Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Hujan Salju

Bab 6 Hujan Salju

Udara yang begitu dingin. Pemandangan yang serba putih. Jalan yang penuh dengan benda berair bernama salju. Itu semua membuat langkah seseorang menjadi terhambat. Apalagi jika berlari. Semua alat transportasi umum tidak dioperasikan untuk sementara waktu, karena di kabarkan akan turunnya hujan salju yang cukup lebat.

Tampak seorang lelaki yang sedang berusaha berlari ditengah hujan salju itu. ia mencoba melangkah secepat mungkin agar ia bisa berteduh dari hujan salju ini. Namun ia memiliki alasan yang lebih kuat dari itu. Ia ingin menemui seseorang. Ia merasa bersalah pada orang tersebut, ia tak ingin orang tersebut membencinya. “Keke...,” gumamnya sambil terus berusaha berlari.

Ia kedinginan, namun ia tak boleh berhenti. Jika ia berhenti, ia yakin bahwa hari esok tak akan datang padanya. Nafasnya mulai sesak karena ia bernafas di udara yang sangat dingin. Tenggorokannya pun mulai terasa sakit. Kakinya seperti diikatkan sebuah barbell yang membuatnya melangkah dengan lambat. “Don’t worry! Hanya sedikit lagi...,” gumamnya menyemangati diri.

Di lain sisi, tampak seorang gadis yang menyapu wajahnya dengan air wastafel berulang kali. Ia hanya berusaha untuk menghilangkan air yang bersumber dari matanya. “Ahh... ini adalah hal yang sia-sia...,” ujarnya sambil beranjak dari wastafel tersebut. Kemudian mengusap wajahnya dengan handuk yang ia gantungkan di samping kamar mandinya.

Setelah itu, ia pergi ke arah perapian, dibakarnya lebih banyak kayu agar ruangan menjadi hangat. “Wah... hujan saljunya cukup lebat ya...?” komentarnya sambil menutup jendela dekat beranda kamarnya. Gadis itu berusaha beraktifitas seperti biasa. Ia berencana untuk memasak makan malam. “Aa tapi ini masih pukul lima sore... ini terlalu cepat untuk makan malam...,” pikirnya lagi.

Selagi gadis itu berpikir, sebuah panggilan masuk di ponselnya. Ia pun beralih keponselnya. “Hmm... Steve?” ucap gadis itu heran. Ia pun mengangkat panggilan itu. Dan menanyakan apa yang membuat laki-laki itu menghubunginya. Belum sempat gadis itu bertanya, laki-laki itu langsung mengambil alih. “Apa kamu di rumah?” tanyanya. Gadis itu pun mengiyakan pertanyaan dari laki-laki itu. Kemudian ia bertanya lagi, “Apa kamu sendirian, Keke?” gadis bernama Keke ini pun bingung dengan maksud Laki-laki ini.

“Of course...why?” balas Keke seadanya. Laki-laki itu pun terkejut mendengar hal itu. “Hello Steve?” sapa Keke lagi. Karena disapa Keke lagi, ia pun menjawab “Oh really...? kalau begitu boleh aku datang kesana untuk berbagi kehangatan...?” ucapnya dengan santai.

Mendengar hal itu tentu membuat Keke malu, ia pun spontan menjawab “NO!” dan menutup saluran teleponnya. Steve tertawa sendiri karena diperlakukan seperti itu. Namun ia merasa ada yang aneh, “Apa Leo tidak jadi menemui Keke? Ini sudah pukul lima lewat padahal aku berpisah dengannya di kampus sekitar pukul empat... apa yang dia lakukan?” gumamnya.

Setelah mendapat telepon dari Steve, Keke jadi marah-marah sendiri. “Ap-apa yang dipikirkan orang aneh itu...?” geramnya. Tampaknya itu bukan marah pada umumnya, melainkan hanya rasa malu. Keke pun kembali ke dapur untuk menenangkan dirinya karena percakapan tadi, tapi Keke juga bersyukur, “Mungkin ia mencoba menghiburku...,” pikir Keke.

Namun Keke berpikir lagi, “Menghiburku dari apa ya?” ucap Keke sambil mengingat-ingat. Seketika ia teringat dengan adegan yang ada di kampus sore itu, Keke pun jadi terduduk lemas. “Ah... aku menyesal karena mengingatnya...,” ujarnya sambil menutup kedua matanya dengan tangan kanannya. Keke pun mencoba melupakan hal itu dan mulai berdiri.

“Kenapa aku harus terganggu dengan hal itu? Itu sama sekali bukan urusanku!” ucapnya meyakinkan diri. Keke pun mengikat sampah yang sudah dibungkus dengan kantong plastik dan membawanya ke depan pintu. “Hmm langsung di luar saja deh...,” gumamnya sambil meraih kunci pintu, dan kemudian membukanya.

Keke meletakkan sampahnya di samping kiri pintu kamar apartemennya, agar besok ia tidak lupa untuk membuangnya. “Oo iya aku lupa menyalakan lampu luar....” karena hujan salju itu cuacanya menjadi gelap lebih cepat.

Ketika lampu telah dinyalakan, sesuatu membuat Keke terkejut dengan sangat. Di samping pintu kamarnya sebelah kanan ada seseorang yang terduduk lemas menyandar di dinding luar kamarnya. “Eh...! Sejak kapan ada orang disini?” gumam Keke pada dirinya. Keke mencoba memanggil orang itu namun tak ada jawaban darinya.

Keke pun merubah posisinya yang tadinya berdiri di belakang orang itu menjadi bersimpuh di hadapan orang itu. Di luar dugaannya, ternyata orang itu adalah Leo. Keke terkejut sekaligus bingung kenapa Leo tidur di depan kamar apartemennya. Namun, ada yang aneh dari Leo, pikir Keke.

Keke pun menyentuh pipi Leo. “Ahh! Apa ini batu es? Kenapa dingin sekali...?” Keke terkejut dengan kondisi Leo yang demikian. “Bibirnya juga membiru... apa jangan-jangan Leo kena radang dingin...? Aahh ini gawat!!” ujar Keke panik dengan kesimpulannya sendiri. Saat itu Keke langsung mengambil keputusan untuk membawa Leo masuk ke ruangannya.

Keke coba menarik Leo dengan memeluk Leo dari belakang dan perlahan menarik Leo masuk. “Dia dingin sekali...,” gumam Keke saat tangannya menyentuh pinggang Leo. Keke langsung membawa Leo ke tempat tidurnya, yaa walaupun ia cukup kesulitan. Setelah itu, Keke langsung melepas sepatu dan kaus kaki Leo. Keke juga melepas sarung tangan dan jaket tebal yang Leo gunakan, karena itu semua basah. Kemudian Keke menyentuh baju kaos berwarna coklat yang digunakan Leo, “Ini juga basah... aku harus menggantinya.”

Keke pun beranjak menuju lemari pakaiannya. Ia buka koper yang terletak di dalam lemari bagian bawah. “Bapak... Keke pinjam kemejanya yaa...,” gumam Keke sambil memeluk kemeja tersebut. Keke membawa baju orang tuanya saat ia pindah ke London, walaupun ia hanya membawa masing-masingnya satu pasang. Keke membawa baju yang sering orang tuanya gunakan, dengan begitu Keke merasa orang tuanya berada dekat dengannya, dimanapun ia berada.

Keke pun membawa kemeja tersebut ke hadapan Leo. Sebelum ia memasangkan kemeja tersebut kepada Leo, Keke berpikir sejenak. “Apa tidak masalah jika aku melepas pa-pakaiannya?” Keke ragu untuk melakukannya. Setelah menimbang-nimbang selama lima menit akhirnya Keke tetap melakukannya. “A-aku tidak akan melakukan apapun, hanya mengganti pakaiannya saja... ya hanya itu...,” ucap Keke sebelum melakukan tugas itu.

