3. Rumah peninggalan.
Selama dua hari Mas Dika belum pulang ke rumah, selama itu pula aku berusaha menepis setiap pikiran burukku tentang apa yang Laura sampaikan padaku. Selama dua hari ini, Mas Dika rajin menelpon aku dan juga Ammar. Walau hanya sekedar menanyakan kabar kami berdua.
Lalu ... apa yang membuatku harus gelisah. Bukti apa lagi yang aku butuhkan untuk meyakinkan diriku jika suamiku adalah pria yang setia. Seharusnya aku bersyukur, bukannya menuduh. Tapi bisa saja mereka iri padaku. Makanya mulai meracuni pikiranku dengan praduga yang tidak-tidak.
Hari ini adalah hari libur, biasannya aku dan Mas Dika serta Ammar pergi ke suatu tempat untuk liburan. Atau sekedar acara makan di luar agar lebih santai.
Berhubung hari ini hanya ada kita berdua saja. Maka aku dan Ammar memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mama. Mama Astrid adalah Mama sambungku. Ia dan Papaku menikah saat usiaku masih sangat remaja. Sekitar lima belas tahun. Bukan karena Papa selingkuh, tapi karena Malam kandungku sudah meninggal saat melahirkan adikku.
Saat diriku berumur 13 tahun, Mamaku, Arum Winarsih. dinyatakan hamil kembali. Dokter sempat melarang dan mengatakan kehamilan di usia yang cukup tua ditambah jarak kehamilan yang terlalu jauh, memiliki resiko yang cukup tinggi untuk ibu dan janin.
Namun mama yang sangat ingin memiliki anak kembali, tak mempedulikan perkataan dokter itu. Hingga di usia kandungan 8 bulan, mama mengalami pendarahan hebat dan komplikasi. Membuatnya meninggal dunia. Sedangkan adik yang lahir kurang bulan, menyusul setelah berjuang selama satu Minggu.
Saat itu merupakan pukulan yang paling berat bagi diriku dan papa. Seakan dunia kita runtuh dan hancur berkeping-keping. Tapi siapa yang dapat mengelak jalan takdir yang sudah ditetapkan oleh sang pemilik dunia ini?
Setelah 2 tahun kepergian Mama, saat itu aku menginjak usia 15 tahun. Papa pulang ke rumah membawa seorang wanita yang selama ini ia dekati selama beberapa bulan belakangan ini. Papa memperkenalkan padaku sebagai istrinya.
Astrid Tiara, Wanita itu adalah seorang janda yang memiliki anak satu. Anaknya Ayu berumur lima tahun lebih muda dariku. Aku yang tak memiliki adik, menyayangi Ayu yang manis sebagai adikku sendiri. Selama ini mereka pun selalu berusaha bersikap baik dan ramah padaku. Walau aku tak tahu seberapa tulus kebaikan tersebut.
Mobilku memasuki pintu gerbang yang terbuka lebar, Seolah memang sudah siap menyambut kedatanganku. Aku memerkirakan mobil dengan rapi di dalam garasi. Baru saja aku keluar dari pintu mobil.
Semerbak bau bunga melati yang merambat di pagar tembok garasi yang terdapat celah dari samping.
Mama Arum memiliki Rhinitis alergi. Atau yang lebih disebut dengan alergi serbuk bunga. Itu sebabnya di rumahku dulu tak ada satu pun bunga kecuali bunga yang berbahan sintetis. Sangat berbeda jauh dengan Mama Astrid.
Semenjak kehadiran Mama, rumah ini berubah menjadi taman bunga yang Indah. Mama Astrid begitu menyukai bunga. Semua jenis bunga yang mahal ada di rumah ini. Dari mawar import, anggrek Kalimantan bahkan bunga-bunga yang lagi viral saat itu.
"Assalamualaikum," ucapku memberikan salam. Namun tak ada sedikit pun sahutan. Aku dan Ammar langsung masuk kedalam rumah. Ammar berlari menuju taman belakang. Ia suka melihat aquarium belakang yang berisi aneka ragam ikan.
Sedangkan aku mulai melangkahkan kaki menuju lantai atas. Baru saja kakiku sampai di tangga yang paling ujung. Telingaku mendengar suara Mama yang berbicara pada seseorang.
"Adu lucunya cucu Oma. Sini sayang, Oma pengen gendong. Cepat besar Qilla sayang, biar bisa ikut sama Oma," ujar Ibu di telepon itu. Begitu asik hingga tak menyadari kedatanganku. Dahiku berkerut saat tak sengaja menangkap sebuah suara anak balita yang sedang berceloteh. Sungguh tampak bahagia sekali wajahnya.
"Ma ... Mama sedang berbicara dengan siapa?" tanyaku menyelidik. Mama yang terkejut langsung refleks memutuskan sambungan telponnya secara sepihak.
"Eh ... kamu Nak, kapan datangnya? Kok Mama nggak dengar?" tanya Mama.
"Baru saja kok, Ma. Intan sudah dari tadi manggil, tapi nggak ada yang nyaut. Bibi mana? Kok rumah pada sepi?" tanyaku heran.
"Bibi balik kampung, pembantu baru juga baru akan datang hari ini."
"Loh, emang Bibi nggak kerja lagi di sini?" tanyaku. Sayang sekali jika Bi Imah berhenti kerja. Apa lagi dia sudah bekerja di rumah ini sejak aku kecil. Aku menyayangi Bik Imah sudah seperti ibuku sendiri. Dulu saat aku menikah dengan Mas Dika. Aku ingin membawa Bi Imah bersamaku. Sekarang Bi Imah malah pulang kampung.
"Kenapa Mama biarin Bibi Imah pulang kampung tanpa pamit sama aku?" tanyaku dengan nada sedih.
" Sudahkan Intan! Bi Imah itu sudah tua, dia juga ingin berkumpul bersama anak dan cucunya. Biarkan lah dia pulang. Toh ... tenaganya juga sudah tak ada lagi. Semua pekerjaan yang ia kerjakan tak ada yang beres lagi. Tenaganya sudah tak semaksimal seperti dulu." jelas Mama. Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.
"Ayo kita duduk di bawah Nak! Ngapain kita berdiri di dekat balkon ini, ayo!" Aku dan Mama berjalan berdua menuju ruang tamu. Sedangkan Ammar sudah lebih dulu duduk santai sambil menonton televisi. Kartun kesukaannya.
"Suamimu kapan pulang, Tan?" tanya Mama padaku. Mama memilih duduk di sofa singgle sedangkan aku memilih duduk bersebelahan dengan putraku. Aku membuka toples yang ada di meja, meraih segenggam kacang telur yang menjadi cemilan favoritku dan juga Ayu.
"Kata Mas Dika padaku di telpon kemarin. Hari ini ia akan pulang, Ma. Penerbangan sore. Paling tengah malam ia sampai, kalau nggak ada kendala delay.
"Oh ... ya, Intan. Mama mau bicara sesuatu," ujar Mama tampak ragu-ragu. Aku yang sedang mengunyah kacang pun akhirnya menoleh.
"Ada apa, Ma? Kenapa wajah Mama tampak ragu gitu. Memangnya ada masalah berat apa?" desakku.
"Gini Intan, Ayu bilang sama Mama. Ia terkena masalah di sana. Mobil yang ia kendarai menabrak orang, jadi dia harus ganti rugi yang cukup besar. Belum lagi adikmu itu kini terancam kena PHK. Mama bingung dapat uang dari mana untuk mengirimi Ayu. Kamu tahu sendiri kan biaya hidup Mama semenjak Papamu meninggal, hanya ngandalin kebun sawit yang tinggal beberapa jerat itu saja. Mana sekarang buahnya juga sudah mulai sedikit," keluhnya membuat aku memutar bola mata jengah.
Gimana mau banyak buahnya, jika kebun itu hanya dipanen tanpa perawatan. Almarhum Papaku memang seorang pedagang hasil bumi. Ia juga memiliki puluhan hektar kebun sawit yang menghasilkan pundi-pundi masuk ke dalam rekening setiap bulan. Maka tak salah jika dulu Papa disebut juragan kebun sawit.
Namun, semenjak bertemu dengan Astrid. Bisnis yang Papa bangun dengan susah payah justru habis tak bersisa. Kebun sawit yang puluhan hektar habis terjual dan tersisa beberapa hektar saja. Namun satu hal yang tidak satu orang pun tahu, termasuk Mama.
Sebelum meninggal Papa menyembunyikan beberapa hektar kebun sawit dengan kualitas buah gred A atas namaku. Setiap bulan uang yang masuk ke dalam rekeningku mengalir deras tak henti, semua itu terjadi sudah sejak lima tahun kepergian Papa.
"Jadi Maksud Mama bagaimana?" tanyaku berbasa-basi. Aku mulai membuka tutup toples itu kembali. Mengambil segenggam kecil isi yang ada di dalam sana. Aku emang sangat menyukai cemilan satu ini. Jadi terkadang suka tak sadar saat makan. Istilahnya, belum berhenti kalau belum habis.
"Mama ingin menjual rumah ini," ujar Mama membuatku sedikit tersedak. Mama mengambilkan Aqua gelas yang ada di sampingnya. Aku langsung meminumnya hingga tandas, selain tercekik, tenggorokanku pun mulai kering.
"Menjual rumah ini?! Kenapa rumah ini. Kenapa tidak kebun Mama saja?" protesku.
"Kalau Mama jual kebun. Lalu untuk biaya hidup Mama bagaimana? Kamu kan tahu sendiri Mama nggak punya penghasilan selain kebun itu," dalihnya.
"Terus kalau Mama jual rumah ini. Mama mau tinggal di mana?!" tanyaku. Tak paham dengan pola pikirnya, atau jangan-jangan?
Rumah ini sudah berpindah atas namaku, sedangkan kebun yang ia miliki atas nama dirinya. Itu sebabnya ia ingin menjual tempat yang menjadi bagianku. Dasar licik.
"Mama akan ikut Ayu. Soal kebun kamu nggak usah khawatir, ada orang yang sudah dipasrahkan untuk mengurusnya. Mereka juga pekerja lama dan sangat bisa di percaya," dalihnya.
"Lagi pula Ayu sangat membutuhkan uang itu. Masa kamu tidak mau membantu adikmu sendiri. Lagi pula tak selamanya Mama tinggal di rumah besar ini seorang diri. Dari pada rumah ini rusak karena tak di huni. Bagaimana di jual saja, ya, Nak!" lanjutnya mulai merayuku.
Dia pikir aku akan mudah melepas apa yang sudah menjadi milikku.
"Tidak Ma. Sampai kapan pun Intan tidak akan menjual rumah ini. Begitu banyak kenangan yang tersimpan di sini. Jika Mama butuh uang, jual saja kebun Mama satu hektar, maka Mama masih memiliki income pasif setiap bulannya! Dari beberapa hektar lagi yang belum di jual. Sedangkan rumah ini satu-satunya kenangan aku dan kedua orang tuaku," dalihku. Tentu saja aku menolak keinginan Ibu tiriku ini.
Enak saja, bagian dia utuh. Bagianku yang mau dihabiskan sedikit demi sedikit. Lagi pula, rumah ini menyimpan banyak kenangan untukku, baik kenangan manis maupun kenangan pahit.
"Tapi Intan, rumah ini kalau tidak ditempati akan rusak. Lagi pula kamu juga tak mungkin menempatinya kan, sedangkan Mama berencana ikut Ayu. Mama bosan tinggal di sini sendiri. Kalau kebun yang dijual, pendapat bulanan Mama berkurang. Kamu tahu sendiri, selama ini yang di dapat dari kebun itu setiap bulannya saja tak cukup. Apa lagi kalau sampai dijual satu hektar lagi," ujarnya.
"Loh ... Ayu yang buat masalah, ya Mama dong yang tanggung jawab. Kok malah mengorbankan bagianku," sahutku. Raut wajah Mama Astrid mulai berubah tak suka.
"Walau bagaimanapun, Ayu itu adikmu Intan. Kamu wajib membantunya!"
"Sampai kapan Mama akan menekanku dengan kata-kata itu. Sejak dulu aku mengalah karena aku pikir Mama bisa adil terhadap aku dan Ayu. Tapi makin kesini, semakin nampak kalau Mama timpang tindih antara aku dan Ayu," jawabku tegas. Mama mulai salah tingkah.
Mungkin ia sadar aku bukanlah Intan yang dulu lagi, yang bisa ia tekan emosinya hanya dengan kata-kata seperti itu. Seolah semua kesalahan Ayu harus dilimpahkan padaku, karena aku seorang kakak. Lagi pula, Ayu cuma adik tiri saja pun.
"Bukan ... bukan begitu maksud Mama,"
"Tidak! Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Sampai kapan pun aku tak mengizinkan rumah ini dijual. Titik!" Aku beranjak dari dudukku. Pergi ke taman belakang menghentikan perdebatan ini . Menghirup udara segar mengumpulkannya begitu banyak ke dalam paru-paru agar terasa segar.
