Bukan karena takut kusut
(Pembuka: Persiapan – Malam Sebelum Dunia Menonton)
---
Rumah kontrakan itu sunyi.
Tapi bukan sunyi damai—lebih seperti napas tertahan sebelum tubuh memekik.
Hari ini berbeda.
Ada sesuatu di udara:
> Antara antisipasi dan ketakutan. Antara cinta yang coba bertahan dan trauma yang belum usai.
---
Jam 15.10 – Ruang Tengah
Karina menyetrika pakaian dalam dengan sangat hati-hati.
Bukan karena takut kusut. Tapi karena dia butuh sibuk.
Agar tangan tidak gemetar. Agar otak tidak memutar kembali bayangan Rafael yang kini memeluk orang lain.
Nadine duduk di lantai. Menyusun alat-alat kecil di atas tikar plastik: lilin aroma terapi, semprotan minyak vanilla, kain beludru untuk latar belakang.
“Jangan terlalu terang lampunya. Biar siluet tubuh lebih hidup,” katanya.
Karina melirik.
“Lo serius bantu mereka tampil?”
Nadine tidak menjawab.
Tapi senyumnya pahit.
“Kalau gue gak bisa punya Rafael, minimal gue bisa bikin dia terlihat paling indah... sebelum dia jatuh.”
---
Jam 16.45 – Kamar Leo
Leo sedang mencukur bulu tubuh Rafael.
Bukan karena tuntutan klien, tapi karena Rafael ingin “terlihat baru”.
Rafael duduk di tepi kasur.
Matanya kosong. Tapi tubuhnya pasrah.
Setiap tarikan pisau cukur terasa seperti membuka lembaran lama.
Setiap sentuhan Leo terasa seperti janji: gue gak akan ninggalin lo.
“Kalau lo gak kuat, kita batalin,” bisik Leo.
“Gue bisa kerja sendiri. Jadi supir gojek juga gak apa-apa.”
Rafael hanya menggeleng.
“Gue harus ketemu dia. Sekali lagi. Tapi kali ini... dalam keadaan gue udah gak jadi anak kecil ketakutan.”
Leo mencium dahi Rafael.
Pelan. Tanpa nalar. Tanpa akting.
---
Jam 18.30 – Dapur
Karina memoles bibir Nadine dengan lipstik merah tua.
Mereka bukan bagian dari show malam ini. Tapi mereka berdandan seolah akan ikut.
“Kalau mereka bisa telanjangin luka, kenapa kita gak bisa ikut ngerasain?”
Nadine tertawa pelan.
“Lo bener.”
Kepala mereka saling bersandar. Dua perempuan. Dua luka. Satu panggung batin yang belum tuntas.
---
Jam 19.45 – Kamar Disulap Jadi Studio
Sprei hitam.
Cahaya lampu dimatikan. Hanya nyala lilin dari empat sudut ruangan.
Kamera sudah siap. Mic kecil ditempel di bawah dagu Leo dan Rafael.
Di luar layar, Karina dan Nadine duduk bersila, hanya diam.
Mereka tak lagi jadi wanita penghibur. Tapi penonton paling sakit.
> Dan di tengah ruangan itu—dua tubuh berdiri, siap “dijual”.
Tapi malam ini, yang dipertaruhkan bukan lagi uang,
tapi sisa harga diri. Sisa cinta. Dan sisa nyawa.
---
Rafael memejamkan mata.
Lalu membuka perlahan.
Menatap Leo.
“Lo siap?”
Leo mengangguk.
“Gue lebih takut kehilangan lo, daripada disaksikan dunia.”
---
> Dan pada pukul 20.00 tepat… tombol Live Broadcast ditekan.
Babak itu dimulai.
Pukul 20.00 tepat.
Lampu-lampu mati.
Hanya siluet tubuh yang terlihat, disinari lilin. Kamera menyala—lampunya kecil, tapi menusuk.
Leo berdiri setengah telanjang, hanya mengenakan celana hitam tipis.
Rafael di depannya, sama-sama menegang—bukan karena birahi, tapi karena takut salah menyentuh rasa.
> “Ini bukan pertama kalinya tubuh gue dilihat orang,” pikir Leo.
“Tapi ini pertama kalinya... gue telanjang sambil jatuh cinta.”
---
Langkah pertama Rafael mendekat.
Tubuh mereka hanya berjarak napas.
Nafas Leo cepat, dadanya naik-turun.
Dan saat Rafael menyentuh wajahnya, pelan…
semua jadi sunyi.
Tidak ada Karina. Tidak ada Nadine. Tidak ada Bayu di balik layar. Hanya ada Rafael. Dan tubuh Leo yang sudah pasrah.
---
Rafael menyentuh dada Leo.
Tidak kasar. Tidak terburu-buru.
Jari-jarinya menyusuri tulang selangka, turun ke perut, lalu berhenti di sisi pinggang.
“Lo yakin?” bisik Rafael.
Leo mengangguk.
Tapi bukan hanya mengiyakan show.
Dia mengiyakan: "sentuh gue seperti yang lo inginkan, bukan seperti yang mereka bayar."
---
Dan Rafael mencium bibirnya.
Pelan. Dalam. Tidak akting.
Lidah mereka bertemu, tidak saling menyerang, tapi menari.
Gerak tubuh mulai mengalir: Rafael menekan Leo ke dinding, tangan meraba punggungnya, lalu turun.
Kamera merekam semua. Tapi cinta mereka tidak dibuat-buat.
---
> Di balik layar, seseorang bernama Bayu menonton.
Menyaksikan bocah kecil yang dulu dia “ajari”
sekarang mencintai laki-laki lain—di depan matanya.
Dan mungkin... itu karma paling telanjang.
---
Leo mulai membuka celana Rafael.
Tidak tergesa.
Tangannya gemetar sedikit, tapi senyumnya tipis.
“Gue pengen lo ngerasa dicintai... bahkan pas lo paling dilihat dunia.”
Rafael menarik tubuh Leo.
Mendekap. Menggigit pelan lehernya.
Dan bisikkan satu kalimat:
“Lo gak tahu, Le. Lo penyembuh paling berani... karena lo gak minta luka gue ditambal—tapi lo peluk luka itu sambil lo berdarah juga.”
---
Mereka tidak bercinta. Bukan malam ini.
Tapi tubuh mereka menari.
Bersentuhan. Berpelukan.
Berkeringat. Dan bibir saling mencari.
> Show itu berlangsung 27 menit.
Tapi bagi Leo... itu terasa seumur hidup.
Karena untuk pertama kalinya—dia sadar,
disentuh bukan berarti dijual.
---
(POV Karina – “Penonton yang Pernah Disentuh”)
---
Lampu mati. Kamera menyala. Rafael mencium Leo.
Dan Karina melihat semuanya dari balik layar kecil laptop tua yang ia taruh di meja dapur.
Kakinya dilipat di kursi plastik.
Tangannya memegang gelas kopi yang sudah dingin. Tapi matanya tak berkedip.
---
“Dia gak pernah mencium gue segitu pelan,” pikir Karina.
Pernah.
Pernah disentuh Rafael. Berkali-kali.
Dari belakang, dari depan, dari atas, dari bawah.
Tapi tak pernah seperti ini.
Leo disentuh seperti sesuatu yang ingin disimpan, bukan sekadar dipakai.
Dan itu yang membunuhnya perlahan.
---
Layar itu kecil. Tapi luka di dadanya besar.
Rafael menyentuh leher Leo, lalu menggigitnya ringan.
Leo memejamkan mata. Menikmati. Tidak takut. Tidak pura-pura.
Dan Karina tahu…
rasa aman itu gak bisa dibuat-buat.
Dia menarik napas. Tapi dada sesak.
Tangannya meremas gelas. Kopinya tumpah ke paha, panas—tapi tak terasa.
---
Flashback – Setahun lalu
Rafael masuk ke kamarnya, tengah malam.
Bau alkohol. Nafas berat.
Dan berkata: “Gue cuma butuh keluarin. Jangan tanya.”
Karina membuka kakinya.
Membuka tubuhnya.
Membuka semua, tanpa kata.
Dan Rafael masuk. Cepat. Dingin.
Sesudahnya... ia tidur.
Tanpa peluk. Tanpa cium.
---
Kembali ke malam ini.
Rafael dan Leo berciuman lama.
Lalu saling memeluk seperti dua tubuh yang gak pengen dipisah.
Dan Karina menggigit bibirnya.
“Jadi... begini rasanya dilupakan,” gumamnya pelan.
---
Nadine duduk di sebelahnya.
Diam. Tapi matanya tak lepas dari layar.
Karina melirik, bertanya lirih, “Lo sakit juga gak?”
Nadine menjawab pelan, “Gue pikir gue udah mati rasa. Tapi ternyata... gue cuma numpang napas.”
---
Di layar, Rafael membisikkan sesuatu ke telinga Leo.
Dan Leo... menangis. Tapi tetap tersenyum.
Karina berdiri.
Pelan.
Menuju kamar mandi.
Bukan untuk menangis.
Bukan untuk marah.
Tapi untuk muntah.
---
> Karena ternyata,
yang paling menyakitkan bukan saat tubuh lo ditinggal...
tapi saat hati lo gak pernah dianggap tinggal di tubuh itu.
---
(POV Nadine – “Mata yang Tak Berkedip”)
---
Nadine tidak menangis.
Dia duduk di kursi kecil di ujung dapur,
laptop di pangkuannya,
dan jari-jari tangannya mencengkeram bagian bawah layar sampai putih.
Tapi wajahnya... datar.
---
Leo mencium Rafael di layar.
Pelan. Dalam. Hangat.
Dan Nadine memiringkan kepala, seperti sedang menonton film.
Seperti penonton yang terlalu tenang—tapi itu justru paling menakutkan.
"Manusia tuh aneh," pikirnya.
"Yang luka, malah paling bisa bikin orang sembuh. Tapi gue? Gue cuma bisa duduk nonton orang jatuh cinta sambil nahan ludah."
---
Dia mengingat malam itu.
Saat Rafael masuk ke kamarnya dulu.
Bukan untuk bercinta. Tapi untuk tidur.
Bahkan Rafael gak pernah menyentuh dadanya—yang disentuh cuma rambutnya.
> Dan sekarang Rafael disentuh lelaki lain di depan kamera,
dengan rasa yang Nadine tahu dia gak akan pernah dapat.
---
Tapi Nadine tidak cemburu.
Dia tersenyum. Tipis. Bahaya.
"Kalau Rafael udah jadi milik orang lain," katanya dalam hati,
"maka cinta mereka harus gue hancurin bareng-bareng."
---
Dia ambil ponsel.
Membuka kontak. Mengetik pesan.
> “Halo, Bayu. Gue tahu siapa lo. Dan gue tahu lo masih suka nonton bocah kecil yang lo ‘bina’. Gimana kalau gue kasih bonus: cewek yang siap tunduk. Tapi dengan syarat... lo bawa Leo juga masuk permainan.”
---
Klik. Kirim.
Nadine tutup laptop.
Malam ini dia tidak menangis.
Dia tersenyum.
---
Penutup Bab 4 – "Satu Nama, Seribu Luka"
---
Satu jam setelah show berakhir, Rafael membuka laptop Leo.
Masih ada cache dari streaming.
Dia buka. Ingin lihat ekspresi Leo.
Ingin tahu... apakah tadi cinta itu nyata.
Tapi yang dia lihat justru nama di dashboard host:
> "Bayu H."
Member VIP. Penonton tunggal. Pemilik hak siar penuh.
Rafael terdiam.
Darahnya turun ke kaki.
Tangan Leo menyentuh pundaknya. “Kenapa, Fael?”
Rafael berdiri.
Wajahnya pucat.
Tapi bibirnya gemetar menahan marah dan trauma.
“Yang nonton tadi…”
“…itu orang yang nyolong masa kecil gue.”
---
Leo diam.
Sadar, mereka baru saja menelanjangi cinta mereka... di depan iblis.
---
> Dan Bab 4 pun ditutup:
Karina menangis dalam diam
Nadine mulai merencanakan permainan barunya
Rafael dan Leo saling cinta... tapi baru tahu cinta mereka telah dijadikan tontonan oleh hantu masa lalu
---
