Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Mendekati irene.

Pukul sepuluh lewat lima menit aku tiba di sekolahan Ammar dengan gamis yang rapi. Hari ini ada acara pertemuan wali murid yang diadakan setiap pembagian PTS (Penilaian Tengah Semester) siswa.

Sesampainya di halaman sekolah, aku memarkirkan mobilku dengan rapi. Berjejeran dengan mobil-mobil para wali murid yang lain. Halaman depan sekolahan ini termasuk luas. Bisa menampung hingga 40 mobil. Sudah hampir selebar lapangan bola. Wajar saja, sekolah ini merupakan sekolah swasta yang terjamin akreditasinya.

Guru-guru yang kompeten serta jumlah murid yang dibatasi setiap kelasnya membuat anakku nyaman bersekolah di sini. Satu kelas dengan dua guru, membuat anak-anak dapat terkontrol dengan baik. Yah ... walau kuakui, biaya sekolah di sini terbilang mahal.

Kebanyakan yang bersekolah disini adalah anak-anak yang berasal dari golongan keluarga yang mampu.

Aku berjalan santai di koridor sekolah, menuju kelas putraku. Kelas 2B yang berada di ujung koridor depan tiang bendera.

"Irene?!" seruku pada wanita yang menggunakan gamis biru langit itu. Irene tampak sangat berbeda hati ini. Sangat cantik dengan jilbab dan gamis itu. Sekolah ini memang sekolah Islam terpadu yang menekan pada pendidikan agama yang kuat. Sehingga setiap orang tua yang ingin menjemput dan mengantar anak-anak mereka ke sekolah ini, harus menggunakan jilbab bagi perempuan.

Aku menghampiri Irene dengan bingung. "Kamu kok bisa ada di sini?" tanyaku heran.

"Intan, hei ... nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Anak kamu sekolah di sini?" tanyanya balik padaku.

"Kamu kenapa bisa di sini? Bukannya kamu belum punya anak kan?" ucapku lirih. Tak enak jika di dengar orang-orang yang berlalu lalang di antara kami.

Irene tersenyum. Sebenarnya wanita ini tampak cantik jika ia menggunakan pakaian seperti ini, dari pada baju ketat yang sering ia gunakan.

"Oh ... aku jadi wakil dari wali Rafael. Kebetulan Papa dan Mamanya lagi tidak bisa hadir. Jadi aku deh yang gantiin," ujarnya padaku. Irene tampak canggung.

"Rafael anaknya Pak Tio? Satu kelas dengan Ammar. Kalau gitu kita ke kelas bersama saja yuk," ajakku. Aku dan Irene berjalan bersama. Aku sengaja mendekatinya untuk mengorek informasi. Apa masih curiga. Tapi, apa hubungan Irene dengan keluarga Pak Tio? Setahu aku Pak Tio tak memliki adik perempuan, istrinya juga seorang anak tunggal.

"Selamat pagi ibu-ibu dan bapak-bapak semua. Atas kesempatan pagi ini kita bisa berkumpul bersama dalam rangka pembagian raport bayangan tengah semester, ..." Wali kelas mulai menyampaikan kata sambutan. Aku dan Irene duduk berdampingan di bangku deretan pinggir dekat jendela. Berada di posisi nomor dua dari depan.

Aku tak terlalu memperhatikan ucapan guru tersebut. Mataku sesekali mencuri pandang pada Irene. Wanita ini sebenarnya cantik, bahkan sangat cantik. Sebenarnya ia juga wanita yang ramah dan asik, entah kenapa ia justru diceraikan oleh suaminya yang dulu.

"Kamu kenapa, Tan? Aku perhatikan sedari tadi sikapmu agak aneh terhadapku," ujarnya pelan. Aku sedikit tersentak, wanita ini sungguh sangat peka. Padahal pandangan matanya tetap fokus ke depan.

"Nanti setelah dari sini, kita ngobrol santai yuk." ajakku padanya. Kebetulan hari ini Ammar tidak ikut ke sekolah, jadi aku bisa ngobrol santai. Setiap pembagian rapot putraku itu memang tidak pernah ikut, ia lebih memilih bersantai di rumah sambil menonton film atau bermain game.

"Baiklah," sahutnya. Kita berdua kembali terdiam dan memperhatikan apa yang disampaikan. Menanti pembagian PTS yang menjadi puncak acara.

Hampir dua jam aku dan Irene menunggu pembagian raport PTS tersebut. Aku cukup puas melihat raport bayangan putraku. Hampir semua nilai putraku di atas nilai KKM.

Sedangkan Irene, membuatnya saja tidak. Wajar saja sih. Itu juga bukan raport anaknya. Hanya mewakilkan saja. Kami bertemu di kafe tak jauh dari sekolah, mengendarai mobil masing-masing. Sekarang di sinilah kami. Duduk berhadapan sambil menikmati minuman yang telah kami pesan.

"Ada apa? Katakan lah, apa yang ingin kamu tanyakan padaku!" ucapnya langsung ke inti. Jari lentiknya memainkan sedotan yang ada di gelasnya. Mataku melirik sekilas cincin berlian itu. Sungguh tampak cantik melingkar di jemarinya.

Sampai sekarang aku belum juga move on dari cincin itu. Andai benar cincin itu adalah cincin yang beli Mas Dika. Akan sakit sekali hatiku rasanya. Tak mampu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Sedangkan saat ini saja hatiku mulai memanas.

Irene yang menyadari aku memperhatikan cincinnya pun mulai menarik tangannya dan meletakkan di atas meja, ia tutup dengan jilbabnya yang menyapu meja.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa. Cincin yang kamu pakai bagus ya, harganya pasti sangat mahal," ucapku mulai memancing pembicaraan.

Irene tersenyum. "Ini dari seseorang yang begitu menyayangiku,"

"Kalau begitu kenapa kamu tidak menikah dengannya? Maaf Irene, bukan maksudku mau ikut campur. Tapi setahuku, bukannya kamu sudah lama menjanda ya. Kenapa tidak menikah lagi saja jika kamu sudah mulai yakin. Apalagi kamu bilang dia menyayangimu,"

Irene tersenyum tipis kepadaku. Ia menghela napas lelah, terdengar mengganjal di telingaku.

"Dia suami orang, Intan. Itu yang masih mengganjal di pikiranku," ucapnya. Untuk sesaat aku tertegun. Jantungku langsung kembali berdetak dengan cepat. Timbul rasa yang sangat susah untuk aku jelaskan. Rasanya sangat sulit mendengar kebenaran dari mulutnya, jika itu benar adanya.

"Si-siapa di-dia?" tanyaku terbata, setiap huruf terasa sulit ke luar dari kerongkonganku ini. Tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin. Menunggu jawaban dari mulutnya seakan sedang menunggu eksekusi mati.

"Pak Tio," ujarnya. Cukup membuatku terkejut. Seakan ada batu besar yang terangkat di dadaku. Sangat melegakan. Kekhawatiranku selama ini sirna begitu saja.

"Apa?! Apa aku tak salah dengar?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Siapa tahu karena terlalu banyak berharap, aku jadi salah dengar.

"Kamu nggak salah dengar Intan. Aku yakin kamu juga tahu dari Sandra si biang gosip itu, kalau aku berpacaran dengan suami orang? Dan orang itu adalah Pak Tio," jelasnya. Aku cukup melongo dengan penjelasannya itu. Memang sih pak Tio tajir, tapi usianya yang cukup tua membuat pria itu lebih pantas menjadi bapaknya ketimbang suaminya.

Sedangkan setahuku. Istri Pak Tio sekarang bukanlah istri pertama. Melainkan istri ketiga. Istri pertamanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, istri keduanya bercerai karena tak tahan dimadu. Tinggallah istri ke-tiganya ini yang menjadi satu-satunya Ratu dalam singgasana.

"Lalu cincin itu dari Pak Tio? Terus Bu Tio bagaimana?" cecarku. Aku tahu betul bagaimana watak istri montok Pak Tio itu. Selain sombong Bu Tio juga terkenal ganas.

"Dia nerima dengan keputusan suaminya. Mau bagaimana lagi, dia tak dapat berkutik dengan apa yang terjadi. Semua biaya hidupnya dan keluarganya. Semua di tanggung oleh Pak Tio. Jika dia menolak, maka ia harus siap diceraikan. Dan soal cincin ini, memang pemberiannya. Hadiah dari jalan-jalan kemarin. Bagus ya? Ini dia loh yang milih," ucapnya lagi. Kini tanpa ragu memamerkan kembali cincin itu padaku. Membuatku kesal saja melihatnya.

Aku memutar bola mataku jengah. "Bagus ... selagi bukan kado suamiku saja," jawabku asal yang membuat Irene melongo.

"Maksud kamu? Jadi selama ini kamu mengira ini kado suamimu? Ya ... ampun Intan," seru Irene sambil tertawa mengejek. Membuat hatiku sedikit tersentil. Wajarkan jika aku curiga ... apalagi semuanya tampak begitu kebetulan.

"Habisnya ... sebenarnya aku ingin cerita sesuatu sama kamu. Tapi ... aku harap hanya kita berdua saja yang tahu hal ini," ucapku ragu. Sebenarnya aku malu menceritakan masalah rumah tanggaku pada orang lain. Tapi aku tak bisa menyimpannya sendiri, aku butuh seseorang untuk berbagi. Sedangkan bercerita pada orang tua? Aku sudah tak memilikinya lagi.

Bercerita pada Astrid hanya akan membuatku malu dan menjadi bahan hinaannya saja. Aku juga tak punya saudara yang dapat menjadi tempatku berbagi. Hanya temanlah satu-satunya harapan untukku sedikit melepaskan kegundahan hati ini. Agar kewarasanku tetap terjaga dengan baik.

"Ada apa? Ceritakanlah! Kamu tahu aku bukanlah orang yang seperti itu. Aku juga tidak terlalu suka mencampuri urusan orang lain,"

Aku mengangguk, ya ... aku tahu, itu sebabnya aku berani mengatakan isi hatiku padanya. Jika sama yang lain aku merasa ragu. Apalagi di mata teman-temanku, rumah tanggaku lah yang terlihat begitu sempurna.

"Aku merasa Mas Dika selingkuh dariku?" ujarku akhirnya. Untuk sejenak Irene terdiam, ia menatap ke dalam bola mataku. Mungkin sedang mencari kejujuran di mataku ini.

Aku menghela napas. "Aku tak tahu kamu akan percaya padaku atau tidak, tapi aku merasakan perasaan yang aneh akhir-akhir ini. Walaupun aku akui, Mas Dika selalu berlaku baik dan tambah romantis padaku. Namun aku merasa ada yang ganjil di sini," aku menunjuk dadaku. Menekankan perasaan yang sulit untuk aku jelaskan.

"Aku sempat menemukan bukti pembelian sebuah cincin berlian seharga ratusan juta di dalam koper Mas Dika sehabis ia perjalanan ke Kalimantan tempo hari. Sebelum itu juga ia sempat memberikanku hadiah sebuah gaun tidur yang ukurannya sangat jauh berbeda dari ukuranku." jelasku. Irene mendengarkan dengan wajah yang tak dapat aku tebak.

"Apa kamu serius?!"

"Iya, tapi aku ragu apakah ia selingkuh atau tidak. Hanya saja, hatiku mengatakan hal lain. Entah kenapa hatiku mengakui ada yang mulai janggal dengan sikap suamiku itu. Aku bingung Irene. Aku bingung harus bagaimana?"

"Syukurlah Jika kini akhirnya kamu sadar juga. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan ini padamu Intan, hanya saja. Melihatmu yang begitu membanggakan suamimu itu membuatku ragu. Apa kamu akan percaya padaku atau malah menuduhku iri dan cemburu padamu," ujar Irene. Membuatku tersentak kaget. Mataku membulat menatap ke arahnya.

"Apa maksudmu? Apa yang kamu ketahui?" tanyaku dengan penuh kebingungan. Apa yang tidak kuketahui tentang suamiku sendiri. Apa mataku sebegitu butanya, hingga orang lain yang bukan siapa-siapa justru lebih tahu dibandingkan aku sang pemeran utama dalam drama rumah tangga ini?

"Waktu itu aku tak sengaja bertemu dengan suamimu di sebuah hotel. Aku ingin menghampiri karena saat itu, mungkin saja ada dirimu. Tapi ternyata bukan, ada seorang wanita kecil dan ramping keluar kamar bersama suamimu. Yah ... secara logika. Lelaki dan wanita dewasa keluar dari kamar hotel, kira-kira ngapain? Nggak mungkin kan mereka hanya bersenda gurau saja," ujarnya.

Kedua tanganku terkepal di atas meja. Sorot mataku memandang makanan yang terhidang di meja dengan nanar. Sesak dada ini tak terkira. Bahkan panasnya terik matahari yang menyengat, masih kalah panas dari hatiku ini. Deru napas kian memburu seirama detak jantung yang memompa dengan cepat.

Sakit ... sakit sekali rasanya. Akalku seakan tak percaya, apa benar suamiku seperti itu. Jika tingkah laku dan tutur katanya seolah sangat menyayangiku.

Irene menceritakan semua apa yang ia ketahui tentang Mas Dika. Aku mendengarkan dengan menahan sesak di dada ini. Baru cerita saja, hatiku sudah sebegitu sakitnya. Apalagi jika aku menyaksikannya sendiri. Aku yang awalnya hanya ingin bertukar pikiran saja, kini kepalang basah justru ikut menceritakan semuanya. Semua keganjilan yang aku dapati selama beberapa Minggu ini.

Untuk pertama kalinya aku menceritakan isi hatiku pada orang lain, menceritakan apa yang ada di hati dan apa yang aku pikirkan.

Aku menceritakan bukti apa saja yang aku temui padanya. Tak lupa tentang keraguanku berdasarkan sikapnya yang tampak biasa saja. Justru tampak seperti suami yang sempurna.

Irene menghela napas. "Ada dua tipe lelaki saat selingkuh Intan. Pertama, mereka akan berubah menjadi cuek dan tak peduli pada pasangannya. Bahkan mereka akan bersikap kasar dan terang-terangan membawa wanita luar itu masuk kedalam hubungannya. Tipe ke-dua. Mereka akan justru semakin romantis dan memperlakukan istrinya bagaikan seorang ratu. Untuk menutupi kebusukan yang selama ini mereka tutupi.

Tipe ini adalah lelaki yang begitu lihai menyembunyikan perselingkuhannya begitu rapat. Bahkan mereka akan bersikap sangat manis dan romantis dari biasanya. Hanya untuk mengelabui dan membuat pasangannya tak mengira akan apa yang ia lakukan. Namun dua-duanya adalah tipe lelaki yang egois. Mereka hanya memikirkan kebahagian mereka sendiri ...,"

Irene menarik napas. Ia meminum minumannya sedikit. Membasahi tenggorokannya yang mungkin mulai terasa kering.

"Jadi maksudmu, bisa jadi suamiku termasuk pada tipe yang ke-dua?" tanyaku.

"Bisa jadi," balasnya ambigu, tapi nada suara terdengar begitu yakin. Aku masih belum bisa percaya dengan semua ini. Aku masih berharap semua ini hanya kecemburuanku yang tak beralasan saja.

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu, sedangkan aku adalah istrinya. Bisa jadi kan, saat itu kamu memang salah orang Irene. Mungkin lelaki itu adalah orang yang mirip dengan suamiku. Kamu kan hanya melihat dia dua kali saat ia mengantarku, bagaimana mungkin kamu bisa menebak karakter orang hanya dengan mengenalnya sekilas saja." tampikku.

"Karena aku juga pernah berada di posisimu Intan. Dulu ... dulu aku pernah merasa di awang-awang. Memiliki suami yang begitu baik, tampan, serta begitu menyayangi dan memanjakan. Ia tampak begitu setia seolah tak ada wanita lain di hatinya selain aku. Namun nyatanya. Semua kesempurnaan itu hanyalah kamuflase, di rumah dia memang suamiku. Sedangkan di luaran ia adalah pria lajang dengan banyaknya wanita yang menjadi penghangat ranjangnya,"

Irene menjeda ucapannya sesaat mengalihkan tatapannya ke arah jendela yang ada di samping kami sejenak. Tatapan matanya jatuh jauh di luar sana. Tapi aku yakin pikirannya sedang bernostalgia mengingat kejadian pahit yang tidak pernah diceritakannya pada orang lain. Sudut matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu tahu Intan, betapa sakitnya saat kita berada di awang-awang lalu dengan sekejap mata dihempaskan begitu saja ke lantai. Aku malu, kecewa dan sakit hati. Itu sebabnya aku selingkuh, dan membuat ia sendiri yang menceraikanku," jelasnya. Membuatku terhenyak. Satu fakta yang tidak pernah aku ketahui tentang dirinya, selama aku mengenalnya.

Aku terdiam sambil menyelami sorot matanya, mencari kebohongan di sana. Namun tak kutemui selain tatapan pilu.

"Kenapa harus selingkuh. Kenapa tidak langsung menuntut cerai saja. Jika kamu merasa tak sanggup?" tanyaku. Aku masih tak mengerti jalan pikirannya. Untuk apa ia mengotori nama baiknya sendiri.

"Aku ingin ia merasakan bagaimana rasanya dikhianati, seperti apa yang aku rasakan. Bukankah suami adalah imam, dan istri makmum. Hadiah apa yang ia lakukan, maka itu pula yang aku balas untuknya. Setidaknya biar ia merasakan harga dirinya terkoyak terlebih dahulu. Pria itu cenderung egois Intan. Mereka menuntut istri untuk Memaafkan saat melakukan kesalahan, tapi tak terima jika ia yang diduakan,"

Lagi-lagi aku terdiam. Bibirku serasa kelu walau hanya untuk mengeluarkan sepatah kata saja. Aku tak tahu harus berkata pa, atau menanggapi seperti apa. Jujur, hatiku begitu cemas.

Irene tampak tersenyum tipis melihat aku yang tak merespons. Tangannya menggenggam tanganku lembut. Membuat aku menoleh.

"Kamu hanya punya dua pilihan Intan. Pertama menutup mata dan telinga, berpura-pura tidak tahu untuk mempertahankan rumah tanggamu. Mumpung belum banyak yang kamu ketahui, dan sakitmu belum terlalu dalam. lagi pula ada anak kan diantara kalian. Jika pada akhirnya kamu tetap milih bertahan karena alasan anak. Atau pilihan ke-dua, cari tahu hingga ke akarnya. Balas dan lepaskan! Tapi kamu harus siap dengan konsekuensi yang akan kamu hadapi ke depannya. Omongan orang serta perasaan anakmu sendiri," ujar Irene membuatku kembali terhenyak.

Seakan tertampar oleh kenyataan. Adanya Ammar di antara aku dan Mas Dika. Jika benar Mas Dika selingkuh dan terjadi perpisahan di antara kita berdua. Maka ada Ammar yang menjadi korban. Tapi menutup mata dan sepakat tidak tahu. Aku sungguh tak sanggup. Aku tak sanggup hidup berpura-pura. Semua ini membuatku bimbang. Langkah apa yang harus aku lakukan?

Tuhan ... jika boleh aku berharap. Semoga semua ini hanya kesalahpahaman saja. Semoga suamiku benar-benar setia, dan tidak seperti yang aku bayangkan. Semoga!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel