Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10

Happy Reading guys!!!

***

Samuel mengacak rambutnya frustasi setelah kepergian Sherlyta beberapa detik lalu. Tidak lupa Samuel juga memukul batang pohon yang berada tidak jauh dibelakangnya berkali-kali, demi melampiaskan kekesalannya yang kini menyelimuti hati dan pikirannya. Kemudian mencari ukiran nama yang dulu pernah ia buat sebelum pindah. Ukiran namanya dengan nama Sherlyta yang kini tertutup lumut, namun masih jelas terlihat keindahannya. Jujur Samuel menyesal telah melupakan janjinya dan membuat perempuan itu kecewa seperti sekarang ini.

Samuel memang masih sering merindukan dan mengingat teman masa kecilnya semenjak dirinya pindah ke Belanda bersama kedua orang tuanya. Tapi setelah bertemu dengan Cesil dan menjalin hubungan dua tahun kemudiannya Samuel mulai melupakan sosok gadis yang dulu pernah menjadi ratu di hatinya. Hingga akhirnya Samuel memilih untuk bertunangan tiga tahun yang lalu. Dan jujur saat itu Samuel benar-benar lupa akan janjinya semasa remaja.

Meskipun ia dan Cesil menjalani hubungan jarak jauh, Samuel tidak pernah sekali pun mengkhianati perempuan itu, dan akhirnya setahun lalu ia melamar tunangannya untuk ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pernikahan. Ia masih juga tidak sadar dengan janjinya dan malah memperlihatkan kebahagiannya bersama perempuan lain di depan Sherlyta. Mungkin jika dirinya tidak datang ke danau ini dan mendengar pengakuan Sherlyta ia tidak akan pernah ingat dengan janji yang diucapkannya dulu pada perempuan sipit itu.

“Maafin gue, Lyt. Maaf karena gue gak menepati janji gue. Maaf karena gue udah mengecewakan lo. Gue benar-benar minta maaf.” Sekali lagi Samuel membenturkan kepalanya pada batang pohon besar itu, merutuki kebodohannya. Ia menyesal, sangat-sangat menyesal.

“Arrgghh!!” erangan itu terdengar sangat frustrasi.

***

Sherlyta menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan di atas stir mobil, air matanya kembali menetes sejak melangkah meninggalkan Samuel di danau sana. Sejujurnya ia tidak bermaksud mengatakan semua itu pada laki-laki tampan yang berhasil mencuri sekaligus menghancurkan hatinya, tapi semua itu terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa bisa lagi ia cegah.

Berkali-kali Sherlyta menarik dan membuang napasnya untuk menenangkan diri dan menghentikan tangisnya sebelum melajukan mobil meninggalkan taman yang memang tidak jauh dari rumahnya.

Belum jauh ia melaju, perempuan itu kembali terisak dan memilih memberhentikan mobilnya di pinggir jalan karena tidak ingin kejadian beberapa waktu lalu terulang kembali saat dimana dirinya menabrak pohon dan berakhir di rumah sakit.

Ponsel Sherlyta berkali-kali berdering menandakan ada yang menelepon. Dengan menyeka air matanya terlebih dulu. Terlihat disana nama Dokter Alvian yang tengah menghubungi membuat Sherlyta langsung menggeser tombol hijau di layar ponsel.

“Hallo!”

“Hallo Bunda. Bintang lihat mobil Bunda di dekat taman. Bunda lagi ngapain disana?” Sherlyta mengernyitkan keningnya, melirik kanan kiri dan juga belakang untuk mencari bocah yang meneleponnya.

“Bintang dimana memangnya, kok, Bunda gak liat. Di belakang mobil Bunda juga gak ada?” terdengar suara kekehan dari seberang telepon sana.

“Bintang di rumah,”

“Kok bisa lihat Bunda?” herannya. Pasalnya Sherlyta tidak tahu dimana rumah murid kesayangannya itu.

“Bintang lihat Bunda pakai teropong, dari balkon atas. Rumah Bintang kan dekat sama taman. Bunda lagi ngapain disitu?” tanyanya mengulang karena yang tadi memang belum mendapat jawaban, tapi kemudian bocah di seberang telepom itu berubah pikiran.“Bunda tunggu di sana jangan ke mana-mana.”

Belum sempat Sherlyta menjawab, sambungan telepon terputus begitu saja. Sherlyta tidak berniat melajukan mobilnya meskipun hari sudah mulai gelap, entah kenapa perempuan itu menuruti ucapan bocah kecil berusia lima tahun yang baru saja selesai menghubunginya.

Sekitar sepuluh menit kemudian suara ketukan pada kaca mobil Sherlyta menyadarkan perempuan itu dari lamunannya. Sherlyta tersenyum kala membuka pintu mobil dan mendapati Bintang berdiri di depannya dengan cengiran lucu yang membuat Sherlyta tidak tahan untuk mencubitnya karena gemas.

“Bintang kenapa ke sini? Ini udah mau malam loh,” ucap Sherlyta lembut.

“Mau ketemu Bunda. Bintang gak sendirian, kok, tuh di antar sama Papa,” jawabnya tersenyum polos sambil menunjuk arah depan dimana disana Alvian yang menggunakan celana pendek army dan kaos hitam polos berjalan dengan tampannya meskipun kaki laki-laki itu hanya beralaskan sandal jepit.

“Selamat sore menjelang malam, Sherlyta,” sapanya ramah, Sherlyta tersenyum tipis seraya menjawab sapaan Dokternya itu.

“Ngapain disini magrib-magrib?” tanya Alvian yang kini membawa putra gembilnya ke dalam gendongan.

“Sebenarnya aku mau pulang, Mas cuma berhenti dulu disini tadi sebentar,” jawab Sherlyta. Ia memang tidak lagi menyebut Alvian dengan panggilan Dokter atas permintaan laki-laki itu sendiri. Dan akhirnya Sherlyta memutuskan untuk memanggil Mas, dari pada harus memanggil nama laki-laki itu langsung yang terkesan tidak sopan, karena bagaimanapun Alvian lebih tua usianya dari pada Sherlyta.

“Memangnya rumah kamu dimana?”

“Di blok C sana.”

“Dekat dong dari sini, nomor berapa kalau boleh tahu?”

“No 15, Mas.” Alvian mengangguk paham. Ya, jarak rumah Alvian ke rumah Sherlyta memang dekat, hanya beda Bloknya saja. Rumah dokter muda itu ada di blok A, dimana blok ini adalah paling depan dan juga paling besar, tentu saja harganya pun paling mahal.

“Rumah Bintang yang no 2, Bun.” Bocah kecil itu menunjuk rumah besar di depan sana. Membuat Sherlyta mengikuti arah yang muridnya itu tunjuk sebelum kemudian mengangguk paham. “Bunda mampir dulu ke rumah Bintang, ya, Bibi lagi masak, kita makan sama-sama,” pintanya dengan raut memohon.

Sherlyta tak lantas menjawab, menatap ke arah Alvian untuk meminta pendapat, hingga tak lama laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya mau tidak mau Sherlyta mengiyakan ajakan Bintang, membuat bocah itu kegirangan dan turun dari gendongan sang ayah lalu segera menaiki mobil Sherlyta.

“Biar aku yang nyetir,” ucap Alvian yang kemudian Sherlyta angguki.

“Kamu habis nangis?” Sherlyta gelagapan sendiri mendapat pertanyaan itu, dan berniat untuk menggeleng, namun Alvin lebih cepat menyela.

“Gak perlu bohong, terlihat jelas, dari mata kamu yang membengkak dan hidung kamu juga sedikit merah.”

Tidak ada lagi jawaban yang Sherlyta berikan, membuat perjalanan yang tidak begitu panjang di isi dengan keheningan.

Meja makan yang hanya diisi oleh Sherlyta, Bintang dan Alvian terlihat seakan mereka adalah keluarga kecil yang lengkap dan bahagia. Tawa dan canda mengalir natural tanpa dibuat-buat. Bintang pun bahagia dengan kehangatan malam ini. Sejak dirinya baru bisa makan, ia tidak pernah merasakan moment seperti ini, moment dimana ada Ayah dan Ibu diantaranya. Kadang bocah kecil itu hanya makan seorang diri atau ditemani oleh Nenek juga Bibi yang menjadi ART di rumahnya.

“Bintang senang banget karena malam ini bisa makan bareng Bunda sama Papa,” ucapnya bahagia, membuat Alvian dan Sherlyta menarik senyum dengan kebahagiaan kecil Bintang.

“Bunda, mau kan tiap hari makan bareng sama Bintang, sama Papa juga?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan tatapannya yang terlihat berharap.

“Nanti Bunda usahain deh,” ucapnya tersenyum lembut.

Mendengar jawaban itu tentu saja membuat Bintang senang bukan main dan langsung memeluk tubuh guru tersayangnya sambil mengucapkan kata terima kasih.

“Sekarang Bintang habiskan makannya, ya.” Bintang mengangguk semangat dan melahap nasi yang berada dipiringnya.

Alvian tersenyum memperhatikan interaksi keduanya.

“Apa boleh aku berharap padamu, Lyt?” batin Alvian berbicara, tatapan laki-laki itu tak lepas dari Sherlyta yang tengah menikmati makanannya dalam diam. Terlihat jelas ada yang sedang mengganggu pikiran perempuan cantik di depannya itu.

