Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Happy Reading!!

***

"Sher, gue pulang duluan, ya, mau jemput calon suami di bandara,” pamit Cesil dengan senyum lebar yang memperlihatkan kebahagiannya.

“Calon suami? Yang dari Belanda itu?” tanya Sherlyta memastikan.

Perempuan berwajah jutek itu mengangguk membenarkan sebelum kemudian pergi meninggalkan Sherlyta di ruang kerjanya seorang diri dengan langkah riang dan terburu-buru.

Sherlyta hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala saja melihat semangat sahabatnya, lalu melirik jam di pergelangan tangannya yang ternyata sudah menunjukkan angka empat sore, itu artinya tinggal satu jam lagi S&C Boutique tutup.

Sherlyta bangkit dari duduknya, merapikan midi dress lengan panjang sederhana berwarna ungu muda yang dikenakannya hari ini dan mengambil tas tangan yang di simpan di atas meja lalu melangkah meninggalkan ruangannya, tidak lupa juga untuk menguncinya. Menghampiri salah satu karyawannya yang kini tengah melayani pembayaran dari seorang konsumen di balik meja kasir.

Sherlyta tersenyum melihat kinerja karyawannya yang satu itu, dia selalu bisa memuaskan pengunjung dengan pelayanannya.

“Penjualan hari ini gimana, Git?” tanya Sherlyta pada karyawan bernama Gita tersebut.

“Meningkat sepuluh persen dari hari kemarin,” jawabnya tersenyum lebar, sarat akan rasa bangga. Membuat si pemilik ikut tersenyum, senang karena setiap harinya bisnisnya itu terus berkembang meskipun ada hari dimana mereka mendapat kerugian. Tapi itu tidak seberapa di bandingkan dengan hasil yang mereka dapatkan. Dan itu semua berkat Gita, juga karyawan lainnya.

Gita adalah kepercayaan Cesil dan juga Sherlyta, dia juga sudah seperti saudara bagi keduanya, mengingat sedari awal butik ini di buka, Gita merupakan orang pertama yang menjadi karyawan di butiknya ini. Pekerjaannya yang gesit dan juga rapi membuat kedua pemilik butik itu puas akan kinerjanya. Itulah mengapa pada akhirnya Gita begitu di percaya dan menjadi kesayangan si pemilik. Bukan niat pilih kasih, tapi karena Gita juga ikut berjas dalam perkembangan butik ini.

“Gue tadi liat Cesil buru-buru, ke mana dia?” tanya Gita ketika mengingat salah satu bosnya yang beberapa menit lalu terlihat buru-buru hingga mengabaikan pertanyaannya.

"Ke bandara, jemput calon suaminya," Sherlyta menjawab seadanya.

"Baru tahu gue, cewek judes itu punya calon suami. Ada emang, ya, cowok yang mau?" kekehan kecil meluncur, namun sama sekali Gita tidak bermaksud mengejek. Hanya merasa heran saja, juga penasaran laki-laki seperti apa yang rela memiliki kekasih sejudes Cesil.

“Dia mukanya doang yang judes, tapi hatinya kayak Barbie.” Sherlyta ikut terkekeh.

“Emang siapa calon suaminya, kok, gue gak pernah tahu?” tanya Gita penasaran.

“Jangankan lo, gue aja yang temenan lebih dulu gak tahu siapa calon suami dia.” Sherlyta mengedikkan bahunya.

“Kok bisa?” herannya.

“Dulu waktu masih kuliah dia emang pernah cerita, tapi gue gak fokus dengerin.  Kalau gak salah namanya Adnan, pacaran waktu dia masih di Belanda.” Jelas Sherlyta mencoba mengingat.

“Cowoknya asli Belanda?” tanya si gadis pendek bermata bulat itu lagi. Gita memang memiliki tubuh yang mungil dibandingkan Sherlyta dan Cesil. Tapi kelebihannya adalah Gita memiliki mata lebar yang bulat, tidak seperti Sherlyta yang bermata sipit layaknya orang China. Padahal sama sekali Sherlyta tidak memiliki darah itu.

“Bukan. Cowoknya asli sini, kok, cuma pindah ikut keluarganya, sedangkan Cesil 'kan memang sudah sedari kecil tinggal di sana dan baru pindah waktu masuk kuliah.” Gita mengangguk paham.

“Terus calon suami lo mana?” mata sipit Sherlyta mendelik tak suka mendengar pertanyaan yang dilayangkan karyawan sekaligus sahabatnya itu, membuat Gita tertawa tanpa merasa bersalah.

“Udah jam lima, tutup aja Git, gue mau pulang duluan.” Sherlyta langsung berjalan meninggalkan butik dan juga karyawan lainnya sebelum Gita sempat memberi jawaban.

Perempuan yang usianya satu tahun lebih muda dari Sherlyta itu melongo menatap sang bos yang selalu pergi begitu saja di saat jam menunjukan pukul lima tepat, membuatnya penasaran tapi terlalu lelah terus bertanya sebab itu percuma. Sherlyta tidak pernah menjawab.

Sherlyta melajukan mobilnya menuju danau yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Danau yang setiap harinya selalu perempuan itu kunjungi tanpa rasa bosan dengan niat menunggu seseorang yang telah lama pergi.

Perempuan cantik bermata sipit itu hanya berdiam diri menikmati keindahan danau di sore hari sambil menunggu matahari terbenam dan setelahnya barulah ia meninggalkan tempat itu. Tidak seorang pun yang tahu rutinitasnya, baik Cesil maupun Gita. Dan tidak seorang pun yang tahu siapa orang yang selama ini Sherlyta tunggu. Jika pun mereka bertanya maka Sherlyta cukup memberikan senyum untuk menanggapi pertanyaan kedua orang terdekatnya itu.

Dalam perjalanan menuju rumah, ponsel Sherlyta berbunyi nyaring dengan nama Cesil yang tertera sebagai pemanggil. Dan Sherlyta memilih menepikan mobilnya terlebih dulu sebelum kemudian menerima telepon tersebut. Bagaimanapun Sherlyta enggan mati konyol karena tabrakan walau jalanan yang di lewatinya cukup sepi mengingat ini sudah masuk jalan perumahan.

“Kenapa Sil?”

“Lo dimana?” tanya Cesil dari seberang telpon.

“Di jalan pulang.”

“Dari mana aja lo, jam segini baru pulang?” cerocos Cesil dengan nada curiga.

“Dari suatu tempat. Ada apa lo nelpon?” Sherlyta dengan cepat mengalihkan, enggan ditanya-tanya perihal kepergiaanya.

“Oh iya, hampir aja gue lupa," Sherlyta memutar bola mata, sudah dapat dirinya tebak, sosok cantik sahabatnya itu kini tengah menepuk kening dengan cengiran yang tertampil. "Besok gue izin gak ke butik, ya, soalnya mau ke rumah Calon mertua,”

“Gegayaan lo ke rumah calon mertua," dengusan kecil meluncur, membuat Cesil di seberang sana terkekeh kecil. "Bukannya calon suami lo baru nyampe Indonesia, ya? Apa cuma mau jemput lo doang buat pergi ke Belanda?” tanya Sherlyta dengan kening mengkerut bingung.

“Calon mertua gue udah ada di Indo dari seminggu yang lalu. Jadi gue gak perlulah pergi ke Belanda jauh-jauh. Calon suami gue juga pindah lagi ke sini, jadi mulai sekarang gue gak akan lagi jauh-jauh nyusulin dia ke negera kincir itu,” ucapnya menjelaskan. Sherlyta mengangguk paham, meskipun sebenarnya yang dilakukannya itu tidak akan terlihat oleh sang lawan bicara.

Setelah mengakhiri obrolan lewat telpon, Sherlyta kembali melajukan mobilnya menuju rumah yang hanya berjarak 3km dari danau. Sesampainya di depan rumah, ia menutup kembali gerbang tinggi bercat hitam dan menguncinya sebelum masuk ke dalam rumah, merebahkan tubuh lelahnya pada ranjang, dengan mata yang menjelajah, menatap deretan foto yang tertempel di dinding, tersusun membentuk love cukup besar karena menghabiskan sebagian tembok. Sherlyta tersenyum memperhatikan satu per satu pose yang berada di foto tersebut, dirinya seakan bisa masuk kedalamnya, kembali merasakan dan berada di posisi setiap foto yang tertempel di sana.

"Sam, kabar lo baik-baik aja 'kan?" tanya Sherlyta pada potret seorang remaja laki-laki yang tengah tersenyum ke arah kamera dengan tangan yang merangkul pundaknya.

"Pulang, Sam, gue rindu." Bisiknya kemudian, sebelum menjemput mimpi.

♥♥♥

Sherlyta tersenyum menatap anak-anak didiknya yang kini tengah menggambar dan duduk berkelompok. Setiap hari kelas ini tidak pernah Stabil, ada saja hal yang diributkan oleh bocah-bocah berusia rata-rata lima tahun itu. Seperti saat ini, ada yang berebut pewarna, hingga berebut hasil gambar yang serupa. Membuat Anak-anak itu beradu argumen, saling menyalahkan tentang siapa yang meniru siapa.

Suasana seperti itu adalah kesenangan tersendiri bagi Sherlyta, ia tidak mempermasalahkan karena baginya itu wajar selagi tidak saling melukai.

Menjadi seorang guru TK memang harus memiliki kesabaran lebih, karena tidak sedikit dari mereka yang sulit untuk diarahkan. Tapi bagi Sherlyta itu tidak masalah, karena ia menyukai pekerjaan ini, ia juga menyukai anak-anak. Dan ini sudah menjadi kebahagian dan juga semangat untuknya. Sekaligus untuk mengikis waktu yang nyatanya tidak sebentar, mengisi kebosanan di tengah tunggu yang tidak juga mendapat titik temu.

Hanya tiga jam waktunya mengajar, cukup membuat Sherlyta mengisi energinya yang selalu rendah ketika bangun pagi sebab sadar bahwa hari sudah kembali di lewati tanpa dia yang menemani.

“Lo lama banget sih,” sambut Cesil dengan wajah cemberut ketika Sherlyta baru saja membuka pintu kaca butik, berniat untuk masuk.

“Ya sorry, jalan macet tadi.” Jawab Sherlyta merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi memang itu kenyataannya. "Mana calon suami lo? Belum ke sini?” lanjutnya bertanya.

“Lo telat Sher, dia baru aja pulang.” Gita yang menjawab, sedangkan Cesil masih juga cemberut dengan wajah berpaling, enggan menatap Sherlyta. Merajuk. Itu yang sedang Cesil lakukan.

“Nyesel lo gak ketemu dia, Sher. Keren banget lakinya, gila! Gue aja pengen," seru Gita dengan mata berbinar. Tapi kemudian melirik sinis sahabat di sampingnya. "Kalau bukan dia yang punya udah gue tikung di belokan depan,” ujar Gita menunjuk Cesil dengan dagunya, membuat perempuan berwajah judes itu menatap Gita dengan tajam.

“Awas aja lo kalau berani!” ancam Cesil yang sama sekali tidak berpengaruh, malah justru membuat Gita semakin terkekeh.

“Lo yakin, Sil mau gue yang desain gaun nikah lo? Kenapa gak lo sendiri aja yang buat?” tanya Sherlyta menghentikan berdebatan dua orang didepannya.

“Gue pengen buatan lo aja, sih, lo gak keberatan kan?”

“Ngaku aja kalau desain lo gak sebagus yang di buat Sherly.” Cibir Gita.

“Sembarangan lo kalau ngomong! Desain gue lebih bagus dari siapapun. Cuma gue pengen Sherlyta yang bikin karena gue bakalan sibuk ngurusin yang lainnya.” Elak Cesil.

Gita hanya mencebikkan bibirnya seraya memutar bola mata. Dia selalu senang mengejek sahabat satunya itu, sebab Cesil adalah sosok yang mudah terpancing emosi.

“Berani bayar berapa lo sama desain gue?” Sherlyta menaik turunkan alisnya.

“Perhitungan banget lo sama sobat sendiri.” Cesil mendengus sebal.

“Pernah dengar istilah, Bisnis tidak mengenal sahabat bahkan saudara?” tanya Sherlyta.

"Gitu banget, sih, lo, Sher!" Ujarnya dengan bibir yang mengerucut.

“Ya udah gue kasih diskon, tapi sebelum gue mulai ngerjain pesanan lo, tolong dong beliin gue makanan dulu, gue lapar banget. Apa lagi mau bikin desain gaun nikahan lo, gue butuh energi banyak,” Sherlyta memelas, seraya menyentuh perutnya yang memang cukup kelaparan.

“Ya udah lo mau makan apa?” tanya Cesil sedikit tak ihklas.

“Gue pengen Bakmie-nya Mang Maman.”

“Gila lo, itu jauh banget dari sini!” Cesil membelalakan matanya tidak percaya. Sedangkan Sherlyta mengedikkan bahunya tidak perduli sementara Gita tengah menahan tawanya.

“Oke, gue beliin! Tapi awas aja lo kalau gaun pernikahan gue nanti hasilnya gak memuaskan!" ancam Cesil yang lantas berlalu keluar dari butik dengan mengentak-entakkan kakinya ke lantai, membuat Gita dan Sherlyta tertawa puas menatap kepergian sahabatnya itu.

“Oh iya, gue lupa nanya, dia kapan kawinnya?” tanya Sherlyta pada Gita.

“Tadi kalo gak salah denger katanya tiga bulan lagi deh.” Cesil mencoba mengingat.

“Emang keterlaluan tuh anak. Padahal dia tahu sendiri bikin gaun nikah itu sulit, mana bisa gue selesai dalam waktu kurang dari tiga bulan,”gerutu Sherlyta melangkah menuju ruangannya yang berada di lantai dua tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Gita yang kini tengah melongo menatap punggung Sherlyta.

“Gak sopan banget tuh orang pergi gitu aja, gak ada pamit-pamitnya. Untuk bos gue, lo Sher!” gerutu Gita seraya menggelengkan kepala sebelum melanjutkan memakan camilannya di tengah pekerjaan yang tidak terlalu melelahkan ini.

***

Tbc ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel