Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Happy Reading!!!

***

Satu minggu sudah Sherlyta disibukan dengan tugas menggambar gaun dan juga jas untuk pernikahan Cesil. Beruntung hari ini sekolah tempatnya mengajar libur jadi tidak mengharuskan perempuan bermata sipit itu untuk pergi ke sekolah. Dan berhubung luang, Sherlyta menjadikan ini sebagai kesempatan bertemu dengan Cesil dan juga calon suaminya untuk melakukan pengukuran pada kedua calon mempelai sebelum ia mulai menjahit. Juga untuk meminta penilaian tentang gambar yang dibuatnya.

“Cesil datang belum, Git?” tanya Sherlyta begitu tiba di butiknya.

“Belum, mungkin bentar lagi,” jawab perempuan pendek yang saat ini menggunakan kemeja lengan panjang  berwarna baby blue dengan dipadukan celana jeans hitam juga heels setinggi lima centil, membuat penampilan perempuan pendek itu terlihat imut dan cantik.

“Kalau gitu gue tunggu di ruangan untuk tamu. Kalau dia datang suruh temuin gue langsung.” Gita mengangguk paham dengan titah sang bos, sebelum melanjutakan pekerjaannya yang sejak tadi di tekuni. Membersihkan meja kasir selagi sepi pelanggan.

Di ruangan bernuansa coklat muda yang biasa digunakan untuk menerima tamu yang akan melakukan fitting gaun, kini Sherlyta duduk mengecek kembali hasil gambar yang ia kerjakan seminggu ini, memberi beberapa tambahan yang menurutnya kurang dalam gambar tersebut.

“Serius amat, Bu.” tegur perempuan berwajah jutek yang kini menggunakan dres tanpa lengan selutut berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Sherlyta yang kaget dengan suara tiba-tiba itu langsung menatap sahabatnya dengan tajam, tak pula mendengus sebagai bentuk kekesalan.

“Ngagetin tahu gak lo!”

Cesil hanya cengengesan tak berdosa, lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan sahabatnya itu.

“Laki lo mana?” tanya Sherlyta yang kembali sibuk dengan gambarnya.

“Di luar, lagi angkat telepon dulu.”

Hanya anggukan singkat yang menjadi respons Sherlyta yang setelahnya memilih untuk fokus pada kertas gambarnya. Mengabaikan Cesil yang entah sibuk apa dengan ponselnya. Sherlyta tidak terlalu peduli sebab dirinya bukanlah sosok yang suka  mengetahui urusan orang jika bukan orang itu yang bercerita lebih dulu.

“Lo tunggu dulu aja, deh, ya, Sil. Gue mau ke toilet bentar. Kebelet." Sherlyta buru-buru bangkit dari duduknya. Membuat Cesil hanya menggeleng-gelengkan kepala pelan melihat tingkah sahabatnya itu.

Tok ... tok .. tok.

“Masuk," sahut Cesil pada si pengetuk pintu. Yang sudah dirinya tebak sebagai sang calon suami. Sebab jika Gita amat mustahih perempuan mungil itu melakukannya.

“Yank, sini masuk, Sherly lagi ke toilet dulu bentar."

“Kayaknya aku gak bisa sekarang deh, Yank. Barusan mandor telepon, katanya ada masalah di pembangunan. Jadi aku harus secepatnya ke sana,” ucap laki-laki tampan berkemeja biru tua itu dengan raut menyesal.

“Ya udah kamu pergi aja, selesaikan dulu kerjaan kamu," ujar Cesil dengan senyum penuh pengertian.

“Kamu gak marah?” Cesil menggeleng cepet. “Ya udah kalau gitu aku pergi, ya, bilang maaf sama teman kamu,” ucapnya yang benar-benar merasa bersalah, lalu mengelus lembut rambut hitam sebahu sang kekasih di susul kecupan singkat di puncak kepala Cesil yang beruntung dirinya miliki.

Cesil kembali masuk ke ruangan dimana Sherlyta berada setelah mengantarkan sang calon suami menuju parkiran. Terlihat di sana perempuan yang mengenakan midi dres lengan panjang berwarna putih itu kembali menekuni kertas gambarnya.

“Dari mana aja sih, baru gue tinggal bentar aja udah ilang?” tanya Sherlyta saat mendapati sahabatnya berjalan menghampiri.

“Sorry, nganterin dulu Adnan ke depan tadi.” Jawab Cesil cengengesan.

“Oh iya, ke mana laki lo?” Sherlyta menatap sekeliling, namun tidak juga mendapatkan yang dicarinya. Padahal dirinya sudah tak sabar ingin melihat calon dari sahabatnya. Juga ingin segera menyelesaikan pekerjaannya.

“Adnan baru aja pulang, ada urusan mendadak di tempat kerja.”

“Oke gak apa-apa. Lo dulu aja. Laki lo bisa nyusul nanti.”

Sherlyta mulai mengukur tubuh Sahabatnya itu, lalu menuliskannya di buku yang sudah ia sediakan. Mulai dari tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar dada, lengan dan lainnya. Setelah selesai dengan pengukuran, Sherlyta kembali duduk di kursinya begitu juga Cesil.

“Gimana, lo suka gak?” tanya Sherlyta menunjukan hasil gambarnya.

“Ini gaun buat nikahan gue?” Sherlyta menjawab lewat anggukan “Hmm, lumayan,” ucap Cesil setelah beberapa saat menelisik hasil gambar sahabatnya. Dan karena jawabannya itu, Sherlyta mengerjapkan mata tak percaya dengan tatapan seolah tengah memberitahu Cesil bahwa dirinya sedang tersinggung.

"Lumayan lo bilang? Gue ngerjain ini seminggu full loh, bela-belain bangun tengah malam untuk menyalurkan ide gambar gue. Dan lo cuma bilang lumayan?” Sherlyta menggeleng tak terima, sedangkan Cesil hanya cengengesan melihat kekesalan sahabatnya itu.

“Dia itu gengsi ngakuin kalau gambar lo itu bagus sebenarnya.” Gita yang baru datang langsung duduk di samping Cesil, dan melayangkan cibirannya.

“Dih apa-apaan sih lo datang-datang nyambar aja!” kesal Cesil.

“Suka-suka gue dong.” Gita menjawab dengan santai. Sherlyta hanya mampu menghela napasnya lelah. Terlalu sering menyaksikan adu mulut kedua sahabatnya itu.

“Kalian lanjutin aja deh berantemnya, gue mau pergi.” Sherlyta bangkit dari duduknya dan meraih Tas tangan berwarna hitam yang tadi ia letakan di atas meja.

“Lo mau ke mana?”

“Belanja kain,” jawabnya singkat.

“Mau gue temenin gak?” tanya Cesil kali ini.

“Gak usah, lo jaga butik aja bareng Gita. Sekalian rekap pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Gue gak ada waktu untuk itu gara-gara ngurusin gaun pernikahan lo.” Setelah mengucapkan itu Sherlyta pergi begitu saja meninggalkan kedua sahabatnya tanpa menunggu jawaban.

“Teman lo itu, selalu pergi gitu aja,” cibir Cesil menatap pintu yang baru saja di tutup dari luar.

“Teman lo juga, Bambang!”

Sepulangnya membeli kain, Sherlyta memutuskan untuk tidak kembali ke butik, memilih berdiri menatap danau di depannya, menghirup udara sejuk sore hari yang cerah ini untuk menghilangkan penat dan keresahannya. Karena hanya tempat ini yang seakan membuat jiwanya tenang. Di luar dari menunggu sang pujaan, nyatanya tempat ini juga amat pas untuk Sherlyta mengadu akan rasa lelah yang perlahan menghampirinya.

“Sam, kenapa lo belum juga kembali. Gue kangen sama lo, gue butuh lo, Sam.” Gumam Sherlyta lirih.

“Gue gak tahu sampai kapan gue sanggup nunggu lo. Tolong, Sam, tolong kembali sebelum gue lelah menanti."

Untuk pertama kalinya, hari ini Sherlyta memilih beranjak pulang sebelum menyaksikan terbenamnya matahari seperti hari-hari biasanya. Sherlyta merasa itu percuma, karena yang ditunggunya pun tidak akan datang. Jadi ia memilih pulang sebelum hari mulai gelap. Tidak lupa Sherlyta mengusap batang pohon yang terdapat ukiran namanya dan juga nama Samuel di sana.

Senyum cantik di bibir tipisnya itu mengembang saat kembali mengingat bagaimana semangatnya Samuel mengukirkan nama mereka berdua sambil memegang erat tangannya.

“Sherlyta adalah milik Samuel, itu hukum mutlak. Tidak ada yang boleh merebutnya apa lagi menyakitinya.”

Kata-kata yang di ucapkan Samuel sepuluh tahun lalu masih terukir jelas dalam ingatannya. Ia tidak akan pernah lupa, kerena itu semua selalu menjadi semangat untuk dirinya tetap menjalani hari.

Di perjalanan pulang seusai mengunjungi danau, Sherlyta merasakan sakit di kepalanya yang tiba-tiba saja menyerang, membuat mobil yang dikendarainya tidak stabil dan akhirnya menabrak pohon besar disisi jalan yang cukup sepi di sore hari ini, yang membuatnya sulit meminta pertolongan.

“Sam, tolong gue,” gumam Sherlyta sebelum matanya perlahan menutup dengan penglihatan mengabur digantikan dengan gelap disekelilingnya.

***

Perempuan cantik dengan perban di pelipis kiri yang kini terbaring di ranjang itu mengerjapkan matanya berkali-kali untuk menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya lampu.

Ruangan serba putih dan juga bau obat-obatan membuat perempuan dengan wajah pucat itu tahu bahwa kini dirinya tengah berada dalam kamar rumah sakit.

Matanya kemudian menatap sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Dirinya sendiri, itu sudah biasa, tapi ia cukup penasaran pada sosok yang sudah berbaik hati menolongnya ketika kejadian mobilnya yang menabrak pohon mampir di ingatan, yang lantas membuat kepalanya kembali terasa nyeri meski tidak sesakit ketika dirinya belum pingsan.

“Akhirnya kamu sudah sadar," terdengar helaan lega yanh membuat Sherlyta kembali membuka matanya. "Kamu pingsan hampir dua hari ini,” ucap seorang laki-laki tampan dalam balutan jas putih khas dokter, yang kini melangkah menghampiri ranjang tempat Sherlyta berbaring.

“Bagaimana, apa ada yang sakit?" Sherlyta tak lantas menjawab, menatap pria di depannya dengan kerutan dalam. Dan seolah mengerti pria itu mengulas senyum sebelum kemudian memperkenalkan diri. “Saya Alvian Dirgantara, dua hari lalu saya lihat mobil yang menabrak pohon saat akan menuju rumah sakit. Jadi sekalian saya bawa kamu ke sini.” Jelasnya, membuat Sherlyta akhirnya mengangguk lega dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Tidak ada luka yang serius di tubuh kamu. Tapi saya sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh, takutnya ada luka lain di dalam. Hasilnya mungkin akan keluar besok. Jadi sekarang kamu istirahat saja.” Alvin kembali menjelaskan. "Dan ini barang-barang kamu, mobil kamu sudah saya suruh orang bengkel untuk mengambilnya. Maaf sudah lancang membuka dompet kamu, saya perlu tanda pengenal kamu untuk administrasi.”

Sherlyta mengangguk, lalu tersenyum tak lupa kembali mengucapkan terima kasih. Sherlyta masih sulit bicara panjang lebar karena rasa sakit di kepalanya belum juga reda, terlebih rasa linglung yang mendera. Entah karena efek benturan atau keterpesonaannya pada sosok dokter tampan yang sudah menolongnya. Yang jelas Sherlyta cukup merasa pening dan berakhir memutuskan untuk kembali berbaring setelah pria bernama Alvian itu pamit undur diri. Berharap bahwa ketika bangun nanti keadaannya lebih baik.

***

Tbc ..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel