6. Mencari tahu.
Suasana makan malam yang seharusnya menjadi membahagiakan, justru berubah menjadi dingin dan hambar. Aku tak banyak berbicara begitu pun Mas Dika. Kami menikmati makan malam kami dengan santai.
Padahal restoran ini mengusung konsep garden dengan lampu kerlap-kerlip di atasnya. Di dukung dengan penataan tanaman yang membawa suasana alam hutan dan spot hijau yang di penuhi banyak tanaman di dalamnya. Lantainya terbuat dari rumput sintetis yang serasi dengan pepohonan kecil yang menghiasi sekeliling restoran ini. Sungguh menyejukkan mata. Sangat indah dan romantis sekali suasananya.
Suasana pun semakin syahdu dengan kolam ikan kecil yang berada di tengah-tengah restoran tersebut.
Makanan yang di sajikan pun beragam. Bisa dinikmati segala kalangan. Baik anak-anak, remaja ataupun dewasa. Makanya selain anak muda, yang berkeluarga pun ada yang mengajak anggota keluarganya di sini.
Aku sangat menyukai tempat ini. Ammar pun tampak nyaman dan sangat menikmati makanannya.
"Tempatnya bagus Mas. Nyaman juga, aku baru tahu kalau di sini ada restoran seperti ini?" tanyaku membuka percakapan.
Mas Dika mengelap mulutnya dengan tissue. Ia meminum minumannya lalu menoleh ke arahku.
"Kebetulan teman Mas, yang merekomendasikan tempat ini. Karena ia sering ngajak anak dan istrinya makan disini. Tempat ini sudah lama buka, hanya baru direnovasi dengan konsep yang berbeda," jawabnya. Aku pun tersenyum. Menikmati sisa makanan sambil memandang sekitar. Memperhatikan tempat yang mulai tampak ramai. Mataku terhenti pada satu objek yang sangat aku kenal.
Aku fokuskan kembali pandanganku. Kalau-kalau apa yang aku lihat itu salah. Namun ternyata, harapanku lah yang salah.
"Kenapa sayang? Kamu lihat apa?" tanya Mas Dika padaku.
"Itu Mas. Sepertinya aku melihat Irene," jawabku padanya. Suamiku itu tampak menoleh ke arah yang aku maksud. Wajahnya tampak terkejut. Ada gurat kekhawatiran yang tersirat di wajahnya, walau dengan cepat ia tutupi tapi aku bisa melihatnya dan itu menimbulkan kecurigaanku.
"Kamu kenal Irene, Mas?" tanyaku menyelidik. Aku merasa ganjil dengan ekspresi suamiku itu.
"Nggak! Mas nggak kenal dengan teman-temanmu itu. Memangnya kenapa?"
"Nggak ada apa-apa, hanya saja ...,"
"Hanya saja apa? Mungkin dia lagi ada janjian sama temannya kan, ngapain juga kita pikirin. Fokus ke keluarga kecil kita aja!" tegur Mas Dika memotong ucapanku. Aku pun hanya diam. Tapi ujung mataku menangkap suamiku sempat curi pandang ke arah wanita itu. Membuat hatiku penasaran. Sebenarnya Mas Dika kenal apa tidak pada Irene?
Aku mengenal Irene tiga tahun yang lalu. Itu pun statusnya memang sudah janda. Aku mengenal Irene lewat Laura. Entah bagaimana awal mulanya. Dia yang hanya ikut menemani Laura akhirnya bergabung dalam grub kami. Mulai berbaur dan akrab satu sama lain. Tapi hanya sebatas kumpul-kumpul arisan saja.
Sampai kami beranjak pulang pun. Irene masih duduk sendiri, ia menikmati makanannya seorang diri. Dari sudut mataku, aku melihat Irene sempat menoleh sekilas menatap ke arah kami. Serta bertemu pandang pada Mas Dika. Wajah Mas Dika tampak sedikit cemas.
Sebenarnya ada apa diantara mereka?
Apa benar Irene yang menjadi selingkuhan Mas Dika? Seperti dugaanku saat ini. Jika hal itu benar terjadi, sungguh tega sekali mereka berani bermain di belakangku.
Sesampainya di rumah pun, pertanyaan-pertanyaan itu masih tetap bergelayut di kepalaku. Membuat hatiku penasaran. Dan ini membuatku tak nyaman.
"Kamu kenapa sih sayang, Mas perhatikan dari siang tadi hingga malam begini. Raut wajah kamu berubah. Apa kamu ada masalah?" tanya Mas Dika. Ia baru saja keluar dari kamar mandi. Sudah berganti pakaian menggunakan piyama tidurnya.
"Nggak Mas. Aku nggak kenapa-kenapa. Mungkin karena capek saja," dalihku. Tak mungkin kan, aku mengatakan padanya jika aku sedang curiga. Aku memilih beranjak dari dudukku dan melangkah masuk ke kamar mandi. Mencuci muka dan mengganti pakaianku dengan baju tidur lengan pendek dan celana panjang.
Aku tak mau memakai dasterku yang semuanya hampir mirip mini dres. Dengan rumple kerut di bagian dada. Aku lagi malas memancing buaya keluar dari kandang. Hatiku masih gelisah.
********
Aku membeli sebuah kamera mini yang tersambung ke ponselku. Serta di lengkapi dengan GPRS. Kamera itu aku beli dalam jumlah yang banyak. Diam-diam aku pasang di setiap sudut rumah. Termasuk mobil Mas Dika.
Bi Susi membantuku memasangkannya. Saat aku sedang duduk santai di balkon kamar. Aku melacak mobil Mas Dika. Mengecek kemana saja aktifitas yang ia lakukan seharian ini. Mobil yang ia gunakan sudah berjalan ke mana saja ia bawa.
Dahiku berkerut. Sudah hampir dua hari setelah pemasangan. Mobil yang suamiku itu gunakan tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Hanya pergi ke kantor dan rumah saja. Selebihnya hanya akan terparkir di parkiran kantor. Aku sedikit merasa ganjil.
Apa Mas Dika tahu jika aku memang kamera tersembunyi dan GPRS di mobilnya? Ahh ... tak mungkin, karena yang tahu tentang kamera di mobilnya hanya aku. Sedangkan Bi Susi hanya tahu kamera itu aku pasang di setiap sudut rumah saja.
"Bi saya mau keluar bentar, ya. Mau ketemu sama teman-teman. Bibi tolong jagain Ammar. Jika dia bangun dan bertanya saya ke mana, bilang saja nanti saya pulang bawa cemilan kesukaannya," pesanku pada Bi Susi.
"Baik, Nya," jawabnya.
Aku penasaran, berhubung jam masih menunjukkan jam dua siang, aku bergegas menuju garasi. Menaiki mobilku dan mengendarainya menuju kantor Mas Dika.
Memasuki halaman perusahaan, aku langsung membelokkan mobilku ke wilayah parkiran. Memarkirkan mobilku dengan rapi dan berjejeran dengan mobil yang lain. Setelah turun dari mobil, aku langsung melangkahkan kaki ke arah Utara,menuju tempat di mana suamiku biasa memarkirkan mobilnya.
Benar saja, mobil itu masih terparkir cantik di sana. Apa lagi sekarang sudah lewat jam makan siang. Apa suamiku makan di kantor? Tak biasanya Mas Dika selalu makan di kantor. Bukan kah dia biasanya anti makan di kantin kantor. Tapi kok mobil ini? Semua membuat hatiku merasa ganjal.
Aku langsung bergegas menuju ruangan suamiku. Dari pada menduga-duga hal yang tak pasti. Maka aku lebih memilih mengeceknya sendiri. Bukannya tak percaya pada suami, tapi kata hati tak mungkin berbohong. Walau aku akui, sebagai suami. Mas Dika adalah suami yang romantis, pengertian dan sangat sempurna.
Gelagatnya selama ini tak sedikit pun menunjukkan jika ia memiliki selingkuhan. Setiap aku menemukan kejanggalan, mas Dika memberikan alasan dan dalih yang masuk akal. Seperti petaka ukuran linggrie yang tertukar itu. Tapi hati kecilku menolah untuk diam. Menolak untuk menerima begitu saja.
Aku masuk ke dalam ruangan suamiku. Tak kutemui keberadaannya. Hanya ada Erik–sekretaris yang merangkap menjadi asisten Mas Dika.
Erik yang sedang duduk di bilik ruangannya, tampak terkejut dengan kehadiranku. Erik langsung berdiri dan sedikit menundukkan kepa hormat padaku. Walau bagaimana pun. Aku lah yang merekomendasikan ia menjadi asisten suamiku.
Erik berasal dari keluarga yang sederhana. Keluarganya dulu bekerja di kebun sawit milik Papaku. Kegigihannya membuat ia bisa lulus kuliah dan mendapat gelas sarjana. Dua tahun lulus tak juga membuat pemuda ini mendapatkan pekerjaan. Hingga akhirnya melalui Almarhum Papa, Erik bisa menjadi sekretaris pribadi Mas Dika.
Saat itu, sebagai menantu yang baik. Tentu saja Mas Dika akan menuruti keinginan mertuanya. Namu karena pekerjaan yang dilakukannya cukup memuaskan hati Mas Dika. Hingga saat ini, dirinya tetap berada di samping suamiku dengan posisi tersebut.
Kini Erik sudah berkeluarga, memiliki satu orang anak yang masih balita.
"Bu Intan, selamat siang menjelang sore." sapanya. Ia tampak sedikit gugup melihat kehadiranku tatapan mataku tajam menatap ke arahnya.
"Mana Mas Dika. Erik?" tanyaku tegas.
"Pak Dika keluar sebentar, Bu."
"Keluar ke mana? Menggunakan mobil siapa?" cecarku. Erik mulai mengalihkan pandangan matanya. Aku tahu, karena hutang Budi, lelaki ini segan terhadapku.
"Saya tidak tahu, Bu. Bapak hanya bilang akan keluar sebentar untuk makan siang. Soal mobil, setahu saya tentu saja menggunakan mobil beliau," jawabnya.
Aku mulai emosi, ternyata aku mulai dikadali. Baru saja aku berbalik badan Mas Dika sudah muncul dari ujung pintu itu sambil menenteng bungkus makanan. Dahiku berkerut melihatnya.
"Sayang, kapan kamu datang? Kok nggak nelpon Mas?" ujarnya sambil melangkah mendekat.
"Kamu dari mana Mas?" tanyaku datar.
"Mas dari bawah, ambil makanan ini. Tadi Mas pesan online," Mas Dika mengangkat bungkusan yang ia bawa dan menunjukkannya padaku. Aroma wangi menyeruak dari bungkusan itu, memancing nafsu makanku bangkit kembali. Padahal tadi sebelum ke sini, aku sudah makan siang di rumah bersama Ammar.
"Jam segini kamu belum makan, Mas? Kan ada Erik, kenapa harus kamu yang ambil Mas?" tanyaku lagi semakin menyelidik. Aku sudah seperti wartawan saja. Menanyai segala hal hingga ke akarnya. Aku merasa heran saja. Akhir-akhir ini suamiku sangat rajin. Ia melakukan hal-hal kecil Yaang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Termasuk mengambil sendiri makanan online yang ia pesan seperti saat ini.
"Kamu ini kenapa sih sayang? Bawaannya curiga mulu sama, Mas. Dari pada ngoceh di sini. Ayo ikut Mas makan siang. Mas udah lapar ini. Kerjaan menumpuk makanya suamimu ini baru makan siang jam segini," Mas Dika menarik tanganku, kami berjalan bergandengan tangan menuju ruangannya.
Aku dan Mas Dika duduk berdampingan di atas sofa panjang yang ada di ruangan ini. Aku meraih plastik yang suamiku sodorkan. Lalu menyajikan makanan itu ke atas meja.
"Porsi dua orang? Memangnya kamu mau makan dengan siapa Mas?" tanyaku lagi. Pokoknya hari ini aku bertanya terus apapun yang menurutku ganjil.
"Untuk Erik satunya lagi, tapi karena ada kamu, ya udah ... biar di makan di kantin kantor saja," sahutnya. Mas Dika menyantap makanannya dengan lahap. Tampak lapar sekali dirinya. Membuatku merasa bersalah. Suamiku bekerja dengan giat mencari nafkah hingga mengabaikan makan siangnya seperti ini. Aku malah justru menuduhnya dengan pardugaku yang tanpa alasan.
"Erik masih menunggu di ruangannya. Aku berikan ini padanya saja ya? Kasihan dia," aku mengambil sekotak makanan untuk kuberikan pada asisten suamiku itu. Mas Dika hanya menganggukkan kepala menanggapi ucapanku.
Sesampainya dimeja Erik aku melihat ia sedang Vidio call bersama istri dan anaknya dengan kotak makanan kosong yang ada di hadapannya. Sepertinya itu bekal makanan yang di siapkan istrinya untuknya.
Ia tampak asik bersenda gurau dengan bayinya, hingga tak menyadari kehadiranku. Aku tersenyum melihat caranya berinteraksi dengan anaknya itu. Sungguh manis sekali. Tipe seorang Ayah dan suami yang menyayangi keluarganya.
"Erik ...," seruku mengagetkannya. Erik menoleh. Ia tampak gelagapan.
"Maaf Buk, saya hanya akan kembali bekerja. Saya hanya menelpon anak saya yang sedang rewel sebentar," ujarnya. Aku pun tersenyum. Pasalnya kini sudah masuk jam kantor, dan seharusnya ia bekerja.
"Tak apa, ini aku bawakan makanan. Aku pikir kamu belum makan dan tak sempat membelinya. Ternyata kamu sudah membawa makanan spesial, pantas berat badanku tambah naik sekarang," sahutku sambil melirik sekilas kotak makan yang ada di atas mejanya. Erik tersenyum, terpancar kebahagian dari raut wajahnya.
Setelah dari ruangan Erik, aku kembali keruangan suamiku. Mas Dika tampak sedang duduk bermain ponsel, mengabaikan makanan yang ada di hadapannya kini. Raut wajahnya tampak serius. Dengan beberapa kerutan di dahi.
"Kamu kenapa Mas? Kenapa makanannya tidak dihabiskan?"
"Oh ... iya, ini ada pesan penting dari klien. Ayo kita makan lagi, sayang. Mas dari tadi nungguin kamu," Mas Dika menutup ponselnya dan melanjutkan makannya yang tertunda bersamaku. Ia menyuapkan makanan itu padaku.
Sungguh manis sekali. Tentu aku menerimanya dengan senang hati. Walau perut ini sudah kenyang sebenarnya, namun menjadi lapar kembali jika diperlakukan semanis ini.
"Sudah Mas, aku bisa makan sendiri. Kamu makan makananmu saja, Mas." ucapku. Aku menolak suapan terakhir yang ia sodorkan padaku. Suamiku kini menyelesaikan makannya.
Walau Mas Dika mencoba tersenyum padaku, aku menangkap raut wajahnya sedikit gelisah. Seperti ada sebuah masalah besar yang terjadi. Tapi apa? Pekerjaan kah atau masalah yang lainnya?
