4. Barang siapa ini?
Setelah perdebatan yang panjang dengan Ibu tiriku. Aku memilih untuk pulang. Siapa yang betah berlama-lama di sana. Jika hanya dicueki dan dihadapkan wajah yang asam. Seperti itulah dia, jika menginginkan sesuatu, maka aku harus diam dan menuruti.
Sebenarnya aku sudah malas bertemu dengan Ibu tiriku itu. Tapi rumah yang ditinggalinya adalah rumah almarhum kedua orang tuaku. Jika aku tidak sekali-sekali datang dan mengawasi. Bisa saja kan, barang-barang yang ada dijualnya satu persatu.
Jika jiwa belanja bergelora sedangkan dompet menderita, maka apapun dapat dilakukan hanya untuk memenuhinya. Buktinya, harta peninggalan almarhum Papa saja habis dijualnya satu persatu.
Tak terasa sudah tiga hari Mas Dika pergi perjalanan bisnisnya. Dia bilang akan pusing malam ini. Aku sampai-sampai menyibukkan diri di dapur. Memasak makanan kesukaannya, hanya untuk menyambut kepulangannya. Namun nyatanya hingga jam dinding berdetak di pukul delapan malam pun. Belum juga ada hilal akan kedatangannya. Nomor ponselnya pun tak dapat dihubungi sama sekali.
"Nyonya makan saja dulunya, sudah jam segini tuan belum pulang. Nanti nyonya sakit," ujar Bi Susi padaku. Aku yang masih menunggu setia duduk depan meja makan. Makanan terhidang yang tadi hangat kini telah dingin. Sedangkan ammar ia sudah makan lebih dulu sedari tadi.
Salahku juga yang menunggu, padahal Mas Dika juga belum mengatakan secara pasti ia pulang jam berapa. Hanya bilang akan pulang malam ini.
"Nanti saja lah, Bi. Bibi tolong beresin semua ini, ya. Nanti kalau Mas Dika pulang baru panasin!" pintaku. Bi Susi mengangguk. Sedangkan aku melangkahkan kakiku ke arah kamar. Aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuhku. Hingga akhirnya aku benar-benar tertidur di atas ranjangku.
*******
Malam menunggu hingga pagi. Pagi pun kini telah beranjak menjadi siang. Namun Mas Dika belum juga sampai rumah. Kabar berita pun tak kunjung terdengar.
Aku yang duduk di sofa bersama Ammar, lagi-lagi menelpon nomor suamiku. Namun tak kunjung diangkat.
"Kok nggak aktif sih? Dimana sih Mas Dika, kenapa nomornya nggak aktif dari semalam?" ujarku gelisah.
"Kangen ya?" sahut sebuah suara dari belakang. Aku dan Ammar pun menoleh. Suamiku menghampiri dengan senyum yang merekah di bibirnya. Karena khawatir, aku sampai-sampai tak menyadari kedatangan suamiku sendiri.
"Papa," teriak putraku menghampiri Papanya. Pasti karena oleh-oleh yang di bawa Mas Dika untuknya. Ammar tahu betul, setiap Papanya pergi ke luar kota, Papanya pasti membawakan oleh-oleh untuknya.
Aku meraih tangan suamiku, mencium tangannya penuh khidmat.
"Suami pulang kok wajahnya cemberut sih sayang," ujar Mas Dika padaku.
"Papa oleh-oleh Ammar mana?" sela putra tampanku itu.
"Ada dong, untuk anak kesayangan Papa masa Papa lupa. Kita bongkar oleh-olehnya di kamar Mama dan Papa ya," sahut Mas Dika. Ammar bersorak riang. Bagi bocah delapan tahun itu, di bawakan mainan saja sudah girang banget.
Mas Dika mengajakku ke kamar. "Kenapa nomor kamu susah dihubungi sih, Mas?" tanyaku padanya.
"Baterai ponsel Mas habis. Lupa cas tadi, mau cas di mobil, Mas lupa bawa casnya." jawabnya. Aku hanya ber-0 ria mendengar ucapannya itu.
Aku membantu suamiku menyeret koper kecilnya yang aku yakini berisi oleh-oleh. Sedangkan koper besar yang ia bawa, berisi pakaian yang ia pakai. Namun sesampai di kamar dan membongkar koper tersebut, ternyata tebakanku salah besar.
Koper besar itu yang berisi banyak oleh-oleh. Sedangkan koper kecil itu berisi tiga stell pakaiannya.
"Banyak banget Mas? Kamu seperti bawa oleh-oleh untuk keluarga besar saja?" tanyaku heran. Oleh-oleh yang ia bawa begitu banyak. Bentuk dan jenisnya pun beraneka ragam. Tidak seperti orang yang baru habis dinas kerja, melainkan seperti orang yang habis pergi liburan saja.
"Kamu belanja oleh-oleh dimana, Mas?" tanyaku mulia curiga. Entah kenapa sejak ia pergi hingga kembali ke rumah ini. Hatiku terus saja gelisah tak menentu. Walaupun berusaha aku tutup-tutupi, tapi tetap saja aku aku mulai tak nyaman.
"Memangnya kenapa sayang?" bukannya menjawab Mas Dika justru balik bertanya.
"Biasanya kalau dinas ke luar kota, kamu paling anti dan males banget pergi mencari oleh-oleh. Apalagi sampai sebanyak ini?" jelasku. Aku melirik ke arah suamiku yang sedikit terkejut.
"Oh ... itu karena kebetulan ada yang jual dekat hotel. Jadi ya sudah Mas borong saja," dalihnya. Aku mengerutkan dahi.
"Ada yang jual dekat hotel? Semua ini?!" tanyaku lagi seolah tak percaya.
Baju batik, aneka cemilan seperti mocci, geplak, pisang salai, dodol serta kue bakpia. Semua ini adalah ciri khas oleh-oleh kota yang di sebut kota pelajar itu.
"Kamu beli di dekat hotel? Memangnya kamu tugas di Kalimantan atau di Jogyakarta sih mas, kok oleh-oleh kamu ...,"
"Pemilik toko di dekat hotel itu kan orang jawa. Jadi dia menyedikan oleh-oleh khas daerah Jawa. Jadi ya Mas ambil saja, kebetulan kamu suka kan," sahut Mas Dika santai. Seolah seperti sudah siap dengan pertanyaanku.
Namun tak mungkin juga Mas Dika membohongiku kan. Bisa jadi apa yang di katakannya itu memang benar. Toh ... memang banyak sekarang orang yang membuka toko oleh-oleh ciri khas daerah tertentu.
"Ya udah Mas. Kamu mandi dulu sana! Kamu pasti lelah kan, aku siapkan makan siang?" tawarku.
"Tak usah sayang, Mas sudah makan tadi sebelum penerbangan. Perut Mas juga masih kenyang. Mas mandi dulu, ya."
Aku menatap Mas Dika penuh curiga. Suamiku itu pun berbalik menatapku.
"Kamu kenapa sih sayang, dari tanya nanyanya sudah seperti wartawan lagi wawancara. Detail banget, nggak seperti biasanya seperti ini. Atau jangan-jangan ...,"
"Jangan-jangan apa, Mas?" sahutku penasaran. Mas Dika sedang bermain game tarik ulur padaku.
Cup!
Bukannya menjawab suamiku itu justru mengecup pipiku lembut. Aku melongo melihat tingkah konyolnya itu.
"Kamu itu gemesin banget kalau lagi curiga gitu, sayang. Bikin Mas pengen gigit deh," selorohnya membuatku tersenyum. Suamiku ini memang paling bisa mencairkan suasana yang canggung menjadi romantis.
"Dasar nakal. Sudah mandi sana! Nanti keburu sore," usirku, Mas Dika pergi ke kamar mandi sambil terkekeh. Sedangkan Ammar sedari tadi sudah ke kamarnya. Tadi ia lebih dulu membuka koper dan mengambil semua mainan yang dibelikan papanya. Membawa semua mainan itu ke dalam kamar.
Setelah Mas Dika ke kamar mandi. Aku membereskan semua yang ada di koper itu. Termasuk semua makanan dan baju yang ada di dalam koper kecil.
Baju-baju yang ada di dalam koper tampak rapi dan wangi. Sepertinya baju itu sudah dicuci di loudry sebelum ia bawa sepulang.
Saat sedang menyusun dan merapikan koper. Mataku seolah menangkap sebuah kertas yang terlipat kecil-kecil jatuh dari saku celana. Dari tampilan luar saja, aku bisa melihat jika kertas itu berbentuk slip pembayaran melalui debit.
Aku raih kertas kecil itu dan membukanya. Mataku terbelalak saat melihat yang tertulis disana. Walau tintanya sedikit memudar, tapi masih bisa ku baca dengan jelas yang tertulis di sana. Pembayaran sebuah cincin berlian senilai 258 juta. Untuk siapa Mas Dika membelikan cincin berlian ini.
Aku tersenyum dan hatiku berbunga. Aku tak menyangka Mas Dika membawakan oleh-oleh untukku barang semahal itu. Aku yakin benda itu pasti disimpannya sebagai kejutan, dan nanti malam ia berikan padaku. Kemarin kalung, sekarang cincin. Mas Dika memang suami terbaik yang memanjakanku.
Aku menyimpan slip pembayaran itu ke dalam saku bajuku. Tak lupa aku foto lebih dahulu. Entahlah ... aku melakukan berdasarkan feelingku saja. Lalu aku berpura-pura tidak tahu agar tidak merusak rencana kejutan suamiku untukku.
Malam pun berganti, dengan rasa bahagia dan menunggu-nunggu kejutan yang akan diberikan suamiku. Aku pun menyiapkan makan malam spesial. Semua makanan yang aku masak adalah makanan kesukaan suami dan anakku.
"Wahh ... menu malam ini spesial sekali, Ma. Ada perayaan apa ini?" ujar Mas Dika. Ia datang ke meja makan bersama Ammar tepat masakan terakhirku siap di meja makan.
"Nggak ada perayaan sih, cuma karena Papa udah pulang, jadi kini ngumpul bareng aja. Biar tambah kompak dan harmonis aja," jawabku seadanya. Tak mungkin juga kan aku bilang karena membalas hadiah yang akan ia berikan padaku nanti.
Mas Dika tersenyum, ia dan Ammar makan dengan lahapnya. Aku melihat mereka dengan perasaan bahagia yang membuncah. Tentu saja aku senang jika anak dan suamiku makannya lahap. Itu artinya mereka menyukai masakanku yang mereka berdua bilang enak.
"Mas, kamu kan bawa hadiah untuk Ammar. Lalu hadiahku mana?" tanyaku di saat suamiku sudah selesai makan. Mas Dika meminum air putih yang ada di gelasnya dan meletakkannya kembali ke meja makan.
"Ada kok, nggak mungkinlah Mas Nggak bawa untuk kamu," Mas Dika tersenyum. Ia memerintahkan Bi Susi untuk mengambilnya di mobil. Mas Dika bilang dia lupa mengeluarkannya dari bagasi. Dahiku berkerut. Bukankah cincin itu kecil, kenapa di bagasi? Bukannya di kantongnya.
Tak sampai lima menit Bi Susi kembali di hadapan kami dengan tiga buah paperbag.bia menyerahkannya padaku. Aku menerima dan memeriksanya satu-persatu. Ketiga paperbag itu hanya berisi dua potong baju dan tas saja. Aku menatap ke arah Mas Dika heran.
"Hanya ini saja hadiahku Mas? Tak ada yang lain lagi?" tanyaku menyelidik. Menimbulkan kerutan di dahi suamiku itu. Ia tampak seperti orang bingung mendengar ucapanku.
"Itu hadiah yang Mas belikan untukmu, memangnya ada lagi yang kamu inginkan sayang? Perasaan saat Mas berangkat, kamu nggak nitip apa-apa sama Mas, deh?" sahutnya.
Degt.
Hatiku berdetak tak enak. Jika hanya ini hadiah yang ia siapkan untukku. Lalu cincin berlian yang mahal itu untuk siapa? Siapa yang Mas Dika belikan perhiasan semahal itu? Apakah Mas Dika sudah mulai bermain di belakangku?
Sungguh aku tak percaya dengan semua ini. Suamiku yang tampak romantis dan penyayang justru bermain di belakangku. Apa aku harus menyelidiki semua ini dulu, atau langsung bertanya to the point saja padanya?
Entah kenapa hatiku mulai tak karuan rasanya, ada sesak yang timbul dan merayap di dadaku. Membuat aku seakan susah bernafas. Hati ini pun mulai terasa sakit teriris perih. Atas kenyataan yang belum kutahu dengan pasti. Semoga saja ini hanya kesalahpahaman belaka. Iya ... ini hanya salah paham saja. Aku masih berharap dan berusaha meyakinkan diriku sendiri.