Selesai menikmati makan malamnya, kini Alvian, Sherlyta dan juga Bintang duduk di ruang televisi, menonton tayangan anak-anak kesukaan Bintang. Sherlyta tidak fokus pada tontonannya karena perempuan sipit itu sibuk dengan pikirannya sendiri tentang bagaimana ia harus bersikap pada Samuel jika bertemu nanti.

Tanpa Sherlyta sadari Alvian terus memperhatikan Sherlyta yang menatap kosong ke depan. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang apa yang tengah di pikirkan perempuan di sampingnya.

Jika seperti ini Alvian menyesal karena dulu tidak mengambil jurusan spikolog karena sekarang ia jadi tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran perempuan itu.

Jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam, dan Bintang sudah tertidur dalam pangkuan Sherlyta. Alvian bangkit dari duduknya, menggendong anak laki-lakinya itu dan membawanya menuju kamar yang selalu ditempati bocah itu.

Setelah selesai menidurkan dan menyelimuti putra semata wayangnya , Alvian tak lupa mengecup kening anaknya. Pemandangan itu tidak lepas dari pandangan Sherlyta yang kini berdiri diambang pintu.

“Mas, aku pulang, ya, udah malam,” Alvian mengalihkan tatapannya ke arah suara, dan berjalan menghampiri Sherlyta.

“Ya sudah biar aku antar kamu pulang,” ucap Alvian.Tapi dengan cepat Sherlyta menggeleng.

“Gak usah Mas biar aku pulang sendiri aja. Kasian nanti Bintang kalau ditinggal.” Alvian akhirnya mengangguk dan mengizinkan perempuan cantik itu pulang seorang diri.

“Kamu hati-hati di jalannya. Jangan lupa minum obat.” Sherlyta mengangguk mendengar pesan yang disampaikan Dokternya itu.

***

“Lo dari mana aja Sher jam segini baru pulang?” Cesil menembak dengan pertanyaan tanpa menunggu perempuan sipit itu duduk terlebih dulu.

“Dari rumah teman.” Singkat Sherlyta menjawab lalu menghempaskan bokongnya di sofa dan membuang napas lelah.

“Teman yang mana? Perasaan gue dari tadi ada disini?” bingung Cesil.

“Emangnya teman gue cuma lo doang?” jawaban sedikit ketus Sherlyta, membuat Cesil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ya, kan selama ini emang cuma gue sama Gita doang teman lo.”

Sherlyta mendelik kesal. Ia akui memang selama ini hanya mereka berdua lah yang menjadi temannya, jadi wajar saja jika Cesil bertanya seperti itu. Namun tetap saja Sherlyta enggan menjawab siapa orang yang di temuinya.

“Gue cape, lain kali aja bahasnya. Lo mau nginep, Sil?” tanya Sherlyta basa-basi. Perempuan berwajah jutek itu mengangguk. Sedangkan Gita sibuk memakan camilannya tanpa mau bertanya apa-apa pada sahabatnya yang baru pulang. Gita cukup tahu bahwa sahabatnya itu sedang lelah dan tidak ingin ditanya-tanya.

Sherlyta membaringkan tubuhnya di atas ranjang, meraih ponsel dalam tas tangannya dan mengecek pesan-pesan yang masuk.  Iya tahu sedari tadi Samuel tidak berhenti mengiriminya pesan singkat berisi permintaan maaf dan penyesalannya, namun Sherlyta selalu mengabaikan. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena jujur untuk memaafkan laki-laki itu memang cukup sulit ia lakukan, teringat kesalahan Samuel yang sudah membuatnya amat kecewa.

Sherlyta menatap dinding yang penuh dengan tempelan foto dirinya dan juga Samuel semasa kecil hingga remaja.

Semenjak kepergian laki-laki itu Sherlyta mulai menempel satu per satu foto kebersamaannya dulu yang selalu diabadikan oleh kedua orang tua mereka. Tidak ada yang tahu tentang ini termasuk Samuel, bahkan Gita yang sudah beberapa minggu tinggal bersamanya. Kamar ini selalu Sherlyta kunci setiap hari jika dirinya akan pergi bahkan meskipun berada di rumah.

Sherlyta bangkit dari posisi berbaringnya, mendekati dinding yang penuh dengan tempelan foto itu, mencabutnya satu per satu dan dimasukan ke dalam kotak berukuran tidak terlalu besar yang sebelumnya ia siapkan.

“Gue gak mau mengenang tentang masa lalu kita lagi, Sam, karena kita memang tidak akan memiliki masa depan yang dulu pernah lo sebutkan.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel