Pustaka
Bahasa Indonesia

Sinta

74.0K · Ongoing
Mayhua
55
Bab
22
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sinta adalah seorang gadis yang jatuh cinta kepada Armand, guru muda bahasa Indonesia di sekolahnya. Setelah lulus, mereka bertemu kembali dan menjalin hubungan cinta yang manis sekaligus erotis. Namun, Sinta harus menghadapi dilema besar: apakah dia mampu keluar dari jerat cinta yang mengikat dan mengendalikan perasaannya, atau justru terperosok semakin dalam ke dalam pusaran cinta itu.

RomansaTeenfictionCinta Pada Pandangan PertamaWanita CantikCinta PertamaDewasaDramaCogan

#1. Gejolak Dibalik Jendela Kelas

Pagi itu, mentari tidak lagi sekadar menyinari. Cahayanya justru merayap, seolah berbisik lembut di permukaan kaca jendela kelas XII IPS 2, SMA Negeri 5 Kota Probolinggo. Udara yang menyusup dari celah ventilasi membawa sari wangi kapur tulis yang samar dan memabukkan, berbaur dengan aroma debu dari buku pelajaran yang terasa usang dan menua. Di sana, deretan meja kayu berjejer kaku. Setiap permukaannya adalah kanvas penuh ukiran nama dan janji hati yang terpanah oleh waktu. Mereka adalah saksi bisu dari riuh, namun manis dan membekasnya, sebuah masa yang disebut remaja.

Sinta memilih tempatnya di bangku dekat jendela. Sehelai cahaya melukis sisi wajahnya dengan garis emas. Rambutnya yang diikat separuh kini tergerai perlahan, disentuh oleh napas angin yang lewat. Ia duduk, merasakan getaran halus di ujung jari. Di luar, daun-daun jambu di halaman sekolah menari pelan, gemerisik melankolis. Sesekali, keheningan pecah oleh raungan motor siswa yang terlambat, terparkir terburu-buru di lapangan. Suara itu terasa kasar, berlawanan dengan suasana hati Sinta yang terasa begitu halus.

“Eh, Sinta, kudengar kabar, Pak Armand itu belum menikah, ya?” bisik Rani, teman sebangkunya, dengan tawa tertahan yang tersimpan di ujung suara. Ada intrik dalam nada bicaranya.

Sinta pura-pura tenggelam dalam halaman buku Bahasa Indonesia yang terbuka. Ia tahu betul ia tidak sedang membaca. Namun, seulas senyum tak terhindarkan merekah di sudut bibirnya. Ada kepura-puraan yang ia nikmati.

“Memangnya kenapa, Ran?” tanyanya, suaranya berusaha terdengar datar.

“Ya, siapa tahu kau berniat mendaftar jadi calon istri dari pendidik bangsa kita yang gagah itu,” sahut Rani, kalimat yang langsung meledakkan tawa sunyi dan singkat di seantero kelas. Tawa itu mengandung godaan yang terasa menyenangkan sekaligus memalukan.

“Cieee, Sinta dan Pak Armand!” seru Budi dari barisan belakang. Anak lelaki yang seolah ditakdirkan untuk selalu menjadi troublemaker paling berisik, bahkan di jam kosong.

Sinta mengalihkan tatapan ke papan tulis, memasang ekspresi pura-pura jengkel yang justru terlihat menggemaskan. Namun, di dalam dadanya, ada denyutan halus yang tak bisa ia sangkal. Denyutan itu terasa seumpama debar sayap burung kecil yang baru belajar terbang, rapuh namun penuh gairah. Ia tahu, setiap kali Pak Armand melangkah masuk, dengan kemeja putih yang lengannya digulung rapi di siku dan senyum sabar yang selalu tersemat, dunia di sekitarnya seakan menciut, hanya menyisakan dua entitas: dirinya dan gurunya itu. Sebuah semesta pribadi yang terasa begitu intim.

.

Bel tanda masuk berdentang nyaring. Suara langkah sepatu yang berirama terdengar mendekat dari ujung lorong. Serta-merta, seluruh kelas menegakkan tubuh. Beberapa siswa dengan sigap menyembunyikan gawai di bawah tumpukan buku, sebuah tindakan reflektif yang diselimuti rasa bersalah.

Pintu kelas bergeser pelan.

Pak Armand berdiri di ambang pintu. Sebuah map biru ada di tangannya, dan senyumnya memancarkan kehangatan, sehangat matahari yang baru saja naik sepenggalah. Senyum itu terasa begitu tulus dan profesional, namun di mata Sinta, ia mengandung janji akan sesuatu yang lain.

“Selamat pagi, anak-anak,” sapanya.

“Selamat pagi, Pak!” jawab kelas itu serempak, namun anehnya, suara Sinta terasa paling lantang, bahkan memecah keheningan di antara puluhan suara lainnya.

“Baik, hari ini kita akan menyelami dunia teks drama,” ujar Pak Armand sambil bergerak anggun menuju papan tulis. Ia bergerak dengan percaya diri, seperti seorang aktor yang sudah hafal betul panggungnya.

Tulisan tangannya sangat rapi, sedikit miring ke kanan, penuh karakter. Sinta mengikuti setiap geraknya: cara ia menekan spidol, tarikan lembut kemejanya saat ia menjangkau sudut papan. Semua detail kecil itu terasa begitu penting baginya.

Rani menyentuhnya pelan dengan siku, menyadarkan Sinta dari lamunannya.

“Hei, kau tak henti menatap. Catatanmu belum menulis satu huruf pun.”

Sinta tersenyum kecil, menunduk. Ada rahasia di balik senyum itu.

“Biarkan saja. Aku sedang membaca naskah kehidupan,” bisiknya.

Jam pelajaran berlangsung dalam alurnya yang biasa. Ada yang tekun mencatat, ada yang diam-diam menggambar di buku tulis, dan ada pula yang sibuk mengagumi guru muda itu dalam bisikan hati. Namun bagi Sinta, jam Bahasa Indonesia bukan hanya tentang belajar teori. Ia adalah satu-satunya durasi waktu di mana ia merasa hidupnya memiliki alur yang puitis dan indah, seperti puisi yang tak pernah selesai ditulis, seperti sebuah drama yang tengah ia tunggu klimaksnya.

Pak Armand mulai menjelaskan dengan suara tenang, namun penuh wibawa. Spidolnya menari di papan tulis, meninggalkan jejak kata-kata: “Teks Drama, Unsur, Dialog, dan Konflik.”

Kelas jatuh dalam keheningan yang pekat. Hanya terdengar decit spidol yang sesekali merobek sunyi, diselingi sapuan angin dari jendela yang membawa aroma tajam kapur tulis, dan samar wangi bunga kamboja dari halaman depan sekolah.

“Anak-anak, drama itu bukan sekadar cerita yang dipentaskan,” katanya sambil berbalik, seulas senyum kecil terlukis di wajahnya, tatapannya menyapu seluruh ruangan. “Drama adalah hakikat hidup yang dibesarkan di atas panggung. Ada konflik, ada dialog, dan yang paling penting, ada emosi.”

Sinta duduk tegap, berpura-pura menyimak. Tapi jiwanya sedang berkelana, jauh dari ruang kelas itu. Matanya terpaku pada Pak Armand: gerak bibirnya yang proporsional, caranya memindahkan tatapan dari satu siswa ke siswa lain, dan intonasi suaranya yang lembut namun bertegas.

Setiap kalimatnya terdengar merdu, seolah sebuah musik yang dimainkan hanya untuknya.

Setiap senyum kecilnya adalah cahaya yang terlalu sulit untuk ditatap lama-lama, begitu terang dan begitu hangat.

“Coba, siapa yang bisa memberi contoh konflik yang paling mendasar dalam drama?” tanya Pak Armand.

Beberapa tangan terangkat, namun Sinta tetap diam, kaku, tenggelam dalam pusaran pemikirannya sendiri. Ia hanya menatap papan tulis yang mulai penuh coretan, dan sebuah pikiran melintas: Kalau hidupku adalah sebuah drama, mungkin konfliknya adalah aku mencintai seseorang yang seharusnya hanya kujadikan guru.

“Baik, Sinta,” suara itu membelah lamunannya. Suara itu begitu dekat, begitu nyata.

Ia tersentak, terkejut, seperti tertangkap basah.

“Eh, iya, Pak?”

“Menurutmu, konflik yang paling sering muncul dan paling menyakitkan dalam drama itu apa?”

Wajahnya terasa panas membakar, pipinya merona hingga ke telinga. Seluruh kelas menatapnya. Beberapa siswa menahan tawa kecil yang ingin meledak, sebuah ketegangan yang hanya terjadi saat ia berinteraksi dengan gurunya.

Sinta berpikir cepat, mencari jawaban yang paling logis. Tapi yang meluncur dari bibirnya justru adalah kejujuran yang polos, tanpa filter.

“Eee… cinta yang tidak bisa disampaikan, Pak.”

Suasana kelas langsung riuh. Sebagian bertepuk tangan, sebagian bersiul nakal. Respon kelas itu terasa seperti sound effect yang memperkuat kejujurannya.

Pak Armand hanya tersenyum tipis. Ia menunduk sebentar, seolah merenungkan jawaban itu, lalu mengangkat wajahnya dan berkata,

“Itu jawaban yang bagus… dan jujur. Kadang memang, konflik terbaik lahir dari perasaan yang tak sempat diucapkan.”

Kata-kata itu menancap dalam di dada Sinta, meninggalkan bekas yang hangat, seperti tato yang baru selesai digambar. Ia menunduk, tapi senyumannya tak mampu disembunyikan. Jawaban itu adalah pengakuan tak terucap yang hanya bisa dipahami olehnya dan mungkin, diam-diam, oleh Pak Armand.

Di luar, sebuah daun jambu diterbangkan angin, melewati jendela, dan mendarat perlahan di meja Sinta. Seolah-olah alam semesta ikut bersekongkol, merestui perasaannya yang rahasia.

.

Bel istirahat berbunyi, bergaung di seluruh koridor, sebuah deklarasi kebebasan dari dunia teori dan papan tulis. Seketika, kelas menjadi riuh. Suara kursi bergeser, tawa meledak, dan bunyi kemasan jajanan berserakan seperti hujan kecil di dalam ruangan.

Rani langsung menepuk bahu Sinta dari belakang.

“Wah, jawabanmu tadi, Sin… jujur sekali! ‘Cinta yang nggak bisa disampaikan,’ ya? Itu bukan teori, itu curhat terselubung!”

Tawa yang lebih keras meledak dari pojok kelas. Budi menambahkan dengan nada sok serius, “Harusnya Pak Armand kasih nilai A+ untuk kejujuran emosional!”

“Diam, ah!” Sinta menutupi wajahnya dengan buku catatan, tapi semua tahu wajahnya merah padam. Rasa malu itu justru bercampur dengan secercah kebahagiaan tersembunyi.

Rani tak berhenti menggoda. “Kau lihat, kan? Pak Armand senyum waktu kau menjawab. Wah, tatapannya itu seperti di sinetron, lembut tapi dalam sekali!”

Sinta menatap ke luar jendela, mencoba mencari pelarian dari godaan temannya. Di lapangan, siswa laki-laki bermain bola, teriakan mereka bercampur dengan aroma bakso dari kantin. Namun, di dalam kepalanya, hanya satu hal yang berputar: senyum Pak Armand tadi. Senyum itu terasa jauh lebih penting daripada segala hal di sekitarnya.

“Eh, tapi serius,” kata Tika, yang duduk di depan. “Kau itu cocok kalau main drama, Sin. Tadi kau bicara seolah dari hati.”

“Cocok jadi pemeran utama, ya?” sela Rani cepat. “Judulnya: Siswi Jatuh Cinta pada Guru Muda. Akhir ceritanya: menangis di bawah hujan.”

Seluruh kelas kembali meledak dalam tawa yang menyenangkan.

Sinta ikut tertawa, meskipun ada kehangatan yang aneh menjalar di dadanya. Ia tahu mereka bercanda, tapi di balik tawa itu, tersembunyi sebuah kebenaran kecil yang ia jaga rapat-rapat.

“Sudahlah, Ran. Jangan bahas itu terus,” katanya pada akhirnya, pura-pura sibuk menghapus papan tulis bagian belakang. Sebuah cara untuk mengalihkan perhatian.

Rani menyeringai. “Oke deh. Tapi kalau nanti kau tiba-tiba rajin sekali masuk pelajaran Bahasa Indonesia, aku tahu pasti alasannya.”

Sinta menatap papan tulis yang masih menyisakan kata “emosi” dari pelajaran tadi. Kata itu seolah balik menatapnya, ikut tahu rahasia yang ia pendam.

Dalam hati, ia tersenyum tipis.

Mungkin benar kata Pak Armand, pikirnya. Drama terbaik memang lahir dari perasaan yang tak sempat diucapkan.

.

Sinta dan teman-temannya meninggalkan kelas dengan langkah ringan. Suara sandal dan sepatu beradu dengan lantai semen yang mengilap separuh karena kain pel basah. Lorong sekolah ramai oleh suara tawa, aroma gorengan yang menguar dari kantin, dan poster-poster motivasi yang mulai pudar di dinding: “Raihlah Mimpi, Walau Terjatuh Berkali-kali.”

Rani menggandeng lengan Sinta, masih dengan nada menggoda.

“Eh, nanti kalau Pak Armand lewat, coba deh senyum sedikit. Siapa tahu dibalas.”

Sinta mendengus kecil, tapi bibirnya tak bisa menolak senyum malu yang muncul tanpa ia minta.

“Aku senyum saja, dia pasti mengira aku gila.”

Mereka tertawa, berjalan melewati deretan ruang kelas lain, hingga akhirnya tiba di depan ruang guru. Di balik kaca jendelanya, tampak beberapa guru duduk, sebagian mengetik di laptop, sebagian menandatangani berkas. Suasana yang tenang, kontras dengan keriuhan di lorong.

Dan di sudut ruangan, tepat di bawah kipas angin yang berputar malas, duduklah Pak Armand.

Kemejanya sedikit tergulung, di tangannya ada cangkir kopi yang uapnya masih naik tipis ke udara. Ia terlihat sedang membaca lembar tugas siswa sambil sesekali menyeruput kopinya. Cahaya dari jendela menimpa wajahnya, membuatnya tampak begitu tenang dan… entah mengapa, terasa begitu jauh. Sebuah figur yang terpisah oleh sekat yang tak terlihat.

Langkah Sinta otomatis melambat. Ia menoleh sekilas, sebuah pandangan singkat, hanya sedetik, namun cukup untuk membuat jantungnya berdetak tak karuan. Jeda waktu yang terasa begitu lama.

Rani memperhatikannya, tersenyum penuh arti, seolah ia membaca pikiran Sinta.

“Ketahuan,” bisiknya pelan.

Sinta buru-buru menatap lurus ke depan lagi, berusaha keras menahan debar yang terasa seperti tabuhan genderang. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu… setiap langkah setelah ini akan selalu terasa berbeda, karena ada seseorang di ruang guru yang tanpa sadar telah menjadi pusat orbit kecil dalam dunianya.

Di hari itu, di lorong yang sederhana dan berbau kapur, Sinta belum menyadari, bahwa rasa kagumnya yang diam-diam itu, perlahan-lahan, akan menjadi bab pertama dari sebuah kisah yang mengubah seluruh alur hidupnya. Sebuah bab yang diawali oleh konflik yang paling menyakitkan: cinta yang tidak bisa disampaikan.