Bab 6
Happy reading!!!
***
Samuel dan Cesil baru saja pamit pulang, kini tinggal Gita dan Sherlyta yang duduk di sofa ruang tengah, menonton televisi yang menayangkan iklan. Tatapan Sherlyta lurus pada layar televisi, meski yang Gita lihat perempuan di sampingnya itu tidak sedang menonton tayangan di televisi melainkan tengah melamun, membuat rasa penasarannya semakin besar dan sulit dikendalikan hingga akhirnya Gita mengalah berpura-pura tidak sadar dan memilih untuk bertanya.
“Sher,” panggil Gita menyadarkan perempuan cantik bermata sipit itu dari lamunannya. "Sebenarnya ada hubungan apa antara lo sama calonnya Cesil?” tanya Gita dengan raut penasaran yang tinggi.
“Gak ada hubungan apa-apa, cuma sahabat.” Jawab Sherlyta melirik sekilas pada Gita yang duduk disampingnya lalu kembali mengalihkan tatapannya pada televisi yang tidak benar-benar diperhatikannya.
“Gue tahu lo bohong Sher. Beberapa hari lalu semenjak ketemu laki-laki itu dan tahu dia calon suami Cesil, lo berubah jadi murung. Tadi juga gue perhatiin lo liatin terus laki-laki itu dengan tatapan kecewa dan gue juga liat beberapa kali lo nangis meskipun air mata yang netes selalu dengan cepat lo hapus. Gue tahu, Sher, hubungan lo sama dia gak sesederhana yang lo ucapkan, gue merhatiin. Jadi tolong cerita sama gue!” pinta Gita yang siap menerima curhatan dari sahabatnya itu.
“Cinta belum kelar?” tebak Gita.
Sherlyta menggeleng. “Gue sama dia belum pernah memulai.” Senyum miris Sherlyta terukir, dan itu membuat Gita meringis semakin bingung, tapi tentu saja Gita tidak menyerah untuk mengulik tentang perasaan sahabat sekaligus bosnya itu.
“Cinta bertepuk sebelah tangan?” Sherlyta kembali menggeleng, namun gelengan yang kali ini terlihat sedikit ragu.
“Mungkin," jawabnya tak yakin.
“Kok mungkin?” tanya Gita dengan satu alis terangkat.
“Iya mungkin, karena gue gak tahu perasaan Samuel sekarang bagaimana. Tapi seperti yang terlihat, laki-laki itu sudah akan menikah," kembali Sherlyta melemparkan senyum tipisnya, yang tentu saja bukan tanda dari bahagia. "Sepuluh tahun yang lalu sebelum Sam pergi bersama orang tuanya ke Belanda, dia nyatain perasaannya, dia bilang kalau dia suka sama gue, dan kebetulan saat itu gue pun memiliki perasaan yang sama, bahkan mungkin sebelum dia punya perasaan itu," senyum kecil Sherlyta tampil saat kembali bayangan sepuluh tahun lalu melintas di kepalanya. "Dia minta gue buat nunggu dan janji akan kembali dan meresmikan hubungan kita. Gue percaya, karena selama gue mengenal dia, Sam gak pernah ingkar. Dia selalu nepati janjinya. Tapi ...."
Sherlyta terisak sebelum berhasil menyelesaikan kalimatnya, terlalu sesak ia rasa ketika tahu bahwa kedatangan Samuel bukan untuk dirinya.
Gita mengerti akan itu pun langsung merengkuh tubuh rapuh sahabatnya ke dalam pelukan dan mengusap pelan punggung Sherlyta untuk menenangkan. Gita iba melihat sahabatnya yang biasa terlihat tegar, selalu tersenyum dan terlihat baik-baik saja kini memperlihatkan sisi lemahnya. Ini pertama kalinya Gita melihat Sherlyta menangis tergugu seperti ini.
Belum ada yang kembali berbicara meskipun tangis Sherlyta sudah tidak terdengar lagi dari beberapa menit yang lalu. Gita yang sudah melepaskan pelukannya pun masih tidak mengeluarkan kata. Bukan tak ingin, ia hanya memberikan waktu pada sahabatnya itu untuk tenang. Gita tidak ingin memberikan komentar karena dirinya tahu, Sherlyta tidak butuh itu. Sherlyta hanya butuh di dengarkan, dan disini Gita akan melakukan itu.
“Lo gak pulang?” tanya Sherlyta membuka suara setelah merasa tenang, dan tangisnya berhenti.
“Lo ngusir gue?” balik Gita bertanya dengan sinis.
Sherlyta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “Nggak sih, cuma ini kan udah malam.”
Gita melirik jam di pergelangan tangan kirinya dan ternyata waktu sudah menunjukan pukul 10:15 malam. “Gue nginep disini aja deh. Saking keponya sama lo gue sampai gak ikut pulang bareng tuh Nenek lampir," ujar Gita cengengesan.
“Ya udah, lo tidur di kamar tamu ya,” ucap Sherlyta pada akhirnya karena merasa tak tega jika meminta sahabatnya pulang di malam hari seperti ini.
Gita mengangguk semangat, lalu mengikuti langkah sahabatnya itu menuju sebuah kamar yang berada di lantai bawah tidak jauh dari ruang tengah.
“Lo gak takut tinggal sendirian di rumah sebesar ini?” tanya Gita di tengah langkah sambil menatap sekeliling hunian sahabatnya yang cukup luas, bahkan untuk ditinggali sepuluh orang.
Sherlyta menggeleng, “Takut apa? Gue udah biasa, cuma ya kadang merasa kesepian aja.” Gita hanya merespon dengan anggukan paham. Karena jangankan tinggal sendiri di rumah sebesar ini, Gita yang tinggal kos-kosan sempit saja selalu merasa kesepian apalagi ketika teman kosnya sedang pulang kampung.
“Lo mau nemenin gue tinggal disini?” tatapan Gita beralih saat mendengar pertanyaan yang di lontarkan sahabat sekaligus bosnya itu.
“Boleh deh, lumayan kan gue gak harus bayar uang sewa tiap bulan. Hitung-hitung pengiritan biar bisa kirim lebih banyak uang sama keluarga di kampung.” Jawabnya tanpa berpikir dua kali.
“Gak ada basa-basinya, sumpah. Gue kira lo bakalan nolak dan nunggu di paksa-paksa dulu. Nyatanya ....” Sherlyta semakin memutar bola matanya.
Gita terkekeh pelan. “Rejeki itu pantang di tolak, Sher. Buat apa sok-sokan nolak tapi kenyataannya pengen. Masalahnya gue tahu, lo gak akan ngomong untuk kedua kali, makanya gue cepet-cepet iyain. Lumayan kan pengeluaran bulanan gue berkurang," Cengirnya tak tahu malu.
“Kata siapa lo tinggal disini gratis? Gue potong gaji lo tiap bulan buat biaya sewa,” Sherlyta menaik turunkan alisnya, membuat Gita mendengus kesal.
“Gak jadi deh gue tinggal disini. Mending di kontrakan aja lebih murah.” Sherlyta tertawa melihat kekesalan sahabat sekaligus karyawannya itu.
Kini keduanya sudah duduk di tepi ranjang kamar tamu, kamar yang mungkin mulai malam ini akan di tempati oleh Gita setelah sebelumnya Sherlyta membersihkan dan mengganti seprai juga selimutnya.
“Gue serius loh, Git ngajak lo tinggal disini. Soalnya mungkin belakangan ini gue bakalan jarang pulang ke rumah. Dengan lo tinggal disini hitung-hitung ada yang jaga rumah gue,” ucap Sherlyta serius.
“Emang lo mau ke mana?” tanya Gita mengerutkan keningnya bingung.
“Gue ada urusan.”
“Urusan apa?” kembali Gita bertanya dengan rasa keingintahuannya.
“Kepo!” satu toyoran Sherlyta layangkan, dan itu membuat Gita mendengus seraya mengusap kening yang sedikit berdenyut akibat kekerasan yang diberikan sahabatnya.
"Baru juga mau nginap, udah di aniaya aja gue. Apa kabar kalau pindah nanti, bisa-bisa gue di mutilasi," gerutu Gita.
"Iya gue mutilasi nanti lumayan daging lo buat gue kasih makan tikus!"
"Sumpah, lo nyeremin Sher," Gita bergidik ngeri seraya menarik diri menjauh dari sahabatnya itu. Namun kemudian mereka berdua tertawa, menertawakan kekonyolan masing-masing. Dan Sherlyta bersyukur karena setidaknya dengan adanya Gita di rumahnya ia tidak akan terlalu merasa kesepian seperti hari-hari sebelumnya.
***
Tbc ...
