Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kenapa Nikmat?

POV utama: Leo, lalu bergantian ke Rafael, Karina, dan Nadine.

---

️ Pukul 19.32 – Rumah Klien

Kamar itu lebih mirip suite hotel daripada rumah.

Kasurnya luas, king-size, dengan sprei satin putih dan lampu sorot hangat yang membuat kulit siapa pun tampak lebih bersih dari kenyataan.

Rafael dan Leo berdiri di depan ranjang. Telanjang dada.

Di sofa kulit, klien mereka duduk sambil menyesap wine merah, mengenakan jubah batik emas dan celana dalam tipis.

“Aku mau lihat kalian kayak pasangan beneran,” ucapnya sambil tersenyum kecil.

“Jangan kayak robot. Peluknya harus sayang. Ciumannya jangan asal bibir.”

Leo menatap Rafael.

Rafael hanya menarik napas pelan, lalu duduk di atas kasur, menepuk tempat di sebelahnya. Leo menyusul, perlahan.

Mereka mulai.

Pelukan itu hangat.

Tangan Rafael melingkari bahu Leo, lalu turun ke pinggang.

Ciuman pertama, biasa. Lembut. Ringan.

Tapi saat klien mendekatkan kamera ponselnya, Rafael menarik wajah Leo lebih dekat.

Lidah mereka bersentuhan.

Leo terkejut—hanya sepersekian detik. Tapi dia tidak mundur.

Gerakan Rafael mulai berubah. Bukan sekadar akting. Bibirnya menekan lebih dalam. Lidahnya mencari, menekan pelan. Tangannya naik ke tengkuk Leo, lalu mengusap rambutnya.

Leo merintih kecil—bukan dibuat-buat.

Gerakan mereka sinkron.

Pinggul Rafael mendekat. Nafas mereka saling menyusup. Suhu tubuh meningkat. Klien terdiam, bahkan tak sadar wine-nya menetes ke sofa.

Leo menarik Rafael ke atas tubuhnya, pelan.

Tangannya menyentuh punggung pria itu. Keringat mulai muncul di dahi.

Di balik sorotan kamera klien, mereka...

benar-benar bercinta.

Meski hanya ciuman dan gesekan. Tapi bukan karena dibayar.

Tapi karena kedekatan yang mereka tolak selama ini, akhirnya meledak.

---

Usai “kerja” – 21.17

Mereka berpakaian kembali.

Tak bicara selama perjalanan pulang.

Tiba di rumah kontrakan, Nadine dan Karina sedang makan mie instan di ruang tengah.

“Dapet duit banyak?” tanya Karina, tanpa menoleh.

Rafael meletakkan tas kecil ke lantai. Leo masuk lebih dulu ke kamar.

“Lumayan,” jawab Rafael singkat.

“Gue denger suara lo, Fael. Waktu lo desah pelan. Gitu banget,” cibir Karina.

“Kayak beneran suka.”

Rafael diam. Nadine menatap Leo sekilas, tapi tak berkata apa-apa.

Matanya berat. Ada luka di situ, tapi ia simpan.

---

️ Malam – Kamar Leo

Lampu kamar mati.

Hanya nyala dari jendela luar yang menerangi sebagian ranjang.

Leo tidur di sisi kanan. Rafael masuk pelan, lalu tanpa suara, naik ke ranjang yang sama. Mereka berdua telentang, tak bicara.

Tapi tubuh mereka bersentuhan. Bahu ke bahu. Lutut ke lutut.

Leo gemetar sedikit.

“Fael...” bisiknya hampir tak terdengar.

Rafael tak menjawab. Tapi dia menyentuh tangan Leo di bawah selimut. Tak menggenggam. Hanya menempel.

Tubuh mereka bicara.

Dalam diam. Dalam napas.

Malam itu mereka tertidur seperti sepasang orang yang sudah menyerah untuk menyangkal.

---

Reaksi Karina & Nadine (pagi berikutnya)

Karina bangun duluan. Melihat pintu kamar Leo masih tertutup. Ia mendekat. Menempelkan telinga ke kayu pintu.

Sunyi.

Dia membuka pelan.

Dan melihat mereka berdua—masih tidur. Rafael setengah memeluk Leo dari belakang. Selimut turun separuh.

“Anjing,” bisik Karina lirih.

Matanya memerah. Ia menutup pintu perlahan, lalu berjalan ke kamar mandi. Tak berkata apa-apa, tapi menggigit bibirnya kuat-kuat sampai nyaris berdarah.

---

Nadine melihat Karina pagi itu—diam, tapi matanya penuh amarah.

“Udah lihat?” tanya Nadine.

Karina hanya mengangguk.

“Sakit?”

Karina tertawa pelan, sumbang.

“Lebih dari waktu ditampar klien pake dildo besi.”

---

> Dan begitulah pagi itu.

Dua perempuan yang pernah meniduri Rafael,

kini harus menerima bahwa yang dipeluk Rafael saat tidur...

bukan mereka.

---

Karina tak langsung tidur malam itu.

Dia menunggu.

Diam-diam duduk di depan kamar Leo, setelah semua suara di dalam mereda. Tidak ada ranjang yang berderit, tidak ada suara Rafael yang menggeram atau Leo yang mendesah pelan. Hanya senyap.

Dan justru itu yang menghantam dadanya paling keras.

Kalau mereka hanya bercinta, itu tak seberapa. Tapi kalau mereka saling diam setelah menyentuh? Itu berarti... lebih dari seks.

Dia tak kuat berdiri. Tapi dia juga tak kuat pergi.

Maka Karina duduk di lantai lorong sempit itu, dengan lutut ditarik ke dada, dan rokok yang habis setengah tapi belum pernah diisap.

---

Paginya.

Dia membuka pintu kamar Leo diam-diam.

Dan pemandangan itu… menghancurkannya dalam satu kedipan.

Rafael tidur memeluk Leo dari belakang.

Wajah Rafael menempel di leher pria itu.

Tangannya tergenggam, seperti anak kecil mencari hangat.

Bukan tentang tubuh. Bukan tentang seks. Tapi tentang rasa aman.

Dan Karina tahu... dia tak pernah membuat Rafael tidur setenang itu.

Dia menutup pintu pelan. Masuk ke kamar mandi.

Menatap wajahnya di cermin.

Dan… tertawa.

Bukan tawa bahagia. Tapi tawa getir, seperti orang gila yang baru sadar:

“Selama ini gue jual tubuh... tapi lupa beli hati sendiri.”

---

Beberapa menit kemudian, di dapur.

Karina duduk menunggu. Bibirnya masih merah. Rok pendeknya seperti biasa: sengaja naik sedikit.

Rafael keluar kamar, diam, lalu berjalan ke dispenser.

“Pagi,” katanya.

Karina menatapnya tanpa senyum. Lalu menjawab dengan suara pelan,

“Enak ya… tidur sambil dipeluk, bukan sambil dipakai?”

Rafael terdiam.

“Lo tahu kenapa gue marah?” lanjutnya, “Karena gue bisa terima lo tidur sama siapa pun… asal jangan terlihat bahagia.”

Rafael mencoba bicara, tapi Karina berdiri cepat.

Ia mendekat.

Menempelkan tubuhnya ke Rafael. Tangannya naik ke dada pria itu.

“Coba lo liat mata gue sekarang,” bisiknya.

“Masih ada gak sisa nafsu yang pernah lo cari?”

Rafael hanya menatap. Tak mendorong. Tak menarik.

Dan itu lebih menyakitkan dari ditampar.

Karina mundur.

“Lo pikir Leo bisa nyembuhin lo? Dia cuma versi sunyi dari gue. Tapi dia bakal sakit juga nanti… waktu lo gak bisa milih.”

---

Sore harinya, Karina berdiri di balkon kecil rumah kontrakan. Angin menerpa wajahnya.

Nadine datang membawa dua kopi sachet. Duduk di sebelahnya.

Sunyi sebentar.

“Gue cemburu juga,” kata Nadine.

“Tapi kita udah tahu ini akan kejadian, kan?”

Karina mengangguk.

“Iya. Gue tahu. Tapi tahu bukan berarti siap.”

---

> Dan sore itu, dua perempuan yang pernah meniduri Rafael,

berdiri bersebelahan.

Tanpa menyentuh. Tapi dengan luka yang sama:

Dicintai laki-laki yang tak pernah bisa dimiliki.

POV Nadine – “Ledakan Sunyi”)

---

Pukul 22.04

Lampu dapur mati. Tapi Nadine belum tidur.

Dia duduk sendiri di kursi kayu reyot, menatap piring kosong bekas mie rebus yang tadi dia masak untuk bertahan dari lapar dan... kesepian.

Dari balik tembok kamar Leo, ia tahu Rafael ada di sana.

Bukan sekadar singgah, tapi tinggal.

Bukan sekadar tidur, tapi dipeluk.

Dan Nadine tahu—itulah bedanya.

---

Flashback Nadine – 3 bulan lalu.

Dia dan Rafael tidur bersama saat baru mulai tinggal serumah.

Mereka tidak bercinta. Hanya tidur. Tapi Rafael memeluknya dari belakang, memanggil namanya dengan bisikan:

“Din... maafin gue kalau gue kasar siang tadi...”

Itu pertama kalinya Nadine menangis dalam pelukan laki-laki.

Tapi juga terakhir.

Sejak Leo datang, Rafael mulai menjauh.

Bukan dengan marah, tapi dengan sunyi.

Dan sunyi itulah yang membunuhnya perlahan.

---

Malam ini...

Nadine membuka ponselnya. Melihat foto lama Rafael yang pernah ia ambil diam-diam.

Lalu menghapusnya.

Satu-satu.

Sambil gemetar.

“Lo pikir gue kuat, Fael?” gumamnya sendiri.

“Gue gak kuat, anjing...”

Ia masuk ke kamar. Menatap wajahnya di cermin.

Lalu meraih lipstik merah tua milik Karina.

Ia poles pelan. Lalu melepaskan bra-nya.

Dia ingin cantik. Bukan untuk Rafael. Tapi untuk rasa dendamnya sendiri.

---

22.37 — Nadine ke kamar Leo

Pintu terbuka.

Rafael dan Leo sudah tidur, saling membelakangi, tapi selimut sama.

Nadine masuk. Sunyi.

Ia berdiri di tepi ranjang, menatap Rafael lama.

Lalu membungkuk. Mencium bibir Rafael yang sedang tidur.

Lembut. Tapi dingin.

Rafael membuka mata sesaat, kaget.

“Din...?”

Nadine menatapnya tanpa senyum.

“Gue cuma pengen tahu... rasanya lo disentuh pas udah milih orang lain.”

Rafael tidak menjawab.

Nadine berdiri tegak. Menatap Leo yang masih tidur.

“Lo cowok baik, Le. Tapi lo datang setelah kami semua luka. Dan sekarang lo yang dia sembuhin. Lucu, ya.”

Dia keluar. Menutup pintu pelan.

---

Kamar mandi – Nadine muntah.

Bukan karena sakit. Tapi karena perasaan hancur yang tak bisa disalurkan ke mana pun.

---

> Malam itu, Nadine tidak menangis.

Tapi kehilangan sesuatu.

Dan besok pagi, dia akan berubah.

Dari penonton... jadi sesuatu yang jauh lebih tajam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel