#3. Kelonggaran Senja dan Jeda yang Menggantung
Bel sekolah berdering panjang, sebuah melodi nyaring yang menjadi proklamasi kebebasan kecil di penghujung hari. Seketika, suara kursi berderit, kertas disobek tergesa dari buku tulis, dan tawa lega berhamburan mengisi ruang kelas yang semula kaku. Ruangan itu kini bernapas lega.
Sinta menutup bukunya perlahan, sebuah tindakan yang penuh kesadaran di tengah keriuhan. Di depan kelas, Aryo, sang ketua kelas, berdiri tegap, mengangkat tangan memberi aba-aba.
“Teman-teman, siap-siap… satu, dua, tiga!”
Serentak mereka menyuarakan salam perpisahan.
“Terima kasih, Bu!”
Bu Arik, guru matematika yang sejak tadi menjelaskan dengan nada datar namun penuh kesabaran, tersenyum tipis lalu melangkah keluar. Begitu pintu kelas tertutup, suasana langsung berubah, meledak dalam keriuhan yang terasa begitu kontras dengan keheningan angka.
“Ah, aku membenci pelajaran matematika di jam terakhir!” keluh Rani sambil menguap lebar, tampak lelah. Seolah energinya terkuras habis oleh deretan rumus.
“Sama,” timpal Budi sambil meregangkan tangan di sandaran kursi. “Otakku terasa dilipat-lipat, seperti kertas origami yang rumit.”
Maya tertawa pelan, merapikan buku-bukunya yang tersusun rapi, penuh ketelitian. “Kalian saja yang tidak sabaran. Aku justru menyukainya. Matematika itu jujur, jika salah, ya salah, jika benar, ya benar. Tidak ada abu-abu.”
Rani mencibir kecil. “Iya, iya, sudah tahu kau yang paling cemerlang di antara kita.”
Maya hanya tersenyum, menunduk malu, menerima pujian itu dengan rendah hati.
Mereka berjalan beriringan keluar kelas, melewati lorong sekolah yang sudah mulai melengang. Udara sore menyusup dari jendela, membawa aroma tanah basah dan hujan yang menggantung di kejauhan. Aroma petrikor yang menjanjikan ketenangan.
“Kau sadar tidak, ujian akhir tinggal beberapa bulan lagi?” tanya Rani tiba-tiba, suaranya terdengar serius kali ini. Kehidupan nyata mulai mengusik kenyamanan mereka.
Budi mengangkat alisnya. “Tentu sadar, tapi aku belum siap. Aku merasa baru kemarin masuk SMA.”
Rani menoleh ke arah Sinta. “Kalau kamu, Sin? Sudah ada gambaran mau kuliah di mana?”
Sinta tersenyum tipis, memegang tali tasnya erat-erat. Ia merasakan ketidakpastian yang berat di ujung jari. “Belum tahu,” katanya pelan, suaranya nyaris berbisik. “Pikiranku masih belum sampai ke sana.”
Mereka semua terdiam sejenak. Di wajah Sinta terselip sesuatu yang tidak mereka pahami, bukan sekadar kebingungan tentang masa depan, tapi semacam jarak yang tak terjangkau. Seolah pikirannya sedang berada di tempat lain, di sebuah ruang sunyi yang tidak bisa dimasuki siapa pun.
Rani menepuk bahunya ringan. “Nanti juga akan ketemu jalannya, Sin. Kamu kan pintar. Pasti ada universitas bagus yang menunggumu.”
Sinta mengangguk, tersenyum sopan. Namun, dalam hatinya, ada hal lain yang membuatnya terdiam. Bukan tentang ujian, bukan tentang masa depan, melainkan tentang seseorang yang entah mengapa, sejak tadi, terus-menerus muncul dalam benaknya setiap kali ia mencoba untuk melupakan. Sebuah obsesi yang mulai menguasai alam bawah sadarnya.
Mereka tiba di gerbang sekolah saat matahari mulai condong ke barat, melemparkan bayangan panjang di halaman yang berdebu. Suara tawa murid-murid lain bercampur dengan bunyi klakson dan derit rem sepeda motor yang saling mendahului. Sebuah orkestra kepulangan.
“Daaah, besok jangan terlambat, ya!” seru Rani sambil melambaikan tangan.
“Iya, hati-hati di jalan,” sahut Maya.
Budi menepuk bahu Aryo lalu berlari menuju parkiran.
Sinta ikut tersenyum. Ia melambaikan tangan kecilnya sebelum menyeberang jalan bersama Rani. Di seberang, sudah ada beberapa anak lain yang menunggu angkutan kota. Matahari sore memantul di kaca jendela pertokoan depan halte angkot, membuat seluruh pemandangan terlihat hangat dan agak temaram.
Tak lama, sebuah angkot berhenti mendadak di depan mereka. Catnya kusam dan pintunya agak macet. Penumpang yang di dalam segera merapat, dan mereka pun bergerombol masuk, saling memberi tempat. Aroma parfum bercampur keringat memenuhi udara sempit, suara musik dangdut samar terdengar dari radio tua di depan sopir. Bau kehidupan nyata yang terasa pekat.
Sinta duduk di dekat jendela. Ia menatap keluar, membiarkan pikirannya mengembara. Tentang sekolah, tentang masa depan, dan, tentang Pak Armand.
Guru muda itu.
Nama itu muncul begitu saja di benaknya, seperti riak kecil di danau yang tenang yang memecah permukaan sunyi. Sebuah pertanyaan yang menusuk tiba-tiba muncul:
“Kalau nanti aku lulus… apa aku masih bisa melihatnya lagi?”
Pikiran akan kehilangan itu terasa menyakitkan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba terasa hangat dan asing. Di luar jendela, kota bergerak seperti film bisu, orang-orang menyeberang tergesa-gesa, tukang gorengan meniup bara api, pepohonan menunduk diterpa angin sore.
Sinta memperhatikan semuanya dalam diam. Ia menyukai kesibukan itu. Entah mengapa, hiruk pikuk di luar membuatnya merasa hidup, seolah memberinya izin untuk melupakan sejenak kegelisahan di dalam.
Mungkin begitulah caranya melupakan sejenak: dengan menikmati dunia, meski hanya dari balik kaca angkot yang berdebu.
Lamunan Sinta buyar ketika ia menyadari jalanan yang dilalui sudah terasa akrab. Deretan warung kecil, bengkel tua, dan papan nama mushola yang mulai pudar.
“Pak, kiri,” katanya pelan.
Sopir mengangguk, menarik rem tangan. Angkot berhenti tepat di depan sebuah gang kecil. Sinta turun, mengeluarkan uang receh dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan masuk ke gang yang lebarnya hanya cukup untuk dua sepeda motor berpapasan.
Udara sore terasa hangat dan akrab. Di ujung gang, tampak sebuah rumah bercat putih sederhana tanpa pagar, dindingnya mulai kusam, tapi jendela kayunya selalu tampak bersih. Di sanalah Sinta tinggal sejak kecil. Rumah warisan dari almarhum ayahnya, Pak Agung, yang meninggal saat ia masih duduk di bangku SMP. Kehilangan itu telah membentuknya.
Sejak saat itu, ibunya, Bu Laksmi, menjadi segalanya: ibu, ayah, sekaligus tulang punggung keluarga. Ia membuat kue setiap malam dan menjualnya ke pasar tiap subuh. Sebuah perjuangan yang dilihat Sinta setiap hari. Adik Sinta, Maria, atau Ira, begitu panggilannya, masih duduk di kelas lima SD.
Sinta sampai di depan pintu, mengeluarkan kunci dari tasnya. Begitu pintu terbuka, aroma mentega dan gula yang baru dipanggang langsung menyambutnya. Aroma yang sama, yang selalu terasa seperti aroma rumah.
“Syalom!” sapa Sinta riang.
“Syalom, Kak!” sahut suara kecil dari ruang tengah.
Ira berlari menghampiri dengan rambut dikuncir dua, masih mengenakan seragam SD yang kusut. Di tangannya, ia memegang sepotong bolu cokelat, bukti dari kegiatan Mamanya.
“Kak, tadi di sekolah aku disuruh maju nyanyi lagu wajib! Tapi aku malah menyanyikan lagu rohani!” katanya dengan ekspresi bangga yang menggemaskan.
Sinta tertawa. “Lho, lalu bagaimana reaksi gurumu?”
“Bu guru diam saja, terus teman-teman bertepuk tangan! Eh, tapi kata Ajeng aku salah nada…”
“Ya ampun, Ira,” Sinta tertawa makin keras. “Yang penting semangatnya dulu, kan? Nada bisa diperbaiki.”
“Iya! Tapi nanti kalau aku ikut lomba menyanyi, Kak Sinta harus jadi pelatihku, ya!”
“Wah, kalau begitu Kak Sinta meminta bayaran.”
“Bayarannya es krim saja, deh,” jawab Ira cepat.
Sinta mencubit pipi adiknya gemas. “Dasar bocah yang hemat tapi manis.”
Mereka tertawa bersama. Di luar, matahari mulai turun, meninggalkan cahaya jingga yang lembut di dinding putih rumah kecil itu. Cahaya yang memeluk kehangatan keluarga itu.
Bagi Sinta, rumah ini mungkin sederhana dalam wujud fisiknya, tetapi di sinilah semua rasa menemukan tempatnya untuk pulang. Di sinilah ia bisa menjadi dirinya, termasuk hatinya yang baru mulai belajar berdebar oleh sesuatu yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Malam turun perlahan di atas gang sempit itu. Lampu-lampu rumah mulai menyala, menciptakan bintik-bintik kuning di antara bayangan tembok. Dari dapur rumah kecil bercat putih, terdengar suara gemerincing panci dan aroma sambal goreng kentang yang menggoda. Aroma masakan rumah yang otentik.
Pintu depan berderit.
“Shalom…” suara lembut itu masuk bersama semilir angin malam.
“Shalom, Ma!” sahut Sinta dan Ira hampir bersamaan.
Bu Laksmi masuk dengan langkah letih namun tetap tersenyum. Di tangannya ada keranjang plastik berisi sisa kue dan bahan-bahan untuk adonan esok pagi. Wajahnya basah oleh peluh, tapi matanya memancarkan kehangatan, seolah ia mengumpulkan semua energinya untuk tatapan itu.
“Wah, sudah siap makan, dua gadis cantikku?” tanyanya sambil meletakkan keranjang di meja.
“Sudah, Ma. Ira malah sudah bercerita duluan soal menyanyi di sekolah,” kata Sinta sambil tersenyum geli.
“Oh, yang suaranya seperti burung gereja itu?”
“Ma!” protes Ira, namun tawanya pecah juga.
Mereka duduk bertiga di meja makan sederhana, meja kayu dengan taplak bergambar bunga matahari yang warnanya mulai pudar.
Bu Laksmi menyendokkan nasi, lalu menatap Sinta dengan pandangan seorang ibu yang penuh harap. “Sekolah bagaimana, Nak? Sudah mulai belajar serius untuk ujian akhir?”
“Sudah, Ma,” jawab Sinta pelan. “Cuma… agak lelah saja. Tugasnya banyak.”
“Iya, wajar. Namanya juga perjuangan terakhir,” kata Bu Laksmi sambil tersenyum bijak. “Yang penting jangan lupa berdoa, ya. Iman itu juga bekal paling penting buat masa depan.”
Sinta mengangguk. Ia menatap sendok di tangannya, memantulkan cahaya lampu. Kata-kata mamanya menggema di benaknya: masa depan.
Malam itu, setelah makan malam selesai dan Ira sibuk mencuci piring dengan gaya sok dewasa, Sinta diam menatap jendela dapur. Di luar, langit tampak tenang, hanya terdengar suara jangkrik dan desiran angin yang membelai pepohonan.
“Masa depan…” gumamnya pelan. Masa depan terasa seperti sebuah beban yang harus ia pikul sendirian.
Ia tahu ujian akhir akan datang, diikuti kelulusan, dan setelah itu, hidup akan membawa mereka ke jalan masing-masing. Namun entah mengapa, pikiran itu justru membuat dadanya sesak, bukan karena takut gagal, tapi takut akan perpisahan.
Kalau aku lulus nanti… apa aku masih bisa melihat Pak Armand lagi?
Bayangan wajah guru muda itu kembali muncul di benaknya, senyum yang tenang, tatapan yang hangat, suara lembut yang entah mengapa selalu mampu menenangkan jiwanya. Sebuah ketergantungan emosional yang ia sadari mulai tumbuh.
Ia menunduk, menyembunyikan wajah di balik rambutnya.
“Ih, Kak, kenapa melamun?” tanya Ira tiba-tiba, menyadari keheningan kakaknya.
“Tidak, cuma berpikir saja,” jawab Sinta cepat.
“Memikirkan apa?”
Sinta tersenyum samar. “Tentang masa depan.”
Ira mengangguk polos. “Masa depan itu… seperti PR, ya? Dikerjakan sekarang, tapi nilainya baru dikasih nanti.”
Sinta tertawa kecil. “Iya, bisa dibilang begitu.”
Tapi dalam hati, ia tahu, ada satu ‘PR’ lain yang tak mungkin bisa ia kerjakan sekarang: menyiapkan diri untuk kemungkinan kehilangan seseorang yang diam-diam mulai ia rindukan. Seseorang yang hanya ia kenal dalam batasan formal.
Dan di luar jendela, angin membawa aroma malam yang lembut, seolah ikut menyimpan rahasia kecil milik gadis muda yang hatinya baru belajar berdebar untuk sebuah perpisahan yang akan segera datang.
