Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Happy Reading!!!

***

Semenjak kenyataan di butik tempo hari, Sherlyta belum lagi bertemu dengan kedua orang itu, Samuel dan Cesil. Ia juga belum menginjakan kaki lagi di butik. Hari-harinya hanya ia habiskan di sekolah dan juga danau, meratapi kesedihan yang terus menimpa.

Jujur saja Sherlyta belum bisa menerima kenyataan ini, kenyataan dimana Samuel yang akan menikah dengan Cesil -sahabatnya- dalam waktu kurang dari tiga bulan lagi. Di satu sisi Sherlyta merasa bahagia karena sahabatnya akan melepas masa lajang, juga bahagia karena seseorang yang sejak lama ia tunggu akhirnya telah kembali.

Namun kesedihan itu lebih besar karena kedua orang yang sangat berarti di hidupnya memiliki hubungan yang begitu erat, dan tentu saja Sherlyta merasa cemburu, bahkan terluka dan kecewa. Bukan kecewa pada Cesil, karena ia tahu sahabatnya itu tidak mengetahui apa pun tentang Samuel dan dirinya, hanya saja ia kecewa pada Samuel yang ternyata tidak menepati janjinya pulang untuk mewujudkan antara aku dan kamu untuk menjadi kita.

Penantian yang selama sepuluh tahun ini ia harapkan, nyatanya malah membuatnya kecewa, dan penantian panjang ini menjadi sia-sia. Sherlyta sebenarnya ingin marah, tapi ia tidak bisa, bukan tidak ingin. Mungkin jika perempuan itu bukan sahabatnya Sherlyta bisa meluapkan kemarahannya. Tapi kenyataan perempuan itu adalah Cesil, sahabatnya yang sangat berarti dalam hidupnya, Sherlyta tak bisa berbuat apa-apa dan hanya mampu diam, berpura-pura bahagia, meski kenyataannya dia terluka, bahkan lebih dari sekedar terluka.

Janji yang sepuluh tahun lalu Samuel ucapkan tersimpan rapi dalam ingatan Sherlyta, tapi siapa sangka bahwa orang yang mengucapkan itu malah melupakan janjinya sendiri.

"Mungkin gue yang terlalu berharap, makanya saat tahu semua ini, gue benar-benar kecewa," gumamnya dengan tawa miris yang di tujukan untuk kebodohannya.

Matahari dengan perlahan tenggelam dan menghilang digantikan dengan langit malam, Sherlyta tersenyum menatap itu meski air matanya tak henti menetes. Sakit di kepalanya tak ia hiraukan karena sakit itu tidak sebanding dengan rasa sakit dihatinya. Rasa sakit yang laki-laki itu torehkan atau mungkin rasa sakit itu Sherlyta sendiri yang menorehkannya.

Sherlyta melangkahkan kaki menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari danau, berniat untuk pulang karena tubuhnya sudah merasa lelah. Ia ingin istirahat, mengistirahatkan hati dan juga tubuhnya.

Sedari tiga hari yang lalu ponsel Sherlyta tidak pernah berhenti bersuara hingga perempuan sipit itu memutuskan untuk men-silent-kan ponselnya agar tidak berisik. Pesan dan juga panggilan tidak terjawab dari kedua sahabat dan juga Samuel memenuhi layar ponselnya, tapi ia tidak berniat untuk menjawab salah satu diantara ketiganya. Dirinya butuh waktu sendiri untuk menenangkan hati dan juga pikirannya.

Di pekarangan rumah Sherlyta terparkir mobil hitam yang tidak ia ketahui milik siapa, membuat Sherlyta cepat-cepat turun dari mobilnya untuk melihat siapa yang datang bertamu dan dengan lancang membuka pintu gerbang yang sudah jelas-jelas sebelumnya ia kunci dan kuncinya pun selalu ia bawa ke mana-mana.

Langkah Sherlyta berhenti saat di depan sana dirinya melihat tiga orang yang sangat dikenali tengah duduk di kursi teras depan rumah peninggalan orang tua Sherlyta. Tadinya ia ingin segera beranjak pergi, namun langkahnya tertahan karena Gita lebih dulu menyadari kehadirannya. Membuat Sherlyta mau tidak mau mengembangkan senyum pada orang tersebut dan berjalan menghampiri ketiganya, berusaha terlihat baik-baik saja.

"Kalian kok bisa ada disini, sejak kapan?" bingung Sherlyta saat sudah berada di hadapan ketiganya."Kok bisa masuk?" tanyanya lagi masih dengan kebingungan.

"Gue kan punya kunci pagar rumah lo, Lyt." Samuel menjawab.

"Lo masih nyimpen ternyata. Terus kenapa gak masuk ke rumah? Bukannya lo juga punya kunci semua ruangan rumah gue?"

Samuel terkekeh dan menggaruk tengkuknya yang sudah di pastikan tidak gatal.

"Ada sih, tapi kuncinya di pegang Bunda lo, katanya jangan sembarangan masuk lagi."

"Kenapa lo gak sekalian ajak Bunda ke sini juga?" tanya Sherlyta lagi.

"Ck, lo banyak nanya kayak wartawan. Buka dulu ini pintu gue haus." Samuel mulai kesal. Yang membuat Sherlyta melayangkan cengirannya lalu merongoh tas tangan yang dibawanya dan mengambil kunci rumah di dalamnya.

"Lo dari mana aja Sher? Udah beberapa hari gak ke butik, dihubungin juga susah banget." Gita bertanya saat kami sudah duduk di sofa ruang tamu.

"Sorry, gue sibuk banget di sekolah, bentar lagi mau ada pentas seni," jawab Sherlyta tidak sepenuhnya berbohong.

Gita mengangguk paham.

"Sibuk di sekolah? Emang lo sekolah lagi Lyt, bukannya udah lulus?" tanya Samuel dengan kerutan di kening yang nampak dalam.

"Dia kan jadi guru TK, Yank," sahut Cesil.

Senyum Samuel mengembang dan matanya berbinar senang. "Akhirnya cita-cita lo tercapai. Gue kira itu cuma cita-cita masa kecil aja, tapi ternyata ... Bebat banget sih sahabat gue ini!" Samuel berpindah duduk di samping Sherlyta dan dengan gemas menjawil kedua pipi chuby-nya.

"Sakit Muel," rengek Sherlyta yang tidak di pedulikan Samuel. Cesil dan Gita terkekeh geli melihat keduanya. Apalagi mereka baru tahu bahwa Sherlyta memiliki tingkah manja seperti itu, mengingat selama ini yang mereka lihat hanya kesan dewasa dan tertutup.

Setelah cubitan itu terlepas, Sherlyta cemberut sambil mengusap-usap pipinya yang memerah, sedangkan Samuel tersenyum senang. Merasa puas karena berhasil membuat sahabatnya kesal.

"Itu foto kalian waktu kecil?" tanya Cesil memperhatikan sebuah pigura di dinding yang tersusun beberapa bingkai foto keluarga Sherlyta juga Samuel.

Samuel mengangguk. "Iya, itu foto waktu aku sama Lyta masih berusia tiga tahun kalau gak salah, " Samuel mencoba mengingat.

Gita melirik foto tersebut begitupun juga dengan Sherlyta. Perempuan itu tersenyum tipis saat mengingat foto itu. Foto dirinya dan Samuel dua puluh dua tahun lalu, tepatnya ketika usia keduanya baru tiga tahun.  Di foto itu terlihat Samuel yang merangkul bahu Sherlyta di taman rumah Samuel dulu, yang memperlihatkan jelas tawa Samuel dan Sherlyta yang bahagia.

Laki-laki yang hari ini mengenakan kemeja abu tua dengan lengannya dilipat hingga siku itu menunjukkan dan menjelaskan satu per satu foto di sana pada Cesil dengan raut berbinar, sesekali Cesil terkekeh geli dan Samuel akan mengecup puncak kepala kekasihnya. Memperlihatkan potret pasangan yang bahagia. Membuat Sherlyta menatap keduanya dengan tatapan pedih. Ada rasa sakit yang timbul dihatinya, mungkin lebih tepatnya cemburu, sebab sudah jelas bahwa hingga saat ini perasaan Sherlyta tidak pernah berubah. Ia masih mencintai Samuel, dan sepertinya akan tetap mencintai laki-laki itu.

Gita yang tidak sengaja memperhatikan Sherlyta, melihat jelas bahwa ada luka di balik mata minimalis dan senyumnya itu, sampai akhirnya Gita berusaha menebak-nebak mengenai hubungan antara Sherlyta dan pria yang dikenalnya sebagai calon suami Cesil.

"Gue ke kamar dulu, ya, mau mandi." Pamit Sherlyta beralasan, meski alasan sebenarnya adalah karena ia tidak ingin terlalu lama menyaksikan sepasang kekasih itu, yang akan membuat luka dihatinya semakin dalam, karena ia tidak yakin masih bisa menahan rasa cemburunya.

Di bawah guyuran shower, Sherlyta kembali meneteskan air matanya. Beberapa hari ini ia memang berubah menjadi perempuan cengeng, tapi bukankah itu wajar? Sepuluh tahun menanti dan kini dihadapkan dengan kenyataan yang tak pernah dirinya pikirkan.

Sherlyta menyesal karena telah sedalam ini mencintai laki-laki itu. Ia menyesal telah menyia-nyiakan waktunya untuk menunggu laki-laki itu dan ia menyesal karena tidak pernah bisa melepaskan laki-laki itu dari pikiran dan juga hatinya, hingga kini berhasil menyiksa perasaan dan batinnya sendiri.

Tok ... tok ... tok.

"Lyt udah selesai belum mandinya?" terdengar suara Samuel di luar sana menyadarkan Sherlyta dari lamunannya.

"Bentar Sam, gue pake baju dulu, lo duluan aja ke bawah nanti gue nyusul." Teriak Sherlyta lalu bergegas memakai pakaiannya, tidak lupa mengeringkan rambutnya yang basah sebelum keluar dari kamar dan mendapati laki-laki tinggi dengan lesung pipit di kedua pipinya ketika tersenyum itu berada di depan pintu kamarnya.

"Lo mandi apa semedi, lama banget!" cibir Samuel. Sherlyta segera menutup pintu sebelum laki-laki itu melihat isi kamarnya.

"Kenapa di tutup? Gue pengen masuk Lyt!" Sherlyta menggeleng, dan dengan cepat mengunci pintu kamarnya sebelum laki-laki di depannya menerobos masuk.

"Dilarang masuk ke kamar perawan, Sam, pamali," ucap Sherlyta tersenyum tipis.

"Dulu juga gue sering masuk kamar lo, bahkan tidur di sana. Kenapa sekarang gak boleh?" tanya Samuel tak terima. Kembali Sherlyta menggeleng dan mendorong tubuh laki-laki itu untuk menjauh dari kamarnya. Membuat Samuel berdecak sebal tapi tak lagi berusaha memaksa untuk masuk. Memilih mengikuti langkah Sherlyta yang kini menggandeng lengan kirinya menuruni tangga untuk menghampiri kedua sahabatnya yang sudah berada di dapur. Entah siapa yang menyuruh keduanya menerobos dapur, karena seingatnya kedua manusia itu tidak pernah sekalipun berkunjung ke rumah Sherlyta meskipun sudah berteman sejak lama. Tapi itu tidak masalah sebenarnya karena di rumah ini memang tidak ada siapa pun selain Sherlyta.

Sedari kepergian sang Ibu, Sherlyta mengurus rumah ini sendiri dan tidak berminat mencari asisten rumah tangga karena ia merasa masih mampu untuk membersihkannya sendiri.

"Sher, Sorry ya kita masuk dapur lo tanpa izin. Abis gue lapar dari pagi gak ada yang ngasih makan." Cesil berkata dengan nada menyesal juga kesal yang dibuat-buat dengan mata melirik ke arah Samuel, menatap calon suaminya itu sinis.

"Gak apa-apa kok, di rumah gue mah bebas." Jawab Sherlyta sambil tersenyum.

"Enak banget ya kamu bilang dari pagi gak ada yang ngasih makan. Terus tadi siang apa? Aku ke butik bawa makanan sebanyak itu kamu kemanain?" ujar Samuel pura-pura kesal.

"Makanan tadi siang yang kamu bawa diabisin sama Gita, Yank. Aku gak kebagian."

"Enak aja lo bilang, itu makanan jelas-jelas masuk perut lo semua. Yang ada gue yang gak kebagian." Cepat Gita menyambar karena tidak terima disalahkan.

"Ih pendek, gak asyik lo mah, ah!" cemberut Cesil. Gita mendelik kesal sedangkan Sherlyta dan Samuel hanya menonton, masih dalam keadaan tangan yang menggandeng Samuel. Sherlyta merasa nyaman dan tidak ingin melepaskannya.

"Sher, lo lapar gak? Biar sekalian gue masakin," tanya Gita. Sherlyta mengangguk.

"Sekalian dong Git, gue juga lapar soalnya," ucap Samuel cengengesan.

"Yank, kamu apa-apaan sih nyuruh-nyuruh orang gitu!" Cesil menatap tajam kekasihnya. "Sekalian gue juga Git, bikinin." Lanjutnya membuat ketiga orang yang barusan terlihat tegang itu menghela napas lega.

Cesil tertawa merasa puas, sedangkan Gita yang memang berada di samping Cesil langsung menoyor kepala sahabat sekaligus bosnya itu kesal. Ia kira Cesil benar-benar marah karena Samuel memilih menyuruh membuatkan makanan pada Gita dari pada dirinya.

"Sialan lo!" dengus Gita lalu menyiapkan bahan untuk membuat Mie goreng untuk dirinya dan juga ketiga orang yang sudah mengambil duduk di meja makan.

Cesil dan Samuel duduk bersampingan, sedangkan Sherlyta di seberang meja makan yang berhadapan dengan Samuel. Sherlyta tersenyum iri melihat kemesraan kedua orang didepannya. Terlihat jelas raut bahagia dari kedua orang itu. Dan tatapan cinta yang Samuel berikan pada Cesil membuat dada Sherlyta sesak.

Gita sesekali memperhatikan ketiganya, namun perhatiannya lebih tertuju pada Sherlyta yang selalu menatap sepasang kekasih itu dengan tatapan iri dan juga kecewa. Tak sekali dua kali Gita melihat air mata sahabatnya itu menetes, meski dengan cepat Sherlyta menghapusnya. Gita semakin penasaran tentang hubungan yang sebenarnya di antara Sherlyta dan juga calon suami Cesil.

Perlakuan manis Samuel dan Cesil tidak lepas dari pengamatan Sherlyta begitupun luka di mata Sherlyta yang tidak lepas dari perhatian Gita. Kini keempat orang itu tengah menyantap makan malam yang sebenarnya sudah terlewat, di temani obrolan di meja makan yang di dominasi oleh Cesil dan juga Samuel, dengan canda tawa yang selalu keduanya lontarkan seolah lupa bahwa ada dua orang lainnya di meja makan itu. Sementara Sherlyta makan dalam diam, sesekali ia menunduk hanya untuk menghapus air mata yang menetes dan sebisa mungkin terlihat biasa saja agar tidak ada yang curiga. Mie goreng yang berbau enak itu tidak membuat Sherlyta berselera karena rasa sakit hatinya lebih mendominasi dari pada rasa laparnya.

"Tidakkah kamu menyadari perasaanku, Sam? Tidakkah kamu sadar telah melukai perasaanku!"

"Salahkah aku memiliki perasaan ini? Dan salahkan aku cemburu melihatmu dengan dia?"

"Aku harus bagaimana, Sam?"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel