5. Mulai gelisah.
Sejak makan malam tadi aku masih terus saja memikirkan perihal cincin itu. Aku masih menunggu siapa tahu Mas Dika masih menyembunyikannya padaku sebagai kejutan. Walau kenyataannya semua itu tak mungkin.
Sejak pagi aku sudah berkutat di dapur, kebiasaan yang selalu aku lakukan selama 10 tahun menjadi istrinya.
"Nyonya, ini mau dibuat apa?" tanya Bi Susi membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang mengaduk sop di atas kompor pun menoleh.
Bi Susi menunjukkan potongan daging kecil-kecil padaku.
"Astagfirullah al'azim, Bi. Itu kan daging untuk sop. Yah ... udah aku masukin sayur ke dalam kuahnya. Bisa hancur sayurnya kalau daging baru dimasukkan," seruku. Gara-gara pikiranku entah kemana. Aku jadi tak konsentrasi atas apa yang aku masak. Sampai-sampai dagingnya lupa aku masukkan. Intan ... Intan, bagaimana dirimu ini.
"Ya udah Bi, dagingnya Bibi rebus aja di presto, nanti kalau sudah empuk baru di satukan di sini. Untuk sementara waktu, kuahnya di matikan aja dulu. Mumpung sayurnya belum matang sempurna," ujarku. Bi Susi mengangguk. Ia pun melakukan apa yang aku perintahkan. Aku meninggalkan dirinya sebentar ke dapur.
Kakiku melangkah menuju kamar Ammar. Matahari mulai mengintip di balik awan putih itu. Jam juga sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit. Sudah waktunya aku membantu putraku untuk bersiap-siap. Walaupun Ammar sudah mandiri, bisa mandi sendiri tapi tetap saja aku tak membiarkan putraku itu mempersiapkan dirinya sendiri. Bocah delapan tahun itu kadang tak bersih mencuci rambutnya sendiri. Hingga masih tersisa bau apek dari rambutnya.
Setelah semuanya selesai, aku mengajak putraku ke bawah. Kalau melanjutkan sebentar pekerjaan yang tertunda tadi. Sedangkan Bu Susi tampak sudah menghidangkan masakanku yang lain ke atas meja. Sebenarnya aku sudah mulai bosan dengan rutinitas ini.
Aku ingin kembali seperti dulu, menjadi wanita karier yang selalu berpakaian formal dan pergi ke kantor. Namun Mas Dika melarangku dengan tegas. Katanya tugas istri hanya di rumah mengurus anak dan suami. Lagi pula nafkah yang ia berikan lebih dari cukup untuk keluarga kami. Jadi untuk apa aku harus bekerja lagi. Ujarnya padaku waktu itu.
"Loh ... dagingnya sudah Bibi campurkan?" tanyaku saat melihat Bi Susi memegang mangkok besar yang berisi sup yang kumasak tadi dan meletakkannya ke atas meja.
"Sudah, Nya. Soalnya sudah Mateng biar cepat selesainya," jawabnya. Aku mengangguk. Mas Dika pun turun, seperti biasa selalu rapi dan terlihat menawan. Wajahnya begitu berseri-seri. Setelah dapat jatah dua ronde dariku tadi malam. Walau hatiku bimbang namun kewajibanku sebagai istri tetap harus aku tunaikan.
"Pagi sayang, Papa," Mas Dika mengecup pipi anaknya. Walau Ammar sudah mulai risih tapi tetap saja suamiku itu melakukan hal itu untuk menggoda putranya.
"Ayo Mas, kita sarapan," ajakku.
"Kalian berdua aja ya sayang, soalnya Mas harus ke kantor pagi-pagi. Mas sarapan di kantor saja," tolaknya lagi. Akhir-akhir ini suamiku ini sering melewatkan sarapan paginya di rumah. Saat pulang pun ia makan sedikit sekali seolah sudah habis makan di luar. Membuatku semakin curiga saja padanya.
"Kamu akhir-akhir ini sering sarapan di luar ya, Mas? Sarapan sama siapa?" tanyaku asal.
"Sarapan sendiri lah sayang, kamu ini gimana sih. Memangnya siap yang sarapan dengan Mas. Paling juga Erik yang temanin, Mas. Itu pun kalau sempat. Kamu ini kenapa sih, dari tadi malam bawaannya sensitif banget?" tanyanya. Tangannya menjepit hidungku sayang.
"Nggak ada apa-apa sih, cuma kamu akhir-akhir ini jarang sarapan dan makan di rumah aja," keluhku.
"Kan beberapa hari ini Mas ke luar kota sayang. Ya udah nanti malam kita makan malam di luar ya. Kamu boleh pesan tempat mana aja yang kamu suka, Mas ikut."
"Yang benar Mas?!" sahutku senang.
"Iya, ya. Mas berangakat dulu, ya. Sudah siang ini," pamit Mas Dika. Aku mengantar suamiku ke depan pintu. Seperti biasa mencium tangannya sebelum ia berangkat. Mas Dika pun. Mencium keningku lembut.
Aku masih berdiri di ambang pintu dengan banyaknya pertanyaan. Satu sisi hatiku tak percaya jika suamiku seperti itu. Tapi satu sisi lagi perasaanku yang tak bisa di bohongi mengatakan hal yang lain. Manakah yang ahrus aku percaya? Suamiku atau kata hatiku?
*******
Siang ini setelah menjemput Ammar dan mengantarnya ke rumah. Menyuruhnya makan dan istirahat siang. Aku kembali mengendarai mobilku melaju ke sebuah pusat perbelanjaan di kota ini. Hari ini aku ada acara arisan teman-temanku. Satu-satunya hiburanku di antara segudang rutinitas di rumah.
Setelah memarkirkan mobilku. Aku langsung melangkahkan kakiku ke dalam. Menuju sebuah restoran China yang terletak di lantai tiga mall ini.
Hari ini restoran ini tampak tak begitu ramai. Sangat berbeda jika hari libur atau pada malam hari. Namun suasana yang nyaman dan makanannya yang enak membuat kami betah nongkrong cantik di sini. Pelayanannya juga ramah.
"Hai ... sudah menunggu lama. Maaf ya, maklum ibu rumah tangga. Riweh kalau ninggalin anak," ujarku pada mereka semua yang telah berkumpul.
"Alah ... alasan, aku juga punya anak, tiga malah nggak ribet tuh," sindir Sandra. Aku memutar bola mataku malas. Mulut emak satu ini memang terkadang perlu juga dicabein. Nyinyir banget jadi orang.
Aku menarik bangku di sebelah Irene, berhadapan dengan Laura yang bersebelahan dengan Icha. Sedangkan Sandra berhadapan dengan Stevani. Aku sengaja duduk jauh dari Sandra, malas meladeni Sandra yang hobi ngerumpi. Matanya begitu tajam mencari-cari dan mengorek rahasia orang lain.
"Baru juga terlambat 5 menit, udah sewot aja tu bibir," balasku santai. Tak ingin bertegang urat. Baru saja Sandra ingin membuka mulut kembali, sudah langsung dipotong dengan yang lain.
"Sudah jangan berantem, kalian ini ... ketemu sudah seperti kucing minta kawin aja. Berisik!" timpal Stevani membuat aku melongo.
"Ya elah ... anak gadis pembahasannya sudah nyerempet masalah kawin aja. Mentang-mentang udah dilamar orang. Cie ... cie," goda Laura membuat wajah Stevani memerah. Aku pun tersenyum mendengar kabar bahagia ini.
Sedangkan Icha hanya diam dan sesekali tersenyum. Wanita itu memang yang paling kalem diantara kami ber-enam. Ia istri seorang pejabat daerah. Ia juga sudah memiliki dua orang putri cantik. Kembar berumur 3 tahun. Tutur kata yang lembut mendayu-dayu, serta wajah yang manis tampak begitu keibuan.
"Akhirnya di antara kami, ada yang akan menjemput kebahagian. Aku berharap semoga pernikahanmu nanti sakinah, mawadah, dan warohmah. Pernikahan yang kekal yang menjadi dambaan setiap wanita," ujarku pada Stevani tulus. Wanita keturunan Tionghoa itu pun menatapku bahagia senyum lebar tergambar di wajahnya.
"Terima kasih banget ya doanya. Aku harap kalian semua harus datang di hari bahagiaku itu. Jangan ada yang nggak datang. Awas!" balas Stevani dengan nada sedikit mengancam di bagian kalimat akhir sambil tertawa. Kami semua pun terkekeh.
"Ehh ... ngomong-ngomong, ada yang beda nih." seru Sandra. Alis matanya naik turun menggoda ke arah jari tangan Irene.
Degh.
Jantungku seakan berhenti berdetak sesaat. Sebuah cincin berlian yang indah melingkar di jari manis Irene. Desain simple dan mewah membuat mataku terpikat. Kilau batu permatanya yang indah membuat aku tak bisa berhenti memandangnya.
Irene yang merasa risih dengan tatapan kami pun menyembunyikan cincin di tangannya di balik lengan kirinya.
"Sepertinya cincin itu mahal deh. Limited edition kan. Harganya hampir ratusan juta loh," ujar Stevani yang orang tuanya memang seorang pengusaha batu permata. Tentu saja ia paham hanya dengan melihat kilau dan cutting batu tersebut. Stevani tersenyum malu.
"Ya iyalah ... mahal! Aku dengar gebetanmu yang sekarang itu pengusaha tajir, kan? Kemarin kamu juga baru habis jalan-jalan kan. Mana dong oleh-olehnya?" sambar Sandra. Tangannya terangkat ke atas mengadah ke arah Irene. Membuat wajah Irene merona. Namun sebisa mungkin wanita itu bersikap santai.
"Oleh-oleh apa, adanya capek," jawab Irene. Sandra mencibirkan bibirnya.
Semua yang ada di meja ini menjadi heboh. Icha, Stevani dan Laura mulai bergurau menggoda Irene. Pasalnya di antara kami ber-enam Irene dan Stevani yang belum menikah saat ini.
Jika Stevani belum menikah karena ia memang belum mendapatkan jodoh. Berbeda dengan Irene yang dulu pernah menikah namun pernikahannya gagal. Namun enehnya kehidupan Irene yang tampak terlihat lebih mewah dari Stevani yang berasal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang pengusaha batu permata sedangkan ibunya pemilik butik ternama di kota itu.
Irene kerap kedapatan memakai barang-barang mewah, sedangkan dirinya hanyalah seorang karyawan swasta biasa. Melihat cincin itu membuatku teringat akan struk yang aku temukan dari saku celana Mas Dika. Hatiku pun menjadi gelisah. Apalagi Irene juga baru saja pulang dari liburan ke luar kota. Aku mulai mengumpulkan ingatanku tentang kejadian-kejadian ini yang begitu tampak seirama. Tak mungkin jika ini hanyalah kebetulan semata.
Hatiku kini kembali was-was dengan praduga yang ada di dalam otakku. Bukankah jaman sekarang banyak pelakor yang makan suami temannya sendiri. Apalagi Irene adalah janda yang tidak memiliki anak. Masih sangat cantik dan begitu menggoda.
"Intan, kamu kenapa? Kenapa tiba-tiba diam begitu?" tegur Laura padaku. Irene pun ikut menoleh ke arahku, aku dan dia saling bertatapan sejenak. Hingga aku memutus pandangan mata kita. Lalu menatap ke arah Laura dengan senyum canggug. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka tentangku, aku pun tak tahu. Saat ini hatiku sedang sedikit kacau dan bimbang.
Tapi aku tak bisa mengambil keputusan gegabah dengan menuduh tanpa bukti. Cincin itu belum cukup kuat buatku menuduh hubungan mereka. Lagi pula ini juga belum pasti. Aku tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan.
Ada satu kata yang selalu aku ingat hingga saat ini. "Intan, jika suatu saat kamu menghadapi masalah, tutuplah mulutmu dan buka telinga serta matamu lebar-lebar. Karena saat kamu menutup mulutmu, di situlah otakmu akan bekerja. Gunakan mata dan telingamu untuk mencari tahu kebenaran. Karena hati begitu lemah dalam menilai, mudah terbawa arus emosi. Teriakan dan air mata tak akan membuatmu keluar dari masalah, Nak. Namun hanya jalan buntu dan keputusasaan. Boleh menangis, jika dadamu terasa sesak. Tapi jangan berlarut-larut. Bangkitlah dan selesaikan!"
Aku harus mencari tahu kebenarannya. Cincin untuk siapa yang Mas Dika belikan itu? Untukku atau untuk wanita lain?
