja kenapa sih? Tegang banget.” Jordy berdiri dari kursinya, pria itu mengambil lukisan dari easel. “Ini mau ditaruh di mana?” Tanyanya dengan senyum khas Jordy Wijaya.
Ajeng mengambil cangkir Jordy dari atas meja lalu mendahuluinya masuk ke dalam rumah. “Taruh di sini saja.” Tunjuknya di ruangan dekat ruang tamu. Rumah kos tersebut terdiri dari tiga ruangan. Kamar mandi, ruang tamu sekaligus dapur, dan satu kamar tidur. Jordy meletakkan kanvas tersebut di sana. Usai menaruh kanvas, pria itu melangkah menuju ke arah kamar mandi. Ajeng langsung mencegah dengan menghadang langkahnya.
“Aku ingin ke kamar mandi.” Tunjuk Jordy pada daun pintu di belakang punggung Ajeng. Ajeng tidak memberikan jalan padanya. Ajeng melengos ke samping, kedua tangannya tetap merentang menghalangi langkah pria tersebut. “Kamu serius tidak mengijinkanku numpang ke kamar mandi? Ya sudah aku buang saja di sini.” Bersiap-siap membuka resleting celananya.
“Ettt-tunggu! Masuk sana!” Melangkah ke samping memberikan jalan untuk Jordy dengan bibir cemberut.
Jordy tersenyum lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ajeng bergegas keluar untuk membereskan cat serta perlatan lukis yang ada di beranda rumah membawanya masuk ke dalam rumah. Jordy sudah selesai pria itu ikut membantu Ajeng membereskan kuas dari beranda membawanya ke dalam. Ajeng mencegahnya masuk ke dalam rumah, gadis itu berdiri tegak di ambang pintu.
“Terima kasih.” Ajeng mengambil tabung tiner berisi kuas dari genggaman Jordy. Ekspresi wajah Ajeng masih sama, tetap terlihat tidak respek sama sekali padanya.
“Jeng..” Jordy mengambil jemari tangannya dengan tatapan penuh harap tapi boro-boro disambut hangat, tangan Jordy langsung ditepis Ajeng menjauh. Jordy masih belum bisa melupakan perasaannya untuk Ajeng Adiyanti. Sampai detik ini dia tetap mencintainya dan berharap Ajeng bersedia menerima cintanya.
“Jangan harap aku mau menerimamu, nggak akan pernah! Braaakk!” Ajeng membanting pintu tepat di depan wajah Jordy Wijaya. Dia tidak peduli sama sekali dengan perasaan tulus yang tergambar dari kedua bola mata pria tersebut. “Jangan kira aku bisa melupakan semua penindasan yang pernah kamu lakukan padaku Jo! Mulai detik ini kamu harus menerima karmamu!” Gumam Ajeng dalam hatinya.
Dengan langkah lesu Jordy mengambil jaketnya dari atas meja beranda lalu membawa mobilnya pergi dari halaman rumah kos tersebut untuk kembali ke asrama.
Keesokan harinya..
Jordy sudah tiba di kampus, pria tersebut membawa lukisan yang harus ia kumpulkan hari ini ke ruangan samping perpustakaan. Dia meletakkannya di sana lalu segera berlalu pergi. Tak lama setelah dia keluar, Ajeng datang bersama Mira dengan lukisan di dalam genggaman tangannya. Mereka berdua juga meletakkan lukisan tersebut di sana.
Tiba-tiba kedua mata Ajeng tanpa sengaja menangkap sebuah lukisan dengan model dirinya di sana. Ajeng melihat nama yang tertera di bagian bawah lukisan. “Jordy Wijaya..” Gumam Ajeng Adiyanti seraya menyentuh kanvas tersebut.
“Jordy yang membuat itu?” Mira berdiri di sebelah Ajeng, Mira ikut melihat hasil prakarya menawan hasil goresan kuas Jordy Wijaya. “Mirip sekali, kamu cantik sekali Jeng. Jordy memang sangat pandai membuat hati wanita bertekuk lutut. Jika aku jadi kamu, pasti aku sudah..”
“Mir, ayo ke kantin! Aku belum sarapan pagi ini, perutku lapar sekali.” Dengan tergesa Ajeng segera menyeret lengan Mira keluar dari dalam ruangan. Ajeng membawa langkah mereka berdua menuju ke kantin. Ajeng tidak tahu kalau Jordy sudah lebih dulu stand by di kantin bersama Dika. Ajeng dan Mira duduk pada salah satu bangku di sana.
“Jo! Tuh! Tuh!” Dika menunjuk ke arah jeng yang sedang berdiri dari kursinya untuk memesan makanan pada penjaga kantin.
“Biarkan saja, aku mau cuti gangguin dia hari ini.” Sahutnya dengan wajah malas pada Dika seraya meneguk kopi dari dalam gelasnya.
Ajeng sudah kembali duduk di kursi, penjaga kantin membawakan makanan yang mereka pesan dan meletakkannya di atas meja Ajeng.
“Jeng, tuh lihat!” Mira menyodok siku Ajeng agar temannya melihat ke arah Jordy. Jordy sedang menikmati kopinya seraya menatap tajam tanpa berkedip ke arah sosok Ajeng. Ajeng tanpa pikir panjang langsung membuang muka begitu bertemu tatap dengannya. Dalam ingatannya hanya tersisa luka tiada tara atas penindasan yang dia terima dari sosok Jordy Wijaya di masa lalunya.