Setelah mental Keke siap, ia pun bergerak. Pertama-tama Keke menarik kaos Leo ke arah kepala, sambil mengalih-alihkan pandangan ke arah lain. Kemudian mengangkat bahu Leo sebelah kiri dan perlahan mengeluarkan lengannya dari kaos. Kemudian Keke lakukan juga pada lengan yang sebelah kanan, namun Keke sempat berhenti sejenak karena ia melihat bekas merah di bahunya Leo. “Bekas luka apa ini...? Wohh besarnya hampir sama dengan telapak tanganku...,” ujar Keke yang kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Setelah selesai melepas baju kaos Leo, Keke pun memasangkan kemeja ayahnya pada Leo. “Okey...,” ucap Keke ketika telah selesai. Kemudian menarik selimutnya untuk dipakaikan pada Leo. Keke menyelimuti Leo hingga menutupi lehernya.

Belum selesai sampai disana, Keke pun mengambil baskom dengan air hangat di dalamnya. Ia ambil sebuah handuk kecil lalu mencelupkan handuk itu kedalam air hangat tadi kemudian memerasnya. Setelah itu, ia sapukan handuk itu pada wajah Leo untuk membersihkan wajahnya. Itu pun Keke lakukan pada kedua lengan Leo.

Selesai dengan hal itu, Keke pun berniat untuk beranjak, namun kakinya tidak mau bergerak karena ia sedang memandangi wajah Leo. “Leo... ternyata memang memiliki paras yang tampan, apalagi jika poninya diangkat... mungkin gadis itu adalah pacarnya...,” gumam Keke ketika mengingat kejadian itu.

Tak ingin memikirkan hal itu, Keke pun pergi meninggalkan Leo yang berada di kamar tidurnya. Keke pun mulai memasak makanan untuknya dan Leo. Selama satu jam penuh, Keke pun berada di dapur untuk memasak. Awalnya ia bingung akan membuat apa karena sekarang mereka berdua, jadi Keke tak tahu bagaimana selera Leo. Namun tak lama kemudian ia mendapatkan ide, dan akhirnya memutuskan untuk memasak sup ayam untuk makanan utamanya ditambah dengan Hotteok makanan manis dari korea sebagai dessertnya. Keke juga membuat susu jahe untuk mereka berdua.

Semua makanan telah disusun rapi di atas meja makan. Keke pun membereskan dapur setelahnya. Kemudian Keke pergi melihat Leo di kamarnya. Leo masih belum bangun. Keke mencoba menyentuh pipi Leo, “Suhu tubuhnya mulai normal, tidak seperti tadi... apa Leo baik-baik saja...?” tanya Keke pada dirinya. “Apa seharusnya aku bawa saja ke rumah sakit ya?” gumam Keke lagi. Karena khawatir Leo tak sadar juga, Keke pun mencoba memesan taksi online, untuk membawa Leo ke rumah sakit. Namun, hal itu tidak berhasil. Karena hujan saljunya belum berhenti jadi semua pesanan taksi di tolak.

“Apa yang harus aku lakukan... aku tak mungkin bisa menggendongnya ke rumah sakit ditengah salju seperti ini, karena itu hanya akan memperburuk keadaan.” Keke semakin bingung. Keke berharap Leo baik-baik saja. Keke menambah kayu bakar pada perapian agar suhu di ruangan tidak menjadi dingin.

Karena ingin berada di samping Leo akhirnya Keke memindahkan sebagian makanan yang dimasaknya ke dalam kamar. Keke pun memakan masakannya sambil memperhatikan Leo. “Ahh supnya sudah mulai dingin...,” ucap Keke setelah selesai makan. Ia melirik Leo lagi. Keke mencoba memanggil namanya. “Leo... Leo... bangun...,” ucap Keke sambil menggoyang-goyangkan bahu Leo. Namun tak ada balasan. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Keke mulai mengantuk, ia pun tertidur.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel