Kami bukan keluarga.
Ada empat gelas kosong di atas meja.
Sisa teh basi. Asbak penuh puntung.
Dan seprai di kamar itu masih hangat.
Aku tak tahu siapa yang tidur dengan siapa semalam.
Tapi pagi ini, bau tubuh masih tersisa di udara.
Campur peluh, parfum murah, dan keheningan.
Kami tinggal serumah.
Kami bukan keluarga.
Tapi kami saling menyentuh. Kadang dengan cinta, kadang cuma untuk lupa.
Rafael tertawa saat disentuh Karina.
Tapi dia diam saat dipeluk Leo.
Nadine menangis di kamar mandi setelah bercinta dengan kliennya yang kasar.
Tapi dia selalu kembali, duduk di lantai, minta dipeluk oleh siapa pun yang hangat.
Kami tidak pakai kata-kata. Kami bicara lewat tubuh.
Lewat napas di leher. Lewat ciuman yang tak selesai.
Lewat goyangan ranjang yang selalu retak tapi tidak pernah rubuh.
Kami bercinta. Kami bertahan. Kami pura-pura bahagia.
Dan kami tahu—suatu saat, ada sesuatu yang akan datang menghancurkan segalanya.
Tapi untuk sekarang,
tubuh kami masih hangat.
Dan cinta ini…
tidak pakai kondom.
POV: Nadine
Kamar itu pengap. Udara pagi yang seharusnya segar malah bercampur aroma sisa tubuh—keringat, parfum murah, dan asap rokok basi dari malam sebelumnya. Sprei kumal itu kusut, basah di beberapa bagian. Nadine membuka matanya perlahan, tanpa kejutan. Hari baru, tapi rasa yang sama.
Rafael masih tertidur di sebelahnya. Punggungnya menghadap ke arah tembok, telanjang bulat, hanya sebagian bokongnya yang tertutup selimut tipis yang sama sekali tidak menutupi apa-apa. Di punggungnya, ada dua bekas gigitan yang belum kering. Nadine menatapnya lama. Dia tahu bekas itu bukan darinya.
Nadine duduk. Gerakannya pelan, seperti takut membangunkan sesuatu—bukan Rafael, tapi kenangan yang belum siap ia hadapi pagi ini. Celana dalamnya masih dipakai, basah dan dingin. Ia tidak yakin, itu karena dirinya atau orang lain.
Tangannya meraba lantai, mencari rokok. Dapat. Disulut pelan. Ia menarik napas panjang, dan menatap langit-langit kamar yang catnya mengelupas. Di luar kamar, terdengar suara air menetes dari keran bocor di dapur.
Rumah kontrakan itu memang sempit. Tiga kamar, satu ruang tengah, satu dapur kecil, dan satu kamar mandi yang selalu penuh antrean.
Rafael mendesah dalam tidurnya. Nadine menoleh. Dada pria itu naik-turun pelan. Dada yang keras, tapi terlihat lelah. Sudah berapa klien semalam? Dua? Tiga? Entah.
Langkah kaki terdengar dari arah lorong.
“Lo tidur sama dia lagi?”
Suara itu tajam dan cepat. Karina.
Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan jaket kulit tipis tanpa apapun di dalamnya, dan celana pendek olahraga yang sobek di pinggir. Rambutnya masih basah, menetes ke lantai.
“Kenapa? Lo keberatan?” Nadine menjawab datar. Ia tidak menoleh, hanya menatap rokok di tangannya.
Karina masuk tanpa izin. Duduk di tepi ranjang, tepat di samping Rafael. Tangannya yang berpernis merah muda menyentuh paha pria itu, lalu menamparnya pelan.
“Bangun, Fael. Lo jadi rebutan pagi ini,” ucapnya setengah menggoda, setengah menyindir.
Rafael membuka mata setengah. Masih linglung. Napasnya pelan. Ia mengucek mata lalu duduk pelan.
“Gue capek, Kar… beneran.”
“Capek?” Karina tertawa kecil. “Gue juga kerja semalem. Klien lo yang pertama, klien gue yang terakhir. Tapi sekarang lo di sini, sama dia?”
Nadine berdiri dari tempat tidur. Tidak berkata apa-apa. Ia berjalan ke luar kamar, membawa rokok dan napas yang berat. Tubuhnya gemetar sedikit, tapi ia tahan. Di rumah ini, kelemahan adalah bahan bakar gosip.
---
Dapur.
Leo sedang duduk di meja, menyeduh kopi sachet, dan membaca pesan dari klien di HP-nya. Rambutnya acak-acakan, kausnya tipis, dan wajahnya seperti biasa: tanpa emosi.
Nadine meletakkan rokoknya di asbak. Ia membuka lemari dapur dan menemukan satu potong roti sisa, keras dan hampir kedaluwarsa.
“Air udah nyala?”
Leo menggeleng.
“Nggak. Gue udah lap pakai tisu basah doang.”
Mereka tidak bicara lagi. Tapi Leo memperhatikan Nadine dari ujung mata. Perempuan itu terlihat semakin kurus. Tulangnya lebih menonjol di bawah kaus. Tapi matanya masih cantik. Dan bibirnya… masih menyimpan banyak hal yang belum pernah diucapkan.
---
Karina masuk.
Masih dengan tubuh separuh telanjang. Ia membuka kulkas, mengambil bir kaleng dingin, lalu meneguknya langsung. Jam masih menunjukkan pukul 07.42.
“Jam tiga nanti, ada klien minta kita bertiga sekaligus,” katanya sambil duduk di meja, menyilangkan kaki.
“Siapa?” tanya Leo.
“Orang baru. Katanya suka yang ‘panas dan liar’. Kalau bisa swing. Kalau bisa, di kamar yang sempit.”
Nadine mendesah pelan. Rafael baru muncul dari lorong, mengenakan celana boxer, tubuhnya masih basah oleh keringat tidur. Ia duduk di samping Leo, mengambil rokok, dan menyalakannya.
“Gue ikut,” katanya singkat.
Karina menatapnya. Nadine tidak.
Leo diam.
---
Dan pagi itu…
Di meja makan yang hanya bisa muat tiga orang tapi selalu dipakai empat, keheningan seperti napas keempat tubuh yang menunggu giliran disentuh.
Mereka semua pernah tidur bersama. Saling cium. Saling rebutan. Tapi tidak pernah benar-benar saling memiliki.
> Di rumah kontrakan ini, tubuh adalah uang. Sentuhan adalah bahasa.
Tapi cinta?
Tidak pernah utuh.
Dan tidak pernah pakai kondom.
Pukul 14.47.
Ruangan disulap seadanya. Sprei baru dipasang, kamar diberi pengharum ruangan yang tajam, dan kipas angin diarahkan ke sudut tempat tidur agar keringat tak langsung menetes ke tubuh. Nadine mencukur ketiaknya di kamar mandi, sementara Karina memoles bibirnya merah tua.
Rafael baru saja selesai mandi. Dia mengenakan jubah handuk tipis dan berdiri di depan kaca, menatap wajahnya sendiri tanpa ekspresi. Di belakangnya, Leo menyodorkan kondom dan pelumas.
“Klien bawa dua temen,” ujar Leo. “Semua laki-laki. Tiga lawan tiga.”
“Lo ikut?” tanya Rafael sambil mengikat handuk.
Leo tak menjawab. Tapi matanya cukup bicara:
Dia ingin ikut, bukan untuk klien. Tapi untuk Rafael.
---
15.09 WIB – Klien tiba.
Tiga pria masuk. Salah satunya jelas pelanggan lama—berperut gendut, usia 40-an, bau minyak kayu putih. Dua sisanya lebih muda, mungkin usia dua puluhan, tatapannya lapar. Mereka membawa alkohol dan permen mint.
“Kita bikin panas sore ini, ya,” kata yang gendut, sambil menampar pantat Karina begitu dia membuka pintu.
Karina tersenyum sinis, lalu menggigit bibir pria itu.
“Kita punya ranjang yang sempit, tapi orang-orang yang lebar,” balasnya.
---
Di dalam kamar...
Tiga laki-laki duduk di ranjang. Karina naik duluan, duduk di pangkuan si botak dan langsung mencium lehernya. Nadine masih berdiri, ragu. Rafael masuk paling akhir, dadanya telanjang, napasnya berat.
Leo berdiri di pintu. Ia tahu posisinya: bukan untuk memulai, tapi untuk memandang. Tapi bukan pandangan kosong—matanya hanya mengikuti Rafael.
Sesi dimulai.
Rafael didorong ke kasur oleh klien muda. Tangan mereka langsung meraba dadanya, turun ke perut, membuka handuk dengan kasar. Nadine ikut rebah, tubuhnya didesak dua tangan berbeda. Satu di leher, satu di paha.
Karina membuka bra-nya sendiri, lalu memaksa kepala pria ke dadanya.
> Mereka semua berkeringat. Tubuh bergesekan. Napas tercekat.
Suara ranjang berderit, dan kaki saling menyilang.
Di antara desahan, Leo masih berdiri. Tapi akhirnya mendekat. Rafael meliriknya.
Hanya satu detik, tapi cukup.
Leo membuka kausnya pelan.
Klien botak menepuk sofa.
“Sini, lo. Tambah panas!”
Leo tidak jawab. Dia langsung menghampiri Rafael. Tidak untuk disentuh klien. Tapi untuk menyentuh Rafael sendiri.
> Dan di tengah semua tubuh yang saling mengklaim,
dua pasang mata bertemu.
Tanpa kata.
Tapi lebih telanjang daripada kulit yang sudah terbuka sejak tadi.
---
Sesi itu berlangsung 46 menit.
Empat kali klimaks, tiga kali ganti posisi, dan satu kecupan tak sengaja dari Leo ke Rafael, di belakang klien yang tertawa puas.
---
Setelah klien pulang…
Rafael duduk di lantai kamar, masih telanjang, memegang botol air.
Karina tertawa keras sambil menggulung rokok.
Nadine diam, menatap ke arah Leo.
Leo sedang mencuci tangannya di dapur. Lama. Seperti mencoba menghapus sesuatu yang tak bisa hilang.
Rafael masih duduk di lantai kamar, punggungnya bersandar ke tembok, botol air plastik kosong di tangannya. Keringat di dadanya belum mengering, tapi hawa di dalam kamar sudah dingin.
Karina tertidur di atas ranjang, masih telanjang, tubuhnya menyilang ke arah Nadine yang memunggungi dunia.
Leo masuk perlahan. Membawa rokok dan satu handuk kecil. Ia meletakkannya di dekat Rafael, lalu duduk di lantai, tak jauh dari pria itu. Tak ada kata. Tak ada gerakan aneh. Hanya dua orang duduk dalam diam, berbagi udara yang lengket.
"Gue capek, Le."
Suara Rafael pelan. Hampir seperti gumaman yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Tapi cukup jelas untuk Leo dengar.
Leo meliriknya sekilas, lalu kembali menatap lantai.
"Gue tahu."
Hening lagi.
"Bukan capek badan," Rafael melanjutkan, suaranya serak.
"Gue... capek dipakai orang yang gue nggak peduli. Tapi lebih capek lagi dipeluk orang yang gue sayang, tapi gak bisa gue milikin."
Leo tak langsung menjawab. Tangannya hanya mengusap lututnya sendiri, pelan.
"Siapa yang lo maksud?"
Rafael menoleh. Mata mereka bertemu. Tak ada lagi topeng. Tak ada lagi gaya santai atau ketertarikan basa-basi.
"Lo," bisik Rafael.
Leo membeku.
"Tiap kali lo pegang bahu gue, tiap kali lo diam tapi tetap tinggal di kamar waktu gue pulang babak belur... Gue ngerasa aman. Tapi anehnya, gue malah pura-pura gak lihat lo."
"Kenapa?" tanya Leo.
Rafael menatap ke arah ranjang, ke tubuh Karina dan Nadine yang tertidur tanpa pelukan.
"Karena gue takut kalau gue peluk lo beneran... lo bakal pergi."
Leo tidak menjawab. Tapi dia tidak pergi.
Tangannya pelan menyentuh tangan Rafael yang menggenggam botol kosong itu. Hangat. Nyata. Tak ada nafsu di situ. Hanya ketulusan yang mereka berdua sembunyikan terlalu lama.
---
> Di rumah yang penuh tubuh, mereka akhirnya bicara sebagai jiwa.
Dan untuk pertama kalinya, Rafael menyentuh bukan karena ingin, tapi karena butuh.
Ciuman yang Tidak Direncanakan
---
Rafael diam. Tapi genggamannya pada tangan Leo makin kencang, seakan takut kalau sedikit saja ia lepas, semuanya akan menguap seperti peluh.
Leo menatap wajah Rafael dari jarak dekat. Di pipi kirinya ada bekas goresan kecil—entah dari klien yang mana. Matanya lelah, tapi tidak kosong. Ada rasa di sana. Rasa yang tidak pernah Rafael tunjukkan pada siapa pun.
Leo membuka mulut pelan.
"Kalau gue peluk lo sekarang... lo bakal ninggalin gue?"
Rafael menggeleng.
"Gue gak bisa janji apa-apa, Le... Tapi gue gak akan pergi malam ini."
Mereka saling diam.
Lalu Rafael menggeser duduknya, mendekat.
Jarak antara wajah mereka hanya beberapa inci. Napas mereka hangat, saling menyentuh. Tak ada musik. Tak ada dialog manis. Hanya bunyi kipas angin tua yang berdecit pelan.
Lalu ciuman itu terjadi.
Bukan ciuman yang tergesa.
Bukan ciuman penuh liar dan nafsu seperti yang biasa Rafael berikan ke klien atau Karina.
Tapi pelan.
Perlahan.
Jujur.
Bibir mereka saling menyentuh. Kaku di awal, lalu melembut.
Leo memejamkan mata, dan Rafael meletakkan tangannya di belakang leher Leo, menahan agar tak pergi.
Mereka tidak berciuman lama. Hanya beberapa detik.
Tapi cukup untuk membuat waktu terasa berhenti.
Saat mereka melepaskan, Rafael tidak bicara. Dia hanya menunduk.
"Gue gak tahu ini apa, Le."
Leo mengangguk pelan.
"Gue juga gak tahu. Tapi... rasanya kayak pertama kali gue hidup beneran."
Mereka duduk lagi. Bersebelahan. Dekat, tapi tidak saling pegang.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Rafael tertidur bukan karena lelah setelah dipakai—tapi karena tenang setelah disentuh… dengan rasa.
---
> Di rumah yang selalu dipenuhi suara ranjang,
malam itu sunyi.
Dan sunyi itu... terasa paling hangat.
