#2. Batasan dan Bisikan Tanpa Nama
Armand kembali duduk di ruang guru, menatap tumpukan kertas tugas yang belum tersentuh koreksi. Di tangan kanannya, secangkir kopi hitam mengepul pelan, menyebarkan aroma pahit yang menawarkan konsentrasi dan ketenangan palsu. Sesekali ia menyeruputnya sambil menghela napas panjang, seolah membuang beban pikiran yang terasa semakin berat.
“Eh, semenjak Pak Armand masuk, perilaku murid-murid perempuan jadi berbeda, ya,” celetuk Bu Mirna, guru PPKn, dengan senyum menggoda yang tersirat. Senyum seorang perempuan yang sudah sangat paham dinamika kelas dan hati remaja. “Mereka lebih kalem, lebih lembut kalau berbicara. Aura siapa, nih?”
Armand hanya membalas dengan senyum tipis, menundukkan pandangan. Ia tahu betul maksud ucapan itu, dan ia tahu betul ia tidak bisa lari dari fakta tersebut.
Bagaimana tidak, pikirnya, ia sering menangkap tatapan malu-malu yang sesekali berani dan menantang dari beberapa siswi di kelasnya. Dalam dua tahun masa mengajarnya di sana, namanya sudah menjadi semacam desas-desus kecil yang disebarkan dengan tawa tertahan di antara mereka. Sebuah fenomena yang ia terima sebagai konsekuensi dari pekerjaannya.
Namun, Armand tahu betul batasannya. Garis demarkasi antara profesionalisme dan godaan personal itu harus dijaga mati-matian. Ia sangat piawai menjaga dirinya di antara rasa kagum remaja yang mudah meledak dan tanggung jawab profesi yang tak terhindarkan. Beberapa kali ada siswi yang meminta waktu untuk berbicara sendirian di kelas setelah jam pelajaran usai, dengan alasan yang dibuat-buat, tapi Armand selalu menolak dengan halus. “Kita mengobrol di ruang guru saja, ya,” selalu begitu jawabnya, sebuah penolakan berbalut etika.
Ia bukan hanya seorang guru muda yang mengajar; ia sedang berproses menjadi dewasa di tengah godaan yang terasa lembut namun berpotensi berbahaya. Integritasnya adalah tamengnya.
Armand kembali menekuni tumpukan kertas tugas Bahasa Indonesia di hadapannya. Tema minggu ini: menulis cerpen pendek. Sebuah tugas yang seringkali menjadi cerminan jiwa para siswanya.
Kebanyakan siswa menulis dengan narasi yang sederhana, kisah tentang sahabat, hujan, atau romansa remaja yang mudah ditebak, seolah cetak biru yang sama. Ia mengoreksi satu demi satu, hingga pandangannya terpaku pada sebuah judul yang langsung menghentikan geraknya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Aku yang Menjaga Cinta Tanpa Nama.”
Judul itu begitu puitis, sebuah anomali di antara karya-karya lain. Ia terasa seolah bisikan hati yang tak memiliki keberanian untuk disuarakan secara lantang. Ia membuka halaman pertama, dan seketika larut dalam alur cerita.
Cerpen itu mengisahkan tentang cinta yang murni dan tulus, cinta yang tahu ia tak akan pernah bisa dimiliki, namun tetap dipelihara di dalam hati, layaknya api kecil yang menolak padam di tengah badai hujan. Bahasanya lembut dan jujur, pilihan diksinya menunjukkan kedewasaan emosional yang tak terduga. Saat menutup halaman terakhir, Armand terdiam lama. Ada sesuatu di balik tulisan itu yang menggetarkan sisi sunyi di dalam dirinya, sebuah resonansi yang ia tidak duga.
Ia menatap kembali sampul buku tugas tersebut. Di pojok kanan atas, nama itu tertulis dalam huruf tegak miring yang rapi: Nursinta Angelina.
“Oh… milik Sinta, rupanya,” batinnya. Sebuah penemuan yang terasa intim.
Sinta memang murid yang cerdas, meskipun kadang terlihat ceroboh dan terlalu pendiam. Namun, di balik diamnya, ternyata ada hati yang sedang berjuang dalam kesendirian yang mendalam.
Wajah Sinta sekilas melintas di benaknya: kulitnya yang halus, bibir tipis yang jarang tersenyum namun selalu menyimpan sesuatu, mata lentik yang kerap menunduk seolah menyembunyikan rahasia, dan rambut sebahu yang selalu tampak berantakan dengan manis, sebuah keindahan yang tidak disengaja.
Armand buru-buru menggeleng pelan, seolah mengusir bayangan itu dari kepalanya. Bayangan yang terlalu dekat dan terlalu jelas.
“Fokus, Armand,” gumamnya pelan sambil menarik napas panjang dan meneguk kopinya yang kini terasa dingin. Kopi itu seharusnya membantunya fokus, bukan malah mengalihkan perhatiannya.
Tak lama berselang, Armand baru saja menuntaskan koreksinya ketika suara langkah kaki mendekat. Bu Ratna, guru IPS yang terkenal tegas dan selalu terburu-buru, muncul di depan mejanya sambil membawa amplop cokelat.
“Pak Armand, tolong sampaikan ini ke Pak Bayu di perpustakaan, ya. Saya harus bergegas ke rapat dinas di SMA 3, tapi telepon Pak Bayu tidak bisa dihubungi.”
“Oh, baik, Bu,” jawab Armand, menerima amplop itu.
“Terima kasih banyak, saya titip,” katanya sebelum berlalu dengan langkah cepat, meninggalkan aroma parfum yang sebentar tertinggal di udara ruang guru, sebuah jejak yang cepat menghilang.
Armand menutup buku tugas terakhir, merapikan meja, lalu berdiri. Ia menatap tumpukan kertas cerpen di depannya, dan di antara semuanya, satu judul masih terngiang di kepalanya: “Aku yang Menjaga Cinta Tanpa Nama.”
Ia menghela napas, menepuk ringan pipinya sendiri. “Sudah, fokus pada pekerjaan,” gumamnya, sebuah perintah tegas pada dirinya sendiri.
Ia berjalan keluar ruang guru, melintasi lorong panjang yang dihiasi pot tanaman gantung dan vertical garden yang mulai menguning di beberapa sisi. Udara siang terasa lembap, matahari menembus kisi jendela, memantul di lantai. Ia berbelok ke kiri, melewati UKS, dan tiba di depan pintu perpustakaan sekolah.
Perpustakaan itu terasa sejuk dan memiliki bau yang khas, percampuran debu buku lama dan pendingin udara yang sedikit berlebihan. Aroma yang menenangkan.
“Pak Bayu!” sapa Armand.
Dari balik rak buku, muncul pria berkaus polo dengan wajah ramah dan kacamata tebal. “Lho, Pak Armand! Ada apa gerangan, nih?”
Armand menyerahkan amplop cokelat itu. “Titipan dari Bu Ratna, laporan mingguan katanya.”
“Oh, iya. Terima kasih, ya.”
Mereka berbincang sebentar. Topiknya cepat beralih ke berita-berita hangat yang sedang mendominasi tahun itu: kisruh politik, nilai tukar rupiah yang sempat merosot tajam, hingga tentang kenaikan harga BBM yang membuat banyak guru di ruang guru sering mengeluh di akhir bulan.
“Negara ini seperti sinetron, Pak,” ujar Pak Bayu sambil tertawa ringan. “Tiap episode selalu ada konflik baru.”
Armand tertawa kecil, setuju dengan analogi itu. “Iya, tapi tetap harus kita tonton, kan? Sebab kita adalah bagian dari ceritanya.”
Setelah beberapa menit, Armand pamit. Ia berjalan menuju pintu keluar, mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. Dan di sanalah, tepat di ambang pintu, ia berpapasan dengan dua siswi yang sedang tertawa kecil.
Sinta dan Rani.
Tawa mereka terdengar ringan, seolah denting kaca yang bening dan rapuh. Sinta tersenyum, matanya menyipit, dan lesung pipit kecil muncul samar di pipi kirinya. Itu adalah pemandangan yang jarang ia lihat di dalam kelas. Wangi parfum yang lembut, mungkin aroma bunga melati atau sabun baru, menyentuh Armand seiring langkah mereka yang masuk ke perpustakaan.
Sejenak, waktu seolah membeku. Armand merasakan jeda singkat itu, sebuah momen di luar kendalinya.
Sinta tampak berbeda dari biasanya, bukan lagi gadis pendiam di bangku pojok kelas, melainkan seorang gadis muda yang penuh kehidupan, yang tawanya mampu menggetarkan udara di sekelilingnya. Sebuah kontras yang memukau.
Armand menoleh sedikit, hampir tanpa sadar, secepat kilat. Ia melihat punggung Sinta yang perlahan menjauh di antara lorong-lorong rak buku.
Ada sesuatu di dalam dadanya yang bergerak pelan, bukan sekadar rasa kagum profesional, tapi semacam perasaan yang halus dan… berbahaya. Sebuah pengakuan tak terucap bahwa ia telah melihat sisi lain dari muridnya itu.
Ia menggeleng perlahan, berusaha menghapus bayangan itu dari memorinya.
“Sudah, Armand,” katanya dalam hati. “Jangan bodoh. Ada batas yang tidak boleh kau lewati.”
Rani dan Sinta masih berdiri di dekat rak buku, seolah belum benar-benar sepenuhnya sadar telah masuk. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin, bercampur aroma buku tua dan kelembapan pendingin udara.
Rani memiringkan kepala, melirik sahabatnya dengan mata menyelidik.
“Tadi… itu Pak Armand, ya?” tanyanya pelan, nadanya masih setengah berbisik, seolah takut suaranya akan didengar oleh rak-rak buku yang penuh rahasia.
Sinta menunduk sedikit. “Tidak tahu,” jawabnya cepat, berpura-pura santai. Padahal, di dalam dadanya, jantungnya baru saja berlari maraton, nyaris keluar dari tulang rusuknya. Ia masih bisa mencium samar aroma parfum yang ditinggalkan Pak Armand beberapa detik lalu, sebuah jejak yang membuatnya sesak.
“Oh, begitu…” Rani mengangguk, tidak terlalu memikirkan jawaban yang jelas-jelas bohong. Ia lalu melangkah ke deretan rak novel di sudut kanan. “Aku mau cari Laskar Pelangi, katanya sudah dikembalikan.”
Sinta mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Fokusnya telah terampas.
Ia berdiri terpaku di tempatnya, matanya menatap ke arah pintu yang barusan tertutup. Dalam benaknya, bayangan singkat itu muncul lagi, langkah yang tenang, senyum yang ringan, dan tatapan yang sempat menembus matanya sesaat, namun cukup kuat untuk mengguncang hatinya sampai ke dasar.
Sinta lalu berbalik, berjalan pelan menuju rak tengah. Jemarinya menelusuri buku-buku yang berjejer, tetapi pikirannya sudah entah ke mana, kembali pada cerpennya.
Ia berusaha tersenyum, menenangkan diri, dan berbisik pelan dalam hati,
“Cuma guru, Sin… cuma guru. Tidak lebih dari itu.”
Namun bisikan itu terdengar lemah, tak berdaya di hadapan sesuatu yang baru mulai tumbuh, perlahan, samar, tapi nyata. Perasaan itu terasa seperti rumput liar yang tumbuh di sela-sela beton, keras kepala dan tak terhindarkan.
Sinta menghela napas panjang, menatap jari-jarinya yang bergetar pelan.
“Apa ini hanya kagum… atau sesuatu yang jauh lebih dalam?” pikirnya. Sebuah pertanyaan yang ia takutkan jawabannya.
Dan di antara sunyi perpustakaan yang sejuk, Sinta tiba-tiba tersadar kalau mungkin sejak tadi, tanpa disadari, hatinya baru saja mulai belajar cara berdebar untuk sebuah nama yang ia tuliskan dalam cerpen tanpa nama.
