Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

Happy Reading!!!

***

Terhitung seminggu belakangan ini Sherlyta selalu sibuk dengan pekerjaannya, menyelesaikan secepat mungkin gaun pernikahan yang akan dikenakan Cesil kurang dari dua bulan lagi.

Gita selalu memaksa sahabatnya itu untuk tidak terus-terusan lembur, namun bukan Sherlyta jika menurut begitu saja, membuat usahanya selalu berakhir dengan Gita yang kalah dan terpaksa membiarkan perempuan bermata minimalis itu berkutat dengan pekerjaannya.

Cesil pun juga jadi merasa tak enak hati karena telah membuat sahabatnya repot hingga lembur untuk menyelesaikan gaun pernikahannya, dan rasa bersalah tentu saja menggerogotinya.

Sherlyta yang mendengar nada bersalah sahabatnya hanya tersenyum lembut seraya memberi tahu Cesil bahwa dirinya tidak merasa direpotkan dan ia senang bisa melakukan itu untuk sahabatnya. Tapi tentu saja itu tidak sepenuhnya benar. Sherlyta memang senang melakukan itu untuk sahabatnya, tapi sesak ketika teringat siapa yang menjadi mempelainya.

Samuel yang diberi tahu oleh calon istrinya tentang bagaimana sibuknya Sherlyta hingga kadang melupakan makan, membuat laki-laki itu meminta sang Ibu untuk memasakkan makanan kesukaan Sherlyta agar mau makan. Dan idenya berhasil, hampir setiap hari Samuel menitipkan makanan hasil olahan sang ibu pada Cesil untuk diberikan pada Sherlyta dan itu selalu dimakan habis. Cesil tidak cemburu, karena ia juga memang merasa tak enak hati dan juga dirinya tahu bahwa Sherlyta sudah seperti anak bagi calon mertuanya.

Saking sibuknya, Sherlyta sampai lupa meminum obat yang diberikan Alvian beberapa waktu lalu. Padahal laki-laki dewasa anak satu itu tidak pernah absen mengiriminya pesan hanya untuk mengingatkan Sherlyta meminum obat tersebut tepat waktu. Tapi karena kesibukan yang tidak ingin di tunda-tunda Sherlyta malah jadi melewatkan hal penting demi kelangsungan hidupnya

Sherlyta menghela napasnya lelah, melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul lima sore. Perempuan itu meregangkan tangan dan juga tubuhnya lalu memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya, mengambil tas tangan kesayangannya dari atas meja, lalu kakinya melangkah keluar dari ruang kerja menghampiri Gita dan juga Cesil yang sibuk menghitung pendapatan hari ini. Butik sudah tutup dan karyawannya pun sudah pulang, hanya tinggal merekalah yang berada di sana.

"Sil, Git gue pulang duluan ya," ucapnya pada kedua sahabatnya itu.

"Ya udah lo pulang aja istirahat, nanti gue nyusul," ucap Gita. Sherlyta mengangguk dan melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir di depan sana.

Gita memang sudah pindah ke rumah Sherlyta beberapa minggu yang lalu atas tawaran Sherlyta saat itu. Membuat Gita senang, tentu saja. Siapa coba yang tidak akan senang tinggal di rumah besar dengan fasilitas lengkap tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun? Tentu saja tidak akan ada yang menolak, termasuk Gita. Tapi meskipun begitu Gita tahu diri untuk tidak memanfaatkan kebaikan sahabatnya, ia kadang suka berbelanja untuk kebutuhan mereka berdua, juga membereskan rumah itu agar selalu terlihat bersih. Sherlyta pun bahagia karena selain pekerjaannya di rumah menjadi ringan ia juga jadi punya teman untuk mengobrol saat makan malam dan sebelum mereka tertidur.

Cesil pun menjadi sering datang bahkan menginap di rumah Sherlyta, dan tentu saja tanpa Samuel. Mereka menghabiskan waktu bertiga dengan banyak obrolan yang selalu menemani. Sherlyta bahagia karena setidaknya ia masih diberi kesempatan untuk bisa bercengkrama bersama sahabat-sahabatnya dan melupakan sejenak tentang penyakit yang dideritanya.

Kini Sherlyta berdiri di tempat yang sudah hampir satu bulan ini tidak pernah dirinya kunjungi, Danau buatan dengan air tenang dan pemandangan indah. Sherlyta menghirup dalam-dalam udara sejuk di sore hari ini kemudian menghembuskannya kembali, begitu seterusnya hingga lelah dan juga beban pikirannya berkurang.

Tidak ada yang Sherlyta lakukan selain duduk beralaskan rumput, memandang lurus ke depan sana, menunggu matahari terbenam dan digantikan dengan malam.

Satu per satu kenangan dulu muncul, memaksanya untuk mengingat. Sesekali Sherlyta mengukir senyum saat bayangan dirinya dan Samuel dulu melintas dalam ingatan.

Suara tawa seorang remaja laki-laki yang berhasil menjahili seorang remaja perempuan hingga membuat gadis itu mendengus kesal dan berlari mengejar. Kenangan itu satu per satu muncul. Tidak terlewat juga kenangan sepuluh tahun lalu sebelum kepergian Samuel ikut melintas dalam ingatannya.

Janji yang pernah terlontar dari bibir merah dan tipis milik Samuel jelas masih lekat dalam ingatan Sherlyta, serta pengakuan Samuel tentang perasaannya pun masih membuat dadanya berdesir hangat. Tidak sedikitpun Sherlyta melupakan itu semua. Namun kenyataan tidak pernah bisa ia tolak, sekalipun ia tidak menginginkannya.

"Lo masih suka ke sini?"

Sherlyta terkaget saat mendengar suara yang berasal dari samping kirinya, membuatnya langsung menoleh ke arah suara untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah mengenali.

Meskipun Sherlyta begitu mengenali suara itu, tetap saja irisnya ingin memastikan bahwa itu benar-benar laki-laki yang tengah ia kenang, bukan sekedar halusinasi.

"Sejak kapan lo disini?" tanya Sherlyta mengernyitkan dahinya.

"Gue baru sampai," jawabnya tersenyum manis.

Sherlyta mengangguk dan kembali menatap ke arah depan, tidak ingin terlalu mempermasalahkan keberadaa pria itu.

Samuel ikut duduk di rerumputan pendek di samping Sherlyta dan menatap ke depan, dimana air damai nan jernih menjadi objek tatapan Sherlyta.

"Lo lagi ngapain disini? Gue perhatiin dari tadi ngelamun terus."

"Nunggu matahari terbenam," jawab Sherlyta singkat.

Samuel mengangguk-anggukan kepalanya paham, sejak dulu sahabatnya itu selalu melakukannya. Dan Samuel tidak menyangka bahwa hingga sekarang itu masih Sherlyta lakukan.

"Lo masih sering datang ke sini?" tanya Samuel kembali membuka pembicaraan setelah beberapa menit tenggelam dalam kesunyian.

"Tiap hari gue datang ke tempat ini, semenjak kepergian lo." Sherlyta bicara pelan tanpa menatap sang lawan bicara.

Samuel yang belum sadar ke arah mana pembicaraannya menguyel pipi Sherlyta gemas seperti biasa.

"Segitu kangennya lo ditinggal gue," Samuel terkekeh geli, namun Sherlyta tidak merespons, perempuan itu masih menatap ke depan meskipun kini tangan kanan Samuel mengusak rambutnya. Biasanya perempuan itu akan protes namun kini ia membiarkannya.

"Tempat ini masih sama seperti dulu ternyata, gak banyak berubah." Samuel menatap sekeliling.

"Begitupun dengan perasaan gue. Masih sama dan gak pernah berubah." Samuel menegang mendengar ucapan perempuan disampingnya, meskipun di ucapkan dengan pelan, tapi ia masih dapat mendengar jelas.

"Maksud Lo?" tanya Samuel belum paham.

"Haha, lupain aja." Sherlyta tertawa hambar. Namun tanpa seorang pun tahu hatinya sakit, amat sakit bahkan.

"Jangan bilang, kalau ..."

Sherlyta mengangguk pelan sebelum Samuel menyelesaikan ucapannya. "Ya, perasaan gue masih sama. Dan setiap hari, selama sepuluh tahun itu gue selalu ke sini cuma untuk nunggu lo kembali," Sherlyta tersenyum tipis dan menatap Samuel sekilas.

"Dan sekarang akhirnya lo kembali," seulas senyum manis kembali terbit di bibir Sherlyta. "Meski nyatanya bukan untuk gue," sekejap itu juga senyum yang semula mengembang, surut, di gantikan dengan kegetiran. "Setiap hari gue disini, menanti tanpa tahu rasa lelah, tanpa tahu rasa bosan. Gue selalu ngebayangin lo kembali seperti janji yang pernah lo ucapin sepuluh tahun lalu. Gue dan lo menjadi kita dan membuat semua manusia di bumi ini iri dengan cinta kita. Haha. Gue masih ingat aja ucapan lo waktu itu." Sherlyta tertawa miris mengucapkan itu, tidak lupa dengan air mata yang nyatanya ikut menetes tanpa bisa Sherlyta cegah.

Samuel tidak mampu berkata-kata dan menatap perempuan di sampingnya itu dengan bersalah juga marah.

"Kenapa, kenapa lo bodoh banget?!" kesal Samuel seraya berdiri dari duduknya.

Sherlyta mendongak, menatap laki-laki tinggi itu dan kemudian ikut berdiri. Kini posisi keduanya menjadi berhadapan. Sherlyta menatap laki-laki berkumis tipis itu dengan mata yang sudah sembab.

"Ya, gue emang bodoh! Bodoh banget sampai ngelakuin sesuatu yang gak berguna kayak gini. Gue bodoh karena nunggu laki-laki macam lo bertahun-tahun. Gue bodoh karena menyia-nyiakan waktu gue selama sepuluh tahun ini demi laki-laki yang nyatanya tidak bisa menepati janji. Dan bodohnya lagi gue gak pernah bisa membuang perasaan sialan ini!"

Emosi dan juga unek-uneknya ia keluarkan saat itu juga di hadapan laki-laki yang menjadi raja dihatinya selama ini.

Ait mata Sherlyta sudah tidak terbendung lagi dan mengalir deras melewati pipinya. Tatapan mata itu terlihat jelas terluka dan juga kecewa membuat Samuel semakin merasa bersalah.

Samuel membawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya meskipun perempuan yang kini tengah menangis terisak itu berontak dan memukul-mukul dada bidangnya. Samuel bukannya melepaskan dan malah semakin erat memeluk perempuan ramping yang tingginya tidak terlalu jauh namun pas dalam pelukannya.

"Maaf Lyt, maafin gue," bisiknya pelan. "Maafin Gue, Lyt. Gue gak tahu kalau lo masih nunggu gue. Maafin gue," tambahnya penuh rasa sesal.

Sherlyta tergugu dalam pelukan Samuel, pukulan-pukulan yang perempuan itu layangkan sudah berhenti dan berubah menjadi cengkeraman kuat di kemeja putih yang dikenakan oleh Samuel.

"Kenapa lo sejahat ini sama gue, Sam? Gue nunggu lo selama ini, dan dengan teganya lo bahagia di sana tanpa memikirkan perasaan gue? Lo sendiri yang minta gue untuk nunggu, tapi kenapa lo malah ...." Sherlyta tak sanggup meneruskan ucapannya.

Hampir setengah jam Sherlyta menangis dalam pelukan Samuel, dan kini ia melepaskan pelukan laki-laki tampan itu. Dengan kasar Sherlyta menghapus ait mata di wajahnya, menatap berani pada laki-laki di depannya yang tengah menatapnya dengan bersalah. Mata laki-laki itu sedikit basah dan merah, Sherlyta tahu Samuel menangis, tapi ia tidak ingin perduli. Bukankah memang harusnya seperti itu?

Sherlyta tersenyum tipis pada laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. "Tapi lo gak usah khawatir, Sam, karena mulai detik ini gue gak akan lagi jadi perempuan bodoh seperti yang selama ini gue lakuin. Gue juga gak akan minta lo nepatin janji sepuluh tahun lalu. Gue tahu lo udah bahagia sama Cesil dan gue gak mau merusak itu semua. Lo gak perlu terus menerus merasa bersalah karena gue udah ikhlasin lo." Setelah mengucapkan itu Sherlyta meraih tas tangan yang awalnya tergeletak di atas rumput, lalu melangkah meninggalkan Samuel di sana seorang diri.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel