Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Happy Reading, yes!!! ?

***

Sherlyta menatap anak-anak didiknya yang baru saja selesai belajar dan berlarian keluar kelas menuju orang tua dan jemputan masing-masing. Banyak juga murid yang rata-rata berusia lima tahun itu yang memilih untuk bermain ayunan, perosotan dan permainan lainnya yang disediakan sekolah sambil menunggu jemputan.

Sherlyta duduk di kursi panjang di depan kelas yang langsung mengarah pada taman bermain sebagai fasilitas sekolah untuk anak-anak.

Senyum perempuan cantik itu tidak pernah pudar dari bibir tipisnya ketika memperhatikan tingkah bocah-bocah itu yang mengingatkan pada masa kecilnya dulu, dimana saat itu ia masih memiliki segalanya, orang tua, kebahagiaan dan juga Samuel.

Pada masa itu ia tidak memikirkan tentang perasaan dan segala macamnya seperti saat ini. Tertawa lepas, berlari dan menangis karena kejahilan Samuel. Sherlyta merindukan masa-masa itu, ia ingin kembali menjadi gadis kecil yang tidak perlu memikirkan dan menanggung segala hal seorang diri.

“Bunda kenapa melamun?” tanya bocah berusia lima tahun yang kini duduk di samping Sherlyta.

“Eh, Bintang ternyata, Bunda gak apa-apa, kok, sayang.” Sherlyta tersenyum lembut pada bocah laki-laki itu. "Bintang lagi nunggu jemputan ya?” anggukan kecil menjadi jawaban bocah itu. “Kenapa gak ikut main sama teman-teman yang lain?” tanya Sherlyta lagi

“Bintang mau duduk disini aja, nemenin Bunda.” Bocah bernama Bintang itu tersenyum menatap Sherlyta. Membuat Sherlyta menarik kedua sudut bibirnya dan memberikan usakan gemas pada rambut lebat Bintang.

“Bintang siapa yang jemput?”

“Sama Papa," jawabnya singkat.

“Kenapa gak di jemput sama Mama?”

“Kata Papa, Mama-nya Bintang udah di surga,” jawabnya dengan raut sedih yang tergambar jelas di mata bulatnya, membuat Sherlyta langsung membawa bocah itu ke dalam pelukannya.

Anak sekecil ini sudah tidak memiliki sosok seorang Ibu. Sherlyta masih beruntung karena ketika berada di usia Bintang dirinya masih memiliki orang tua yang lengkap dan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya.

“Udah sepi, lebih baik Bintang pulangnya diantar sama Bunda, yuk?” ajak Sherlyta, setelah menatap sekeliling yang mulai berangsur sepi.

Bocah itu tidak lantas menjawab, menatap ke depan sana untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk menyetujui, karena tidak juga mendapat tanda-tanda akan kedatangan jemputannya.

Sherlyta bangkit lebih dulu dari duduknya, lalu mengulurkan tangan membantu Bintang turun dari kursi yang didudukinya lalu menuntun bocah  lima tahun yang tingginya hanya sebatas pahanya itu berjalan menuju dimana mobilnya terparkir.

Setelah memasangkan sabuk pengaman pada Bintang dan juga dirinya barulah Sherlyta melajukan mobil menjauh dari area sekolah., Menembus jalanan yang tidak terlalu ramai mengingat ini belum tiba jam makan siang orang-orang kantoran.

“Bintang hafal jalan ke rumahnya 'kan?” tanya Sherlyta saat sudah lumayan jauh meninggalkan sekolah.

“Anterin Bintang ke Rumah Sakit Harapan aja, Bun,” ucapnya seraya melirik sang guru. Dan jawaban yang diberikan bocah itu membuat Sherlyta mengernyitkan kening, melirik bocah di sampingnya.

kenapa ke rumah sakit? Bintang sakit, atau ada yang mau di jenguk?”

“Bintang baik-baik aja, Bunda. Papa Bintang 'kan Dokter jadi kerjanya di Rumah Sakit."

Sherlyta akhirnya menghela napas lega, lalu kemudian mengangguk dan menjalankan mobilnya ke tempat yang disebutkan oleh anak laki-laki berpipi gembil itu.

Sekitar empat puluh lima menit menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di parkiran sebuah Rumah Sakit swasta yang cukup besar. Sherlyta turun terlebih dulu setelah memarkirkan mobilnya, lalu membantu Bintang melepaskan sabuk pengaman yang di kenakannya.

Sherlyta berjalan sambil menuntun lengan mungil milik Bintang memasuki Rumah Sakit tempat dimana papa-nya Bintang bekerja, juga Rumah Sakit dimana beberapa waktu lalu Sherlita dirawat. Beberapa suster maupun Dokter menyapa Bintang dengan ramah yang selalu di balas tersenyum oleh bocah lima tahun itu.

“Bintang sering main ke sini, ya, Dokter sama Susternya sampai hapal gitu.”

“Iya, Nenek sering sakit-sakitan belakangan ini jadi Bintang selalu di ajak Papa ke sini karena gak ada yang jagain," jawabnya dengan lugu.

Sherlyta menatap iba murid kesayangannya itu. Namun Bintang malah justru memberikan senyum polosnya. Anak itu benar-benar terlihat tegar. Masih sanggup ceria meski tidak ada sosok perempuan yang memanjakannya.

“Papa!” teriak Bintang melepaskan genggaman tangan Sherlyta dan berlari menuju laki-laki yang dipanggilnya papa, membuat Sherlyta tersadar dan ikut melangkah mengikuti anak didiknya mendekat ke arah dua pria berbeda usia dengan setelan dokter yang terlihat sedang mengobrol.

“Anak Papa pulang sama siapa, hem?” tanya laki-laki kisaran usia tiga puluh lima tahun itu dengan lembut.

“Bintang pulang di antar sama Bunda Lyta. Tadi nunggu Papa jemput tapi gak datang-datang,” ucapnya sedikit merajuk.

“Maafin Papa, sayang. Tadi Papa ada operasi, ini aja baru selesai. Maaf,” sesal pria dewasa itu seraya merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan bocah lima tahun itu.

Anggukan diberikan bocah itu dengan senyum terukir seolah memahami kesibukan sang papa. Jujur, Sherlyta terkesan dengan kedewasaan bocah itu. Bintang benar-benar berbeda dengan anak-anak lainnya. Bocah itu tidak manja, padahal diusianya yang sekarang hal itu amat wajar.

“Bunda Lyta-nya sekarang dimana?” tanya pria itu seraya meraih Bintang ke dalam gendongannya.

“Itu di belakang Papa.” Tunjuk Bintang, membuat ayah dari anak itu memutar tubuh ke arah yang di tunjuk oleh anaknya.

“Loh, Sherlyta? Kamu gurunya Bintang?” raut terkejut nampak jelas di wajah pria dewasa itu.

“Iya Dok," angguk Sherlyta singkat, dengan seulas senyum ramah. "Saya baru tahu kalau Dokter Alvian ternyata orang tua Bintang,” tambahnya sedikit tidak menyangka. Alvian mengangguk seraya terkekeh kecil.

"Terima kasih sudah mengantarkan Bintang ke sini. Tadi saya tiba-tiba ada Operasi jadi belum sempat jemput. Neneknya lagi sakit jadi gak bisa jemput juga,” jelas singkat Alvian tak enak hati.

“Tidak apa-apa, Dok,” jawab Sherlyta ramah.

“Bagaimana keadaan kamu sekarang, apa rasa sakitnya sering muncul?”

***

“Ke mana aja lo jam segini baru datang?” tanya Cesil dengan nada sedikit kesal saat Sherlyta baru saja datang ke butik pada jam dua siang ini.

“Suka-suka gue dong,” cueknya tidak peduli.

Cesil mendelik sinis. “Mau gue pecat lo datang seenaknya gini?”

“Pecat aja kalau lo berani.” Sherlyta mengedikkan bahunya acuh.

“Cuma mecat lo doang mah gampang,”

“Ya udah kalo gampang pecat aja sekarang. Gue gak rugi, yang ada gue happy karena gak harus menyelesaikan Gaun nikah lo,” ucap Sherlyta santai. Berbeda dengan cesil yang langsung terbelalak tak terima.

“Jangan gitu dong, Sher, lo mah baperan deh. Gue kan cuma becanda doang,” ucapnya memelas.

“Bodo amat!”

“Ih Sherly jangan marah dong. Ya, ya, ya,” mohonnya sambil menunjukan wajah memelas yang tidak dipedulikan oleh sahabat sipitnya itu.

“Minggir, gue mau kerja!” Sherlyta sedikit mendorong Cesil yang menghalangi jalannya.

“Sher, ih jahat banget sih!” rengeknya seraya menghentak kesal. "Sherlyta!" teriaknya kemudian, namun tetap tidak dipedulikan oleh perempuan itu.

Dua karyawan lain yang melihat percekcokan kedua boss-nya itu hanya terkekeh geli. Sedangkan Gita menatap kepergian Sherlyta dengan raut heran juga khawatir karena sedari kedatangan perempuan itu, Gita merasa bahwa Sherlyta tidak bugar biasanya. Sahabat sekaligus bosnya itu terlihat letih dan pucat.

Sherlyta menghempaskan tubuhnya pada sofa yang berada di ruang kerjanya, menatap menekin yang berdiri angkuh dengan balutan gaun juga jas berwarna putih susu hasil rancangannya. Dadanya terasa sesak mengingat gaun itu nantinya dikenakan Cesil yang akan bersanding dengan laki-laki yang sejak lama ia cintai.

Perempuan cantik yang kini mengenakan dress selutut model Sabrina berwarna biru muda itu mengeluarkan kertas putih dari dalam tas tangan berwarna senada dengan dres. Kertas itu adalah hasil pemeriksaan kesehatannya bersama dokter Alvin. Tertulis jelas di sana bahwa penyakit yang dideritanya semakin berkembang.

Beberapa jam lalu Dokter Alvian meminta Sherlyta untuk segera melakukan pengobatan secara intensif pada penyakitnya dan tidak terlalu mengandalkan obat-obatan yang hanya dapat mengurangi rasa sakitnya saja. Namun Sherlyta belum juga menyetujui, dan malah meminta obat lagi pada Dokter muda itu. Alvian akhirnya mengalah dan memberikan Sherlyta obat setidaknya untuk memperlambat perkembangan penyakit itu sendiri juga untuk mengurangi rasa sakit yang mungkin akan tiba-tiba menyerang.

Sherlyta memasukan kembali surat itu ke dalam tas dan segera fokus pada gaun di hadapannya yang baru selesai lima puluh persen. Ia ingin segera menyelesaikannya agar bisa melakukan pengobatan yang di sarankan oleh Alvian tanpa meninggalkan pekerjaan, karena Sherlyta tidak yakin pengobatan yang akan dijalaninya akan berhasil atau tidak. Bukan berharap tidak berhasil, hanya saja Sherlyta menyiapkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

“Sher, udah sore, butik juga udah tutup. Pulang yuk,” ajakan Gita tidak juga menghentikan Sherlyta dari pekerjaannya.

“Lo pulang duluan aja Git, gue masih mau ngerjain ini,” jawabnya tanpa melihat si lawan bicara.

Gita melangkah dan duduk di sofa yang berada di ruangan itu, mengamati Sherlyta yang sibuk dengan gaun putih yang terlihat indah meski belum selesai.

“Udah dulu aja lah Sher, besok lagi di terusinnya. Sekarang lo istirahat. Masih lama juga tuh gaun di pake.” Gita tidak menyerah membujuk sahabatnya itu.

“Gue pengen cepat-cepat selesai, Git, soalnya gue mau cuti,” jawabnya masih tetap fokus pada kain, benang dan segala perintilan kebutuhan untuk gaun yang nanti akan dikenakan sahabatnya

“Dih sok-soan mau cuti segala," cibir Gita. "Emangnya lo mau ke mana?” tambahnya penasaran.

“Suka-suka gue dong!" songong Sherlyta dengan kibasan rambut yang membuat Gita mencebikan bibir. "Duit gue udah banyak Git, di tambah ini hasil penjualan gaun Cesil, makin banyak duit gue. Sekali-kali gue cuti gak apa-apalah.”

“Najis makin songong!” Gita mendelik kesal. Sedangkan Sherlyta hanya terkekeh.

“Si jutek mana?” tanya Sherlyta sekedar basa-basi meskipun sebenarnya ia tahu bahwa perempuan berwajah judes itu sudah pulang sejak tadi.

“Pulang tadi, di jemput lakinya. Katanya mau cari W.O.”

Sherlyta mengangguk paham, lalu kembali fokus pada gaun yang sejak tadi sedang dikerjakannya.

“Gimana perasaan lo sekarang, Sher?”

Sherlyta kembali menghentikan perkerjaannya dan menatap Gita dengan kosong.

“Gak gimana-gimana, masih sama kayak dulu hanya saja sekarang gue lagi belajar menerima kenyataan juga belajar mengikhlaskan."

“Lo udah coba bicara sama dia?”

Sherlyta yang mengerti siapa yang sahabatnya itu maksud hanya menggelangkan kepala.

“Buat apa? Gue gak mau merusak kebahagian dia, Git. Cesil sahabat gue, seseorang yang berarti dalam hidup gue. Dan gue gak mau egois karena terlalu mementingkan perasaan gue. Lo bisa lihat sendiri binar cinta di mata Cesil saat membicarakan Samuel. Begitupun dengan binar di mata Samuel. Mereka saling mencintai dan bahagia. Gue gak mau merusaknya,” ucap Sherlyta panjang lebar. Berusaha terlihat tegar meskipun sebenarnya ia berdarah-darah.

Gita menggeleng tidak setuju dengan penuturan sahabatnya itu, karena menurutnya bagaimanapun Samuel harus tahu perasaan Sherlyta. Pria itu yang sejak awal sudah berjanji, jadi bukan salah Sherlyta jika kini menagihnya.

“Lo ngebiarin mereka bahagia sedangkan diri lo terluka?" gelengan kepala Gita berikan. "Ayolah Sher jangan sakiti diri lo sendiri. Bagaimanapun ceritanya, lo berhak bahagia, Sher!" kesal Gita, yang sama sekali tidak di tanggapi Sherlyta. Perempuan itu memilih melanjutkan pekerjaannya, dan mengabaikan Gita yang terus membujuk agar dirinya tidak terus diam.

Sherlyta sadar, ada hak untuknya pertanyakan kejelasan janji dulu pada Samuel yang statusnya kini adalah calon suami Cesil, sahabatnya. Tapi apa setelah itu keadaan akan berubah? Tentu. Namun Sherlyta tahu bahwa bukan hal baik yang akan terjadi selanjutkan. Entah itu antara dirinya dengan Samuel, atau Cesil. Bisa juga dengan keduanya. Dan jujur Sherlyta tidak siap akan hal itu, sebab ia menyayangi dua-duanya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel